MERENUNGKAN KEMBALI HAKEKAT IMAN DAN CINTA
Oleh : Husnul Khotimah*
Jika kita ditanya tentang apa yang paling kita cintai dan kita inginkan dalam hidup, boleh jadi jawabannya bermacam ragam. Tapi pernahkan terlintas dalam benak, untuk menjawab seperti jawaban para shahabat radiyallahu ‘anhum, bahwa satu-satunya yang dicinta hanyalah Allah dan Rasul? Dan satu-satunya yang diinginkan hanyalah bertemu wajah Allah dan hidup bersama RasulNya di surga?
Tak bisa dipungkiri, bahwa para shahabat/shahabiyat radiyallahu ‘anhum adalah manusia-manusia yang layak disebut sebagai para pecinta sejati sekaligus tauladan keshalehan hakiki, yang karenanya pula mereka layak menempati derajat yang tinggi, tidak saja di dunia (sebagai khairu ummah) tetapi juga di akhirat (sebagai golongan muqarrabûn). Betapa tidak? Kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul melebihi apapun yang mereka inginkan di dunia ini. Dan cinta ini tak hanya terbatas pada ucapan semata, melainkan mereka buktikan dengan cara menyerahkan seluruh kehidupan mereka demi meraih keridhaan Allah dan RasulNya, sekalipun untuk itu mereka harus mengorbankan harta, keluarga, kedudukan dan bahkan nyawa.
Banyak kisah teladan yang menunjukkan kedahsyatan cinta mereka radiyallahu ‘anhum. Diantaranya, Imam Ahmad meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata : Orang yang pertama kali mati syahid dalam Islam adalah ibu Ammar, Sumayyah ra. yang dibunuh Abu Jahal dengan menggunakan tombak pada alat vitalnya hingga beliau syahid karenanya. Beliau ra. kala itu, ridha dengan pahala surga yang dijanjikan Rasulullah, yang diucapkan tatkala melihat diri dan keluarganya tengah menanggung siksaan berat, sementara beliau Saw tak memiliki kekuatan apapun untuk menolong mereka.
Ibnu Sa’d juga meriwayatkan tentang kisah Ummu Syarik Ghaziyah binti Jabir yang masuk Islam bersama suaminya. Setelah suaminya hijrah bersama Abu Hurairah dan sekumpulan orang dari kaumnya, maka dia didatangi beberapa orang dari keluarga suaminya Abul Akar, lalu mereka bertanya apakah dia berada pada agama suaminya? Ketika dia menyatakan keislamannya, mereka bersumpah akan menimpakan siksaan yang keras kepadanya. Mereka membawanya keluar kampung dan menaikannya ke atas punggung hewan yang paling buruk dan paling kasar. Mereka memberinya makan roti dan madu tanpa memberinya minuman setegukpun, membiarkannya dibakar terik matahari selama 3 hari, sampai-sampai akalnya menjadi kacau, tidak dapat mendengar dan melihat. Pada hari ketiga mereka meminta agar dia meninggalkan agamanya. Akan tetapi, tidak ada yang dilakukannya kecuali hanya memberi isyarat dengan jari telunjuknya yang tertuju ke atas yang menggambarkan tauhidullah.
Mush’ab bin Umair ra juga termasuk sosok pecinta sejati. Dia adalah seorang yang pernah dikatakan oleh Rasulullah dengan sabdanya: “Sungguh aku melihat Mush’ab ini sebagai pemuda yang tidak ada duanya di kota Makkah dalam hal memperoleh kesenangan dari orangtuanya, namun ditinggalkannya semua itu karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Hakekat Iman dan Cinta
Kisah-kisah di atas sesungguhnya merupakan sekelumit dari gambaran cinta sejati yang dimiliki para sahabat/sahabiyat Rasul Saw. Yakni gambaran cinta yang hanya mungkin terlahir dari keimanan yang benar dan tinggi. Keimanan yang mampu menggerakkan, mempengaruhi dan mendorong seseorang/umat untuk menjadikan keridhaan Allah dan RasulNya serta kemuliaan Islam sebagai tujuan tertinggi. Keimanan yang menjadikan dunia dan seisinya menjadi hina di matanya; kehebatan dan makar orang-orang kafir menjadi kecil di hadapannya; segala kesulitan menjadi mudah karenanya; dan menjadikan seseorang akan sanggup menahan derita dan gangguan dalam berjuang dijalan Allah demi meraih surgaNya. Keimanan ini pula yang senantiasa membuat umat ini yakin, bahwa keberadaan mereka di dunia hanyalah untuk Islam, dan bahwa kemuliaan hidup dan kemenangan juga hanya ada pada dan untuk Islam.
Kedahsyatan cinta seperti ini sesungguhnya bisa menjadi milik siapapun, manakala keimanan yang benar tertancap kuat dalam dirinya. Keimanan dimaksud tak lain adalah syahadah yang lurus. Karena syahadah hakekatnya merupakan ikrar/persaksian yang teguh yang mengandung dua tuntutan dasar pilar Islam, yakni memurnikan pengabdian kepada Allah (‘ubudiyyah) semata dan ketaatan pada Rasulullah Saw. Sehingga, tatkala seseorang mengucapkan syahadat tauhid ( ), sesungguhnya dia tengah mengazzamkan dalam dirinya dan menancapkan mafhum ’ubudiyah dalam benaknya, bahwa tidak ada yang layak dia sembah dan dia cintai kecuali Allah, Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna, Dzat tempat dia kembali dan Yang Akan Menghisabnya di akhirat nanti. Dan tatkala seseorang –pada saat yang bersamaan—bersyahadat dengan syahadat Rasul ( ), sesungguhnya dia juga tengah menyaksikan dan berjanji dengan sepenuh hati bahwa Muhammad adalah utusan Allah yang membawa wahyu untuk ditaati olehnya dan oleh seluruh umat manusia. Sehingga tak ada satu manusiapun yang layak diikuti dan dicintai, selain Muhammad Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, bagi seorang mu’min sejati, kecintaan kepada Allah dan Rasul akan (dan wajib) menjadi karakter yang terus melekat pada dirinya. Dimana keimanan dan kecintaannya tersebut akan senantiasa dia buktikan dalam bentuk ketaatan dan ketundukan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang dituntut oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya :
“..... Dan adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah ...” (TQS. Al-Baqarah [2]:165)
Sementara dalam sebuah hadits dari Anas ra, Rasul Saw bersabda :
“Tidak dikatakan beriman seseorang hingga diriku lebih dia cintai daripada dirinya sendiri, hartanya, keluarganya dan manusia seluruhnya” . (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”
(QS. Ali Imran[3]:31)
“Sesungguhnya perkataan orang-orang yang beriman, ketika dipanggil kepada Allah dan RasulNya agar Rasul menerapkan hukum (dengan syariat Islam) di antara mereka, mereka mengatakan : ‘Kami mendengar dan kami taat’. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”.
(QS. An-Nuur[24]:51)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim (penetap hukum) dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa[4]:65)
Pada tataran praktis, keimanan yang benar secara pasti akan senantiasa mengarahkan setiap mu’min agar terus berada dalam kehidupan yang lurus dan bersih. Karena keimanan ini paling tidak akan membuatnya memiliki kesadaran bahwa Allah SWT akan senantiasa bersama dan mengawasi dia (ma’iyyatullah/muraqabatullah) dimanapun dia berada. Pada dirinya akan melekat pula keyakinan bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Menepati Janji (Tsiqah bi wa’dillah), sehingga dia akan senantiasa optimis, percaya pada janji Allah, termasuk janji bahwa Allah akan memberi balasan bagi setiap amalan yang dilakukannya, baik ataupun buruk.
Oleh karenanya, dengan keimanan seperti ini seluruh sifat-sifat Allah akan senantiasa ‘melekat’ dalam kesadarannya. Demikian juga dengan pokok-pokok keimanan lainnya yang tertuang dalam al-Qur’an dan As-Sunnah akan senantiasa berpengaruh dalam kehidupannya; ketika dia berpikir dan bersikap. Sehingga, tatkala dia yakin misalnya bahwa Allah Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Sempurna, Maha Pemberi Rizki, Maha Mengetahui dan Maha Segalanya, maka dia akan tunduk pada seluruh perintah dan laranganNya, sekaligus bersegera melaksanakan ketundukan tesebut (mubādirah ila iltizāmi bisy-syar’i), sekalipun secara dzahir ketentuan-ketentuan Allah tadi bertentangan dengan keinginan dirinya atau bahkan bertentangan dengan kehendak manusia seluruhnya.Hal ini karena dia yakin bahwa seluruh hukum Allah pasti baik karena berasal dari Dzat Yang Maha Baik, pasti sempurna karena berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna, dan pasti benar karena berasal dari Dzat Yang Maha Benar. Demikian pula ketika pelaksanaan perintah Allah tersebut ternyata membawa resiko ‘buruk’ bagi dirinya, seperti ‘terputusnya’ jalan rizki, terasingnya dari manusia, dan lain sebagainya, maka dia akan tetap tegar menjalaninya karena selain yakin bahwa Allah Maha Pemberi Rizki, Maha Penyayang dan Maha Luas RahmatNya, dia juga yakin bahwa Allah Maha Keras SiksaanNya.
Dalam kehidupan para shahabat/shahabiyat ra, sikap bersegera dalam menjalani ketundukan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa, bahkan menjadi ciri/karakteristik kehidupan mereka. Banyak contoh yang menggambarkan hal tersebut, di antaranya :
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata : “Adalah aku memberi minum kaum (banyak orang) di rumah Abu Thalhah ra, dan khamar-khamr mereka pada saat itu adalah fadhih. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan seorang penyeru untuk menyampaikan, ‘Ketahuilah bahwa khamr telah diharamkan!’. Maka Abu Thalhah berkata padaku, ‘Keluarlah kamu dan tumpahkan khamr-khamr itu’. Maka akupun keluar dan menumpahkan khamr itu hingga mengalir di lorong-lorong Madinah” (HR. Bukhari)
Diriwayatkan oleh Muslim dari Anas ra, ia berkata “Ketika Rasululah dan para sahabatnya sampai di Badar dan pasukan Quraisy telah datang, Rasulullah bersabda, ‘Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi’. Lalu berkatalah ‘Umair bin Hammam al-Anshari, ‘Ya Rasulullah, surga yang seluas langit dan bumi?’. Beliau bersabda, ‘Ya!’. Berkatalah ‘Umair, ‘Wah..wah..wah!’. Rasulullah Saw kemudian bersabda lagi, ‘Apa yang membuatmu berkata wah, wah?’. Kata Umair, ‘Demi Allah ya Rasulullah, tidak lain karena aku berharap akan menjadi penghuninya’. Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya engkau termasuk ahli surga’. Maka mendengar hal itu Umair segera mengeluarkan sebagian korma yang masih ada di mulutnya dan memakan sisanya sambil berkata, ‘Jikalau aku masih hidup hingga kurma ini kutelan, itu kehidupan yang terlalu panjang bagiku’. Lalu dia melempar kormanya dan segera terjun berperang hingga dia terbunuh (syahid)”
Contoh lain tentang sikap bersegera dalam menjalani ketundukan ini juga ditunjukkan oleh para sahabiyat ketika turun perintah Allah untuk menutup aurat. Diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Semoga Allah merahmati para wanita Muhajirat, tatkala turun ayat ‘Dan hendaklah mereka mengulurkan khumur mereka ke atas dada mereka..”, mereka lalu merobek kain-kain sarung mereka dan mereka berkerudung dengannya”. Dalam riwayat lain beliau juga memuji wanita-wanita Anshar, ketika mereka mendengar ayat tersebut, mereka segera menutup kepalanya dengan apa yang mereka miliki, sehingga ketika keluar rumah mereka telah tertutup kepalanya dan berjalan dengan menundukkan pandangan seakan-akan di kepala mereka terdapat burung gagak.
Subhanallah!
Hakekat Iman, Ketundukan Secara Total
Nash-nash di atas dan banyak lagi nash yang lainnya sesungguhnya menggambarkan bahwa ketaatan yang dituntut syari’at sebagai konsekuensi iman dan cinta adalah ketaatan tanpa reserve dan total, dalam seluruh perkara apapun. Firman Allah Ta’ala :
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kāffah (keseluruhan)
dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. (TQS. Al-Baqarah[2]:208)
“Dan tidak patut bagi mu’min dan tidak patut pula bagi mu’minat, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan satu keputuskan (hukum) akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata”.
(TQS. Al-Ahzab[33]:36)
Persoalannya adalah, saat ini telah terjadi kesamaran pada diri umat akan hakekat syariat/ketetapan Allah dan RasulNya. Sehingga gambaran ketundukan yang menjadi konsekuensi iman tadi pun hanya terbatas pada ketundukan dalam aturan-aturan ibadah dan akhlak saja. Sementara dalam bermu’amalah dan aspek-aspek kehidupan yang lain kaum muslimin terlepas dari syari’at. Mereka menyangka bahwa Islam tak beda dengan ajaran lain yang syariatnya hanya mengajarkan aspek moral dan ibadah mahdhah semata.
Karena itu, tak heran jika di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini berbagai kemaksiatan merajalela; praktek riba, korupsi, perjudian, perjinahan/pergaulan bebas, dan lain-lain. Bahkan cara berpikir umatpun sudah teracuni oleh pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan aqidah Islam dan syariatnya. Akibatnya, dalam konteks individu, kita akan melihat pribadi-pribadi muslim yang memiliki kepribadian pecah (split personality); sholat tapi mencuri uang rakyat, menutup aurat tapi pacaran, berzakat tapi menyukai harta riba, atau ahli ibadah tetapi meyakini dan menyerukan ide-ide kufur, dan lain sebagainya. Sementara itu, dalam konteks ummat, kaum muslim tak lagi memiliki ‘izzah, tunduk pada orang kafir dan kekufuran, sehingga wajar jika ummat terjauhkan dari kemuliaan hidup yang sesungguhnya dijamin oleh pelaksanaan syari’at. Karena syari’at Islam hakekatnya diturunkan oleh Allah untuk menjamin kemuliaan hidup, sejalan dengan keberadaannya sebagai rahmatan lil ‘ālamīn.
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad)
melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (TQS. Al-Anbiya[21]:107)
Oleh karenanya, perlu dijelaskan, bahwa Islam merupakan sistem hidup, yang tidak hanya mengajarkan aspek aqidah, ibadah dan moral semata. Islam adalah din yang sempurna yang aqidahnya merupakan aqidah ruhiyah sekaligus aqidah siyasiyah, dan syari’atnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari (1) hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, yang tercakup dalam masalah aqidah dan ibadah, (2) hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, yang tercakup dalam masalah akhlaq, pakaian, makanan dan minuman, serta (3) hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, yang tercakup dalam masalah mu’amalah (seperti sistem pergaulan, ekonomi, politik pemerintahan dalam dan luar negeri, dll) dan uqubat (sistem persanksian).
Pada semua hukum inilah setiap mu’min diwajibkan tunduk, bukan pada sebagian hukum saja. Bahkan Allah SWT mengancam kepada orang yang bersikap menentang Allah dan RasulNya, mengambil sebagian hukum dan meninggalkan sebagian yang lainnya dengan ancaman kenistaan dalam kehidupan di dunia dan di akhirat (Lihat QS. Al-Mujadilah : 5, Al-Baqarah : 85, Taha : 124). Dan sebaliknya Allah justru menjamin kehidupan yang baik jika kaum muslimin mau beramal shaleh dengan cara tunduk terhadap seluruh syari’atNya (QS. An-Nur:55, Al-Anfal : 24).
Khotimah
Inilah hakekat iman yang benar, keimanan yang melahirkan cinta dan ketundukan tanpa reserve dan total. Keimanan yang akan menuntun umat untuk senantiasa menyelaraskan cara berpikir dan bersikap mereka dengan ketetapan-ketetapan Islam, sehingga jadilah mereka sebagai umat yang berkepribadian unik, yakni umat yang berkepribadian Islam, yang hanya menjadikan keridhaan Allah sebagai tolok ukur kebahagiaan hakiki bagi diri mereka. Umat semacam inilah yang dijanjikan kemuliaan hidup didunia dan diakhirat sebagaimana yang diperoleh generasi sahabat Rasul, radiyallahu ‘anhum dan generasi shaleh setelahnya, yang terbukti mampu tampil menjadi umat terbaik, menjadi pionir peradaban dunia selama berabad-abad lamanya.
Sayangnya, inilah yang saat ini hilang dari sebagian besar kaum muslim. Keimanan yang ada dalam diri mereka saat ini tak lebih dari keimanan yang kering kerontang, yang tak mampu memunculkan gejolak semangat untuk berkorban demi meraih keridhaan Allah dan RasulNya. Keimanan kaum muslim saat ini, telah kehilangan gambaran tentang hakekat kehidupan dunia yang fana, kekekalan kampung akhirat, adanya yaumil hisab, pedihnya jahannam, kenikmatan surga, dan lain-lain. Sehingga akhirnya orientasi kehidupan mereka kini tak lagi ‘mengarah ke langit’, tetapi justru fokus terhadap apa yang ada di muka bumi. Kelemahan aqidah inilah yang menyebabkan kaum muslim saat ini kian kehilangan kemuliaannya, seiring dengan tercampaknya aturan-aturan Allah di muka bumi dan kian kuatnya dominasi kekufuran atas mereka.
Karena itulah, kenapa penting bagi kita untuk segera menyebarkan kembali kesadaran tentang hakekat iman dan syariat yang sesungguhnya, hingga umat akan kembali memiliki kekuatan untuk bangkit dengan kebangkitan yang shahih, yakni kebangkitan yang tegak di atas landasan aqidah Islam, kebangkitan yang lahir dari ketundukan dan cinta sejati. Proses ini memang tidak mudah, tetapi yakin bisa dilakukan sepanjang kita konsisten dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw dan para sahabat tatkala mereka melakukan proses perubahan. Tinggal apakah kita mau mimukul ‘pekerjaan besar’ dan menempuh jalan ‘sulit dan panjang’ tapi menjanjikan kemuliaan ini??
Wallahu a’lam bish-shawwab.
------
Belum ada tanggapan untuk "Cinta Hakiki"
Posting Komentar