Kata PengantarMunculnya isu ‘kebangkitan perempuan’ senyatanya telah memberi efek bius yang sangat kuat di dunia Islam yang secara umum memang berada dalam kondisi terpuruk. Salah satunya nampak ketika para Muslimah begitu antusias merespon kehadiran ide-ide feministik ini di tengah-tengah mereka. Bahkan sebagian besar dari mereka percaya, bahwa feminismelah jawaban bagi seluruh persoalan yang dihadapi kaum perempuan. Lemahnya pemahaman mereka akan Islam, yang sekaligus merepresentasikan kenyataan begitu jauhnya kaum Muslim dari gambaran ideal masyarakat Islam, telah memalingkan para Muslimah dari perjuangan menerapkan aturan Islam --yang sangat memuliakan perempuan-- kepada perjuangan menerapkan aturan-aturan kufur yang terlahir dari pemikiran-pemikiran sekularistik yang bertentangan dengan Islam.
Yang menjadi persoalan sesungguhnya bukanlah sekedar bahwa feminisme berasal dari Barat. Akan tetapi yang terpenting bahwa disamping kehadiran ide-ide sekuler seperti ini bertentangan secara diametral dengan aqidah dan sistem hidup Islam, juga karena dalam tataran praksisnya, ide-ide dan aturan-aturan yang ditawarkan feminisme hanyalah menyisakan banyak persoalan yang tak kunjung usai. Realitas seperti ini sesungguhnya sangat mudah dimengerti jika mengingat bahwa secara konsep, feminisme memang sangat prematur. Disamping karena paradigma berpikir yang dipakainya sangat rusak dan rancu, feminisme juga tak pernah mampu menjelaskan hakekat posisi wanita, hak-hak dan kontribusinya dalam berbagai kancah kehidupan dengan penjelasan yang jernih dan mendasar. Ironisnya, dengan patron yang tak jelas inilah kaum Muslimah justru ingin membangun berbagai interaksi di tengah-tengah masyarakat. Padahal, Islam sebagai dîn yang purna dan utuh (kâmilan dan syâmilan) telah memberi tuntunan yang jelas dan rinci mengenai hakekat peran dan fungsi mereka dalam seluruh aspek kehidupan dengan sudut pandang yang menyeluruh dan mendasar.
Disinilah sebenarnya letak urgensi mengapa buku ini ditulis. Yakni hendak memaparkan hakekat kerusakan paradigma berpikir feministik yang kini terlanjur menjadi trend dan menjadi meanstream berpikir dan bertindak para muslimah dalam kehidupan mereka, disamping, juga ingin memaparkan bagaimana Islam memberi solusi tuntas atas seluruh problematika kehidupan manusia secara keseluruhan dengan (diantaranya) memberi aturan-aturan yang rinci mengenai peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat.
Tentu saja, penulis tak hendak menyangkal akan adanya unsur subyektivitas dalam tulisan ini, terutama dalam pembahasan mengenai analisis dan pensikapan penulis akan fakta-fakta yang berkaitan dengan feminisme. Dalam hal ini, penulis memang menggunakan kerangka berpikir Islam, karena penulis yakin bahwa hanya Islamlah ideologi yang absah dan layak memberi jawaban atas seluruh problematika kehidupan manusia tanpa kecuali. Hanya saja, terhadap fakta gagasan feminis dan penerapannya sendiri, penulis tetap berupaya bersikap seobjektif mungkin. Karena itulah, maka kajian atas gagasan-gagasan feminisme, terutama yang diklaim sebagai feminisme Islam, penulis sandarkan pada kajian atas berbagai literatur yang ditulis para inspiratornya secara langsung dengan mencantumkan kutipan-kutipannya dalam bentuk footnote.
Penulis berharap, agar tulisan ini bisa memperkuat kesadaran, bahwa hanya dengan Islam kaum Muslimah dan bahkan kaum Muslim secara keseluruhan akan meraih kembali kemuliaannya; Disamping membuka mata mereka, bahwa kehadiran ide-ide rusak seperti ini hanya akan menjadi pengukuh atas dominasi imperialis Barat di negeri-negeri kaum Muslimin. Karena tatkala kaum Muslim tak lagi meyakini kebenaran sistem hidup yang lahir dari aqidah Islam, dan lantas mereka campakkan sistem itu –meski hanya sedikit demi sedikit-- untuk kemudian berbondong-bondong mengusung sistem hidup sekularistik yang ditawarkan pihak asing, maka pada saat yang sama, berarti mereka telah menyerahkan seluruh kehidupan mereka untuk disetir dan didikte oleh pihak asing. Benarlah apa yang disabdakan Nabi Saw :
“Sungguh kalian (pada suatu hari) akan mengikuti jalan (cara hidup) bangsa-bangsa terdahulu, selangkah demi selangkah, sehasta demi sehasta, sampai-sampai ketika mereka masuk ke liang biawak, kalian mengikutinya”. Beberapa sahabat bertanya : “Apakah yang dimaksud adalah Yahudi dan Nasrani?”. Rasul SAW menjawab : “siapa lagi?”. (THR. Bukhori dari Abu Sa’id al-Khudri dan THR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra.). Padahal, dalam al-Qur’an al-Karim Allah SWT telah memperingatkan :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (TQS. Thaha (20) : 124)
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla berkenan menjadikan amal yang sedikit ini berarti bagi upaya da’wah meraih ‘izzul Islam wal Muslimin, disamping sekaligus mencatatnya sebagai amalan shalihan yang bermanfaat disaat penulis kembali ke haribaan-Nya yang Mulia nanti. Amin.
Bandung, September 2003
Rajab 1424 H
Pendahuluan : Sebagai Pengantar Dengan Nama Allah, Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dialah Allah, Dzat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa dîn yang haq (al-Islam), agar dimenangkan dîn itu atas dîn dîn yang lain, sekalipun orang kafir membenci. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan alam, Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta kaum mu’minin mu’minat yang senantiasa beriltizam di jalan da’wahnya serta shabar memikul bebannya; hingga ajal menjemput atau kemuliaan diraihnya.
Tak bisa dipungkiri, bahwa seluruh aspek kehidupan kaum Muslim saat ini sedang berada dalam kondisi yang terpuruk akibat rendahnya taraf berpikir mereka. Hal ini terutama terjadi sejak berlangsungnya perang pemikiran (ghazwu al-fikr) dan perang kebudayaan (ghazwu ats-tsaqafi) yang gencar dilancarkan Barat dan kafir musta’mir (kaum imperialis) lain sebagai pengganti perang fisik yang sebelumnya tidak menghasilkan kemenangan apapun buat mereka. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran Islam yang sebelumnya menuntun kaum Muslim dan membuat mereka mampu membangun sebuah peradaban yang gemilang dalam kurun yang sangat panjang, seolah-olah terkubur oleh pemikiran-pemikiran asing yang merasuk dalam benak mereka dan kemudian mengungkung sistem kehidupan mereka. Seolah-olah, pemikiran-pemikiran Islam hanyalah sebuah masa lalu yang tidak lagi layak untuk membangun masa depan peradaban umat manusia di tengah-tengah fakta pluralitas (kemajemukan) dan universalitas (globalisasi) kehidupan manusia modern.
Salah satu cara yang mereka gunakan dalam perang pemikiran tadi adalah dengan melontarkan berbagai gagasan, baik yang menohok Islam secara langsung, yakni dengan cara menampilkan ‘wajah buruk’ pemikiran-pemikiran Islam, maupun yang bersifat halus dan kompromistis untuk mengaburkan ide-ide Islam dan membentuk image bahwa Islam sangat elastis dan terbuka. Dan euphoria demokratisasi yang saat ini sedang hangat-hangatnya dinikmati oleh kaum Muslim di sebagian besar negeri Islam telah memberikan suasana yang kondusif bagi penyebaran gagasan-gagasan tersebut di tengah-tengah mereka, sehingga benar-benar menjadi bahan polemik, yang sebenarnya merupakan manifestasi dari fenomena ghazwu al-fikr dan ghazwu ats-tsaqafi seperti yang dikehendaki perancangnya. Tujuannya tidak lain adalah menjauhkan kaum Muslim dari pemahaman Islam yang murni, karena mereka menyadari, bahwa inti kekuatan kaum Muslim sebagai musuh utama peradaban mereka sesungguhnya terletak pada kekuatan dan kejernihan pemikiran-pemikirannya, baik dari sisi aqidah sebagai pemikiran pokoknya, maupun dari sisi syari’ah sebagai pemikiran cabangnya.
Kondisi ini kemudian diperburuk oleh ungkapan-ungkapan sebagian pemikir Islam ‘kontemporer’ yang --ada sebagian dari mereka-- jelas-jelas bertindak sebagai agen para penjajah, maupun mereka yang ‘ikhlas’ dan bersikap ‘husnudzan’ terhadap pihak Barat/asing. Mereka menyatakan, bahwa apa yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai fenomena ghazwu al-fikr tadi, sesungguhnya bukan merupakan kenyataan yang harus disikapi secara negatif, melainkan seharusnya menjadi sarana pendewasaan serta pengentalan ghirah dan persepsi keagamaan umat. Karena dalam kacamata mereka, selama ini semangat dan persepsi keagamaan mayoritas umat Islam lebih didasari oleh sentimen dan berbagai mitos, sehingga terkesan sangat kaku, letterlijk, simbolik dan bahkan khayali. Akibatnya –menurut mereka--, Islam dan kaum Muslim seolah menjadi sebuah ajaran dan komunitas yang sangat ekslusif dan anti perubahan, sekaligus anti pencerahan dan modernisasi, sehingga dianggap layak menyandang berbagai sebutan, seperti kelompok konservatif, skriptualis dan bahkan fundamentalis jika sudah mengarah pada upaya mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem. Sementara itu, ajaran Islam yang mereka baca terlalu ‘apa adanya’ secara pasti akan kehilangan keuniversalannya dan kemudian termarjinalisasikan sebagaimana filsafat usang yang ditinggalkan banyak orang. Dan hal ini menurut mereka tentu sangat kontraproduktif bagi masa depan Islam dan kaum Muslim, sehingga adanya rekonstruksi paradigma berpikir dalam beragama menjadi satu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam hal ini mereka kemudian menyebut gagasannya ini dengan istilah pembaharuan atau tajdid.
Munculnya diskursus tentang gagasan-gagasan feminisme di dunia Islam adalah salah satu bagian kecil dari fenomena ghazwu al-fikr yang melibatkan banyak pihak –tidak cuma kaum Muslimah- dari kurun yang satu ke kurun yang lain. Kenyataan bahwa kondisi kaum perempuan sangat buruk, termasuk di dalamnya perempuan Muslim serta adanya berbagai kendala ‘kultural’ yang dianggap mengungkung kehidupan perempuan telah mendorong para aktivis perempuan untuk melakukan berbagai analisa yang kemudian melahirkan isu-isu turunan semisal isu disparitas gender, kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan terutama di bidang politik dan lain lain, termasuk gagasan kalangan ‘pembaharu’ untuk melakukan rekonstruksi fiqih perempuan yang pada akhirnya hanya berfungsi sebagai alat legitimasi (cap stempel) bagi gerakan-gerakan tersebut. Yang akhirnya terjadi adalah, proses sekularisasi yang makin kukuh di satu sisi dan deideologisasi Islam di sisi yang lain. Akibatnya, kaum Muslim makin jauh dari pemikiran-pemikiran Islam yang jernih, dan pada saat yang sama berarti terjauhkan dari kehidupan yang bersih dan mulia.
Gagasan inilah yang sebenarnya ingin dicermati melalui tulisan ini. Seberapa absah sebenarnya gagasan-gagasan yang diusung feminisme, dan seberapa paten solusi-solusi yang ditawarkannya mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan yang sangat rusak ini. Sehingga nantinya kita punya alasan untuk mengatakan ya atau tidak terhadap gagasan-gagasan ini. Selebihnya, tulisan inipun akan menyorot kepurnaan ajaran Islam dibandingkan dengan ide-ide feminisme, sehingga akan banyak alasan pula bagi setiap Muslim yang mengimani aqidah Islam untuk tak berani berpikir suatu saat akan meninggalkan Islam dan justru berpaling kepada sistem hidup yang lain.
Wallahu a’lam.
Bagian Pertama :
Persoalan Perempuan Dalam Kacamata
Aktivis Perempuan
Oleh : Husnul KhotimahBenarkah Dunia Tak (Pernah) Memihak Pada Kaum Perempuan?
Hingga saat ini, belum ditemukan rumusan pasti mengenai apa yang sebenarnya menjadi inti dari persoalan perempuan. Akan tetapi, bahwa begitu banyak masalah yang dihadapi kaum perempuan, dan bahwa begitu kompleks permasalahan yang menimpa mereka, sudah menjadi realitas obyektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan (violence) dan ketidakadilan/diskriminasi, sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam prejudice di sebagian kalangan perempuan, bahwa “perempuan di jaman apapun memang tak pernah diuntungkan”.
Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti. Berbagai fakta seringkali dipakai sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung kehidupan kaum perempuan. Mengenai kemiskinan perempuan misalnya, laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 1996 menyebutkan bahwa 70 % dari 1,3 milyar penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Dan fakta tersebut tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia dilihat dari komposisi penduduk miskin yang ada. Selain itu, dilaporkan pula, bahwa sekitar 67 % dari total penduduk dunia yang buta huruf (sekitar 600 juta jiwa) juga dari kalangan perempuan. Sementara di Indonesia, perempuan menempati sekitar 70 % dari penduduk yang buta huruf.
Masalah kemiskinan perempuan bahkan beberapa kali diangkat sebagai topik utama pada Konferensi Wanita Dunia, diantaranya pada Konferensi Wanita Dunia ke-4 di Beijing Cina (1995), dimana implementasi platform aksinya dibicarakan dalam Konferensi berikutnya pada bulan Juni 2000 di New York Amerika. Pemilihan topik ini tidak lain dilatarbelakangi oleh adanya praanggapan bahwa perempuanlah yang paling berat memikul beban kemiskinan, sementara pada saat yang sama, mereka tidak dapat mengakses kesempatan ekonomi, pemilikan lahan dan hak-hak yang lainnya.
Masalah kekerasan yang disebut-sebut berbasis gender, juga masih menjadi persoalan besar yang dihadapi perempuan dunia, baik yang berbentuk kekerasan fisik seperti pemukulan dan penyiksaan; kekerasan emosional/psikologis seperti penghinaan dan pelecehan; kekerasan ekonomi seperti trafficking (perdagangan) perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual dan pornografisme; maupun kekerasan seksual seperti pemerkosaan, termasuk apa yang disebut sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape). Dan semua ini terus berlangsung dengan intensitas yang beragam, baik dalam skala individu, rumahtangga/keluarga, masyarakat maupun kekerasan oleh negara.
Sekalipun sulit diperoleh data pasti mengenai jumlah kasus tindak kekerasan yang dihadapi perempuan, namun diakui bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena gunung es, dimana data mengenai kasus-kasus yang muncul hanya merupakan gambaran kecil dari realitas sosial yang sebenarnya sedang terjadi. Hal ini terutama terkait dengan fakta, bahwa kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan umumnya merupakan kasus yang sangat sulit dideteksi oleh sistem yuridis formal yang ada (the dark number of crimes) mengingat hal tersebut umumnya terjadi di wilayah privat dan menyangkut rahasia keluarga yang harus dijaga secara ketat.
Hanya saja, ada beberapa hasil temuan yang dapat diambil sebagai gambaran kasar untuk mengetahui kuantitas dan kualitas kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan, diantaranya hasil angket The Body Shop yang menunjukkan, bahwa 9 dari 10 perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan, diskriminasi dan kekerasan. 8 dari 10 perempuan merasa tidak menjadi diri sendiri dan takut menikah, 6 dari 10 merasa dikekang oleh pasangannya dan 5 dari 10 responden mengaku tidak bahagia menjadi perempuan. Sementara itu, data lain menyebutkan, bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia mengaku mengalami tindak kekerasan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota keluarga sendiri. Kompas dalam suplemennya juga pernah memuat data, bahwa riset pemerintah Kanada menunjukkan, 1 dari 10 perempuan yang hidup dengan suami/pasangannya mengalami tindak kekerasan. Di Amerika Serikat, disebutkan, setiap tahun lebih dari 2 juta perempuan mengalami pemukulan. Sampai-sampai dikabarkan, bahwa 1/3 pasien UGD di sana adalah para perempuan korban tindak kekerasan.
Sementara itu, di Bangkok dilaporkan bahwa separuh kaum perempuan yang hidup di daerah kumuh dipukul secara reguler, sedangkan di Bangladesh, separuh pembunuhan yang terjadi justru dilakukan oleh suami terhadap isterinya sendiri. Di Indonesia sendiri, nampaknya kondisi ini tidak jauh berbeda. Bahkan, sekalipun hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan secara intens dan komprehensif untuk mengungkap hal ini, akan tetapi seperti dilaporkan oleh Rifka An-Nisa Women’s Crisis Center (RIFKA AN-NISA), di Indonesia kasus kekerasan terhadap perempuan tiap tahunnya cenderung terus meningkat, dimana kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada skala rumahtangga (domestic violence) selalu menduduki ranking pertama setelah tindak kekerasan lain, seperti kekerasan dalam pacaran, kehamilan tidak dikehendaki, perkosaan dan pelecehan seksual . Dan maraknya kasus kekerasan dalam rumahtangga (KDRT) ini disebut-sebut sebagai puncak penderitaan kaum perempuan, mengingat perempuan tak lagi memiliki tempat yang aman untuk dirinya sendiri.
Istilah ‘living with enemy’ pun lantas menjadi sebuah realitas.
Tentu saja, daftar kekerasan yang dialami perempuan dipastikan akan semakin panjang jika sudah dikaitkan dengan tindak kekerasan yang dilakukan secara sistemis dan strategis oleh suatu kelompok tertentu atau sebagai ekses kebijakan publik yang diterapkan oleh negara. Trafficking (perdagangan) perempuan yang kian marak akhir-akhir ini, ditengarai melibatkan sebuah sindikat internasional yang kekuatannya telah menggurita hingga menjangkau pelosok-pelosok negeri. Jurnal Perempuan , bahkan secara khusus pernah mengangkat kasus ini sebagai laporan utamanya. Disebutkan, bahwa di Indonesia saja, kasus perdagangan anak dan perempuan sudah mencapai tingkat yang mengerikan. Ibarat gunung es, dalam banyak hal kasus-kasus seperti ini memang masih merupakan dark number, namun demikian diyakini jumlahnya makin meningkat belakangan ini, bahkan diperkirakan melibatkan ratusan ribu orang. Situasi krisis yang tak kunjung usai, kesempatan kerja di dalam negeri yang relatif terbatas dan tawaran kerja sebagai TKW di luar negeri yang menggiurkan, serta meluasnya konflik di sejumlah daerah, bukan hanya menebarkan penderitaan dan melahirkan gelombang pengungsi ke luar wilayah yang tengah bersengketa, tetapi juga menyebabkan anak-anak dan kalangan perempuan menjadi korban situasi dan rawan diperlakukan dengan tidak benar. Kasus DOM di Aceh, pertikaian antar etnis dan agama di Ambon, peristiwa Mei 1998 di Jakarta, konflik berdarah di Bosnia dan Palestina, dan banyak peristiwa lainnya, juga menjadi contoh fakta yang makin memperdalam luka di tubuh perempuan dunia.
Disamping masalah kemiskinan dan kekerasan, persoalan diskriminasipun masih menjadi isu pokok dalam perbincangan seputar persoalan perempuan. Diskriminasi ini ditengarai terjadi di hampir semua aspek kehidupan, baik budaya, sosial, ekonomi maupun politik. Dalam aspek budaya, keberadaan kultur yang membatasi peran perempuan di sektor publik dan sekaligus ‘memaksakan’ perempuan untuk merasa puas berkutat di lingkungan dapur, kasur dan sumur dianggap merupakan bentuk diskriminasi terselubung terhadap perempuan. Bahkan, kalangan feminis radikal sampai menganggap bahwa lembaga perkawinan sesungguhnya merupakan alat penindasan atas perempuan.
Di bidang sosial, disebut-sebut bahwa diskriminasi dialami perempuan antara lain di bidang layanan kesehatan (terutama terkait dengan kesehatan reproduksi) dan kesempatan pendidikan. United Nations Population Fund (UNPF) pada tanggal 22 September 1999 pernah mengeluarkan laporan kualitatif yang menyebutkan, bahwa meski telah ada kemajuan, namun masih banyak perempuan yang tidak tersentuh pendidikan, kontrasespsi dan pelayanan kesehatan yang memadai .
Sementara itu, di sektor ekonomi, diskriminasi nampak ketika perempuan dibatasi pada pekerjaan stereotype yang biasanya memberikan imbalan jasa yang rendah, atau adanya konsentrasi tenaga kerja perempuan di sektor informal sebagai pekerja keluarga yang tidak diupah. Ketikapun kaum perempuan bisa terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan formal, maka isu mengenai diskriminasi tingkat upah dan peluang karir juga menjadi hal yang mengemuka. Untuk masalah upah misalnya, tanpa alasan jelas pekerja perempuan ‘dipaksa’ harus merasa puas menerima upah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah yang diterima laki-laki, (untuk kasus Indonesia yakni hanya 65-70 % dari upah laki-laki) padahal tingkat produktivitas dan jam kerja antara keduanya sama. Sedangkan secara makro, ketimpangan ekonomi ini nampak pengaruhnya pada tingkat perolehan penghasilan perempuan yang hanya mencapai 25,3% dari total penghasilan yang diterima tenaga kerja, sementara diskriminasi peluang karir terwakili oleh gambaran penempatan posisi administrator dan manajer perempuan yang hanya sebesar 6,6 % dari total tenaga kerja yang menempati posisi-posisi tersebut .
Dalam aspek politis, persoalan diskriminasi sering diarahkan pada masalah minimnya kesempatan bagi perempuan untuk duduk dalam posisi strategis di pemerintahan, parlemen, parpol, ormas, maupun organisasi publik lain. Sebagai contoh, persentase perempuan yang duduk di parlemen di Jepang hanya sebesar 6,7 % dan 3,7 % di Singapura. Di Amerika hanya 10,3 %. Sedangkan di Indonesia kondisinya masih lebih baik dari negara-negara yang baru saja disebut, yaitu 12,2 %. Pada tataran selanjutnya, persoalan diskriminasi peran politik perempuan inilah yang seringkali muncul ke permukaan dan menjadi topik yang paling hangat dibicarakan. Bahkan, bisa dikatakan isu ini menjadi isu strategis yang saat ini menjadi agenda pokok perjuangan para pembela hak-hak perempuan dimanapun.
‘Ala kulli hal, inilah gambaran ‘suram’ potret nasib perempuan yang kian terdramatisir oleh penisbatan berbagai istilah ‘persoalan perempuan’. Kemiskinan, kekerasan dan diskriminasi seolah menjadi lekat dalam setiap perbincangan mengenai perempuan. Sampai-sampai muncul kesan bahwa persoalan-persoalan tadi memang hanya mutlak menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Padahal, sedramatis itukah, sehingga layak disimpulkan bahwa dunia benar-benar tak pernah memihak pada perempuan ?
Persoalan Perempuan di Balik Kemunculan Gerakan Feminisme Diakui, bahwa banyaknya persoalan perempuan memang telah memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan. Simpati ini kemudian terkristal menjadi sebuah ‘kesadaran’ untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metoda tertentu. Gerakan ‘kesadaran’ inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah feminisme.
Dalam hal ini, gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian tersebut. Oleh karenanya, feminisme sering pula didefinisikan sebagai suatu ‘kesadaran’ akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan yang terjadi baik dalam keluarga, di tempat kerja maupun di masyarakat, serta adanya tindakan sadar oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut. Dengan demikian menurut definisi ini, seseorang yang mengenali adanya diskriminasi atas dasar jenis kelamin, serta dominasi laki-laki dan sistem patriarki, lalu dia sekaligus melakukan suatu tindakan untuk menentangnya, maka dia dikatakan sebagai seorang feminis.
Hanya saja, sebagaimana ide maupun gerakan yang lain, feminisme sesungguhnya bukan merupakan pemikiran atau aliran yang tunggal, melainkan terdiri atas berbagai ideologi, paradigma serta teori yang dipakai oleh mereka masing-masing. Inilah yang menyebabkan mengapa antar kelompok feminis yang satu dengan kelompok yang lain memiliki kesimpulan analisis yang berbeda terhadap apa yang sebenarnya menjadi akar dari persoalan perempuan, yang kemudian berimplikasi pada munculnya perbedaan ‘orientasi gerak’ dalam menyelesaikan persoalan perempuan. Hanya saja, sekalipun gerakan feminis datang dengan analisis dan dari ideologi yang berbeda-beda, umumnya mereka mempunyai kesamaan kepedulian, yakni memperjuangkan nasib perempuan.
Dari sisi sejarah, bisa dikatakan bahwa ide feminisme ini awalnya lahir akibat rasa ‘frustasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah (Barat) yang dianggap tidak memihak pada kaum perempuan. Sebagaimana diketahui, dalam masyarakat feodalis (Eropa hingga abad ke-18), dominasi mitologi filsafatis dan teologi gereja yang cenderung sarat dengan pelecehan feminitas, secara struktur dan kultur telah menempatkan perempuan pada posisi yang sangat rendah; tak lebih dari sumber godaan dan kejahatan; tak memiliki hak dan terpinggirkan. Ketika revolusi ilmu pengetahuan (renaissance) -yang berintikan semangat pemberontakan terhadap dominasi gereja- terjadi, sejalan dengan kontak intelektual mereka dengan peradaban Islam, lahirlah paham liberalisme sekularistik, yang kemudian memunculkan berbagai ide turunan semisal ide tentang HAM (natural right). Ide yang diklaim sebagai pemikiran John Lock ini menyatakan, bahwa manusia pada dasarnya terlahir dengan membawa berbagai hak asasi masing-masing; untuk hidup, mendapatkan kebebasan dan hak untuk mencari kebahagiaan.
Berkembangnya ide-ide seperti inilah yang pada akhirnya memicu terjadinya revolusi Perancis (akhir abad ke-18) yang hakekatnya merupakan respon klimaks terhadap dominasi sistem feodalistik yang cenderung korup dan menindas rakyat dibawah legitimasi gereja. Revolusi yang pada intinya merupakan proses liberalisasi dan demokratisasi sistem kehidupan ini, ternyata tidak hanya berpengaruh pada aspek sosial politik saja yakni berubahnya sistem feodalisme menjadi sistem kapitalisme sekularistik, tetapi juga ikut menginspirasi bangkitnya ‘kesadaran eksistensial’ kaum perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Pada tahap awal, isu perjuangan yang mereka angkat adalah persamaan hak untuk memilih, karena pada saat itu kaum perempuan disamakan kedudukannya dengan anak-anak di bawah umur yang tidak boleh mengikuti pemilu. Kemudian pada tahun 1848, sekitar 100 orang yang sebagian besarnya kaum perempuan berkumpul di Seneca Falls, New York seraya mengucapkan sebuah deklarasi (yakni Declaration of Sentiments) yang berisikan 15 protes mengenai nasib perempuan, mulai dari masalah perkawinan yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga, masalah hak perempuan terhadap kepemilikan properti, hingga masalah sosial dan politik seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi dan hukum.
Inilah awal gerakan feminisme liberalis-individualis yang percaya, bahwa akar persoalan perempuan adalah keterbelakangan dan ketidakmampuan kaum perempuan bersaing dengan laki-laki akibat kebodohan dan sikap irrasional mereka sendiri yang berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional mereka (domain privat) . Menurut aliran ini, kebebasan (freedom) dan keadilan (equality) sesungguhnya berakar pada rasionalitas dan bahwa perempuan pada dasarnya adalah makhluk yang rasional juga. Sehingga jika kaum perempuan terbelakang atau tertinggal, itu adalah akibat kesalahan mereka sendiri. Itulah mengapa aliran ini mengarahkan orientasi geraknya pada upaya-upaya mempersiapkan kaum perempuan -baik melalui peningkatan taraf pendidikan, maupun melalui intervensi berbagai kebijakan/undang-undang- agar perempuan bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas, sekaligus melibatkan mereka dalam proses industrialisasi dan pembangunan (sebagai domain publik), karena mereka yakin, bahwa partisipasi perempuan dalam proses produksi berkorelasi positif dengan status perempuan. Artinya bagi mereka, industrialisasi dan pembangunanlah jalan terbaik untuk mengangkat status perempuan, sekaligus yang akan memperkecil akibat ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Merekapun percaya, bahwa agar persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang oleh dasar hukum yang kuat, sehingga mereka juga memfokuskan perjuangannya pada perubahan undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriarkat.
Salah satu pelopor gerakan ini adalah Mary Wollstonecraft (Inggeris) yang menulis A Vindication of the Rights of Women pada tahun 1792. Dialah yang pertama kali mengkritik dikotomi publik dan privat. Menurutnya, dalam masyarakat kontemporer pertumbuhan kapitalisme dan peraturan-peraturan dalam sebuah negara telah menimbulkan kebingungan dalam bentuk dikotomi antara ruang publik dan privat. Kemunculan ekonomi pasar sebagai tanda awal kapitalisme pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas amat menganggap penting pemisahan antara publik dan privat, dimana kehidupan publik dianggap berhubungan dengan urusan dan layanan yang diberikan negara serta menyediakan hak-hak bagi laki-laki dan tidak bagi perempuan. Padahal hanya sedikit laki-laki yang berperan dalam ruang publik. Oleh karena itu, menurutnya menyingkirkan peran perempuan dari ruang publik akan menyuburkan dominasi terhadap perempuan.
Pada perkembangan berikutnya perubahan sosial yang terjadi di Eropa pada abad 18 ini, yakni ketika sistem feodalisme yang diperkukuh oleh teologi gereja digantikan oleh sistem kapitalisme, ternyata tidak serta-merta mengubah kondisi kaum perempuan, yang sejak semula memang tertindas dan tidak lebih dari warga kelas dua. Bahkan, ketika kapitalisme mampu menancapkan kukunya dan menjadikan proses industrialisasi sebagai penyangga utama eksistensinya, nasib kaum perempuan justru makin terpuruk.
Ini karena, kebijakan pembangunan kapitalistik yang menekankan pada proses industrialisasi ini justru telah memberikan ‘pengabsahan’ kepada kelompok minoritas borjuis (para kapitalis) yang menguasai aset-aset ekonomi untuk menindas dan memeras keringat kaum buruh dan masyarakat kelas bawah yang sebenarnya merupakan kelompok mayoritas. Sistem ini juga telah memberikan peluang yang besar kepada kaum borjuis untuk menyetir berbagai kebijakan yang dihasilkan oleh struktur kekuasaan demi kepentingan bisnis mereka. Akibatnya, fenomena kemiskinan menjadi pemandangan merata yang menimpa mayoritas masyarakat Barat, yang kemudian melahirkan ideologi dan gerakan ‘perlawanan’ terhadap sistem kapitalisme, yang kemudian kita kenal dengan ideologi dan gerakan sosialisme/marxisme (abad ke-19). Gerakan ini selanjutnya dikenal pula sebagai gerakan pembebasan kelompok tertindas (kaum proletar) yang sekaligus menginspirasi lahirnya feminisme jenis baru, yakni feminisme sosialis/marxis, karena ternyata sebagian melihat bahwa kondisi buruk akibat penerapan sistem kapitalisme juga dialami kaum perempuan. Bahkan dalam banyak hal, kaum perempuan justru ‘lebih menderita’ dari kaum laki-laki akibat kemiskinan struktural yang terjadi yang mengharuskan mereka ‘terpaksa’ ikut berperan dalam menopang kehidupan ekonomi keluarga, sementara pada saat yang sama mereka tetap harus berperan dalam sektor domestiknya.
Dalam hal ini, gerakan feminisme inipun menggunakan paradigma ideologi pembebasan yang diadopsi dari teori praksis marxisme, yang pada intinya merupakan teori penyadaran pada kelompok tertindas, termasuk kaum perempuan. Yakni bahwa penindasan kaum perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan poduksi, sehingga persoalan perempuan (menurut mereka) harus selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme . Marx melihat, bahwa kedudukan kaum perempuan identik dengan kaum proletar pada masyarakat Kapitalis Barat, dimana adanya lembaga perkawinan menjadi alat legitimasi bagi kaum laki-laki untuk menjadikan sang isteri sebagai ‘milik pribadi’. Di sisi lain, karena secara kultural perempuan sudah terplot untuk menempati posisi ranah domestik yang tidak menghasilkan sesuatu yang bersifat materi, maka inipun makin memperkuat posisi perempuan sebagai milik pribadi suaminya, dimana dia terlibat ‘hubungan kerja’ secara seksual dengan suaminya. Padahal menurutnya, konsep kepemilikan pribadi dan hubungan produksi ala buruh dan borjuis ini merupakan cikal bakal munculnya sistem patriarkat (seperti konsep suami sebagai kepala rumah tangga, pencari nafkah, dan lain-lain) yang cenderung akan memunculkan berbagai bentuk penindasan atas perempuan.
Selanjutnya menurut Marx, kaum perempuan akan terbebas dari penindasan ini apabila sistem masyarakat kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas. Untuk mencapai masyarakat sosialis ini, maka harus dimulai dari lingkup keluarga, dimana para istri harus dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi dirinya sendiri, bukan milik suaminya. Kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta, maka ini akan tercermin pula pada kehidupan sosial.
Paradigma inilah yang kemudian diterjemahkan oleh gerakan feminisme sosialis/marxis sebagai visi perjuangannya, yakni melakukan proses ‘penyadaran’ kepada kaum perempuan, bahwa mereka adalah kelompok tertindas oleh sistem kapitalis yang patriarkat, dan karenanya mereka harus membebaskan diri dari dominasi sistem ini. Adapun yang menjadi titik awal perjuangan mereka adalah membebaskan diri dari kungkungan ranah domestik yang selama ini telah memperbudak mereka dengan cara mendorong kaum perempuan untuk berkiprah seluas-luasnya di sektor publik yang akan membuatnya ‘produktif’ (menghasilkan materi/uang) dan pada akhirnya memiliki posisi tawar yang tinggi atau minimal sepadan dengan laki-laki. Selanjutnya mengupayakan agar kaum perempuan ikut melibatkan diri dengan gerakan sosialis-marxis untuk mempercepat proses perubahan sosial membentuk masyarakat tanpa kelas melalui persiapan sebuah revolusi.
Pada tataran selanjutnya, seiring dengan berkembangnya falsafah materialisme yang melahirkan gaya hidup konsumtif, serta makin terbukanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan, maka aktivitas kaum perempuan dalam bidang ekonomi tidak lagi hanya didorong oleh faktor keterpaksaan. Bahkan kemudian, kaum perempuan ini ‘menikmati’ kondisi yang ada dan menjadikannya sebagai sebuah keharusan. Mereka beralasan, ketergantungan kaum perempuan selama ini (secara ekonomi) kepada para suami mereka merupakan salah satu faktor penyebab munculnya penindasan dan ketidakadilan sistemik yang dialami oleh kaum perempuan.
Hanya saja, pada tataran praktis, kaum perempuan dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka masih terikat dengan tanggungjawab mengurus keluarga. Oleh karena itu, mereka mulai memandang kondisi ini sebagai sebuah ‘ketimpangan yang harus diluruskan’. Dalam hal ini, perspektif yang mereka gunakan adalah perspektif gender yang dihubungkan dengan perbedaan jenis kelamin biologis. Mereka berpendapat, bahwa ketidakadilan gender sesungguhnya bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan yang termanifestasi dalam instritusi keluarga, dimana istri terplot dengan peran kehamilan dan keibuan ‘hanya karena’ dia punya rahim, sementara laki-laki sebaliknya. Oleh karenanya, bagi kelompok ini, keberadaan kaum laki-laki secara biologis dan politis pada dasarnya merupakan bagian dari permasalahan, sehingga perjuangan feminis tidak boleh berhenti pada penghapusan keistimewaan hak berdasarkan jenis kelamin laki-laki saja, akan tetapi justru harus memperjuangkan perubahan dalam perbedaan jenis kelamin biologis itu sendiri. Caranya tidak lain dengan mengajak kaum perempuan untuk bisa hidup mandiri dan ‘mengenyahkan’ keberadaan laki-laki dalam kehidupan mereka, termasuk menyerang dan menolak keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarkat yang dalam pandangan mereka merupakan simbol dominasi kaum laki-laki atas perempuan.
Inilah cikal-bakal munculnya ide dan gerakan feminisme radikal yang dikenal dengan gerakan Women’s lib. Gerakan ini berkembang di Amerika Serikat pada awal akhir abad 20-an. Pada tahun 1970, gerakan ini pernah menerbitkan sebuah Notes from the Second Sex yang didalamnya berisi Manifesto Feminisme Radikal yang antara lain menyatakan, bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama para feminis radikal adalah menolak institusi keluarga, baik dalam tataran teori maupun praktis . Sebagai alternatifnya, mereka kemudian dengan gigih mempropagandakan kehidupan lesbian, un-wed (melajang), freesex , teknologi kloning serta inseminasi buatan ke tengah-tengah masyarakat.
Gerakan ini awalnya diilhami oleh pemikiran Betty Friedan yang tertuang dalam buku berjudul The Feminine Mystique yang menguraikan kehidupan ‘menyedihkan’ kaum wanita Amerika yang dituntut untuk memenuhi perannya hanya melalui pemenuhan kebutuhan suami dan anak-anaknya . Dalam bukunya dia juga mengatakan, bahwa peran tradisional perempuan sebagai ibu rumahtangga tersebut merupakan faktor utama yang menyebabkan kaum perempuan tidak berkembang kepribadiannya. Oleh karena itu, menurutnya kaum perempuan tidak harus kawin dan memiliki anak, dan mereka dapat mengembangkan diri menjadi apa saja seperti yang dilakukan laki-laki.
Setelah itu, muncul buku-buku lain yang ditulis para tokoh feminis yang memberi dorongan kepada kaum perempuan untuk membebaskan diri dari kewajiban rumah tangga yang dianggap beban dan mensubordinasikan perempuan. Diantaranya adalah buku The Second Sex karya Simone de Beauvoir (1953/1973) yang memuat anjuran penulis agar kaum perempuan tidak menikah jika ingin maju dalam karirnya. Selain itu ada buku Woman’s Estate karya Juliet Mitcher (1971) yang didalamnya membahas bahwa perempuan yang tinggal di rumah adalah The most oppressed of all people (orang yang paling tertindas), serta buku Sexual Politics karya Millett yang didalamnya digambarkan bahwa ibu rumahtangga sama dengan budak (motherhood is slavery) dan bahwa institusi keluarga adalah lembaga setan tua (old age evil).
Inilah sebenarnya latar belakang kemunculan ide dan beberapa gerakan feminisme di Eropa dan Amerika, yang sekalipun banyak mengundang kontroversi, hingga saat ini terus berkembang dalam berbagai aliran dan bentuk. Apalagi, sejak PBB mengangkat isu perempuan menjadi isu global, yakni dengan mencanangkan dasawarsa satu untuk perempuan pada tahun 1975-1985, isu-isu keperempuanan makin mewabah dalam berbagai forum; baik di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal. Dalam hal ini, PBB, di bawah kendali Amerika Serikat jelas berperan besar dalam ‘menularkan’ isu-isu tersebut, tak terkecuali di dunia Islam, baik melalui forum dunia yang khusus membahas masalah perempuan -seperti pada Konferensi Wanita Dunia di Meksiko (1975), Kopenhagen (1980), Nairobi (1985), dan Beijing (1995), maupun melalui forum tingkat dunia seperti Konferensi Hak Asasi Manusia (HAM), KTT Bumi ataupun Konferensi Kependudukan.
Bagian kedua :
Menguak Kerangka Berpikir Feminisme
Oleh : Husnul Khotimah
Isu Disparitas Gender Sebagai Kambing Hitam
Sekalipun sebelumnya dikatakan, bahwa feminisme lahir dalam berbagai ragam dan bentuk, saat ini ada semacam konklusi umum di sebagian besar kalangan feminis, bahwa sumber dari semua persoalan perempuan adalah dominasi kebudayaan patriarki. Budaya patriarki adalah tatanan nilai-nilai yang dianut dan dikukuhi suatu masyarakat yang menempatkan relasi kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan secara timpang, yakni berdasarkan konsep superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan, yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Budaya patriarki ini bisa terjadi di lingkungan keluarga, masyarakat maupun dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan.
Terminologi yang lebih familiar dipakai oleh para feminis untuk menyebut kondisi ini adalah ketimpangan, ketidakadilan atau disparitas yang berbasis gender. Mengapa gender ? Karena persoalan gender inilah yang mereka anggap sebagai biang keladi merebaknya berbagai stereotype (pelabelan negatif), marginalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi, dan kekerasan atas perempuan, sekaligus menjadi asas terbangunnya mekanisme kontrol patriarkal di dalam masyarakat. Munculnya pembatasan wilayah publik-privat yang berujung pada ketidakseimbangan peran laki-laki dan perempuan, serta pada akhirnya menyebabkan ruang gerak kaum perempuan terhambat di semua bidang kehidupan, juga dianggap merupakan konsekuensi logis dari adanya isu disparitas gender ini.
Mengenai istilah gender sendiri, secara definitif, kaum feminis mengartikannya sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Oleh karenanya, gender juga sering disebut sebagai jenis kelamin sosial. Dalam hal ini, kalangan feminis senantiasa menekankan perlunya membedakan antara konsep gender dengan konsep jenis kelamin (seks), dimana seks lebih menunjuk pada pensifatan atau pengelompokan jenis secara biologis, sementara gender lebih menunjuk pada pensifatan secara sosial dan budaya.
Dengan pembedaan tersebut, kalangan feminis ingin meyakinkan, bahwa sifat-sifat yang berdasarkan seks memang akan melekat pada jenis kelamin tertentu dan karenanya bersifat permanen/kodrati. Sementara gender merupakan sifat yang tidak permanen dan dapat dipertukarkan satu sama lain, karena sifat ini tak lebih dari sekedar ‘hasil persepsi’ suatu masyarakat atas apa yang disebut sebagai ‘sifat paten’ laki-laki dan ‘sifat paten’ perempuan, dimana persepsi tersebut terbangun oleh adat kebiasaan dan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah mereka pada kurun waktu tertentu. Oleh karenanya merekapun menyimpulkan, bahwa gender akan berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetap tidak berubah.
Sebagai contoh, secara biologis, laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari bentuk fisik, alat kelamin dan keberadaan alat-alat reproduksi lainnya. Dan ini sama sekali tidak bisa dipertukarkan. Sementara itu, secara sosial dan kultural, laki-laki dan perempuan sering dibedakan berdasarkan karakteristik perilaku tertentu, seperti laki-laki dianggap lebih kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sedangkan perempuan dianggap lebih lembut, emosional, dan keibuan. Dalam hal ini, pemutlakan karakteristik tersebut sebagai milik laki-laki saja atau perempuan saja dianggap tidak sesuai dengan fakta, mengingat tak jarang ditemukan ada laki-laki yang emosional, lemah lembut dan keibuan, sementara tak sedikit pula ditemukan perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh karenanya, mereka berpendapat, bahwa sifat yang berdasarkan gender ini bisa dipertukarkan dan tidak permanen (bukan kodrati). Bahkan suatu saat bisa berubah, manakala budaya yang mengkonstruksi konsep gendernya juga berubah.
Terkait dengan konsep jenis kelamin biologis (seks) dan implikasinya terhadap peran sosial, kalangan feminis sendiri memang belum memiliki kesepakatan analisis. Ada sebagian kelompok yang menolak secara mutlak konsep yang menyatakan bahwa perbedaan seks berimplikasi pada perbedaan peran gender, akan tetapi ada pula yang tidak menolak konsep tersebut secara sepenuhnya. Yakni kelompok yang menyatakan, bahwa bagaimanapun perbedaan jenis kelamin akan membawa dampak pada perbedaan peran sosial, sekalipun tidak selalu harus. Sehingga menurut kelompok ini, akan selalu ditemukan jenis-jenis pekerjaan yang berstereotif gender. Hanya saja, lepas dari itu, kedua kelompok ini sepakat untuk menolak sama sekali jika dikatakan bahwa perbedaan seks akan serta merta melahirkan perbedaan peran sosial, seperti misalnya, hanya karena perempuan punya rahim, maka otomatis tugas utama perempuan adalah menjadi ibu dan pengurus rumahtangga, atau otomatis bahwa kodrat perempuan adalah menjadi ibu rumahtangga.
Adapun terkait dengan masalah gender, maka sejauh ini, yang dipersoalkan oleh kalangan feminis sebenarnya bukan masalah perbedaan gender itu sendiri. Yang mereka gugat adalah ketika perbedaan gender ternyata seringkali membawa implikasi pada apa yang mereka sebut dengan ‘ketidakadilan gender’ (gender inequalities). Kalangan feminis percaya, bahwa ketimpangan pembagian peran yang selama ini terjadi, dimana perempuan kadung terplot dengan peran-peran ‘non strategis’ atau ‘non-produktif’ (sebutan untuk pekerjaan-pekerjaan domestik) dan karenanya mereka termarginalisasi, tersubordinasi dan sebagainya, erat kaitannya dengan persoalan gender yang menurut mereka sebenarnya hanya merupakan produk budaya semata. Dengan kata lain, kalangan feminis yakin, bahwa konsep genderlah yang telah menciptakan ‘mitos-mitos peran gender yang merugikan perempuan’ seperti ini, termasuk secara keseluruhan telah memunculkan ketidakadilan sistemik terhadap perempuan. Sebagai contoh, akibat adanya pemahaman, bahwa perempuan memiliki karakteristik emosional, lemah lembut dan keibuan, maka banyak sekali pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan khusus perempuan -seperti guru Tk, sekretaris dan bahkan pembantu rumahtangga- yang dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki dan seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji antara dua jenis pekerjaan tersebut. Sebaliknya karena ada pemahaman bahwa laki-laki memiliki karakteristik lebih kuat dan mampu melindungi, maka laki-laki diplot sebagai pencari nafkah yang pada akhirnya memiliki hak-hak tertentu atas perempuan, termasuk hak kepemimpinan, hak memerintah dan hak ditaati. Sedangkan dalam aspek pekerjaan, maka pemahaman seperti ini lantas berimplikasi pada penetapan jenis-jenis pekerjaan yang membutuhkan leadership, seperti jabatan manajer, lurah, gubernur dan bahkan pemimpin negara sebagai pekerjaan laki-laki.
Munculnya berbagai implikasi ‘negatif’ seperti inilah yang menjadi alasan, mengapa jika hingga saat ini kalangan feminis demikian intens mensosialisasikan perubahan konsep gender melalui basis perubahan konstruksi sosial budaya, terkecuali kelompok radikalis yang sejak awal melihat bahwa akar dari penindasan perempuan adalah dominasi fisik perempuan oleh laki-laki, sehingga untuk merubah kondisi dan posisi kaum perempuan harus dimulai dari individu perempuan itu sendiri. Mereka yakin, jika masyarakat mau mengupayakan sebuah perubahan konstruksi sosial budaya sebagai penentu konsep gender, yakni dengan mengubah tata nilai patriarkat yang berlaku ditengah-tengah mereka, seperti nilai kepatuhan, pengorbanan, penderitaan tanpa protes dan submission (mentalitas bawahan), maka konsep gender inipun bisa berubah, dan pada akhirnya pembagian peranpun akan berubah. Dengan demikian, apa yang hari ini mereka sebut dengan ‘ketidakadilan gender’, suatu saat bisa bergeser ke arah ‘keadilan/kesetaraan gender’ yang termanifestasi pada terwujudnya persamaan atau kesetaraan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat, atau yang kemudian lebih dikenal dengan istilah emansipasi.
Persoalannya, sekalipun logika gender yang dikembangkan oleh kalangan feminis sepintas memang mudah dipahami, akan tetapi jika dicermati, tak urung memunculkan berbagai pertanyaan. Sebenarnyakah perbedaan seks tak melahirkan perbedaan perilaku dan peran? Jika jawabannya tetap ya, lantas logika apa yang bisa kita pakai untuk menjelaskan kenapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan ? Lantas, benarkan bahwa isu disparitas gender dan budaya patriarki ini yang bertanggungjawab terhadap munculnya berbagai persoalan perempuan, sementara pada saat yang sama tak sedikit laki-laki yang juga menghadapi masalah yang sama dengan kaum perempuan?
Ambivalensi Ide Kesetaraan GenderBagaimanapun, terwujudnya kesetaraan gender (gender equality) kini memang sudah menjadi obsesi bagi kalangan feminis dimanapun. Bahkan, bagi mereka, istilah kesetaraan gender seolah sudah menjadi kata ‘suci’ yang kerap diperbincangkan dan didiskusikan. Dalam hal ini, mereka yakin betul, bahwa kesetaraan gender merupakan prasyarat mutlak bagi terbentuknya sistem masyarakat equal dan egaliter yang dianggap sebagai bentuk masyarakat paling ideal. Sistem inilah yang nantinya diharapkan akan menggantikan sistem patriarki yang selama ini diyakini sebagai penyebab munculnya ketidakadilan sistemik terhadap perempuan.
Hanya saja, keberadaan konsep kesetaraan gender maupun masyarakat equal diakui masih merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan kontroversial. Perbincangan mengenai apa batasannya dan bagaimana mengaplikasikannya hingga kini masih terus berlangsung, baik di kalangan internal kaum feminis maupun masyarakat umum. Mengenai konsep kesetaraan gender misalnya, maka hingga saat inipun, belum ada konsensus mengenai apa definisnya. Ada yang mengatakan, bahwa kesetaraan gender adalah persamaan fungsi dan peran secara mutlak antara laki-laki dan perempuan, sehingga keduanya bisa saling bertukar peran tanpa batasan apapun. Ada pula yang menyatakan sebagai persamaan antara hak dan kewajiban, yang tentunya belum jelas dalam hak dan kewajiban macam apa. Ada pula yang mengartikannya kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan yang belum jelas pula artinya. Atau sering pula diartikan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing. Pernyataan ini juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang kodrat itu sendiri; apakah perbedaan kodrat tidak mengimplikasikan perbedaan perilaku dan peran antara pria dan wanita?
Pada tataran praktis, ketidakjelasan ini berakibat pada munculnya rasa ambivalensi, bahkan antipati terhadap ide kesetaraan gender secara khusus dan ide-ide yang diusung gerakan feminisme secara keseluruhan. Rasa ambivalensi ini antara lain nampak ketika kalangan feminis menolak mengakui bahwa perbedaan seks akan membawa dampak pada perbedaan perilaku dan peran sosial, akan tetapi pada saat yang sama mereka seringkali menuntut perlakuan tertentu yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan mendasarkan pada perbedaan jenis seksual mereka. Sebagai contoh, ketika mereka menuntut penghapusan diskriminasi antara pekerja perempuan dengan laki-laki dengan cara menyamakan satus keduanya sebagai sama-sama ‘pekerja’ yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Akan tetapi di sisi lain, merekapun menuntut adanya peraturan yang memberikan perlakuan berbeda antara pekerja perempuan dengan laki-laki, seperti masalah cuti haid dan hamil, pembagian shift dan lain-lain. Pada akhirnya, ambivalensi seperti ini memunculkan sinisme di kalangan masyarakat dengan mempertanyakan apa sebenarnya yang diinginkan kalangan feminis dengan ide kesetaraan gendernya itu.
Adapun mengenai konsep masyarakat ideal, ada yang mendefinisikannya sebagai masyarakat berkesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama –tanpa ada hambatan gender sosio-kultural- untuk berpartisipasi secara sukarela dalam aktivitas-aktivitas di semua level (domestik atau publik), sebagai mitra sejajar, dan tidak mendapatkan halangan untuk menikmati hasil-hasil (benefits) serta sama-sama bertanggungjawab di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Hanya saja definisi ini dianggap masih debatable, terutama jika dikaitkan dengan tidak jelasnya ukuran-ukuran yang dipakai dalam penilaian keidealannya serta standar-standar yang dipakai dalam memperjuangkannya. Oleh karena itu, membicarakan hal inipun, pada akhirnya sama saja dengan masuk dalam polemik berkepanjangan seputar diskursus mengenai teori sosiologi, khususnya mengenai teori transformasi sosial yang hingga saat ini belum mencapai kata akhir.
Sebagaimana kita ketahui, diskursus dalam topik-topik semacam ini biasanya melibatkan berbagai unsur sensitif yang bersifat mendasar, prinsipil, dan paradigmatis, terutama karena ini menyangkut pemikiran ideologis yang sarat subyektivitas dan sulit dikompromikan. Oleh karenanya, latar belakang ideologi yang dianut oleh suatu gerakan feminisme itulah yang akan menentukan bagaimana ‘sosok masyarakat ideal’ yang hendak diperjuangkan. Artinya, sekalipun bisa jadi ada kesamaan prinsip mengenai sosok masyarakat ideal sebagai masyarakat tanpa eksploitasi, dominasi, hegemoni dan penindasan, termasuk eksploitasi, dominasi, hegemoni dan penindasan yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, akan tetapi seperti apa rilnya dan bagaimana cara mewujudkannya, semua kembali kepada paradigma berpikir yang mereka ambil tatkala melakukan analisis terhadap berbagai fakta yang terjadi. Dan karena paradigma berpikir ini sangat ditentukan oleh ideologi, sementara masing-masing gerakan feminis memiliki latar belakang ideologi yang berbeda, maka wajar jika jawabannyapun akan berbeda pula.
Itulah kendala internal yang dihadapi oleh kalangan feminis dalam mewujudkan kesetaraan gender dan masyarakat ideal ditengah-tengah masyarakat, yang dipastikan akan terus menjadi batu penghalang selama kontroversi ini belum terselesaikan. Sementara itu, kedala eksternal yang dihadapi tak kalah ‘beratnya’, terutama terkait dengan sulitnya mensosialisasikan dan mengaplikasikan konsep gender dalam tataran praktis, serta adanya berbagai faktor yang dituding kalangan feminis menjadi pelegitimasi bagi tetap langgengnya ketidakadilan struktural dan kultural di tengah masyarakat.
Mengenai sosialisasi konsep gender misalnya, seringkali ditemukan adanya kerancuan di tengah masyarakat di dalam memahami istilah gender (jenis kelamin sosial) dengan istilah seks (jenis kelamin biologis) itu sendiri. Apa yang menurut kalangan feminis terkatagori gender, justru diyakini dan dipahami masyarakat sebagai sesuatu yang kondrati. Dan kondisi ini dianggap merupakan penghalang terbesar bagi upaya memerangi ketidakadilan gender. Mengapa ? Karena menurut mereka, kesalah-pahaman ini telah mengendap sedemikian rupa di ‘alam bawah sadar’ masyarakat, hingga kemudian diyakini sebagai sebuah kebenaran yang mutlak dikukuhi dan dianggap sebagai kebenaran Ilahi yang tak mungkin diubah. Bahwa kodrat perempuan adalah sebagai ibu dan pengasuh anak, bahwa perempuan adalah pelayan suami, bahwa perempuan tak punya hak suara, bahwa laki-laki adalah pemimpin dan penguasa yang punya hak dilayani, dan sebagainya dan sebagainya, adalah contoh-contoh ‘kebenaran Ilahi’ yang dikukuhi masyarakat, yang sesungguhnya –bagi kalangan feminis- merupakan bias gender yang akan melahirkan ketidakadilan gender.
Dalam pandangan feminis, kondisi ini diperparah dengan adanya faktor-faktor eksternal lain yang dituding sebagai pelegitimasi bagi tetap langgengnya ketidakadilan gender dan sekaligus menjadi benteng penghalang dalam memperjuangkan terwujudnya kesetaraan gender, yakni keberadaan adat-tradisi yang dikukuhi masyarakat, kebijakan negara, asumsi ilmu pengetahuan dan bahkan pandangan keagamaan. Keempat faktor inilah yang dianggap bertanggungjawab dalam mensosialisasikan, membentuk dan memperkuat perbedaan-perbedaan gender (gender differences) di tengah-tengah masyarakat yang kemudian terinstitusi sebagai sebuah norma umum yang tanpa sadar mereka kukuhi dan akhirnya berujung pada ketidak adilan gender.
Mengenai adat-tradisi, maka untuk kasus di Indonesia, kalangan feminis meyakini bahwa banyaknya mitos yang bersumber dari adat budaya telah memposisikan kaum perempuan secara tidak adil, baik dalam skala rumahtangga maupun masyarakat. Kitab-kitab kuno yang kini masih dikukuhi masyarakat Jawa, atau ‘semangatnya’ masih mewarnai kehidupan masyarakat Jawa, justru dianggap mengandung bias gender. Sebagai contoh adalah kitab Serat Centini yang didalamnya memuat tentang gambaran isteri yang ideal yang diibaratkan memenuhi kelengkapan lima jari tangan. Jempol, berarti seorang isteri harus pol, sepenuhnya mengabdi kepada suami. Telunjuk, bahwa mereka harus patuh pada petunjuk dan perintah suami. Penunggul (jari tengah), bahwa seorang isteri harus mengunggulkan suami, apapun kerja dan berapapun penghasilannya. Jari manis, bahwa seorang isteri harus selalu bersikap manis kepada suami apapun rasa di hati. Jenthik (kelingking), bahwa ia harus selalu othak-athik, hati-hati dan teliti, serta rajin dan terampil melayani suami dan menjalankan tugas dari suami.
Selain itu, masih banyak ajaran-ajaran lain yang sejenis yang masih dianggap sebagai piwulang yang harus dipatuhi masyarakat, padahal mengandung bias gender. Konsep jaga praja yang mengharuskan seorang isteri secara teguh menjaga ketat rahasia rumahtangganya (termasuk kekerasan yang menimpanya), maupun pemeo swarga nunut neroko katut yang menggambarkan kepemimpinan mutlak suami atas isterinya dan sekaligus menggambarkan kepatuhan mutlak seorang isteri merupakan contoh lain yang membuktikan klaim mereka tentang keberadaan adat istiadat sebagai pengukuh bagi munculnya ketimpangan gender. Bahkan secara khusus, kalangan feminis, menunjuk ajaran seperti ini sebagai penyebab terjadinya berbagai kasus kekerasan dalam rumahtangga. Menurut Nusyahbani Katjasungkana , hal tersebut adalah “karena ia (perempuan) telah menyerahkan nasibnya secara penuh kepada orang lain yang disebut suami dengan hanya melakukan kegiatan untuk membahagiakan suami dengan penuh pengabdian dan pengorbanan; lebur ke dalam tubuh dan pikiran milik orang lain, dan tidak menyisakan sedikitpun ruang kosong untuk dirinya, untuk menjadi diri sendiri”
Negara, juga dianggap berperan dalam mengkonstruksi dan mengukuhkan ketimpangan gender dalam masyarakat. Dalam tulisan bertajuk ‘Pokok-Pokok Gagasan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan’ yang disampaikan Khofifah Indarparawangsa pada Seminar Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perspektif Negara tanggal 11 Mei 2000 lalu, disebutkan, bahwa negara identik dengan kekerasan. Negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Kekerasan dilakukan oleh negara dengan menggunakan berbagai perangkat kekuasaan yang dimiliki, yaitu kekuasaan politik refresif. Perempuan sebagai jenis kelamin yang lemah sering menjadi alat teror dan intimidasi agar masyarakat takluk dan menyerahkan diri pada kekuasaan tertentu.
Kondisi ini pulalah yang banyak dicermati oleh Feminis asal Marokko Fatimah Mernissi berkaitan dengan apa yang disebutnya sebagai politisasi hijab atas perempuan di negeri-negeri Arab, yang menurutnya tak lebih dari ekspresi perlawanan penguasa Arab terhadap arus demokratisasi yang akan mengancam eksistensi mereka.
Dalam konteks Indonesia, Dr. Mansour Fakih menyatakan, bahwa banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan serta program kegiatan pembangunan yang masih mencerminkan sebagian dari manifestasi ketidakadilan gender. Menurutnya, banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Salah satunya adalah program swa sembada pangan (revolusi Hijau) di masa Orba yang secara ekonomis telah meminggirkan kaum perempuan dari pekerjaan mereka hingga akhirnya memiskinkan mereka. Sebagaimana diketahui, program revolusi hijau telah mengintrodusir penemuan-penemuan teknologi bidang pertanian, seperti penggunaan bibit unggul dan teknologi tepat guna (seperti penggunaan clurit yang menggantikan ani-ani) serta sistem produksi yang cenderung padat modal. Hal tersebut secara otomatis mengurangi keperluan proses produksi akan faktor tenaga kerja manusia. Dalam hal ini kaum perempuanlah yang kemudian dipinggirkan.
Selain itu, program Keluarga Berencanapun di banyak tempat ditengarai telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, melalui pemaksaan untuk melakukan sterilisasi yang seringkali membahayakan fisik dan jiwa mereka. Program restukturisasi dan atau privatisasi yang kerap dilakukan pemerintah akhir-akhir ini, menyusul memburuknya situasi ekonomi dunia, juga merupakan contoh aktual untuk melihat betapa negara telah bertanggungjawab dalam meminggirkan kaum perempuan. Banyaknya pabrik yang gulung tikar, atau dilakukannya rasionalisasi besar-besaran dengan alasan pembenahan manajemen, seringkali ‘memilih’ perempuan untuk dikorbankan.
Adapun mengenai asumsi ilmu pengetahuan yang juga dituding menjadi salah satu faktor pengukuh ketimpangan gender, menurut Dr. Mansour Fakih antara lain bisa dilihat dari keberadaan teori-teori ilmu sosial yang membahas tentang pembangunan yang telah dikembangkan tanpa mempertimbangkan masalah gender. Akibatnya, pembangunan yang semboyannya untuk mensejahterakan dan menjawab tantangan kemiskinan dan keterbelakangan bangsa-bangsa Dunia Ketiga tersebut, justru telah mengakibatkan keterbelakangan kaum perempuan. Ideologi dan teori modernisasi dan pembangunan yang kini menjadi arus utama teori dan praktik perubahan sosial, justru telah menciptakan pelbagai ketidakadilan dan melanggengkan struktur ekonomi yang tidak adil dan ketergantungan; menguatkan proses dominasi kultur dan pengetahuan, memperkokoh penindasan politik, mempercepat pengrusakan lingkungan, dan yang terpenting adalah melanggengkan pendominasian terhadap perempuan.
Persoalan terakhir yang paling sensitif untuk dibicarakan adalah pandangan feminis terhadap keberadaan pandangan keagamaan yang ditengarai sebagai salah satu, bahkan unsur terpenting dalam mengukuhkan ketimpangan gender. Dalam hal ini, tafsir-tafsir keagamaan dan kitab-kitab fiqih (baca : Islam) seringkali menjadi sasaran bidik mereka, karena keduanya selama ini dianggap menjadi sumber referensi utama bagi pemahaman keagamaan umat Islam yang kemudian teraktualisasikan dalam praktika relasi sosial antar individu dengan individu lain, termasuk relasi antar laki-laki dengan perempuan.
Selama ini diyakini, bahwa tafsir-tafsir keagamaan dan kitab fiqih yang ada sebagian besar mengandung bias gender (sexist). Hanya saja, dalam hal ini, kalangan feminis (muslim) sendiri tidak berani (terang-terangan) menuduh, bahwa ajaran bias gender ini merupakan ‘watak asli’ agama itu sendiri. Qasim Amin misalnya berusaha untuk memperlihatkan bahwa pengucilan perempuan dan mengesampingkannya dari masalah-masalah dan dinamika sosial bukanlah disebabkan oleh ajaran Islam, tetapi (katanya) disebabkan oleh adat-istiadat sekuler yang berlaku pada bangsa-bangsa yang ditaklukan oleh Islam yang terus berlanjut walaupun telah datang ajaran Islam . Dia menegaskan bahwa adat-istiadat sekuler ini telah diperkuat oleh rezim-rezim politik sekuler dan reaksioner sepanjang sejarah umat Islam. Sehingga menurutnya, merubah lembaga-lembaga yang memaksa wanita dalam pengucilan (pingit) dan kebodohan sama sekali bukan merupakan serangan atau pelanggaran terhadap Islam.
Sejalan dengan pendapat Qasim Amin, Amina Wadud Muhsin mengungkapkan bahwa nilai penting dari nash Al-Qur’an adalah ketidak terikatannya oleh waktu dan pernyataannya yang bernilai abadi. Dengan demikian, keadaan umat Islam belum mencapai tingkatan nash tersebut; Bukan al-Qur’an yang membatasi perempuan, melainkan penafsiran al-Qur’an –yang telah dianggap lebih penting daripada al-Qur’an itu sendiri. (Menurutnya) Dalam agama, kaum feminis harus memasukkan perempuan ke dalam wacananya untuk memperoleh legitimasi. Sementara, perempuan muslim cuma harus memahami al-Qur’an tok –tidak terbelenggu oleh berbagai penafsiran tertentu yang membatasi- untuk memperoleh kebebasan yang tidak bisa disangkal.
Dengan demikian, bahwa watak agama sebagai sebuah kebenaran absolut, memang tak mereka nafikan sama sekali. Yang mereka persoalkan adalah masalah ‘pemahaman keagamaan’ umat yang disosialisasikan melalui kitab-kitab tafsir dan fiqih, yang menurut mereka tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur yang berlaku saat penafsiran tersebut dilakukan. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang intens mereka lontarkan dalam memperjuangkan kesetaraan gender adalah melakukan upaya reinterpretasi atau bahkan rekonstruksi terhadap wacana tafsir dan fiqih perempuan yang mengandung bias gender tadi, sehingga diharapkan dapat dihasilkan wacana tafsir dan fiqih baru yang dianggap lebih adil terhadap perempuan.
Tentang hal ini, ada banyak referensi yang bisa kita kaji untuk membuktikan bahwa mereka demikian ‘serius’ dengan gagasannya. Kajian-kajian seputar tafsir atas hukum-hukum Islam yang terkait dengan masalah waris, poligami, jilbab, konsep nusyuz, kesaksian, kepemimpinan politik perempuan serta penegakkan syari’at Islam menjadi agenda utama yang terus dimunculkan. Tentu tak hanya pada tataran furu’iyyah (cabang hukum) ini saja, perhatian mereka justru lebih intens pada permasalahan-permasalahan pokok seperti masalah aqidah, sumber hukum syara’, ushul fiqih/ushul asy-syar’iyyah, metodologi tafsir dan ijtihadiyah. Konsep qoth’I-dzonni, muhkam-mutasyâbih, pemaknaan maqâshid asy-syar’I dan sebagainya dimunculkan dalam format dan pemaknaan yang baru. Tak heran jika kita akan sering menemukan ‘pemahaman’ yang mereka klaim sebagai hasil ‘analisis kritis’ atas suatu nash, berbeda 180º dengan pemahaman para ulama salaf ash-shâlih terdahulu; pembagian waris tidak harus 1 banding 2, poligami bukan berasal dari Islam, jilbab cuma masalah budaya, nusyuz sebagai bentuk legitimasi atas pelanggaran dan kekerasan, kepemimpinan laki-laki dalam rumahtangga adalah absurd, perempuan tak apa jadi kepala negara, dan sebagainya.
Tentu saja, pada tataran praktisnya, upaya mereka ini tidak mudah dilakukan. Bahkan dalam banyak hal justru mengundang kontroversi yang berkepanjangan. Dan dalam banyak hal inilah sebenarnya ditemukan berbagai alasan untuk menyebut betapa ambivalennya ide kesetaraan gender. Sehingga wajar pula jika ide yang diusung gerakan feminisme ini akhirnya banyak memunculkan kontroversi, bahkan antipati!
Isu Pemberdayaan Perempuan dalam Politik Dan Logika DemokrasiTerlepas dari fakta betapa ambivalennya ide kesetaraan gender, kaum feminis tetap percaya, bahwa mewujudkan ide ini merupakan hal yang niscaya, bahkan merupakan sebuah keharusan, jika keterpurukan perempuan ingin disembuhkan. Hanya saja, mereka mengakui, bahwa memperjuangkan kesetaraan gender ini tidak mudah, karena spektrum ketidakadilan gender demikian luas, melibatkan ‘pemahaman’ individual dan masyarakat yang dikukuhkan dengan pandangan ideologis masing-masing, termasuk keyakinan keagamaan, serta oleh negara.
Oleh karenanya pendekatan yang mereka gunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan perempuan yang diklaim sebagai akibat ketidakadilan gender adalah dengan melibatkan perempuan agar secara aktif mengatasi persoalannya sendiri. Misalnya saja melalui keterlibatannya dalam program pengembangan masyarakat atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, peningkatan pendidikan, maupun melalui upaya melibatkan diri dalam fungsi kekuasaan di sektor publik. Slogan ‘hanya perempuan yang tahu dan bisa mengatasi persoalan perempuan’ seolah menjadi keyword dalam penyusunan agenda-agenda serta langkah-langkah pembebasan perempuan.
Inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah pemberdayaan (empowerment) yang secara sederhana mereka definisikan sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mengubah arah dan sifat dari kekuatan-kekuatan sistemik yang memarginalkan perempuan dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Dimana kekuatan sistemik yang dimaksud adalah mencakup seluruh struktur kekuasaan di berbagai level dan bidang, baik level pemerintahan/negara, masyarakat maupun keluarga, serta di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, agama dan sebagainya . Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuanpun, mau tidak mau harus dilakukan dengan cara melibatkan kaum perempuan dalam berbagai aspek dan mencakup semua level tersebut.
Dalam hal ini, minimnya partisipasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan kebijakan dan kekuasaan seringkali mendapat perhatian yang khusus dibandingkan dengan isu-isu lainnya. Ini mengingat, politik yang mereka artikan sebagai setiap kegiatan dimana ada power structure relationship (hubungan kekuasaan secara struktural) dan ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dianggap merupakan ranah yang sangat strategis karena mencakup semua aspek kehidupan. Para aktivis perempuan menuding, bahwa selama ini pola interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki dan politik sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat kita yang patriarkhis, sehingga cenderung menjadikan peran politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi sub ordinat bagi peran politik laki-laki, terutama jika sudah masuk di lingkaran kekuasaan dan legislasi. Kondisi inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama langgengnya praktek-praktek penindasan dan diskriminasi struktural maupun kultural terhadap perempuan di seluruh aspek kehidupan, baik pada skala rumahtangga, masyarakat, maupun negara. Mengingat dominasi laki-laki pada wilayah-wilayah strategis tadi sekaligus diduga akan menjadi alat legitimasi untuk lebih memarginalisasi dan mengabaikan hak-hak asasi kaum perempuan, termasuk melakukan penindasan dan eksploitasi pada mereka.
Oleh karenanya, wajar jika wacana mengenai pemberdayaan peran politik perempuan inilah yang akhirnya menjadi satu isu terpenting yang mencuat di tengah euphoria demokratisasi, yang secara lebih jauh memunculkan tuntutan untuk melakukan reinterpretasi atas logika dasar penataan interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki dan dunia politik. Adapun yang menjadi isu sentral perjuangan politik mereka umumnya terfokus pada tiga hal, yakni seputar masalah kepemimpinan perempuan dalam kekuasaan, masalah tuntutan kuota perempuan di dalam parlemen, serta masalah tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Tiga isu tersebut dianggap sangat strategis, karena dalam logika mereka, besarnya aksesibilitas ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat ke arah yang lebih equal dan egaliter, dimana aspirasi perempuan dipastikan akan senantiasa mewarnai setiap kebijakan publik yang diterapkan. Dengan demikian, diharapkan pada akhirnya persoalan-persoalan krusial yang selama ini dihadapi perempuanpun akan secara otomatis terselesaikan.
Tentu saja, pada tataran praktisnya sebagaimana ide-ide feminisme yang lain, pemunculan wacana mengenai peran politik perempuan melalui jalur kekuasaan dan legislasi inipun ternyata banyak mengundang kontroversi. Apalagi intensivitas publikasi isu-isu berbau feminis tersebut ke tengah masyarakat seringkali dibarengi dengan upaya gigih mereka untuk melakukan berbagai uji kritis (baca: penentangan) terhadap nilai-nilai yang mereka anggap menjadi faktor pelegitimasi bagi kekuasaan laki-laki, sekaligus menjadi pangkal ketidakadilan sistemik yang menimpa perempuan dari masa ke masa, baik berupa nilai-nilai, pemikiran, maupun mitos-mitos yang terlahir dari adat-istiadat dan agama. Dalam hal ini, Islam sering menjadi sasaran bidik untuk dihujat, terutama karena keberadaan wacana fiqih perempuan yang dianggap rentan ‘pemlesetan’ serta kental dengan semangat misoginis (anti perempuan), terutama konsep Islam tentang hubungan perempuan dan kekuasaan serta hijabisasi perempuan di kehidupan umum. Tak heran jika tuntutan untuk melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash fiqih perempuan juga menjadi hal yang mengemuka. Hanya saja, terlepas dari kontroversi yang muncul, bagi kalangan feminis sendiri, keberadaan wacana ini justru dianggap sebagai hal yang positif dan strategis karena menjadi indikasi makin meningkatnya ‘kesadaran eksistensial’ kaum perempuan. Apalagi bila mengingat, bahwa sebelumnya perjuangan emansipasi lebih banyak berkutat di sekitar isu disparitas gender yang ‘hanya’ berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial dan ekonomi saja.
Jika dicermati, terkristalnya keyakinan bahwa persoalan-persoalan perempuan akan terselesaikan manakala perempuan terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis, sangat dipengaruhi oleh wacana pemikiran demokrasi kapitalistik yang kini mendominasi kultur masyarakat kita. Dr. Mansour Fakih bahkan menyebut bahwa gerakan perempuan hakekatnya merupakan proses transformasi sosial yang identik dengan proses demokratisasi, mengingat yang menjadi tujuan gerakan perempuan adalah menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik dan adil, dimana hal tersebut hanya mungkin dicapai melalui cara demokratisasi. Hal ini karena, menurutnya, demokrasilah yang memungkinkan terciptanya ruang kesempatan, wewenang dan memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui diskusi dan aksi bersama, dengan prinsip kesamaan dan keadilan. Dari sini, kita dapat memahami mengapa para ‘pejuang perempuan’ senantiasa intens terlibat dalam barisan pejuang demokrasi, bahkan mereka memasukan agenda demokratisasi sebagai salah satu agenda perjuangan mereka.
Sebagaimana diketahui, dalam praksis kehidupan masyarakat demokratis, dimana konsep demokrasi sendiri berasal dari istilah politik yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, masalah kebebasan individu menjadi hal yang sangat ditekankan, termasuk kebebasan mengekspresikan aspirasi politik melalui pemberian ruang yang lebar bagi setiap individu (termasuk perempuan) untuk berpartisipasi dalam proses politik dan penentuan kebijakan. Artinya, secara konseptual demokrasi memberi hak partisipasi tersebut secara mutlak kepada seluruh rakyat tanpa kecuali. Hanya saja, karena pada faktanya konsep masyarakat yang demokratis ini sesungguhnya tidak (akan) pernah terwujud kecuali pada masyarakat Yunani Kuno yang merupakan negara kota dengan jumlah penduduk sangat sedikit, maka untuk menjembatani kemustahilan ini, demokrasi mengharuskan adanya sistem perwakilan, dimana aspirasi individu-individu rakyat dalam masyarakat ditampung dan direpresentasikan oleh wakil-wakil mereka di parlemen.
Adanya konsep perwakilan inipun, pada tataran praktisnya ternyata tidak mudah pula untuk diterapkan, karena secara faktual memang tidak mungkin mempersatukan aspirasi masyarakat yang multiragam. Oleh karenanya, dalam teori demokrasi kitapun mengenal istilah mekanisme mayoritas dalam proses pengambilan keputusannya, dimana asumsi, bahwa keberadaan para wakil tadi benar-benar merepresentasikan aspirasi masyarakat secara keseluruhan harus bisa dipastikan. Masalahnya, seperti disinyalir oleh Alexis de Tocqueville yang mencermati fakta penerapan demokrasi di Amerika, prinsip mayoritas ini seringkali berubah menjadi tirani minoritas . Sehingga kekuasaan mayoritas ini mau tidak mau harus digandengkan dengan jaminan atas perlindungan HAM, kekebasan, keterbukaan dan keadilan dalam kesetaraan. Itulah mengapa saat ini kita melihat bahwa ide kesetaraan, kebebasan berpikir, kebebasan bertindak, berpendapat dan beragama menjadi sangat inhern dan bahkan menjadi tolok ukur untuk menilai demokratis tidaknya suatu masyarakat.
Cara pandang dalam perspektif demokrasi seperti inilah yang mendasari langkah perjuangan aktivis perempuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Setidaknya mereka melihat, bahwa demokrasi telah memberi harapan yang besar bagi kaum perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri. Persoalannya, kultur yang ada selama ini mereka anggap ‘masih kurang demokratis’ sehingga tidak memberi ruang gerak yang besar bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya berkiprah di kancah publik, terutama di dunia politik. Oleh karenanya, para aktivis perempuan menjadikan tujuan terpenting dari perjuangannya adalah membongkar penghalang budaya yang selama ini kokoh mengurung kaum perempuan dalam apa yang disebut sebagai wilayah domestik sekaligus membebaskan mereka untuk berkiprah seluas-luasnya di sektor publik. Mengingat bagi mereka ‘keberadaan perempuan dalam wilayah domestik’ dianggap tidak produktif secara materi, sehingga membuat perempuan lemah secara ekonomi, tergantung pada suami, dan ujung-ujungnya mereka tidak memiliki bargaining position dalam proses pengambilan keputusan, baik dalam skala mikro (rumahtangga) maupun skala makro (masyarakat dan negara).
Adapun caranya tidak lain dengan melakukan berbagai upaya strategis yang mereka anggap bisa mengubah kultur tidak adil tadi, yakni dengan masuk ke tataran kekuasaan dan legislasi atau dengan memperkuat kontrol dan akses aspirasi perempuan ke dalam wilayah tersebut, baik dengan secara langsung menjadi anggota parlemen atau kabinet, menjadi penguasa atau elit kekuasaan, menjadi anggota partai politik, menjadi anggota ormas/LSM, atau melakukan penggalangan massa dalam bentuk demonstrasi. Karena dalam sistem demokrasi, legislasi dan kekuasaan yang secara sederhana didefinisikan sebagai kontrol terhadap sumberdaya dan ideologi, merupakan aspek yang sangat menonjol dan menentukan corak masyarakat sehingga terlibatnya perempuan secara politik dalam wilayah tersebut diharapkan dapat memberi pengaruh signifikan dalam menentukan corak masyarakat tersebut. Hal ini terkait juga dengan logika feministik yang diilhami oleh konsep mengenai mekanisme mayoritas yang inhern pada sistem ini, yang menyebut bahwa jika mayoritas kekuasaan dan legislasi didominasi oleh kaum perempuan, atau setidaknya imbang, maka dipastikan perspektif keperempuanan akan berpengaruh secara signifikan dalam produk-produk keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan. Dengan begitu, perempuan yang selama ini menjadi obyek dan bahkan menjadi korban kebijakan akan bisa terlindungi.
Berkenaan dengan hal ini, Dr. Chusnul Mar’iyah, Direktur Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia mengungkapkan, bahwa “perjuangan perempuan untuk mendapatkan martabat yang setara sudah waktunya bergeser dari sekedar menggarap isu praktis menuju isu yang bersifat strategis, karena hanya dengan cara ini perempuan bisa menyelesaikan masalahnya secara struktural. Memasuki wilayah strategis berarti memasuki wilayah pengambilan kebijakan alternatif yang bersahabat dengan perempuan. Ini cuma bisa jika perempuan ikut sebagai pengambil kebijakan itu. Dan karena selama ini perempuan tidak pernah benar-benar berdaya dalam politik, maka perlu affirmative action (kuota keterwakilan perempuan dalam parlemen, pen.) dengan memberi kesempatan pada perempuan untuk masuk ke posisi pengambilan keputusan. Ini cuma sementara sampai perempuan punya kemampuan memadai”. Hanya saja, masih menurutnya, ada beberapa kendala yang dihadapi untuk bisa memperoleh affirmative action ini, diantaranya para pengambil kebijakan yang tidak mempunyai perspektif gender, partai-partai politik yang tidak mendukung perempuan untuk masuk di dalamnya, adanya kombinasi dalam kehidupan pribadi perempuan yang membuat mereka menanggung beban ganda secara ekonomi, secara ideologis masyarakat masih hidup dalam sistem patriarkat, dan media massa belum punya perspektif gender.
Untuk mengatasi hambatan kesetaraan gender tersebut, Chusnul menawarkan solusi berupa beberapa prioritas kerja, yakni meminimalkan konflik kekerasan yang cenderung menjadikan perempuan sebagai korban, dimana perempuan harus mengambil inisiatif; membangun budaya politik yang demokratis yang mengikut sertakan perempuan dalam pengambilan keputusan, serta pemulihan keadaan ekonomi yang juga harus mengikut sertakan perempuan dengan kesadaran tentang hak dan potensi perempuan.
Inilah konsep feminis mengenai pemberdayaan politik perempuan dalam perspektif demokrasi yang hingga saat ini diyakini sebagai konsep yang ‘paling masuk akal’ dalam memperjuangkan nasib perempuan. Akan tetapi, benarkan demokrasi merupakan jalan yang paling masuk akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan ?
Bagian Ketiga :
Perspektif Feminisme dan Ekspresi Politik Muslimah
Oleh : Husnul KhotimahFeminisme di Dunia Islam Senyatanya, sekalipun ide feminisme senantiasa mengundang pro dan kontra, tak urung keberadaannyapun berimbas pada kehidupan kaum muslim di dunia Islam. Apalagi dominasi sistem kehidupan sekularistik yang melahirkan ide-ide turunan semisal liberalisme dan egalitarisme yang mengungkung kehidupan mereka, memang telah memberi ruang yang kondusif bagi perkembangan ide ini. Di sisi lain, kompleksitas persoalan di seputar isu disparitas gender yang juga dialami perempuan Muslim, serta adanya kejenuhan yang luar biasa terhadap sistem nilai yang dianggap tak mampu mengadopsi kepentingan perempuan, juga telah menjadikan kehadiran ide feminisme –yang disuguhkan dengan gaya ‘ilmiah’ dan dikemas dengan jargon-jargon yang memikat- sebagai ‘angin segar’ dan sekaligus harapan bagi upaya perbaikan nasib perempuan di dunia Islam.
Sebagaimana diketahui, kondisi perempuan Muslim di dunia Islam (termasuk Indonesia) memang tak jauh berbeda dengan kondisi perempuan dunia pada umumnya. Bahkan selama ini ada semacam upaya politik dan mediasi pers massa (Barat) untuk memberikan stereotype kepada ‘profil perempuan Muslim’ dengan Islamnya, sebagai ‘profil manusia paling tertindas dan terpinggirkan’. Kehidupan perempuan Muslim yang ‘terkurung di balik burdah dan tembok-tembok rumah batu’ di bawah rezim penguasa yang mengklaim diri sebagai negara Islam, seperti Arab dan Afghanistan diblow-up sedemikian rupa, untuk memperlihatkan betapa tidak bahagianya menjadi seorang perempuan Muslim. Aturan hijab, aurat dan jilbab, waris, kesaksian dan poligami, maupun pengutamaan domestikasi perempuan bahkan seringkali dijadikan sebagai alasan untuk menarik dan menguatkan konklusi betapa nasib perempuan Muslim demikian mengenaskan. Wajar jika pada tataran selanjutnya muncul berbagai diskusi dan polemik di kalangan kaum muslim sendiri yang membahas seputar ada atau tidak adanya pemihakan syari’at Islam terhadap perempuan, hingga jangan heran jika kita mendapati ada tokoh muslim yang justru berpendapat bahwa “korban pertama dari penerapan syari’at adalah perempuan”.
Dilihat dari sisi sejarah, masuknya pengaruh feminisme ke dunia Islam memang tidak terlepas dari proses infiltrasi ide-ide sekularistik pada masa-masa kemunduran Islam yang kian parah di awal abad ke-19. Kekuatan politik dunia Islam yang saat itu masih dipersatukan di bawah satu bendera Kekhilafahan yang berpusat di Turki Utsmani tak lagi mampu membendung arus deras masuknya pengaruh kegoncangan pemikiran (al-qalq al fikr) dan kebangkitan yang sedang terjadi di Barat. Lemahnya pemahaman umat akan ajaran Islam yang jernih akibat kelalaian negara dan umat dalam aspek bahasa Arab, da’wah dan ijtihad juga telah menyebabkan taraf berpikir dan tatanan hukum dalam masyarakat Islam merosot tajam. Sehingga, ketika mereka menyadari bahwa mereka sudah dalam keadaan lemah, bahkan mau tidak mau harus menerima kenyataan sebagai the sickman from Europe, mereka bukannya berusaha kembali kepada Islam, tapi justru menjadikan Barat sebagai model bagi kebangkitannya seraya pada saat yang sama mencampakkan Islam ke sudut-sudut gelap mesjid! Mereka tak menyadari, bahwa kelemahan yang mereka alami justru terjadi pada saat mereka meninggalkan Islam, dîn yang selama hampir 12 abad telah membesarkan dan memuliakan mereka.
Dalam hal ini, peran para ‘intelektual muslim’ memang tak bisa diabaikan. Program pengiriman para pelajar ke luar negeri (Eropa) yang awalnya ditujukan untuk mentrasfer kemajuan sains dan teknologi kemiliteran dari Barat justru membawa ekses lain berupa transfer berbagai pemikiran sekularistik yang sedang booming di Barat.
Para tokoh inilah yang lewat berbagai tulisannya berperan dalam membawa dan menancapkan akar-akar pemikiran Barat di dunia Islam, sampai pada akhirnya ide sekularisme dengan segenap derivasinya seperti demokrastisasi, kebebasan, dan nasionalisme sedikit demi sedikit diserap dan diadopsi pula oleh kaum muslimin, baik secara mutlak maupun melalui proses akulturasi, dan kemudian menjadi nilai-nilai normatif yang menyetir pola pengaturan kehidupan mereka menggantikan Islam. Mereka percaya, bahwa transformasi semangat “modernisme” (pembaharuan) ini ke dunia Islam akan pula membawa kemajuan sebagaimana kemajuan yang telah di raih oleh Barat. Adanya seruan untuk membuat kodifikasi hukum berdasarkan sistematika undang-undang Barat, munculnya tuntutan reformasi politik atas dasar semangat demokratisasi, patriotisme dan nasionalisme, serta tuntutan reformasi ekonomi dengan mengadopsi sistem ekonomi Barat yang berbasis pada bank dan perseroan di wilayah politik Islam masa itu merupakan contoh bukti betapa kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran tadi di dunia Islam.
Berkaitan dengan isu perempuan, muncul pula berbagai statemen yang diinspirasi oleh kehidupan sosial Eropa, semisal masalah pendidikan wanita, poligami, pembatasan perceraian serta pembauran antara dua lawan jenis. Isu-isu ini kemudian menjadi tema-tema diskusi publik yang mengemuka di tengah masyarakat Islam saat itu. Di antaranya ‘dipicu’ oleh berbagai tulisan para intelektual muslim ‘pembaharu’ yang sudah terpengaruh oleh pemikiran Barat, seperti tulisan Rufa’ah At-Thahthawi (1801-1873) berjudul Takhlîsh al-Ibrizi Fî Talkhîshin Barîz, yang berisi pengalaman hidupnya selama tinggal di Paris serta pernyataan kekagumannya akan kehidupan sosial di sana, Manâhij al-Albâb al-Mishriyah Fî Mabâhij al-Adab al-Ashriyah, Al-Mursyîd al-Amîn Li al-Banât Wa al-Banîn, serta tulisan Khairuddin al-Tunisi berjudul Aqwa al-Masâlik Fî Ma’rifati Ahwâli al-Mamâlik. . Adalah Qasim Amin (pemikir asal Mesir, hidup antara tahun 1863-1908), salah seorang murid Mohammad Abduh yang menulis buku berjudul Tahrîr al-Mar’ah (1899) dan al-Mar’ah al-Jadîdah (1890) yang kemudian disebut-sebut sebagai tonggak gerakan perempuan di dunia Islam. Dalam tulisannya, Qosim secara ‘ekspresif’ mengungkapkan kekagumannya atas ‘prestasi’ perempuan Barat yang telah berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, sehingga mereka bisa keluar dari status inferior yang mereka miliki sebelumnya. Termasuk dalam hal ini, dia memuji tingginya rasa hormat laki-laki Barat pada kebebasan perempuan yang antara lain ditunjukkan pada pemberian kebebasan perempuan yang berusia 20 tahun untuk meninggalkan keluarga mereka, bagaimana seorang suami memberi kebebasan kepada istrinya untuk memiliki teman yang bukan suaminya, serta bagaimana perempuan bebas untuk bercampur baur dengan laki-laki. Qasim percaya, bahwa kebebasan merupakan sumber yang bagus bagi umat manusia dan menjadi pondasi untuk menuju kemajuan.
Sementara itu, pada saat yang sama, Qosim ‘mempertanyakan’ fakta kaum muslim (Mesir) yang tidak mengerti dan tidak menghargai makna kebebasan perempuan, yang kemudian dia tuding sebagai pangkal keterpurukan bangsa Mesir, dan bangsa-bangsa muslim yang lain. Menurutnya konsep hijab, poligami dan thalaq merupakan simbol keterkungkungan perempuan dan sangat merendahkan perempuan Islam sehingga harus segera direinterpretasi. Pemikirannya ini antara lain diilhami oleh pengamatannya terhadap kondisi buruk yang dialami kaum perempuan di masa Kekhalifahan Abbasiyah abad 13 yang memberlakukan penempatan perempuan di harem-harem serta fakta-fakta kehidupan kaum perempuan di masanya yang menurutnya telah terjatuh pada bentuk perbudakan, dimana hanya karena cadar tipis perempuan terpisah dari kebebasan . Menurutnya, kondisi ini telah diperkukuh oleh lahirnya tafsir-tafsir misoginis (yang mengandung kebencian pada kaum perempuan) dan pembakuan hadits-hadits oleh para ulama ‘yang laki-laki’, baik ulama terdahulu maupun ulama kontemporer, sehingga diperlukan upaya perubahan mendasar dalam paradigma berpikir mengenai agama.
Pada saat yang hampir bersamaan, muncul pula berbagai tulisan lain yang ikut meramaikan polemik di seputar pembebasan perempuan muslim, diantaranya adalah tulisan Salamah Musa (1887-1958), yang mengangkat gerakan feminisme sebagai suatu ekspresi dan hasil dari nasionalisme Arab-Muslim. Dalam bukunya Woman Is Not the Playing of Man dia menyebut bahwa yang dimaksud dengan pembebasan perempuan adalah persamaan yang menyeluruh dengan kaum laki-laki dalam semua kancah kehidupan sosial. Dan bahwa produktivitas di Eropa dan Amerika Serikat bisa begitu membengkak disebabkan kenyataan bahwa di negara-negara tersebut, baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam proses produksi. Selanjutnya dia mengatakan, bahwa diantara kelemahan suatu masyarakat adalah kenyataan bahwa sebagian besar anggotanya tidak terlibat dalam proses kerja yang menghasilkan. Dalam masyarakat, perempuan merupakan separuh dari keseluruhan populasi. Mengecam mereka sebagai orang yang bodoh dan tidak aktif berarti membuang separuh potensi produktif masyarakat dan menciptakan suatu penghamburan yang luar biasa terhadap sumberdaya masyarakat. Dengan demikian menurutnya, jika Timur ingin menyaingi Barat dalam kekuatan dan produktivitas, maka mendidik kaum perempuan dan melibatkannya dalam proses produksi merupakan suatu keharusan.
Demikianlah gambaran generasi awal peletak dasar feminisme di dunia Islam. Pada perkembangan berikutnya, pengaruh pemikiran mereka berkembang melewati batas-batas negara dan mengilhami lahirnya feminis-feminis muslim kontemporer yang concern memperjuangkan kebebasan perempuan, terutama melalui pendekatan perubahan paradigmatis atas kajian teks-teks keagamaan. Di antara nama-nama mereka adalah Fatima Mernissi (Marokko), Riffa’at Hassan (Pakistan), Amina Wadud Muhsin (Afro Amerika), Nawal Al-Saadawi (Mesir), Asghar Ali Engineer (Pakistan), Masdar F. Mas’udi dan Nasaruddin Umar (Indonesia) dan lain lain.
Sebagaimana para pendahulunya, merekapun intens menyebarkan berbagai ide pembaharuan seputar isu perempuan muslim melalui berbagai buku yang ditulisnya. Fatima Mernissi misalnya menulis buku Women’s Rebellion and Islamic Memory (edisi terjemahan : Pemberontakan Wanita ), Beyond The Veil, Male-Female Dynamics In Modern Muslim Society (edisi terjemahan : Beyond The Veil Seks dan Kekuasaan, Dinamika Pria-Wanita Dalam Masyarakat Muslim Modern ) serta buku Women and Islam : A Historical and Theological Enquiry (edisi terjemahan : Wanita di Dalam Islam ), dan lain-lain. Buku Pemberontakan Wanita berisi analisis dan gugatannya terhadap pemaksaan hijabisasi oleh para penguasa Arab serta terhadap penyingkiran peran kaum perempuan dari kancah kehidupan publik yang dilegitimasi oleh tradisi misogini yang terus menerus dihidupkan dan didukung oleh teknologi dan kurikulum pendidikan.
Menurutnya, upaya tersebut sebetulnya hanya merupakan ekspresi ‘kebencian’ para penguasa Arab terhadap arus demokratisasi yang kini sedang berkembang di negeri Arab. Dan karena kultur misoginis menjadikan perempuan tidak memiliki power, maka kaum perempuan menjadi sasaran strategis untuk melumpuhkan kemerdekaan sipil. Buku Beyond The Veil berisi kritik penulis akan munculnya fenomena fundamentalisme yang mengusung ide Islam dalam versi yang (menurutnya) membentuk pola ruang berdasarkan seksualitas, membangun hirarki-hirarki dan membagi hak-hak istimewa atas dasar seksualitas. Dalam analisisnya, Fatima banyak menyorot perihal apa yang menjadi latar belakang munculnya semangat fundamentalisme yang kemudian disebutnya sebagai lokalitas dan pemahaman parsial terhadap perangkat-perangkat hukum yang ada, termasuk teks-teks keagamaan yang kemudian diperkuat dengan interest untuk melanggengkan kekuasaan. Dia mengkritik, bahwa banyak teks-teks keagamaan yang dikukuhi masyarakat sebenarnya tidak identik dengan Islam itu sendiri, melainkan berangkat dari realita sosio-historis yang kemudian terinstitusi menjadi seolah-olah ‘itulah Islam!’. Karena itulah dalam bukunya tersebut secara khusus dia menekankan pentingnya membedakan Islam sebagai wahyu yang dipastikan bersifat tetap dan mutlak, dengan Islam sebagai realitas kesejarahan (fakta penerapan Islam) yang bersifat ijtihadiyah dan menurutnya harus terbuka atas kritik . Dan sikap ini, dicerminkannya dalam bentuk ‘keberanian’ untuk melakukan ‘pelurusan’ (baca: rekonstruksi) atas banyak hal di dalam bukunya ; tentang konsep seksualitas wanita, masalah poligami, talak, serta mengenai pentingnya melibatkan kaum perempuan dalam proses tansformasi sosial dan lain-lain . Sementara itu, dalam buku Wanita Di Dalam Islam dia lebih banyak menyoroti bukti-bukti historis peran politik wanita pada masa awal sejarah Islam, serta sikap ‘pemberontakan’ mereka terhadap politik, penindasan, despotisme (absolutisme) Islam dan terhadap segala sesuatu yang mengungkung kebebasan mereka, termasuk terhadap hijab dan kontrol atas perkawinan . Menurutnya, fakta-fakta tersebut selama ini ‘disembunyikan’ oleh berbagai tafsir dan hadits misoginis, untuk menguatkan klaim ketidakbolehan melibatkan kaum perempuan dalam politik.
Amina Wadud Muhsin, seorang feminis asal Amerika keturunan Afrika yang kini menjadi Guru Besar pada Jurusan Filsafat dan Studi Agama Universitas Virginia Commonwealth juga menuliskan berbagai gagasannya dalam beberapa buku. Salah satu di antaranya adalah buku Qur’an and Woman : Rereading The Secret Text From a Woman’s Perspective (1999) yang kemudian diterjemahkan dalam buku berjudul Qur’an Menurut Perempuan; Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir. Dalam buku tersebut, Amina menuangkan gagasannya berupa penafsiran Al-Qur’an berperspektif baru, yakni perspektif perempuan, karena selama ini tradisi tafsir Al-Qur’an menurutnya telah dikotori oleh semangat bias gender yang pada akhirnya justru menjadi pembenar atas praktek penindasan dan kekerasan atas perempuan.
Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki asal Pakistan yang concern terhadap persoalan gender, juga menuliskan gagasan feministiknya dalam beberapa buku, diantaranya buku berjudul The Qur’an, Women and Modern Society, yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Matinya Perempuan, Transformasi Al-Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern . Dalam buku tersebut, penulis mengajukan beragam bukti historis dan dogmatis yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa proses marginalisasi perempuan atas nama Islam sesungguhnya hanya merupakan ekses dari konflik kepentingan politik-ideologis, yang terlembagakan dalam bentuk ‘konspirasi para mujtahidin’, dan bukan murni masalah agama (teologis). Fenomena yang disebutnya sebagai ‘mega skandal doktrin dan laki-laki’ tersebut dianggap sebagai pengukuh atas penindasan perempuan dari masa ke masa, melalui (antara lain) doktrin tentang cadar, poligami, hak setengah persaksian, nusyuz dan sebagainya. Oleh karenanya, sebagaimana para pendahulunya, diapun menyerukan pembebasan hukum-hukum Islam dari ortodoksi dan mengembalikannya pada nilai-nilai Islam yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan.
Di Indonesia sendiri, yang nota bene merupakan negeri muslim terbesar, gagasan feministik cukup mendapat sambutan hangat sekaligus mengundang pro dan kontra. Ini terbukti dengan besarnya perhatian masyarakat terhadap munculnya berbagai wacana pembebasan perempuan, termasuk kritik atasnya, baik dalam bentuk kajian ilmiah maupun penerbitan berbagai buku. Pada saat yang sama, kemunculan wacana Islam Liberal yang ‘kehadirannya dipastikan bukan sekedar kebetulan’ juga telah berhasil menjadi fasilitator ampuh untuk menampilkan gagasan keperempuanan ini dalam bentuk ‘ilmiah’ dan ‘cerdas’ sehingga memiliki daya jual yang tinggi. Bagi kelompok Islam Liberal, seperti diakui sendiri oleh Luthfie Assyaukanie (Salah seorang tokoh Jaringan Islam Liberal dari Universitas Paramadina yang merupakan laboratorium bagi munculnya gagasan-gagasan Islam Liberal), masalah emansipasi wanita memang menjadi salah satu agenda dari empat agenda utama yang menjadi payung bagi persoalan-persoalan yang dibahas oleh para pembaharu dan intelektual muslim selama ini (baca : menjadi agenda kelompok Islam Liberal). Adapun agenda-agenda lain yang dia maksud adalah agenda politik, agenda toleransi beragama serta agenda kebebasan berekspresi.
Perlu diketahui, bahwa Islam Liberal yang diistilahkan oleh Fyzee sebagai Islam Protestan, sejak awal memang telah dikembangkan untuk ‘menghadirkan’ wajah Islam ‘lain’ yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam. Oleh karenanya, Islam Liberal dikenal sangat mendewakan ‘kemodernan’ sehingga Islampun harus disesuaikan dengan kemoderenan. Dimana “jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan –menurut mereka- bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut”. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal, yang jika dicermati justru makin menguatkan dugaan di awal, bahwa kehadiran isu-isu feminisme memang merupakan bagian dari proyek liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam, termasuk di Indonesia. Sementara itu, kemunculan berbagai LSM yang bergerak di bidang isu-isu keperempuanan dengan berbagai latar belakang ideologinya juga menjadi indikasi bahwa ‘semangat pembebasan perempuan’ yang berawal dari Barat kini pun sudah menjadi inhern dalam konstelasi sosial-politik negeri ini.
Di samping itu, isu demokratisasi yang tidak lain merupakan saudara dekat liberalisasi juga tidak bisa diabaikan perannya dalam menumbuhkembangkan paham feminisme di dunia Islam, termasuk Indonesia. Karena sebagaimana diketahui, demokrasi kini telah menjadi ‘agama baru’ yang nilai-nilainya diyakini merupakan jawaban tuntas atas semua persoalan kehidupan masyarakat, termasuk dunia Islam. Sebagai sebuah sistem politik, demokrasi dipercaya juga sebagai sistem politik terbaik dibandingkan sistem lain, karena selain meniscayakan pluralisme (keragaman) politik, demokrasi juga meniscayakan berkembangnya eksperimen apapun, termasuk eksperimen pemikiran ataupun ideologi; atheisme sekalipun!. Kalaupun ada pengecualian, maka yang dikecualikan dalam demokrasi hanyalah apa yang mereka sebut dengan ‘semangat otoritarianisme’ dan fundamentalisme, dimana ide penegakkan syari’at Islam tercakup di dalamnya .
Dalam konteks feminisme, para aktivis perjuangan perempuan sangat menyimpan harapan pada demokrasi sebagai jalan untuk mencapai cita-cita mereka , mengingat demokrasi memberi penawaran menggiurkan berupa prinsip-prinsip umum kehidupan yang ideal, seperti keadilan (‘adl), persamaan (musawah), musyawarah, toleransi, pluralisme dan sebagainya. Adanya prinsip-prinsip umum seperti inilah yang memberi keyakinan kepada mereka, bahwa memperjuangkan demokrasi berarti memperjuangkan sesuatu yang dipastikan akan memberi jaminan akan keadilan dan persamaan bagi perempuan.
Senyatanya, ide-ide feminisme memang berpotensi menitikkan air liur kaum muslim yang lapar perjuangan. Dan berdasarkan penjelasan sebelumnya, antusiasme sebagian masyarakat kaum Muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya menghubungkan antara ide feminisme dengan Islam. Bahkan sebagian para ‘pemikir’ di antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis Muslim, dan aliran yang mereka kembangkan disebut-sebut sebagai cikal bakal lahirnya ‘feminisme Islam’.
Dalam hal ini mereka meyakini, bahwa memperjuangkan feminisme berarti juga memperjuangkan nilai-nilai Islam. Alasannya menurut mereka, apa yang menjadi visi feminisme –seperti konsep kesetaraan (equalitas), HAM, keadilan dan sebagainya- sesungguhnya juga merupakan spirit ajaran Islam. Padahal, jika kita mau jeli menilai, kita akan menemukan pertentangan yang sangat diametral antara spirit feminisme dan Islam, ditinjau dari sisi manapun.
Tentu saja dalam hal ini, fihak Barat -dengan segala kepentingan watak imperialistiknya- memang memiliki andil besar dalam mengintrodusir pemikiran-pemikiran seperti ini di dunia Islam, baik melalui agen-agennya maupun melalui blow up berbagai media massa yang memang nyaris 100% mereka kuasai. Mereka berharap keberadaan ide-ide sekularistik seperti ini bisa menjadi barrier ampuh untuk membendung bangkitnya ‘kesadaran eksistensial’ umat Islam yang dipastikan akan muncul manakala umat terbebas dari berbagai parasit pemikiran dan mereka kembali menyadari letak kepurnaan Islam sebagai solusi kehidupan. Persoalannya adalah, jargon ‘kebebasan’ dan ‘kesetaraan’ begitu kuat daya biusnya sehingga dianggap bisa menjadi ‘obat’ bagi nasib perempuan yang sakit. Sementara pada saat yang sama, penolakan terhadap ‘isu global feminisme’ ini justru dianggap sebagai kebodohan para fundamentalis yang hobi bermimpi di siang bolong!
Perempuan Muslim, Antara Politik dan KekuasaanSebenarnya, dilihat dari sisi respon komunitas muslim atas feminisme, setidaknya ada empat kelompok yang muncul menanggapi perkembangan ide dan gerakan ini. Kelompok pertama adalah entitas yang menerima secara ‘bulat’ konsep-konsep yang ditawarkan feminisme, termasuk ide untuk melakukan proses sekularisasi hukum-hukum keperempuanan yang berbasis agama -yang mereka anggap sudah ketinggalan jaman . Kelompok kedua adalah kelompok yang menerima feminisme sebatas spirit pembebasan perempuannya saja tanpa meninggalkan basis keagamaannya. Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang berdiri pada posisi ‘netral’ di hadapan feminisme dan cenderung bersikap apolitis. Sedangkan kelompok yang keempat adalah kelompok yang menolak mentah-mentah ide feminisme bukan karena sekedar anti Barat, melainkan karena kesadaran akan adanya pertentangan yang diametral antara konsep Islam sebagai ideologi versus feminisme sebagai anak dari sekularisme.
Kelompok pertama dan keempat, sekalipun keduanya berada pada posisi berlawanan, biasanya bersifat politis-ideologis. Ini karena, mereka mengadopsi ide feminisme sekaligus dengan ideologi yang dianutnya; Atau sebaliknya, menolak feminisme juga karena alasan ideologinya. Karena itulah perjuangan mereka mengeksiskan -atau sebaliknya melawan- feminisme biasanya bersifat mendasar dan sistemis.
Selain itu, kelompok ini biasanya mampu membaca secara jelas mengenai apa yang sebenarnya menjadi akar dari persoalan perempuan yang karenanya mereka terjun berjuang, yakni tidak lain karena sistem yang ada tak mampu memberi jaminan keadilan kepada masyarakat, termasuk kaum perempuan, sehingga penyelesaian yang mereka perjuangkanpun mengarah pada perubahan sistem. Sistem yang bagaimana? Tentu ini tergantung pada ideologi apa yang mendasari ide dan gerakannya. Sebagai contoh, Feminisme sosialisme-marxisme adalah kelompok responden yang percaya, bahwa persoalan perempuan terkait dengan masalah rusaknya struktur dan sistem kapitalistik yang tidak adil, sehingga mereka menjadikan gerakan feminismenya sebagai bagian dari gerakan transformasi sosial bercorak sosialisme-marxisme yang bertujuan mengubah struktur dan sistem masyarakat kapitalis ini menjadi masyarakat sosialis-komunis tanpa kelas . Sementara disisi lain, kelompok yang menolak feminisme, meyakini bahwa penerapan sistem kehidupan sekularistiklah (baik kapitalisme maupun sosialisme komunisme) yang merupakan akar dari munculnya berbagai persoalan ketidakadilan, sehingga mereka pun secara politik dan ideologis berupaya melakukan proses perubahan sosial, dengan keyakinan bahwa penerapan sistem Islam secara keseluruhan akan menjadi solusi tuntas bagi seluruh peroblematika kehidupan manusia, termasuk persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan. Karena itulah kelompok -yang pada fase tertentu biasanya minoritas- ini sering disebut juga sebagai kelompok fundamentalis .
Adapun kelompok kedua, biasanya cenderung bersifat faktais dan pragmatis. Artinya, mereka sekedar ‘mencomot’ ide feminisme; mengambil sebagian dan menolak sebagian yang lainnya, sebagai jalan penyelesaian instan atas persoalan yang dihadapi perempuan. Kelompok ini, biasanya juga bersikap akomodatif dan kompromistik, dimana perubahan yang mereka lakukan lebih mengarah pada upaya labelisasi feminisme dengan label Islam. Dalam hal ini reinterpretasi kitab suci atas nama tajdid dan ijtihad menjadi pilihan ‘terbaik’ untuk menciptakan hukum berperspektif gender, sekaligus menjadi ‘dalil’ bagi hukum-hukum yang diciptakannya. Wajar jika gagasannya kadang ambigu, karena tak mampu menghadirkan bukti bahwa feminisme yang mereka hubungkan dengan Islam (yang kemudian diklaim sebagai feminisme Islam) memang Islamy. Bahkan, sikap moderat yang mereka ambil justru pada akhirnya, sedikit demi sedikit, mengubur Islam dalam kubangan sekularisasi yang menghancurkan.
Sedangkan kelompok ketiga, umumnya mereka mayoritas, dengan tingkat kesadaran politik yang sangat rendah. Kenetralan dan sikap apolitis mereka kadang justru membuat mereka menjadi pihak yang termanfaatkan sebagai ‘penggembira’ atas perjuangan feminisme, atau ketikapun mereka bersikap menolak, penolakannya hanya didasarkan pada semangat anti Barat dan anti politik.
Tentu saja, pada tataran praktis, adanya perbedaan-perbedaan pandangan semacam ini telah memunculkan berbagai friksi yang tidak bisa diabaikan, sekalipun hal ini diniscayakan oleh para penganjur kebebasan dan demokrasi . Hanya saja, tak bisa dipungkiri bahwa pada faktanya gaung penerimaan atas feminisme di dunia Islam justru lebih meng-atasi suara-suara yang menolak feminisme, mengingat sebagaimana telah dijelaskan, isu demokratisasi yang kini menjadi isu global dan menjadi mainstream konstelasi politik dunia, termasuk di dunia Islam, memang telah dijadikan sebagai alat yang efektif bagi para pejuang feminisme untuk mewujudkan berbagai gagasannya. Apalagi, proses sekularisasi yang berlangsung secara intens di tengah-tengah mereka juga telah berhasil mengaburkan bahkan menghilangkan sama sekali gambaran umat terhadap hakekat keberadaan Islam sebagai sebuah ideologi yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia. Sehingga ketika mereka menghadapi berbagai persoalan yang harus diatasi, mereka tidak mencari penyelesaiannya kepada Islam, melainkan kepada solusi-solusi yang ditawarkan hukum-hukum sekuler, termasuk feminisme.
Salah satu indikasi yang menunjukkan makin kuatnya pengaruh feminisme di dunia Islam adalah semakin kentalnya tuntutan kesetaraan peran dan fungsi perempuan dengan laki-laki, terutama yang terkait dengan peran politik (formal) perempuan dalam kehidupan masyarakat kaum Muslim. Selama ini dianggap, bahwa diskursus mengenai hubungan perempuan dengan politik dan kekuasaan sangat didominasi oleh pemahaman ‘kaum tradisionalis’ yang menafikan sama sekali keterlibatan perempuan dalam dunia politik dan kekuasaan. Dale F. Eickelman dan James Piscatori dalam bukunya bahkan menunjuk beberapa fakta mengenai hal ini; Bagaimana di Iran, keberadaan UU Perlindungan Keluarga tahun 1975 yang lebih liberal memperkuat hak-hak perempuan, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan, justru menjadi titik fokus penentangan Ayatullah Khomeini dan para pengikutnya; Di Kuwait (1985), Komite bagi Penafsiran dan Legislasi al-Qur’an Pemerintah justru merekomendasikan penentangan terhadap pemberian hak pilih bagi perempuan, dengan mengatakan bahwa sifat hakiki proses pemilihan adalah untuk laki-laki yang dikaruniai kemampuan dan kepakaran; Di Bangladesh (1994) muncul berbagai fatwa yang menyerang perempuan-perempuan yang berani memotong batas-batas konvensional, dengan mencap mereka sebagai perempuan yang ‘tidak suci’; Di Pakistan (1994) muncul penekanan-penekanan atas nama (penafsiran) agama terhadap kaum perempuan yang berhasil dalam menjalankan peran politik formal, sehingga mereka’terpaksa’ harus ekstra hati-hati dalam menampilkan diri dengan cara menonjolkan peran-peran keibuan mereka ; dan lain-lain.
Kondisi-kondisi inilah yang telah mendorong ‘semangat’ kaum liberalis dan feminis di dunia Islam untuk terus melakukan penentangan atas berbagai analisis yang mengasumsikan bahwa perempuan hanya memiliki peran sub ordinat di bawah legitimasi agama, sekaligus terus melakukan berbagai tekanan yang mengarah pada terjadinya proses reformasi pembebasan perempuan melalui jalur politik formal. Hasilnya, sejalan dengan proses sekularisasi dan modernisasi yang berlangsung di negeri-negeri tersebut, berbagai perubahan dan liberalisasi di bidang hukum yang berbasis syari’at menjadi hal yang absah dan dimungkinkan. Sehingga, lambat laun diakui, bahwa kondisi perempuan muslim menjadi makin ‘lebih baik’ lagi, dengan ukuran-ukuran antara lain, semakin banyak perempuan Muslim yang aktif di partai politik, menjadi anggota parlemen, bahkan menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan.
Kentalnya perspektif feminisme yang bercorak liberalis sekularistik di kalangan kaum Muslim ini dapat dilihat dari gambaran peran politik perempuan yang ada di dalam benak mereka, yakni peran politik yang bebas nilai agama. Perspektif inilah yang pada akhirnya menjadi inspirator utama bagi para Muslimah untuk berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik dan kekuasaan tanpa harus peduli dengan rambu-rambu yang ditetapkan oleh Islam. Hal ini karena, sebagaimana asasnya (yakni aqidah sekularisme), feminisme memang menolak secara tegas campur tangan agama dalam mengatur kehidupan manusia, termasuk mengenai kiprah perempuan dalam dunia politik.
Adapun mengenai bagaimana gambaran peran politik perempuan dalam perspektif feminisme, antara lain dapat dilihat dari beberapa catatan kritis tentang peran perempuan Indonesia dalam politik formal 1999-2001 yang dikeluarkan oleh Centre for Electoral Reform (CETRO), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia pada tanggal 8 Maret 2002 , yakni :
>Belum adanya jumlah perempuan yang signifikan baik yang duduk sebagai pengurus partai politik maupun yang berada dalam DPR.
>Partai politik, pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat sangat didominasi laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas merekalah yang menentukan agenda-agenda politik dan terlalu mendominasi proses politik saat ini.
>Pemilu yang dianggap demokratispun (Pemilu 1999) belum cukup untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen.
Meskipun kesadaran tentang perlunya peningkatan keterlibatan perempuan secara signifikan di kalangan partai politik telah muncul, namun hal ini perlu ditegaskan kembali lewat peraturan yang lebih mengikat dan memiliki kekuatan hukum.
Berdasarkan catatan kritis tersebut, mereka menuntut kepada institusi politik yang berwenang agar :
>Membuka kesempatan yang sama untuk berperan serta secara aktif dalam kepengurusan partai.
>Mempromosikan program-program yang dapat menarik pemilih perempuan, merekrut serta meningkatkan kemampuan memimpin dan berpolitik kader-kader perempuan partai, mendorong kader perempuan partai untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dalam partai dan menominasikan caleg perempuan partai untuk ikut pemilu.
>Merancang program-program yang berpihak kepada kepentingan perempuan dan turut memperjuangkan isu-isu perempuan.
>Melaksanakan tindakan affirmative untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam bidang politik dan mendongkrak kontribusi perempuan dalam politik formal, serta
>Pencapaian tindakan affirmative melalui UU Partai politik.
Dengan mencermati butir-butir pemikiran di atas, maka kita bisa menyimpulkan, bahwa proses pemberdayaan peran politik perempuan dalam perspektif feminisme memang melulu diukur dengan seberapa banyak representasi perempuan dalam semua tingkatan pengambilan keputusan, baik di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, dalam birokrasi pemerintahan, partai politik maupun kehidupan publik lainnya. Sehingga, persoalan-persoalan seputar rendahnya kesadaran politik perempuan yang dinilai dari rendahnya tingkat partisipasi di bidang-bidang tadi menjadi agenda utama bagi perjuangan mereka. Hal ini tidak lain terkait dengan pandangan pokok feminisme yang menyebut bahwa akar persoalan perempuan adalah masalah ketidak adilan gender yang hanya bisa diselesaikan dengan cara melibatkan kaum perempuan dalam proses penetapan kebijakan dan legislasi. Oleh karena itulah maka, isu kepemimpinan perempuan, affirmative action (kuota perempuan dalam parlemen), demokratisasi dan lain-lain menjadi hal yang mengemuka dalam diskursus keperempuanan di negeri-negeri Islam.
Kondisi ini sebenarnya tak bisa dipisahkan dari upaya kaum modernis liberalis yang secara gigih mengangkat persoalan kiprah politik perempuan ke dalam diskursus keagamaan. Bahkan, gagasan-gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi fiqih politik perempuan menjadi isu yang paling banyak disorot dalam gagasan mengenai rekonstruksi fiqih perempuan. Di Indonesia, tak sedikit lembaga-lembaga keagamaan yang terlibat dalam diskursus ini. PP Muslimat NU bahkan secara khusus menyelenggarakan sebuah Lokakarya dan Bahsul Masail yang membahas tentang Pemikiran Islam dan Wacana Politik tentang Pengaruh Kekuasaan Diskriminatif Jender pada tanggal 2 Maret 2000 di Jakarta. Acara ini dilatar belakangi oleh ‘keprihatinan’ mereka atas fakta diskriminasi politik atas perempuan yang ternyata (menurut mereka) bersumber dari pemahaman keagamaan yang diperoleh dari kitab-kitab fiqih. Salah satunya adalah ketika muncul penentangan sengit dari sebagian kalangan Islam (diwakili oleh Kongres Ulama Umat Islam dan beberapa partai politik Islam) yang menolak kepemimpinan Megawati –yang perempuan- sebagai kepala negara dengan alasan Islam mengharamkan perempuan untuk duduk dalam wilayah kekuasaan . Mereka beranggapan, bahwa penolakan ini tidak sepenuhnya karena alasan agama, melainkan lebih sarat dengan kepentingan politik partai-partai Islam dalam bursa pencalonan kepemimpinan nasional yang memanfaatkan agama dan ‘isu keperempuanan’ sebagai senjatanya. Parahnya, dugaan ini memang terbukti, ketika pada momen politik lain, partai-partai Islam tadi justru mencabut ‘sikap’ mereka sebelumnya dan kemudian berbondong-bondong mendukung kepemimpinan Megawati –yang ‘masih’ perempuan- lagi-lagi dengan menggunakan isu agama sebagai alasan perubahan sikapnya; bahwa pada kondisi darurat, Islam membolehkan perempuan menjadi kepala negara. Ironis!
Kasus-kasus serupa sebenarnya juga terjadi di negeri Islam yang lain, seperti Pakistan, Sudan, Aljazair, Kuwait, dan lain-lain. Sehingga kaum modernis dan feminis liberalis beranggapan, bahwa sudah saatnya pemahaman umat ini dirombak dengan cara ‘mempeties-kan’ nilai-nilai dan ajaran Islam yang sudah tidak sesuai dengan ‘semangat jaman’, isu tentang HAM, kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Caranya tidak lain dengan mengharuskan diri untuk secara terus menerus melakukan kajian kritis dan interpretasi ulang atas fiqih perempuan, termasuk berbagai metodologi tafsir dan ijtihadnya, sehingga suatu saat akan muncul berbagai penafsiran dan hasil ijtihad yang lebih kontekstual dengan tuntutan jaman dewasa ini serta memuat kepentingan bagi keadilan dan kesetaraan gender.
Inilah gambaran ekspresi politik Muslimah yang terbukti sarat dengan perspektif feminisme, dan sebaliknya sangat jauh dari gambaran peran politik Muslimah menurut perspektif Islam. Dan jika dilihat dalam konteks makro, gambaran ini sesungguhnya merupakan representasi dari kesadaran politik umat yang masih sangat rendah, terutama akibat imbas paham sekularisme yang telah membagi komunitas muslim ini atas dua kelompok besar, yakni kelompok yang bersikap apolitis, yang beranggapan, bahwa politik yang serba kotor sama sekali tak ada hubungannya dengan Islam, sehingga harus dijauhi dan dimusuhi, serta kelompok yang politis tetapi dengan persepsi politik yang salah dan dangkal, dimana kelompok ini cenderung mengebiri makna politik dan kesadaran politik menjadi sekedar masalah kekuasaan dan legislasi saja. Padahal Islam sendiri memiliki pandangan yang khas dan holistik mengenai politik dan pemberdayaan peran politik perempuan dengan pandangan yang terpancar dari aqidahnya yang sahih; sesuai dengan fitrah dan akal, dan karenanya akan menentramkan jiwa, karena Islam datang dari Dzat yang Maha Tahu dan Maha Adil.
Feminisme Islam dan Metodologi Tafsir Feminis Sebagaimana sudah dijelaskan, ide rekonstruksi fiqih perempuan memang telah menjadi hal yang inhern dalam diskursus mengenai feminisme Islam dimanapun. Sebagian mengklaim, bahwa kemunculan ide ini sejalan dengan semangat pembaharuan (tajdid) yang memang sangat dimungkinkan oleh Islam. Dalam hal ini rekonstruksi fiqih sendiri diartikan sebagai upaya merombak ajaran-ajaran fiqih (syari’at) yang dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kekinian. Ide ini muncul karena menganggap, bahwa fiqih Islam yang ada sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan jaman di tengah-tengah fakta pluralitas dan universalitas (globalisasi) kehidupan manusia modern.
Kalangan modernis-liberalis berpendapat, bahwa memaksa satu generasi untuk mengikuti keseluruhan hasil pemikiran generasi masa lampau (termasuk tafsir) akan mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Hal ini mengingat hasil pemikiran generasi masa lampau dipastikan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang terus berubah . Apalagi mereka memandang bahwa masyarakat akan selalu berubah sehingga fatwa-fatwa keagamaanpun harus berubah. Oleh karena itu berkenaan dengan tafsir, mereka menekankan mengenai keharusan kaum Muslim untuk mengambil ayat/nash secara kontekstual dengan memperhatikan kondisi faktual masyarakat, termasuk nash-nash yang berkaitan dengan perempuan. Dalam hal ini, mereka merekomendasikan penggunaan tafsir yang bercorak rasional yang dianggap sebagai tafsir yang paling tepat untuk masyarakat modern seperti sekarang ini. Mereka kemudian menyebut tafsir seperti ini dengan sebutan
tafsîr bi ar-ra’yi/bi al- ijtihâd. Meski bukan yang pertama memunculkan gagasan reinterpretasi atas nash-nash fiqih perempuan, Amina Wadud Muhsin merupakan tokoh feminis muslim yang secara khusus melakukan riset ‘ilmiah’ untuk mengembangkan metodologi tafsir ‘baru’ yang memuat signifikasi gender. Metoda tafsir yang kemudian disebutnya sebagai metode tafsir tauhid ini diklaim menjadi versus bagi metode tafsir ‘tradisional’ yang dia anggap terlanjur terikat oleh penafsiran sejarah yang andosentris (laki-laki sentris) serta terikat oleh kultur Arab-Muslim yang cenderung ‘tidak menganggap penting’ keberadaan perempuan, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Menurutnya, hal inilah yang sebenarnya telah memunculkan perlakuan tidak adil yang secara historis telah dialami dan terus dialami secara legal oleh kaum perempuan dalam konteks komunitas muslim.
Dengan metoda tauhid tersebut, Amina berobsesi untuk bisa membantu menjelaskan dinamika antara hal-hal yang universal dan partikal menurut al-Qur’an, sekaligus melepaskan diri dari kendala yang muncul akibat berbagai pembatasan yang ada dalam pendekatan atomistik yang (katanya) menjadi karakteristik tafsir-tafsir tradisional, sehingga dengan demikian kesatuan dalam al-Qur’an dapat merambah semuanya. Adapun yang dia maksud dengan pendekatan atomistik di sini adalah metoda yang hanya berupaya menafsirkan satu ayat ke ayat lain mulai dari ayat pertama hingga ayat terakhir, tanpa ada upaya untuk mengenali tema-tema dan hubungan al-Qur’an dengan dirinya sendiri secara tematis, termasuk menghubungkan berbagai gagasan, struktur sintaksis, prinsip atau tema al-Qur’an yang sama. Kalaupun ada upaya untuk memberikan ulasan singkat tentang hubungan satu ayat dengan ayat yang lain, menurutnya itu hanya dilakukan sambil lalu saja karena tidak diterapkan prinsip penafsiran yang pokok. Tidak adanya analisis al-Qur’an yang komprehensif inilah yang (menurutnya) terkadang menyebabkan sebagian kalangan ulama mempertahankan sikap mereka tentang perempuan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali tidak sesuai dengan sikap al-Qur’an tentang perempuan .
Dalam teorinya, Amina menyebut, bahwa model penafsiran terkait dengan tiga aspek nash yang akan mendukung berbagai kesimpulannya, yaitu 1) konteks saat nash ditulis (dalam kasus al-Qur’an yakni dimana wahyu diturunkan); 2) komposisi nash dari segi gramatikanya (bagaimana nash menyatakan apa yang dinyatakannya); dan 3) nash secara keseluruhan, weltanschauung atau pandangan dunianya.
Tentang yang pertama, Amina menekankan tentang kepentingan membaca konteks suatu nash dengan cara yang ‘benar’, mengingat sekalipun diyakini bahwa al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman moral yang universal, kondisi jazirah Arab abad ke-7 tetap melatarbelakangi turunnya al-Qur’an dan tujuan bimbingannya yang universal. Sehingga menurutnya, generasi muslim belakangan harus memperhatikan, betapa kitab suci ini terkungkung oleh berbagai hal yang khas masa itu. Dalam hal ini Amina merujuk kepada pendapat gurunya, Fazlur Rahman (1919-1988), seorang guru besar Chichago University yang sekaligus merupakan tokoh pertama gerakan Islam Liberal yang gagasan-gagasannya menjadi rujukan kaum liberalis dunia termasuk di Indonesia. Fazlur Rahman menyatakan, bahwa semua ayat al-Qur’an yang diturunkan sebagaimana adanya pada waktu tertentu dalam sejarah dan dalam suasana umum dan khusus, harus diungkapkan menurut suasana tersebut. Akan tetapi, pesan al-Qur’an tidak (boleh) dibatasi untuk waktu atau suasana saat itu saja. Menurutnya, seorang pembaca harus memahami maksud dari ungkapan al-Qur’an pada waktu diturunkannya untuk menentukan ‘makna awal’ yang sebenarnya. Makna inilah yang akan menjelaskan maksud dari keputusan atau prinsip dalam ayat tertentu. Dengan demikian menurutnya pula, orang beriman dari latar belakang keadaan yang berbeda harus melakukan aplikasi praktis sesuai dengan cara bagaimana maksud semula dari ayat tertentu yang direfleksikan atau diwujudkan dalam lingkungan baru. Inilah yang pada jaman modern dimaksudkan sebagai spirit al-Qur’an.
Sedangkan mengenai yang kedua, Amina menjelaskan, bahwa perhatian yang sistematis terhadap hubungan antara hal-hal yang umum dan khusus juga berhubungan dengan pemahaman kita terhadap istilah-istilah tertentu yang digunakan al-Qur’an. Sebab, pemahaman ini menentukan ruang paradigmanya sendiri mengenai makna dari istilah-istilah kunci. Menurutnya, seluruh wahyu dan konteks tertentu menggunakan istilah masing-masing yang berhubungan dengan maknanya. Karena itu, setiap istilah harus dikaji berdasarkan kaidah bahasa, struktur sintaksis dan konteks tekstualnya agar parameter maknanya lebih dapat dipastikan. Pengkajian ini membutuhkan proses ganda; menjaga agar kata-kata tetap dalam konteksnya dan mengarahkan kepada perkembangan tekstual yang lebih luas dan istilah tersebut.
Persoalan ini sebenarnya terkait juga dengan pencermatan Amina terhadap keberadaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an. Menurutnya, penggunaan bahasa Arab -dengan segala keterbatasannya- sesungguhnya bukan agar bahasa Arab menjadi suci, melainkan agar wahyu dapat dipahami, karena sangat sulit dipahami jika Tuhan semesta alam tidak mengerti berbagai bahasa. Persoalannya, karena setiap istilah dalam bahasa Arab –baik menyangkut makhluk hidup ataupun mati, dunia atau dimensi fisik maupun metafisik- diungkapkan dalam istilah yang bergender (tidak netral), maka sebagian gagasan tetap memasukkan tanda-tanda gender dan yang lainnya tidak. Padahal, disisi lain al-Qur’an diyakini membawa prinsip-prinsip universal yang mengatasi berbagai perbedaan gender. Oleh karenanya, (menurut Amina) menggiring pembaca ke lingkungan realitas yang tidak bergender akhirnya akan menjadi sulit karena berbagai kendala bahasa ini, sehingga pandangan baru terhadap bahasa al-Qur’an yang berhubungan dengan gender menjadi sesuatu yang penting.
Adapun yang ketiga, dinyatakan, bahwa pada dasarnya al-Qur’an memiliki weltanschauungnya sendiri. Jadi meskipun kata-kata tertentu sudah memiliki makna dasar sebelum al-Qur’an diwahyukan, namun sebagian dari kata-kata tersebut mempunyai indikasi berbeda yang khusus untuk digunakan dalam al-Qur’an. Oleh karenanya, setiap bahasa (menurutnya) harus dipahami menurut batasan kontekstualnya.
Berdasarkan pendekatan-pendekatan seperti ini, Amina kemudian memberi beberapa penekanan atas metodologi tafsir tauhid yang digunakannya dalam ‘membaca’ teks al-Qur’an dalam perspektif keperempuanan, yakni
pertama, bahwa agar al-Qur’an mencapai tujuannya sebagai katalisator yang mempengaruhi perilaku masyarakat, maka setiap konteks sosial harus memahami prinsip-prinsip yang mendasar dan tidak berubah dari nash itu, dan kemudian menerapkannya penurut pemikiran khas mereka sendiri.
Bahwa dari sini akhirnya akan muncul keragaman penafsiran dalam berbagai komunitas masyarakat sebagai akibat perbedaan kapasitas dan kekhususan dari pemahaman dan refleksi dari prinsip-prinsip nash tadi, maka itu dianggap sebagai hal yang niscaya. Yang terpenting menurutnya, tidak boleh ada klaim bahwa hanya ada satu interpretasi al-Qur’an yang benar, karena memaksa al-Qur’an untuk mempunyai perspektif budaya tunggal –bahkan perspektif budaya zaman Nabi- akan sangat membatasi aplikasinya dan bertentangan dengan maksud universal kitab itu sendiri.
Kedua, bahwa bahasa-bahasa yang bercirikan gender seperti bahasa Arab, akan menciptakan beberapa teks (tafsir) sebelumnya untuk pengguna bahasa tersebut, sehingga ini menimbulkan perbedaan di antara berbagai bacaan al-Qur’an yang nampak pada penafsiran dan konklusi yang diambil dari nash itu sehubungan dengan gender. Dan karena perspektif tentang gender, terutama pemahaman yang membentuk perilaku feminin atau maskulin serta peran sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat sangat terkait dengan konteks budaya seseorang, maka diperlukan pandangan baru pada bahasa Arab yang berhubungan dengan gender dikaitkan dengan perspektif pedoman Qur’ani yang universal. Dalam hal ini, Amina sendiri melakukan pendekatan tafsirnya terhadap teks al-Qur’an ‘dari luar’, sehingga katanya, dia bebas mengobservasi tanpa harus terpenjara dalam konteks bahasa yang berbeda gender.
Ketiga, bahwa al-Qur’an tidak berusaha untuk meniadakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau menghapuskan nilai fungsional dari perbedaan gender yang membantu agar setiap masyarakat dapat berjalan dengan lancar dan dapat memenuhi kebutuhannya. Sesungguhnya, hubungan fungsional yang harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat dipahami sebagai bagian dari tujuan al-Qur’an dalam masyarakat. Namun demikian, al-Qur’an tidak menganjurkan atau mendukung peran tunggal atau definisi tunggal dari seperangkat peran semata-mata untuk masing-masing gender di seluruh budaya. Dengan kata lain, al-Qur’an mengakui bahwa laki-laki dan perempuan berperan sebagai individu dalam masyarakat. Namun dari segi budaya, tidak ada petunjuk yang terinci mengenai cara berfungsinya. Spesifikasi semacam itu akan merugikan sehingga akan mengubah al-Qur’an dari sebuah naskah yang universal menjadi sekedar naskah budaya yang spesifik semata.
Sebagai gambaran untuk menjelaskan pendapatnya ini, Amina merujuk pada apa yang dilakukan al-Qur’an sebagai sebuah pedoman moral yang universal dalam memberikan beberapa keputusan spesifik untuk budaya masyarakat Arab abad ke-7 yang memiliki persepsi tertentu dan konsepsi yang salah tentang perempuan. Terhadap berbagai kebiasaan buruk seperti pembunuhan bayi perempuan, pelecehan seksual atas gadis-gadis dan budak serta penolakan waris bagi perempuan, al-Qur’an secara tegas melakukan pelarangan. Sedangkan terhadap kebiasaan lain seperti masalah poligami, perceraian yang semena-mena, tindak kekerasan dalam perkawinan dan pergundikan, al-Qur’an hanya melakukan modifikasi. Akan tetapi al-Qur’an tetap bersikap netral terhadap kebiasaan tertentu yang secara sosio kultural memang mengharuskan begitu, seperti sistem patriarki sosial dan patriarki perkawinan (termasuk masalah kepemimpinan laki-laki dalam rumahtangga yang dikaitkan dengan nafkah), hierarki ekonomi, pembagian kerja dan hijab perempuan, mengingat masyarakat Arab saat itu memang sangat tribal oriented (berorientasi pada kemuliaan suku, meminjam istilah Azyumardi Azra ) sehingga peperangan menjadi sebuah budaya yang mengharuskan kaum laki-laki menjadi sumber orientasi, sementara perempuan menjadi objek yang layak dilindungi. Menurutnya, jika ditarik pada konteks kekinian, maka tentu wajar jika para aktivis perempuan secara terbuka mempertanyakan kenetralan tersebut. Mengingat konteks budaya masyarakat saat ini berbeda dengan masa lalu. Justru, menurutnya, setiap masyarakat Islam baru harus memahami prinsip-prinsip yang terkandung dalam berbagai praktek tertentu, dimana prinsip ini bersifat abadi dan dapat diterapkan dalam beragam konteks sosial.
Inilah pokok-pokok pemikiran Amina Wadud Muhsin yang berupaya menghadirkan sebuah penafsiran yang inklusif gender. Sebenarnya jika kita mengkaji berbagai tulisan feminis muslim lainnya, keberadaan metode tafsir tauhid inipun tidak memuat gagasan baru. Bahkan asumsi-asumsi dan paradigma berpikir yang dijadikan landasan untuk mengembangkan metode tafsirnya ini merupakan ciri khas kerangka berpikir para pendahulu dan rekan-rekan (feminis) seperjuangannya; bahwa tidak ada metode tafsir yang benar-benar objektif , bahwa penafsiran al-Qur’an tidak pernah final , bahwa semua tafsir yang ada hanya ditulis oleh laki-laki yang menjadikan wanita sebatas objek penafsiran , bahwa tafsir-tafsir yang ada terlampau atomistik , bahwa kitab suci ini terkungkung oleh kultur Arab abad ke-7 sehingga harus dibaca dari sisi ‘konteksnya’ , bahwa bahasa Arab sebagai bahasa A-Qur’an –seperti halnya bahasa-bahasa lain- memiliki keterbatasan selain konteks kultural tertentu, sehingga pada titik tertentu bisa dikatakan membatasi konteks keuniversalan al-Qur’an , dan sebagainya.
Hal ini salah satunya dapat dilihat pada pendapat Asghar Ali tentang keniscayaan bahkan keharusan membaca teks nash dari kacamata kekinian :
“ Dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak asasi manusia dan kesetaraan gender, mempertahankan hukum kekeluargaan yang tidak egaliter yang berusaha mempertahankan dominasi laki-laki tampaknya tidak mungkin dilakukan kecuali melalui pemaksaan. Perubahan dan reformasi menjadi keharusan ……. Perbedaan-perbedaan mengenai penerapan hukum terhadap perempuan antara satu negara muslim dengan negara muslim lainnya, dengan jelas menunjukkan bahwa hal tersebut lebih dipengaruhi keadaan sosio politik dari pada ‘perintah agama’ dan bahwa kitab suci dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh yang menafsirkannya. Oleh karena itu, salah satu premis mayor bagi yang mendukung pengubah dan pencari hukum keperempuanan yang bertumpu pada keadilan gender adalah bahwa kitab suci harus ditafsirkan kembali sesuai dengan sudut pandang pengalaman dan situasi sejarah kita sendiri. Pertama, kitab suci seringnya dipahami dalam bahasa simbolis agar bisa memberikan relevansi yang terus-menerus. Juga dalam ayat-ayat al-Qur’an dan perintah-perintah-Nya terdapat suatu tingkat ambiguitas (bermakna ganda) sehingga lebih fleksibel dan lebih bisa menerima perubahan kreatif. Hal ini menjadi salah satu aspek metodologi teologis yang dapat membawa perubahan yang relevan dalam hukum, disamping bahwa pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh keadaan seseorang itu sendiri, seperti persepsi, sudut pandang, kecenderungannya. Sehingga meskipun ayat-ayat tersebut bersifat ilahiyyah (abadi) namun pemahaman dan interpretasi tetap bersifat manusiawi”.
Di Indonesia sendiri, logika tafsir yang sama juga dikembangkan oleh kaum liberalis, di antaranya adalah Masdar F. Mas’udi dan Nasaruddin Umar. Dalam bukunya Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Masdar mengembangkan gagasannya bahwa kesempurnaan al-Qur’an bukan terletak pada tataran teknis -yang bersifat detail, rinci dan juz’iyyah- dan operasionalnya, melainkan pada tataran prinsipil dan fundamental; dan bahwa ajaran-ajaran prinsipil yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah adalah ajaran spiritualitas dan moral, ajaran tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Menurutnya, kita tidak bisa membayangkan kesempurnaan al-Qur’an itu dibuktikan dari kemampuannya dalam menjawab semua persoalan juz’iyyah, apalagi yang bersifat teknis operasional, karena penjelasan moral atau etik yang tersedia dalam al-Qur’an tidak selalu bersifat terapan pada semua kasus etik yang terjadi dalam kehidupan kita. Sehingga untuk menangkap petunjuk al-Qur’an atas persoalan-persoalan etik tersebut terlebih dulu harus mengenali prinsip-prinsip universal. Upaya menyambungkan prinsip-prinsip yang universal pada kasus-kasus yang juziyyah itulah yang disebutnya sebagai ijtihad.
Masdar kemudian menegaskan bahwa ajaran yang bersifat universal dan mampu mengatasi dimensi ruang dan waktu itulah yang disebut muhkamah atau qoth’I, sedang ajaran yang bersifat juziyyah (partikular dan teknis operasional) yang terkait ruang dan waktu disebutnya sebagai mutasyâbihah atau dzanni. Adapun yang dimaksudkannya dengan ajaran qoth’iy yang memuat prinsip-prinsip universal adalah ajaran tentang kebebasan dan pertanggungjawaban individu (QS. 99:7-9); kesetaraan manusia di hadapan Allah (QS.49:13); tentang keadilan (QS.16:90,5:8); persamaan manusia di hadapan hukum (QS. 5:8) dan hadits bukhori tentang pencurian); tidak merugikan diri sendiri dan orang lain (QS.2:279); kritik dan kontrol sosial (QS.103:1-3, 5:78-79); menepati janji dan menjunjung tinggi kesepakatan (QS.17:34,2:177); tolong-menolong untuk kebaikan (QS. 5:2); yang kuat melindungi yang lemah (QS.4:75); musyawarah dalam urusan bersama (QS.42:38); kesetaraan suami isteri dalam keluarga (QS. 2:187) dan saling memperlakukan dengan ma’ruf (QS.4:19). Sedangkan tentang ajaran dzonni, Masdar lebih jauh memaparkan, bahwa dzonni secara harfiah berarti persangkaan atau hipotesis, yaitu ajaran petunjuk agama (Al-Qur’an dan Hadits) yang bersifat jabaran (implementatif) dari prinsip-prinsip yang muhkamah/qoth’iy. Ajaran ini menurutnya tidak mengandung kebenaran atau kebijakan pada dirinya serta terikat oleh ruang dan waktu, situasi dan kondisi. Contoh-contohnya adalah sistem pemerintahan, hukum potong tangan, hukuman rajam, persentase pembagian waris, monopoli hak talak pada suami, keterlibatan wali dalam nikah, dan lain-lain.
Dengan kerangka berpikir seperti inilah kemudian Masdar menyoroti wacana fiqih perempuan dalam Islam, termasuk fiqih politik, yang menurutnya selama ini banyak mengandung bias gender. Masdar menunjuk beberapa kesimpulan hukum yang diyakini kini masih menjadi pemahaman mayoritas masyarakat Islam yang pada akhirnya justru memunculkan bentuk relasi masyarakat yang tidak berkeadilan, seperti masalah kesaksian dan kepemimpinan perempuan. Menurutnya, perbedaan sosio kultural yang melatarbelakangi kasus-kasus tersebut sudah seharusnya dipertimbangkan sehingga prinsip qoth’iy dari ajarannya dapat tetap ditegakkan. Dengan semangat yang sama pula, kemudian muncul para pemikir liberalis lain yang membawa gagasan-gagasan reinterpretasi bahkan rekonstruksi fiqih perempuan dalam tulisan-tulisan tematis mereka, seperti Prof. Dr. Quraish Shihab yang menulis Membongkar Hadits-Hadits Bias Gender , KH. Hussein Muhammad yang menulis Membongkar Konsepsi Fiqih Tentang Perempuan , M. Fajrul Falaakh, SH. MA yang menulis Membongkar Wacana Politik Keagamaan , Nasaruddin Umar yang menulis Teologi Pembebasan Perempuan , Jalaluddin Rakhmat dalam Perempuan Boleh Memegang Jabatan Politik Apapun , dan lain-lain. Selanjutnya, keberadaan gagasan-gagasan seperti inilah yang sekaligus menjadi pelegitimasi atas keabsahan perjuangan pembebasan perempuan berperspektif feminisme di dunia Islam. Padahal memang absahkah?
Bagian Keempat :
Irasionalitas Perspektif Feminisme
Oleh : Husnul Khotimah‘Feminisme’, bukan Sekedar Masalah Terminologi Diakui, bahwa di belahan dunia manapun, feminisme memang telah membawa banyak perubahan; Kaum perempuan telah berhasil mendapatkan kebebasannya untuk mengekspresikan diri, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu yang selama ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah persentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75 % pada tahun 2000, pun di Indonesia. Begitu pula, meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding laki-laki dan meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negeri-negeri tersebut, dianggap sebagai ‘prestasi’ atas keberhasilan perjuangan feminisme di manapun.
Persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, feminisme juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Secara fakta, pengaruh feminisme yang sekularistik telah begitu nyata membawa kerusakan atas tatanan fungsi dan peran perempuan dalam keluarga dan masyarakat, yang berimplikasi ganda atas rusaknya tatanan sosial masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex , pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari ‘kebebasan perempuan’ yang ditawarkan feminisme. Wajar jika, pada perkembangan selanjutnya, muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang ‘masih sadar’ atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran manis feminisme, sehingga mereka balik menuduh feminisme sebagai gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di Amerika sendiri, gerakan anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan Kanan Baru (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League, dan lain-lain.
Berkenaan dengan fenomena arus balik ini, ada sebuah buku berjudul What Our Mothers Didn’t Tell Us : Why Happiness Eludes The Modern Women yang ditulis oleh Danielle Crittenden (1999) yang menggambarkan ‘kegalauan tersembunyi’ yang dialami kaum perempuan Amerika dibalik berbagai sukses dan ‘kenyamanan’ yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Buku ini merupakan hasil penelitian penulisnya selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekedar mitos itu. Karena itulah mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah menghianati mereka. Dan disamping Danielle, sebenarnya, masih banyak ilmuwan dan antropolog Barat sendiri yang mengecam gagasan feminisme, dimana mereka menggugat ‘keabsahan’ dan keilmiahan pemikiran feminisme sekaligus mempertanyakan kelayakan teori-teorinya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sayangnya, semangat penolakan terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan dengan janji-janji manis yang ditawarkannya.
Lepas dari fenomena arus balik yang muncul, sesungguhnya memang ada banyak hal yang bisa kita kritisi dari gagasan feministik ini.
Pertama, pemikiran bahwa yang menjadi akar dari persoalan perempuan adalah ketidakadilan gender yang melembaga secara universal dalam struktur masyarakat yang patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh kenyataan, bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan tadi ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslim, persoalan-persoalan tersebut; kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, mal nutrisi, dan sebagainya, kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan sebagai implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak; dengan sistem politiknya yang bobrok, sistem ekonominya yang eksploitatif dan diskriminatif, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya. Dengan demikian, berbagai tudingan yang mereka arahkan atas Islam, yang sering dianggap sebagai biang ketidakadilan gender, terbukti salah kaprah, mengingat secara sistem, negeri-negeri tersebut seluruhnya tidak menerapkan aturan-aturan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang utuh (kâffah). Justru kapitalismelah yang seharusnya bertanggungjawab atas munculnya berbagai persoalan kehidupan manusia, termasuk didalamnya persoalan perempuan, mengingat sistem --yang terlahir dari kelemahan akal manusia dan terlanjur berani mengklaim diri mampu mengatur kehidupan-- inilah yang saat ini sedang diterapkan. Akar persoalan inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum Muslim dimanapun, sehingga mereka tahu apa yang seharusnya mereka perjuangkan. Yakni berupaya mencerabut sistem rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka, dan kemudian mengupayakan terwujudnya sebuah sistem yang bisa memberi jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi semua manusia tanpa kecuali. Sistem seperti ini tentu tidak mungkin berasal dari manusia yang nyata lemah dan terbatas, melainkan harus bersumber dari Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Adil. Sistem dimaksud tidak lain adalah sistem Islam yang secara akal bisa dibuktikan kebenarannya dan secara empirik telah terbukti kepurnaannya.Dengan demikian, selama kaum feminis dan kaum Muslim belum mau beranjak dari keyakinannya tadi, maka bisa dipastikan persoalan perempuan tidak akan pernah bisa terselesaikan, karena solusi yang ditawarkannya pun tidak akan pernah bisa mengakar.
Kedua, Ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan yang absurd, ambivalen dan utopis. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, kaum feminis meyakini, bahwa sifat keperempuanan ‘yang dianggap lebih banyak merugikan perempuan’ bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu, mereka menuntut adanya perubahan konstruksi sosial budaya, baik secara kultural --seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak-- maupun secara struktural --melalui penetapan kebijakan--, sehingga diharapkan pembagian peran yang berperspektif gender menjadi tidak ada lagi. Dalam hal ini, mereka yakin, bahwa ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar gender), maka pembagian peran domestik vis a vis publik pun akan cair dengan sendirinya. Artinya, semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat dan sebagainya. Tentu saja, secara faktual ‘obsesi’ feminisme ini sangat tidak mungkin terwujud karena mereka seolah tak bisa menerima, mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama, mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda; laki-laki dan perempuan. Di samping itu, adanya perbedaan jenis biologis ini, bagaimananpun pasti akan membawa konsekuensi logis berupa perbedaan ‘penampakan’, yang mau tidak mau akan berimplikasi pada perbedaan peran dan fungsi keduanya di dalam kehidupan bermasyarakat. Yang seharusnya dipahami, bahwa adanya perbedaan peran dan fungsi inilah yang justru akan memungkinkan direalisasikannya tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.
Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistik dan cenderung emosional juga telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan pandangan demokrasi yang menganggap, bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Dengan demikian, di dalam demokrasi prinsip individualisme menjadi sesuatu yang inhern, dimana prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis dan kelompok sebagai sumber orientasi. Ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, maka mereka lantas memandang persoalan tersebut sebagai urusan ‘intern’ komunitas perempuan. Sehingga, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan. Padahal realitasnya, masyarakat bukan hanya sekedar terbentuk dari individu-individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan interaksi terus-menerus. Dengan perspektif yang benar inilah, maka persoalan yang muncul pada sebagian individu --baik komunitas laki-laki maupun komunitas perempuan-- harus dipandang sebagai persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik, sehingga solusi yang dihasilkannya akan menyelesaikan persoalan secara tuntas.
Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja, sehingga ide pemberdayaan peran politik perempuanpun selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu melibatkan diri dan berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik formal, seperti di lembaga-lembaga pemerintahan/kekuasaan, lembaga legislasi, partai politik dan lain-lain. Hal ini sebetulnya terkait dengan logika feministik yang diilhami oleh teori mekanisme kekuasaan mayoritas yang ada dalam diskursus demokrasi, yang menyebutkan bahwa jika mayoritas kekuasaan dan legislasi didominasi oleh kaum perempuan, atau setidaknya imbang, maka dipastikan perspektif perempuan akan berpengaruh secara signifikan dalam produk-produk keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan. Dengan begitu, perempuan yang selama ini menjadi obyek dan bahkan menjadi korban kebijakan ‘yang penentunya didominasi kaum laki-laki’, akan bisa terlindungi. Padahal dalam tataran praktis, masalah ada-tidaknya hubungan antara kiprah politik perempuan seperti itu dengan tuntasnya persoalan perempuan, masih sangat debatable. Banyak fakta justru menunjukkan, bahwa keberadaan perempuan di parlemen atau di puncak kekuasaan sekalipun, tidak lantas menjamin tuntasnya persoalan-persoalan perempuan . Justru yang terpenting dalam hal ini, sebenarnya bukanlah masalah banyak atau tidaknya perempuan yang berkiprah di wilayah kekuasaan dan legislasi relatif terhadap laki-laki, melainkan masalah ada tidaknya perspektif yang benar dan seragam di seluruh ranah kehidupan masyarakat, sehingga masing-masing individu di dalamnya, apapun status dan kedudukannya, mengetahui secara pasti tujuan-tujuan luhur apa yang harus diperjuangkan secara bersama dan untuk kepentingan bersama. Sehingga dengan demikian, pada kondisi ini, siapapun yang menjadi pemerintah dan siapapun yang diperintah menjadi sesuatu yang ‘tidak penting’ lagi.
Persoalannya, perspektif yang benar dan seragam ini seperti apa? Tentu, harus berupa perspektif/kerangka pandang yang mendasar yakni tegak diatas cara pandang (aqidah) tertentu yang keshahihannya harus bisa dibuktikan secara akal dan fitrah, serta mampu memberi solusi tuntas atas persoalan-persoalan manusia secara keseluruhan (universal), simultan dan sekaligus menjamin rasa keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa memandang dari sisi apakah dia laki-laki atau perempuan. Dalam hal ini, secara akal dan fitrah, aqidah Islam bisa dibuktikan kebenarannya oleh siapapun. Sementara penerapan seluruh hukum-hukumnyapun secara faktual telah terbukti memberi jaminan keadilan atas semuanya, baik laki-laki maupun perempuan pada komunitas apapun. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan politik perempuan seharusnya diarahkan kepada terwujudnya visi Islam ini di dalam masyarakat, sehingga upaya pemberdayaan tersebut tidak boleh terpisah dari upaya pemberdayaan peran politik masyarakat secara keseluruhan. Dengan cara ini, maka akan tumbuh di dalam masyarakat kesadaran politik yang benar, yang mengarahkan mereka untuk segera merealisasikan perspektif tadi dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan mereka. Karena yang dimaksud dengan politik adalah pengaturan seluruh urusan ummat dengan strategi tertentu dan cara pandang tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan kesadaran politik sebagai target dari pemberdayaan politik disini adalah upaya manusia untuk memahami bagaimana memelihara urusannya dengan cara pandang tertentu pula. Dalam hal ini cara pandang dan strategi yang dimaksud adalah Islam dan penerapan hukum Islam.
Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya adalah gagasan yang sangat lemah. Mengingat demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik dari sisi teori maupun praktikanya, mengandung banyak sekali ambivalensi. Bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga rakyat berhak menentukan hukum (prinsip mayoritas), ternyata pada faktanya selalu melahirkan tirani minoritas, karena kehendak rakyat yang mayoritas harus tunduk pada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Artinya, teori representasi wakil rakyat di parlemen yang ada dalam diskursus demokrasi pada faktanya juga sulit untuk diwujudkan. Di sisi lain, demokrasi juga sangat mengagungkan prinsip individualisme yang mengharuskan adanya keyakinan terhadap pluralisme dan toleransi. Ini berarti, perspektif demokrasi harus bisa mengakomodir perbedaan-perbedaan yang ada pada kelompok manusia. Sehingga perspektif perempuan yang diusung feminisme pun sebenarnya hanya akan dianggap sebagai salah satu bagian saja dari sekian banyak perspektif yang ada, yang keberagamannya ‘wajib’ dipertahankan oleh sistem ini. Jika demikian faktanya, bagaimana mungkin kita bisa berharap sistem ini bisa memberi kebaikan pada ‘nasib’ perempuan, apalagi pada manusia secara keseluruhan?
Metodologi Tafsir Feminis : Bukti Tendensi Apologi dalamTajdid Senyatanya, bahwa kritik atas feminisme tidak boleh berhenti pada tataran teoritis atau sebagian praktisnya saja, mengingat masih banyak hal --yang jika dilihat dari sudut pandang Islam--, keberadaan ide ini sangat berbahaya karena terkait dengan hal-hal prinsip yang menyangkut tataran aqidah maupun syari’ah. Salah satu yang paling urgen adalah mengkritisi sejauhmana keabsahan gagasan rekonstruksi fiqih perempuan dengan metodologi tafsir feminis yang digunakannya; Serta seberapa layak gagasan-gagasan ‘kaum pembaharu’ bisa diadopsi sebagai landasan amal bagi kaum Muslim/Muslimah dalam menjalani peran dan fungsi sosial yang akan dipertanggungjawabkannya di akhirat kelak.
Sebagaimana sudah dijelaskan, munculnya gagasan rekonstruksi fiqih perempuan dalam diskursus ‘feminisme Islam’ , dilatar belakangi oleh ‘keyakinan’ bahwa Islam sudah saatnya dibebaskan dari kungkungan sejarahnya, karena selama ini dianggap bahwa Islam memiliki andil besar dalam mengukuhkan ketidakadilan sistemik yang menimpa perempuan dari zaman ke zaman. Para modernis-liberalis percaya, bahwa ‘kesalahan’ ini bukan terletak pada Islam, melainkan pada cara umat memahami Islam sehingga mereka menggagas tentang keharusan membuka wacana fiqih keIslaman inklusif, yang terbuka atas kritik dan perubahan, demi dan atas nama kebebasan berpikir, pencerahan dan kepentingan ilmiah yang diagungkan dalam era modernisme dan pasca modernisme sekarang ini. Tujuan mereka adalah demi “membebaskan Islam dari kekeliruan konsep dan persepsi Barat tentang Islam” dan membangun kembali ‘citra Islam’ yang kadung dicap miring oleh Barat dengan berbagai stereotype, seperti menghinakan perempuan, kuno, sadis, penuh kekerasan dan sebagainya, menjadi nampak lebih ramah, humanis dan modern. Upaya ini kemudian mereka nisbatkan kepada tradisi tajdid (pembaharuan) dan ijtihad yang dikenal dalam tradisi Islam.
Dalam konteks pemikiran Islam, semangat pembaharuan dan ijtihad sesungguhnya telah berlangsung sejak lama, yakni sejalan dengan perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Akan tetapi, pembaharuan yang dikembangkan oleh ulama salaf ash-shâlih dimasa lalu dan ulama khalaf (kontemporer) yang lurus, justru lebih mengarah kepada upaya ‘memurnikan’ ajaran Islam dan mengembalikannya ke perspektif Islam ‘apa adanya’, setelah dianggap bahwa Islam telah tersusupi pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran yang baru (bid’ah ) atau bahkan sesat, yang diyakini tidak relevan dengan kehendak wahyu (tasyri’). Sementara kalangan modernis liberalis justru lantang menyerukan upaya pembaharuan yang mengarah kepada keharusan untuk “membaca” wahyu dalam konteks kekinian melalui seruan-seruan untuk melakukan upaya reinterpretasi, reaktualisasi atau bahkan rekonstruksi teks-teks nash syara’. Untuk itu, mereka menyerukan penggunaan berbagai pendekatan tafsir di luar konteks kaidah ushul al-fiqih yang selama ini dikenal dan diakui dalam proses tajdid/ijtihad syar’I, seperti melalui pendekatan historis, sosiologis, ilmiah dan psikologis, disamping, mensandarkan berbagai upaya ijtihadnya kepada kaidah-kaidah Ushul yang keabsahannya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jauhnya dari perspektif wahyu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), seperti kaidah “Tidak ditolak perubahan hukum karena perubahan zaman” atau “Adat Istiadat dapat dijadikan patokan hukum”.
Dengan mencermati logika berpikir dan gagasan-gagasan para pembaharu (kaum modernis-liberalis), termasuk metodologi gagasan rekonstruksi mereka, maka kita akan mendapati beberapa ciri khas yang menonjol dari paradigma berpikir mereka, yakni :
Pertama, mereka menjadikan rasionalitas (ra’yu) sebagai asas ijtihad dan penafsirannya. Ini nampak ketika mereka melakukan berbagai upaya penafsiran dengan apa yang mereka sebut sebagai tafsir bi ar-ra’yi (ijtihad dalam tafsir) dan ijtihadnya itu sendiri, tanpa mau terikat dengan kaidah-kaidah penafsiran yang serius dan murni serta metode ijtihad yang benar dan lurus. Mereka beralasan, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka bagi siapapun yang ingin menginterpretasikannya. Mereka juga menyatakan, bahwa al-Qur’an yang kita miliki sekarang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang bisa diterima begitu saja, karena itu memang belum final, tidak pernah final dan mungkin tidak perlu final ; Oleh karenanya, masyarakat harus dibebaskan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Prinsip inilah yang sebenarnya mendasari anggapan, bahwa Al-Qur’an harus direkonstruksi secara terus-menerus berdasarkan rasionalitas manusia agar bisa terus mengikuti perubahan zaman. Prinsip ini tentu sangat berbahaya, mengingat, jika akal manusia --yang senyatanya demikian lemah dan terbatas-- dibiarkan bebas menafsirkan al-Qur’an, maka yang akan muncul adalah sikap penolakan terhadap sebagian ayat (yang qath’I sekalipun) atau muncul berbagai keraguan padanya, hanya karena nash al-Qur’an tadi tidak menunjukkan makna yang sesuai dengan keinginan akalnya.
Sebagai contoh adalah ketika kalangan modernis-liberalis menolak hukum poligami dengan alasan sangat merendahkan derajat kaum perempuan. Mereka membangun argumentasi, bahwa makna logis al-Qur’an menetapkan adanya egalitarianisme secara total antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Lantas dengan logika ini kemudian mereka melakukan penafsiran-penafsiran. Dalam hal ini, klaim mereka tentang tafsir bi ar-ra’yi atau tafsir bi al-ijtihadi, sesungguhnya memang dikenal dalam metodologi tafsir al-Qur’an. Akan tetapi yang dimaksud dengan tafsir bi ar-ra’yi sesungguhnya bukan berarti mengatakan apa saja yang diinginkan (akal)-nya mengenai suatu ayat dan mengutarakan apa saja yang dikehendaki oleh keinginannya. Yang dimaksudkan dengan tafsir bi ar-ra’yi yang dikenal dalam ilmu tafsir adalah memahami kalimat-kalimat al-Qur’an melalui pemahaman terhadap madlulnya yang ditunjukkan oleh informasi-informasi yang ada pada seorang ahli tafsir, seperti bahasa arab dan berbagai peristiwa . Bahkan dalam buku Pengantar Studi Al-Qur’an (at-Tibyan) , Aly ash-Shobuny menyatakan bahwa tafsir ra’yu adalah ijtihad yang didasarkan pada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, sehingga bisa diikuti dan diambil sewajarnya oleh orang yang hendak mendalami tafsir. Dengan demikian, pensandaran tafsir ini kembali kepada ilmu (prinsip-prinsip syara’ ), bukan semata-mata akal atau hawa nafsu manusia sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum modernis liberalis tadi.
Kedua, mereka menggunakan pendekatan sosio historis untuk memahami nash-nash syara’. Ini terkait dengan pendapat mereka, bahwa sekalipun al-Qur’an berusaha menetapkan dasar pedoman moral yang universal, akan tetapi kondisi jazirah arab abad ke-7 tetap melatarbelakangi turunnya al-Qur’an dan tujuan bimbingannya yang universal. Sehingga al-Qur’an harus dicerabut dari unsur-unsur kesejarahannya, kecuali mengadopsi hal-hal prinsip yang kemudian mereka sebut sebagai ‘spirit al-Qur’an’. Bagi mereka, penafsiran al-Qur’an tidak boleh berhenti pada konteks masyarakat dan kebudayaan tertentu, karena klaim al-Qur’an atas perspektif budaya tertentu (tunggal) –bahkan perspektif budaya dan komunitas zaman nabi sekalipun- itu dianggap akan sangat membatasi aplikasinya dan bertentangan dengan universalitas al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, ketika Islam menyatakan, bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, maka itu hanya cocok untuk komunitas Arab yang dulu kaum perempuannya memang sangat bergantung kepada laki-laki. Jilbab juga demikian, itu hanya pas diterapkan atas masyarakat yang tingkat penghargaannya kepada perempuan masih sangat rendah sebagaimana halnya masyarakat arab dahulu. Demikian seterusnya.
Dari sini nampak, bahwa para pembaharu cenderung menjadikan realitas sebagai sumber pemikiran dan sumber hukum bagi mereka. Sehingga bukannya berusaha agar al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan sumber kebenaran mutlak ini menjadi standar bagi kehidupan mereka, melainkan sebaliknya berusaha mencocok-cocokkan al-Qur’an agar sesuai dengan kondisi (rusak) yang ada atau bahkan menjadi pelegitimasi atasnya.
Ketiga,mereka menjadikan sejarah sebagai sumber rujukan, baik untuk menerima hukum atau menolaknya. Sebagai contoh, mereka menolak penafsiran tafsir “klasik” seperti tafsir Ath-Thabari dan Ibnu Katsir terkait dengan fiqih perempuan, karena mereka yakin, bahwa penafsiran para mufassir ini dipengaruhi oleh fakta kondisi perempuan di abad ke-8 di masa Dinasti Umayyah yang sama sekali tidak diberi kesempatan untuk bergerak di ruang-ruang publik, bahkan sebagian dari mereka dikurung di harem-harem istana. Dalam hal ini, mereka menjadikan sejarah yang menunjukkan penyimpangan penerapan Islam untuk menolak hukum-hukum Islam. Sebaliknya, fakta bahwa dalam sejarah Islam pernah ada kepala negara perempuan (sulthanah), mereka jadikan dalil untuk membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin pemerintahan. Padahal, menetapkan hukum Islam hanya boleh dilandaskan pada sumber yang dapat dipastikan berasal dari wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan apa saja yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma Sahabat dan Qiyas. Sementara sejarah hanya digunakan untuk mengetahui bagaimana penerapannya saja, dan bukan dijadikan sebagai dasar penggalian hukum. Itupun, sejarah yang diambil harus bisa dipertanggungjawabkan otentisitas dan obyektifitasnya secara ilmiah.
Lebih dari itu, jika ditelusuri, munculnya semangat pembaharuan yang ternyata bertentangan dengan tradisi tajdid dan ijtihad dalam Islam, sesungguhnya berpangkal dari adanya kesalahan persepsi tentang keberadaan dan posisi Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai wahyu Allah yang sempurna dan mutlak kebenarannya . Berkembangnya ide-ide pasca modernis yang menjadikan relativisme dan pluralisme sebagai paradigma berpikirnya telah berpengaruh dalam cara berpikir kalangan modernis liberalis yang ‘tercerahkan’ dengan pendidikan Barat sekuler, dimana dengan ide-ide tersebut mereka memustahilkan adanya kebenaran absolut, termasuk dalam agama Islam sekalipun. Karenanya wajar jika, mereka intens menyerukan upaya desakralisasi al-Qur’an maupun al-Hadits, dimana gagasan inilah yang sesungguhnya menjadi spirit dari gerakan tajdid yang mereka kembangkan. Bagi mereka, siapapun layak mengeksplorasi gagasan-gagasan al-Qur’an dan Hadits berdasarkan perspektif yang diinginkannya. Padahal fakta mengenai begitu lemah dan relatifnya perspektif (hasil rekayasa akal) manusia, akan bertabrakan dengan fungsi al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum bagi pengaturan kehidupan manusia hingga akhir zaman. Karena, bagaimana mungkin manusia akan bisa menerima sebuah penafsiran, termasuk penafsiran kelompok pembaharu, untuk kemudian penafsiran itu mereka jadikan sebagai sandaran bagi seluruh amal mereka, jika penafsiran dan ijtihad itu berangkat dari keraguan akan kemutlakan keduanya serta bersandar pada asumsi mengenai relatifitas gagasan-gagasan penafsirnya? Sampai kapanpun, kenyataan ini hanya akan membuat Al- Qur’an dan Al-Hadits sekedar menjadi obyek eksplorasi ilmiah yang dibahas dan digagas hanya demi dan untuk kepuasan ilmiah semata!
Tentang hal ini, Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani menekankan, bahwa Islam sesungguhnya hanya memiliki satu cara saja di dalam pengambilan hukum-hukumnya, yakni dengan memahami masalah yang ada, lalu melakukan istinbath (penggalian) hukum untuk memecahkan masalah tadi dari dalil-dalil syara’ (yakni nash Al-Qur’an dan as-Sunnah). Sehingga dari penjelasan ini, jelas bahwa kedudukan dalil-dalil syara’ bersifat mutlak, mengingat dialah yang akan menjadi sandaran bagi hukum-hukum yang digalinya, yang dengannya manusia akan menyandarkan seluruh amal perbuatannya. Oleh karena itu, ‘keyakinan yang benar dan utuh bahwa al-Qur’an dan al-Hadits adalah wahyu inilah’ yang sesungguhnya akan menjadi penentu atas kejujuran para penafsir (mufassir) atas teks-teks yang dikandungnya. Keyakinan ini pula, yang akan menghindarkan para penafsir dan mujtahid dari kesembronoan penggalian pesan-pesan ilahiyyah yang akan disampaikan kepada umat agar bisa dijadikan sebagai standar untuk menyelesaikan seluruh problema kehidupannya secara benar dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, wajar jika standar kelayakan seorang penafsir (mufassir) dan mujtahid tidak hanya dilihat dari aspek kompatibilitas dan kredibilitas keilmuannya saja, melainkan juga harus dilihat dari aspek ketsiqahan dan ketaqwaannya kepada Allah SWT sebagai sumber wahyu.
Agar seseorang layak untuk menjadi seorang Mufassir, maka ada beberapa syarat yang harus dimiliki, di antaranya (1) memiliki keyakinan yang benar terhadap al-Qur’an sebagai wahyu allah SWT.; (2) Bersih dari hawa nafsu; (3) Terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an; (4) Mencari penafsiran dari as-Sunnah; (5) Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam as-Sunnah, ditinjau dari pendapat para sahabat karena mereka yang lebih mengetahui tentang tafsir al-Qur’an dan menyaksikan langsung berbagai indikator (qarinah)-nya; (6) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya; (7) Memiliki pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an –seperti qira’ah, ilmu ushul, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lain-lain—disertai dengan adanya pemahaman yang cermat dalam mengukuhkan suatu makna atas yang lain. Selain persyaratan-persyaratan tersebut, seorang mufassir juga harus sangat memperhatikan ‘adab-adab’ seperti niat yang baik, tujuan yang benar, jujur, taat, tawadhu, mulia, berani menyampaikan kebenaran, sekaligus menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik.
Itu dari sisi tafsir. Adapun mengenai ijtihad dan mujtahid, maka pada dasarnya, setiap mukallaf berkewajiban untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum baginya sekaligus melakukan proses penggalian terhadap hukum-hukum syara’ dari dalil-dalinya (berijtihad) secara langsung oleh dirinya sendiri, karena setiap perbuatan mereka pada dasarnya telah terikat dengan hukum syara’ yang merupakan seruan-seruan Allah (khithab asy-Syâri’) dalam bentuk nash. Hanya saja, kenyataan bahwa para mukallaf itu berbeda-beda dalam pemahaman dan daya pikirnya, menjadikan kewajiban berijtihad ini berubah menjadi fardlu kifayah, yakni kewajiban yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu atas yang lainnya. Sehingga berdasarkan fakta tentang para mukallaf dan hakekat hukum syara’, kita akan mendapati bahwa di kalangan kaum muslim terdapat para mujtahid dan para muqallid.
Karena ijtihad adalah pencurahan segenap upaya dalam mencari/mengetahui suatu hukum atau beberapa hukum syara’ yang bersifat dzanni dari dalil-dalil syara’ (yakni al-Qur’an dan as-Sunnah) hingga ia merasa sampai pada tingkat kesulitan yang tidak bisa dilampauinya lagi, maka suatu upaya penggalian hukum dapat dikatakan sebagai ijtihad yang syar’I jika aktivitas tersebut bisa memenuhi tiga perkara, yaitu pertama, ada pencurahan segala upaya sehingga ia merasa tidak mampu lagi melampaui apa yang telah dia usahakan (maksimal); kedua, upaya tersebut dalam rangka mencari/memahami hukum syara yang bersifat dzanni; dan yang ketiga, pencarian hukum yang bersifat dzanni tersebut berasal dari nash-nash syara’.
Berdasarkan hal ini, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa disamping harus memahami adab-adab sebagaimana yang dijelaskan pada pembahasan mengenai tafsir, maka pada diri seorang mujtahid setidaknya harus terhimpun syarat-syarat keilmuan sebagai berikut :
1. Memiliki pengetahuan yang cukup terhadap bahasa arab, yakni pengetahuan terhadap lafadz-lafadz dan susunan (tarkîb) yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang hendak di-istinbathkan (digali).
2. Memiliki pengetahuan terhadap syara’, yakni nash-nash syara’ dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang berkaitan dengan masalah hukum dan pengetahuan tentang bagian-bagiannya; seperti al-‘umûm wa al-khushûsh, al-muthlaq wa al-muqayyad, an-nâsikh wa al-mansûkh, dan sebagainya.
3. Memiliki pengetahuan terhadap hakekat suatu fakta yang hendak dihukumi, yang biasa disebut sebagai manâth al-hukmi (tempat disandarkannya hukum). Jika seorang mujtahid tidak dapat memahami sendiri fakta termaksud, maka ia bisa menanyakannya kepada orang yang mengerti atau ahli tentang fakta ini, sekalipun orang yang ditanya tersebut bukan seorang muslim.
Dengan penjelasan mengenai hakekat tafsir dan ijtihad tersebut, maka kita akan bisa menstandarisasi keabsahan dan kelayakan para mufassirin dan mujtahidin dari kalangan modernis-liberalis tadi, berserta gagasan-gagasan rekonstruksi dan metodologi yang mereka gunakan, baik ide-ide tersebut menyangkut fiqih keperempuanan maupun fiqih secara keseluruhan. Hanya saja, jika kita melihat cara pandang yang melatar belakangi munculnya gagasan-gagasan seperti ini, sebenarnya sudah cukup untuk mengatakan, bahwa tidak ada yang tersisa dari mereka selain semangat apologia yang hanya kian mengukuhkan keberadaan ‘Islam sebagai sang tertuduh’.
Feminisme atau Islam Saja ?Kerancuan-kerancuan berpikir seperti inilah yang seharusnya dicermati oleh para penganut dan partisan feminisme, bahkan oleh seluruh kaum Muslim dimanapun, sehingga mereka tidak mudah terjebak dalam perangkapnya. Apalagi jika ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari pemikiran feminisme ini sangat berbahaya ditinjau dari sudut pandang Islam;
Pertama, Ide ini lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, terutama pada abad 19-20. Ketika itu kaum perempuan tertindas oleh sistem yang diterapkan, baik sistem feodalisme, maupun sistem liberalis-kapitalistik. Oleh karena itu, upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam --dimana Islam sangat memuliakan perempuan—jelas merupakan bentuk generalisasi yang dipaksakan; dan secara ilmiah tentu saja tak bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, Ide ini merupakan turunan dari pemikiran sekularisme-kapitalisme yang tegak di atas landasan pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh) yang menafikan kewenangan al-Khaliq dalam mengatur kehidupan. Hal ini tampak tatkala feminisme memberikan solusi terhadap problem yang ada tanpa mensandarkannya pada satu dalil syari’at pun. Padahal secara logika, ketika pengaturan kehidupan (termasuk ketika muncul problem keperempuanan) diserahkan pada asas rasionalitas manusia, maka bisa dipastikan bahwa aturan tersebut mengandung banyak kecacatan dan kerusakan. Dan ini jelas sangat bertentangan dengan Islam, baik dari sisi aqidah maupun syari’atnya. Mengingat Islam tegak di atas landasan keyakinan yang utuh, pasti dan shahih karena bisa dibuktikan dengan akal, bahwa manusia, alam dan kehidupan ini diciptakan oleh Allah SWT. Dan bahwa keberadaan manusia di dunia ini tidak lain adalah dalam rangka mengemban amanah ubudiyyah kepada Khaliqnya, dengan jalan melaksanakan seluruh aturan-Nya yang di akhirat kelak akan dipertanggungjawabkannya.
Ketiga, Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum Muslim untuk meridlai ide-ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya, sekalipun akhirnya hal itu harus dibarengi dengan sedikit demi sedikit mengikis keyakinan mereka akan kesempurnaan aturan Islam, atau berupaya melakukan sinkretisme antara ajaran Islam dengan ide-ide batil ini melalui upaya labelisasi ide-ide tersebut dengan stempel Islam. Hal ini niscaya, mengingat mereka tidak memiliki standar perbuatan yang jelas, kecuali asas manfaat yang mereka agungkan. Padahal faktanya, asas manfaat ini demikian lentur, berubah-ubah dan sangat relatif, sehingga nilai baik dan burukpun akan sangat kondisional.
Keempat, Seperti yang sudah dijelaskan, ide ini telah memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur masyarakat dan keluarga akibat tidak jelasnya pembagian fungsi dan peran laki-laki dan perempuan di dalamnya. Ketimpangan dan keguncangan ini antara lain ditandai dengan maraknya kasus-kasus perceraian, fenomena wanita karir, dekadensi moral seperti free sex, aborsi, fenomena un-wed dan no-mar, anak-anak bermasalah dan lain sebagainya. Jika dilihat dari konteks kepentingan umat dan masa depan mereka, tentu hal ini sangat berbahaya.
Kelima, Ide ini makin menjauhkan kaum Muslim dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup di dalam masyarakat Islam. Malah, ide-ide yang diusung feminisme kian mendekatkan kaum Muslim kepada hukum-hukum Barat yang rusak dan merusak. Padahal seharusnya disadari, bahwa secara politis, negara-negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan ini sangat berkepentingan atas berkembangnya ide-ide seperti ini di dunia Islam. Bahkan mereka menjadikan serangan pemikiran seperti ini sebagai senjata terbaik untuk meraih tujuan-tujuan imperialistik mereka. Karena mereka memahami sepenuhnya, bahwa rahasia terwujudnya masyarakat Islam yang kokoh --yang merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hegemoni mereka atas dunia—sesungguhnya terletak pada kemurnian pemikiran umat akan Islam dan keyakinan penuh akan kesempurnaan ideologinya.
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa sebenarnya tidak ada satu alasanpun yang membuat kaum Muslim harus ikut-ikutan mengadopsi, mempropagandakan, apalagi memperjuangkan ide feminisme, mengingat ide ini sudah cacat sejak awal, karena lahir dari aqidah sekularisme yang menjadikan manusia sebagai Rabbul’âlamîn. Justru yang seharusnya mereka lakukan adalah merevisi kembali keyakinan mereka akan kebenaran aqidah Islam dan hukum-hukum yang terpancar darinya. Yakni dengan mewujudkan kembali pemikiran mendasar dan cemerlang (al-fikr al-mustanir) tentang hakekat keberadaan diri mereka di dunia, hingga sampai pada kesimpulan, bahwa segala sesuatu yang ada (termasuk dirinya) bersifat lemah dan fana, dan bahwa di balik semua ini ada Sang Pencipta dan Pengatur yang layak dan bahkan harus mereka jadikan sebagai sandaran dan tujuan penghambaan. Cara berpikir seperti inilah yang secara pasti akan menghantarkan manusia pada keyakinan yang kokoh terhadap kebenaran aqidah Islam, sebagai aqidah ruhiyah (yang mengatur aspek keakhiratan dan pemeliharaannya) dan sekaligus aqidah siyasiyah (yang mengatur aspek keduniaan dengan pemeliharaan secara menyeluruh). Dan pada tataran lebih lanjut, keimanan seperti ini dipastikan pula akan melahirkan semangat untuk senantiasa terikat dengan aturan-aturan Allah SWT. Karena mereka yakin, bahwa hanya aturan Allah-lah yang secara pasti akan menghantarkan mereka kepada kemuliaan hidup, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Keimanan ini pula yang akan memunculkan keyakinan, bahwa aturan-aturan yang tidak bersumber dari Allah hanya akan membawa manusia kepada kehinaan hidup, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Dengan kata lain, keimanan yang benar secara pasti akan mengarahkan manusia untuk senantiasa terikat pada syariat Islam saja.
Bagian Kelima :
Kembali Kepada Fitrah
Oleh : Najmah Sa'iidah
Mengapa Harus Islam?Senyatanya, bahwa Islam adalah dîn yang sempurna & menyeluruh, yang diturunkan oleh Allah SWT. untuk mengatur kehidupan umat manusia. Hanya Islamlah yang benar dan hanya Islamlah dîn yang diridhai Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
ان الدين عندالله الاسلام
“Sesungguhnya agama yang diridhai (benar) di sisi Allah hanyalah Islam” (Qs Ali-Imran : 19 )
Sehingga, cukup dengan Islam sajalah, seorang Muslim dapat mengarungi kehidupannya dan memecahkan setiap problematika kehidupan yang dihadapinya.
Senyatanya pula, bahwa Islam merupakan suatu pola hidup (sistem) yang khas yang berbeda dengan pola hidup lainnya, karena Islam tegak di atas pandangan yang khas terhadap alam, manusia dan kehidupan, yaitu bahwa semuanya adalah ciptaan Allah SWT sebagai al-Khâliq al-Mudabbir (Pencipta yang Maha Pengatur). Aqidah Islam menetapkan bahwa sebelum kehidupan dunia ada kehidupan yang mewajibkan kepada kita, kaum Muslim untuk mengimani keberadaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta; Dan menetapkan adanya kehidupan sesudah kehidupan dunia, yang mewajibkan bagi kaum Muslim untuk beriman kepada hari akhir. Di samping itu Islam telah menetapkan bahwa kehidupan manusia di dunia ini terikat oleh hukum Sang Pencipta, Allah SWT, dimana pelaksanaan dan penolakannya kepada hukum Allah tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya di hari akhir nanti. Aqidah inilah yang akan menuntut manusia untuk selalu terikat kepada aturan-aturan, perintah dan larangan Allah swt, yang tujuan akhirnya (ghayat al-ghayah) adalah untuk menggapai keridhoan Allah SWT. Keridhoan Allah inilah yang menjadi nilai tertinggi dan menjadi tolak ukur kebahagiaan yang ingin diraih oleh setiap Muslim, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Aturan-aturan Islam seluruhnya bersumber dari wahyu Allah dan dapat dipastikan bahwa aturan-aturan tersebut akan menjamin kebahagian manusia, karena aturan tersebut dibuat oleh Dzat yang menciptakan manusia dan yang paling tahu hakekat ciptaanNya. Oleh karena itu, aturan-aturan Islam akan senantiasa tetap sekalipun bentuk kehidupan masyarakat berubah. Karenanya sasaran utama untuk menjaga dan melindungi masyarakat tidak bergantung kepada manusia di suatu masa dan tempat tertentu, tapi tergantung, pada tegak atau tidaknya aturan Allah pada masyarakat tersebut. Jika aturan Islam tegak dimuka bumi ini, maka dipastikan bahwa ketentraman umat manusia di muka bumi ini akan terjaga, tapi sebaliknya jika aturan Islam tidak tegak dimuka bumi ini, maka kekacauanlah justru yang akan terjadi.
Seseorang yang telah mengaku bahwa ia seorang muslim – bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah – maka wajib atasnya untuk tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang diturunkan Allah SWT serta risalah yang disampaikan oleh Rasul-Nya. Dengan kata lain, persaksiannya tadi (syahadah) mengharuskannya untuk senantiasa mengikatkan segala amal perbuatannya dengan perintah dan laranganNya, sebagaimana firman Allah SWT :
ومن لم يحكم بمآانزل الله فاولآئك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(TQS Al-Mâidah : 44)
ومن لم يحكم بمآ انزل الله فاولآئك هم الظالمون
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(TQS Al-Mâidah : 45)
ومن لم يحكم بمآانزل الله فاولآئك هم الفاسقون
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (TQS Al-Mâidah : 47)
فاحكم بينهم بمآ انزل الله ولاتتبع اهوآ ءهم عماجآءك من الحق
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS Al-Mâidah : 48 )
وان احكم بينهم بمآ انزل الله ولآ تتبع اهوآءهم واحذرهم ان يفتنوك عن بعض مآ انزل الله اليك
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.( QS Al-Mâidah : 49)
Ayat-ayat ini berlaku umum atas seluruh perbuatan manusia, dan dibebankan baik bagi laki-laki maupun perempuan, tanpa terkecuali.
Islam merupakan risalah terakhir yang diturunkan kepada Muhammad saw, sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Berbeda sekali dengan risalah sebelumnya yang ditujukan kepada sekelompok umat, Islam ditujukan untuk seluruh manusia, sebab Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh umat manusia.
Dengan diutusnya Muhammad saw sebagai nabi terakhir untuk seluruh manusia, maka Allah swt telah menyempurnakan Islam sebagai satu-satunya aturan yang khas, yang lengkap dan menyeluruh yang dapat menjamin keselamatan hidup dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Sejarah telah membuktikan selama kurang lebih 13 abad, syariat Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan adil, sehingga mampu menjamin ketentraman hidup manusia, sehingga orang-orang non muslimpun tentram hidup dibawah naungan Islam. Hal ini karena, risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw memang berlaku universal untuk seluruh umat manusia, kapan dan dimanapun ia berada. Hal ini diperkuat dengan perintah Allah swt sebagai Sang Pencipta kepada makhluknya yaitu manusia, agar mereka mentaati segala sesuatu yang diperintahkan Rasul saw dan meninggalkan segala yang dilarangannya. Firman Allah swt :
ومآأتكم الرسول ومآ نهكم عنه فنتهوا
Dan segala apa yang diperintahkan Rasul kepadamu, maka ambillah/terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.(TQS Al-Hasyr : 7).
Dalam hal ini, harus ditekankan, bahwa Islam datang bukan sekedar sebagai ilmu pengetahuan atau teori semata yang tidak dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi Islam merupakan sekumpulan pemikiran atau pemahaman yang memiliki penunjukan-penunjukan nyata yang dapat dijangkau oleh akal manusia dan mencakup tatacara pelaksanaan pemikiran tersebut, karena Islam diturunkan oleh Allah sebagai aturan hidup bagi umat manusia. Karenanya Islam datang dalam bentuk pembebanan hukum-hukum syara’ bagi manusia, yang akan menuntun manusia agar mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya dalam mengarungi kehidupan ini.
Dan ketika Islam memberikan tatacara penyelesaian permasalahan melalui hukum syara’, maka Islam tidak memandang permasalahan tersebut milik siapa. Akan tetapi Islam memberikan hukum-hukum syara’ untuk menyelesaikan seluruh permasalahan manusia, siapapun orangnya, laki-laki atau perempuan, berkulit merah atau hitam, orang Arab atau bukan Arab. Demikian pula Islam memandang setiap permasalahan apapun semata-mata sebagai permasalahan manusia, apakah itu persoalan ekonomi, sosial, politik, keluarga dan lain-lain, dimana Islam memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya ini dengan posisinya sebagai manusia. Oleh karena itu apapun jenis permasalahan/persoalan yang muncul, selama itu adalah masalah yang dihadapi manusia, maka hukum syara’ pasti mampu menyelesaikannya, karena Islam datang dari Pencipta Manusia yang tentu saja Dialah yang lebih tahu tentang hakekat manusia sebagai makhluk yang diciptakan-Nya baik fitrah maupun tabiatnya, bahkan lebih tahu daripada manusia sendiri.
Demikianlah kesempurnaan aturan Islam yang dibawa oleh Muhammad saw untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, tanpa memihak yang satu dari yang lainnya. Sebagai sebuah aturan yang terpadu, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan yang akan menjamin terwujudnya ketentraman umat manusia, karena Islam sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal manusia; Tidak membedakan antara jenis manusia yang satu dengan jenis yang lain-lain. Kedua-duanya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dengan sedemikian rincinya dalam aturan-aturan Islam (hukum-hukum syara’), karena Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, tidak berbeda satu dengan yang lainnya dari segi kemanusiaannya. Bahkan dari sudut ini tidak ada keistimewaannya bagi yang satu atas yang lainnya.
Islam Memandang Perempuan
Pembicaraan tentang perempuan memang tidak habis-habisnya, selalu saja ada topik yang menarik untuk memperbincangkannnya. Bahkan laki-laki maupun perempuan dengan berbagai pandangan hidup yang dimilikinya masih saja mencari jawaban yang memuaskan tentang hakekat perempuan. Mengapa perempuan dianggap sebagai makhluk yang hina sehingga ditindas oleh laki-laki ? Mengapa perempuan diperlakukan tidak adil dalam bidang-bidang tertentu atau bahkan di segala bidang ? Dimana dan bagaimana seharusnya seorang perempuan berkiprah ? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan seputar perempuan.
Para feminis berpendapat bahwa ‘wanita’ dalam kosa kata jawa berarti “wani ditoto”= berani ditata (oleh laki-laki). Sedangkan istilah perempuan, dalam prasasti Gandasuli ditemukan bahwa ‘perempuan’ berasal dari serapan kata ‘parpuanta’ yang artinya ‘dipertuan’ atau ‘dihormati’ (empu = gelar kehormatan yang berarti tuan). Oleh karenanya kaum feminis tidak mau menggunakan istilah wanita, tetapi lebih memilih istilah perempuan. Mereka memilih persepsi bahwa kata ‘wanita ‘ mengandung makna yang bias patriarki. Mereka juga berpendapat bahwa pola hidup perempuan lebih sempurna daripada laki-laki, karena menurut pandangan mereka :
Perempuan = laki-laki + kemampuan melahirkan dan menyusui
Artinya : perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki hanya saja perempuan diberikan kelebihan potensi untuk mengandung, melahirkan dan menyusui anak, yang potensi ini tidak dimiliki oleh laki-laki.
Mereka berpendapat bahwa perempuan adalah sosok yang berdiri sendiri yang terpisah dari laki-laki. Dan ketika memandang suatu permasalah tidak memandangnya sebagai masalah bersama, tetapi menilai ketika suatu permasalahan menimpa perempuan, itu dianggap sebagai permasalahan perempuan dan bukan permasalahan laki-laki, karenanya perempuan sendirilah yang harus memperjuangkannya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, tidak boleh ada campur tangan laki-laki. Mereka berusaha keras untuk mengangkat perempuan dari lubang lumpur ke permukaan sesuai dengan perspektif yang ada di benak mereka. Agar perempuan mampu eksis sebagaimana laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat. Akhirnya mereka terkungkung dalam pembahasan kebebasan dan kemandirian menurut perspektif mereka.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa perempuan akan menjadi apa kata suaminya, sebagaimana sebagian orang mengatakan ‘swargo nunut, neroko katut’ ( kesurga numpang, ke neraka juga terbawa). Seakan perempuan tidak punya pilihan dalam menentukan pilihan hidup, kecuali apa kata suami. Ungkapan ini muncul karena mereka memahami bahwa ketaatan kepada suami adalah ketaatan yang besifat mutlak untuk segala hal tanpa melihat benar atau salah perintah suami.
Kaum laki-lakipun tidak tinggal diam dalam perbincangan seputar perempuan. Ada diantaranya yang mengungkapkan, perempuan sekarang banyak yang hipokrit (munafik/berpura-pura dalam suatu hal). Mereka ingin diperlakukan sama dengan laki-laki tetapi dalam banyak hal perempuan sering memakai alasan keperempuanannya untuk mendapatkan banyak kemudahan. Pada situasi perempuan diharuskan kerja lembur, tugas ke luar kota atau pekerjaan yang melelahkan fisik, perempuan sering berdalih,”saya tidak bisa karena punya anak kecil, saya pusing karena sedang datang bulan.” Apabila berkaitan dengan kenaikan pangkat, upah misalnya, kaum perempuan akan berteriak telah terjadi diskriminasi dan penindasan hak-hak perempuan, itulah fakta perbincangan soal perempuan. Lalu bagaimana Islam memandang perempuan ?
Islam merupakan dîn yang sempurna yang seluruh ajarannya bersumber pada wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapanpun, telah memberikan aturan-aturan yang baku dan terperinci sehingga seluruh problematika hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan dengan memuaskan tanpa ada golongan yang merasa dirugikan karena aturan-aturan tersebut senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia.
Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama, dimana Allah telah menempatkan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan secara adil agar keduanya dapat hidup berdampingan secara harmonis karena keduanya diciptakan untuk hidup berdampingan ditengah-tengah masyarakat. Bahkan Allah telah menciptakan pada keduanya rasa ketergantungan satu sama lain karena kelangsungan hidup generasi berikutnya tergantung pada keberadaan keduanya, laki-laki dan perempuan di muka bumi ini. Rasulullah saw bersabda :
ayat
“Sesungguhnya kaum wanita adalah saudara kandung (= setara) dengan kaum laki-laki.”(HR. Abu Daud & Nasa’I).
Islam memandang bahwa perempuan adalah sesosok manusia dengan seperangkat potensi yang ada pada dirinya. Sebagaimana laki-laki, perempuan memiliki potensi berupa akal, naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), serta kebutuhan jasmani yang diberikan Allah kepada mereka. Seiring dengan adanya potensi tersebut, Allah menetapkan keduanya untuk menempati peran yang beragam, yaitu sebagai hamba Allah, anggota keluarga (anak, isteri, dan ibu) dan juga anggota masyarakat.
Allah memberikan akal kepada manusia, laki-laki dan perempuan agar mampu memahami petunjuk-petunjuk-Nya sehingga mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang benar dan yang salah, tentu saja setelah melalui proses berfikir yang benar, yaitu dengan menjadikan wahyu sebagai sandaran utama untuk memahami segala sesuatu. Dengan demikian, manusia akan mampu menentukan mana yang sesuai dengan ketentuan Allah dan mana yang menentangnya. Bersamaan dengan itu, Allah memberikan penyelesaian bagaimana cara memuaskan naluri dan kebutuhannya. Allah memberikan seperangkat aturan-aturan yang harus dilaksanakan oleh laki-laki maupun perempuan agar keduanya dapat terjun ke dalam kancah kehidupan dengan tenang dan tentram.
Sebagai hamba Allah, laki-laki dan perempuan dengan potensinya yang sama dari sisi insaniyah-nya (sisi kemanusiaannya), maka Allah memberi aturan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, tentang kewajiban mengajak manusia kepada keimanan, sholat, shaum, zakat, haji, menuntut ilmu, mengemban da’wah, dan sebagainya. Semua ini dibebankan kepada laki-laki dan perempuan tanpa perbedaan; Masing-masing memiliki hak yang sama, serta menanggung kawajiban yang sama pula, tidak berbeda dan tidak bertentangan. Di samping itu, Allah membebankan hak dan kewajiban yang berbeda antara laki-laki dan perempuan karena tabiat perempuan sebagai perempuan berbeda dengan tabiat laki-laki sebagai laki-laki, baik berkaitan dengan fungsi, kedudukan dan posisi masing-masing dalam masyarakat. Allah telah membebankan kewajiban mencari nafkah dan melindungi keluarganya kepada laki-laki karena hal itu berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga dan kewajiban ini tidak dibebankan kepada perempuan (walaupun demikian Islam tidak mengharamkan perempuan bekerja). Demikian pula ketika Allah menjadikan tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga, sesuai dengan tabiat keperempuanan, perempuan telah dikaruniai kemampuan memikul tanggung jawab sebagai ibu, seperti hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Kemampuan ini tidak terdapat pada laki-laki. Namun adanya perbedaan ini tidak berarti yang satu lebih tinggi dari yang lain, tetapi ini semua ditetapkan oleh Allah sesuai fitrahnya masing-masing, semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup manusia. Karena dalam pandangan Islam kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang akan tetapi diukur oleh derajat ketakwaannya. Allah telah menegaskan tentang hal ini dalam firman-Nya:
إن اكرمكم عند الله اتقكم
“Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu”(QS Al-Hujurât ayat 13)
Sehingga jelaslah bahwa sesungguhnya tidak ada yang lebih tinggi antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT. Justru keberadaan keduanya di dunia ini adalah sebagai makhluk Allah yang saling melengkapi dalam menjalani kehidupan dengan pembagian peran yang jelas dan seimbang serta tetap mengacu pada aturan yang telah Allah berikan, sehingga manusia dapat meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Kiprah Perempuan dalam Pandangan IslamDisamping kedudukannya sebagai seorang hamba Allah yang mengemban kewajiban-kewajiban individual sebagaimana halnya laki-laki, seorang perempuan secara khusus telah terbebani tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga suaminya sekaligus ia menjadi pemimpin bagi anak-anaknya, sebagaimana hadist Rasulullah:”Setiap kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir (kepala pemerintahan) adalah pemimpin bagi rakyatnya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, seorang pelayan adalah pemimpin atas harta tuannya, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.(HR Bukhari-Muslim dari Ibnu Umar).
Peran kepemimpinan dalam hadits ini sama sekali tidak menunjukkan adanya legitimasi atas superioritas derajat yang satu atas yang lain. Pemimpin negara tidak dianggap lebih mulia dari rakyatnya. Begitu pula seorang laki-laki sebagai suami tidaklah dianggap lebih mulia dibandingkan istri dan anak-anaknya. Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanat yang dibebankan Allah swt untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawabkan sebagai sebuah amal ibadah. Justru ketaatan masing-masing terhadap tanggung jawab kepemimpinan inilah yang akan menentukan kemuliaan derajat seseorang, sebagaimana firman Allah yang artinya:
”Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
adalah orang yang paling bertaqwa”(QS Al-Hujurât : 13)
Perempuan sebagai pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya mengandung pengertian, bahwa peran kepemimpinan yang utama bagi perempuan adalah merawat, mengasuh, mendidik, dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia dihadapan Allah. Disamping itu, ia pun berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan ketentraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain. Dengan perannya ini maka ia telah memberikan sumbangan besar kepada negara dan masyarakatnya karena dengan begitu, berarti dia telah mendidik dan memelihara generasi umat agar tumbuh menjadi individu-individu yang shalih dan mushlih di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga bisa dikatakan, bahwa peran kepemimpinan perempuan ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin lainnya di tengah-tengah umat.
Dari berbagai pembebanan hukum-hukum yang dikhususkan bagi perempuan ternyata dapat disimpulkan bahwa peran pokok perempuan adalah sebagai ibu dan manager rumah tangga (ummun wa rabbat al-bayt). Adapun hukum-hukum yang berkaitan dengan peran keibuan perempuan antara lain mencakup hukum-hukum tentang haid, kehamilan, melahirkan (wiladah), penyusuan (radha-ah), pengasuhan (hadhanah) dan pendidikan pertama bagi anak. Dalam hal ini, Islam sangat memperhatikan peran pokok perempuan ini. Seorang yang sedang hamil dan menyusui misalnya, mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di waktu yang lain, seorang suami dilarang mengajak anaknya yang masih kecil untuk mengadakan perjalanan panjang (safar) karena anak tersebut masih dalam hak pengasuhan ibunya. Seorang individu, masyarakat dan bahkan negara berkewajiban menjaga terlaksananya peran keibuan ini dengan sebaik-baiknya, karena hal ini pada dasarnya merupakan tanggung-jawab bersama.
Adapun kedudukan perempuan sebagai manager rumah tangga berfungsi sebagai mitra utama dari pemimpin rumah tangga, yaitu suami, dimana hubungan keduanya dalam rumah tangga dibangun atas dasar persahabatan dan kasih sayang. Sehingga, sekalipun suami berlaku sebagai nahkoda dalam biduk rumah tangga, namun bukan berarti kepemimpinannya bersifat diktator atau seperti majikan kepada budaknya. Tentang hal ini, Islam telah mengibaratkan bentuk persahabatan yang baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Wanita adalah saudara kandung bagi laki-laki”. Ini menunjukan adanya pertalian yang dekat dan fitri antara kedua jenis manusia, laki-laki dan perempuan.
Perlu dipahami pula, bahwa peran laki-laki dan perempuan dalam Islam tidak berarti sama rata dalam tanggungjawab dan hak untuk semua hal. Jika itu menyangkut potensi dan kemampuan jenis masing-masing laki-laki dan perempuan, maka Allah telah memberikan tugas yang seimbang dengan kemampuan jenisnya. Misalnya saja, ketika Allah membebankan tugas kehamilan dan melahirkan kepada perempuan, maka Allah menciptakan kesanggupan pada kaum perempuan untuk memikul tanggungjawab tersebut yang tidak dimiliki laki-laki, seperti dengan adanya rahim dan payudara yang memproduksi ASI pada kaum perempuan. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa Allah telah menciptakan adanya keseimbangan potensi yang dimiliki seseorang dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sebab Allah SWT tidak pernah dan tidak akan pernah mendzhalimi dan membebani hamba-Nya di luar kesanggupan mereka.
Sesungguhnya, teramat banyak pelajaran yang kita dapatkan daripada shahabiyah tentang bagaimana para perempuan meraih kemuliaannya. Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kita tentang penghargaan Islam terhadap kemuliaan peran pokok perempuan ini, seperti halnya dalam nasehat beliau kepada putrinya Fatimah, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra :
“Wahai Fatimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti menetapkan pada setiap biji tepung itu kebaikan, menghapus kejelekannya dan meningkatkan derajatnya. Wahai Fatimah, yang lebih utama dari seluruh keutamaan adalah keridhaan suami atas dirinya. Andaikan suamimu tidak meridhaimu maka aku tidak akan mendoakannya. Ketahuilah wahai Fatimah bahwa kemurkaan suami adalah kemurkaan Allah SWT. Wahai Fatimah, tidaklah wanita yang melayani suaminya sehari semalam dengan rasa suka dan penuh keikhlasan serta niat yang benar melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan memakaikan kepadanya di hari kiamat dengan pakaian yang hijau gemerlap dan menetapkannya baginya setiap rambut di tubuhnya seribu kebaikan.”Pada kesempatan lain Rasulullah bersabda : “Wahai Fatimah, jika wanita mengandung anak di perutnya, maka malaikat akan memohonkan ampun baginya, dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan, menghapuskan seribu kejelekannya. Ketika wanita itu merasa sakit ketika melahirkan maka Allah menetapkan baginya pahala para pejuang di jalan Allah SWT. Jika ia melahirkan bayi maka keluarlah dosa-dosanya seperti ketika ia dilahirkan oleh ibunya, dan tidak akan keluar dari dunia dengan suatu dosa apapun. Di kuburnya akan ditempatkan di taman-taman surga. Allah memberikan pahala seribu ibadah haji dan umrah dan seribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.”
Para shahabiyah di masa lalu pernah mempertanyakan persoalan yang mungkin juga dipertanyakan oleh para muslimah masa kini. Sekiranya para muslimah kembali kepada jawaban Islam – sebagaimana yang dilakukan para shahabiyah – maka tidaklah perlu bersusah payah merumuskan sendiri. Adalah Asma’ binti Yazid yang pernah melontarkan pertanyaan yang selama ini membebani kaum perempuan :”Ya Rasulullah aku mewakili kaumku untuk menanyakan kepada engkau. Bukanlah Allah mengutusmu untuk seluruh ummat, baik laki-laki maupun wanita. Kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Namun kami merasa diperlakukan tidak sama dengan kaum laki-laki. Kami adalah golongan yang serba terbatas dan terkurung. Kerja kami hanyalah menunggu rumah kalian, memelihara dan mengandung anak kalian. Kami tidak diberikan kesempatan untuk melakukan seperti yang dilakukan kaum laki-laki. Kami tidak diberi kesempatan mendapatkan pahala Shalat jumat, menengok orang sakit, merawat jenazah, berhaji (kecuali disertai mahram) dan amalan yang paling utama jihad fî sabîlillâh. Ketika kalian pergi berjihad kami bertugas menjaga harta dan anak kalian, menjahit pakaian kalian. Apakah mungkin dengan itu kami memperoleh pahala dari amalan yang kalian lakukan?”Rasulullah ta’jub mendengar pertanyaan-pertanyaan seperti itu, lalu beliau menjawab : “Wahai Asma’, kau pahami dan sampaikan ini kepada kaummu. Kebaktianmu kepada suami dan usaha mencari kerelaannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami-suami kalian (laki-laki).”
Inilah kesetaraan hakiki yang dimaksudkan oleh Islam; dimana laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki tanggungjawab dan peran yang seimbang sesuai dengan potensi dan kelebihannya. Bagaimanapun kemuliaan peran kepemimpinan pokok perempuan ini tidaklah dapat dipahami dan diterima, melainkan dengan hati yang penuh iman.
Hanya saja disamping kedudukan perempuan sebagai hamba Allah dan ummu wa rabbah al-bayt, kaum perempuan juga tidak bisa menafikan keberadaan mereka sebagai bagian dari masyarakat. Tentang hal ini Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 71:
والمؤمنون والمؤمنا ت بعضهم اوليآء بعض
”Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan wanita sebagian mereka
menjadi penolong sebagian yang lain”.Dengan demikian, merupakan hal yang wajar apabila antara manusia yang satu dengan yang lain saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat dan sebagaimana laki-laki, perempuan memiliki andil besar dalam menentukan arah, corak, dan pola generasi kini dan masa depan. Karena itu, merupakan keharusan bagi perempuan bersama laki-laki bertanggung jawab dalam pengaturan urusan ummat/masyarakat secara keseluruhan. Dengan kata lain, merupakan kewajiban bagi kaum muslimin maupun muslimah untuk berjuang menjadikan umat Islam sebagai khairu ummah, sebaik-baik ummat yang ada di dunia ini, bergerak bersama-sama dan tidak memisahkan diri. Karena Islam sebagai dîn yang sempurna dan universal memandang setiap persoalan kemanusiaan tidak pernah dibedakan apakah itu persoalan laki-laki atau persoalan perempuan saja. Islam memandang setiap persoalan umat manusia merupakan tanggungjawab seluruh kaum muslimin, sehingga target penyelesaiannya akan terjamin terpenuhi kebutuhan semua, baik laki-laki maupun perempuan sebagai individu, bagian keluarga dan masyarakat.
Berkaitan dengan hak, maka Islam memberikan keleluasaan bagi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan aktivitas perdagangan, perindustrian, pertanian, melakukan transaksi, memiliki setiap jenis harta dan mengembangkannya. Dalam hal muamalah, Allah swt berfirman:
للرجا ل نصيب مما اكتسبوا وللنسآء نصيب مما اكتسبن
“Laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita ada bagian
dari yang mereka usahakan”(QS An Nisa : 32).
Oleh karena itu, Islam tidak melarang perempuan bekerja (tetapi hal ini bukan berarti bahwa perempuan wajib bekerja), asalkan tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga dan tidak menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya, seperti tidak khalwat, bukan pekerjaan yang mengekspoitasi sisi keperempuanannya, serta memenuhi kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas perempuan di luar rumah.
Selain itu, sebagai pelaksanaan dari peran publiknya, sebagaimana laki-laki, seorang perempuan berkewajiban untuk mengurus urusan ummatnya melalui keterlibatannya dalam aktivitas politik. Sebagai aktivis politik, perempuan, sebagaimana laki-laki memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Majelis Syura, kewajiban untuk menasihati dan mengoreksi penguasa serta berkewajiban menjadi anggota kutlah siyasiy. Inilah pemeranfungsian perempuan di bidang politik. Hanya saja hendaknya disadari bahwa pemeranfungsian perempuan di bidang politik bukan sebagai suatu cara untuk meraih kekuasaan ataupun jabatan, tetapi harus disadari bahwa peran ini adalah sebagai perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah Allah SWT Yang Maha Tahu telah mengatur kehidupan manusia secara adil dan seimbang, dimana adakalanya Allah memberikan beban yang sama antara laki-laki dan perempuan dengan memandangnya sebagai manusia (insan) dan adakalanya pula Allah memberikan beban yang berbeda kepada keduanya, karena sifat dan tabiat khususnya sebagai laki-laki dan perempuan. Kekhususan-kekhususan tersebut sesungguhnya ditetapkan untuk mengarahkan aktivitas perempuan dan laki-laki berdasarkan sifat dan tabiatnya masing-masing. Laki-laki berdasarkan sifat dan tabiatnya sebagai laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat dan tabiatnya sebagai perempuan. Dengan demikian, adanya kekhususan-kekhususan tersebut tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi syari’at Islam terhadap perempuan, sebagaimana yang ditudingkan oleh kalangan feminis dan kaum liberalis selama ini. Justru hal ini menunjukkan bahwa aturan-aturan Allah sangat manusiawi dan holistik, mengingat fakta perbedaan jenis manusia dengan segala implikasinya merupakan sesuatu yang tidak mungkin dinafikan sama sekali. Bahkan, bisa dipahami bahwa dengan adanya perbedaan-perbedaan inilah keduanya bisa saling mengisi dan melengkapi sehingga keduanya dipandang memiliki kedudukan dan tanggungjawab yang sama dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat. Karena itulah mengapa Allah memerintahkan pula agar keduanya ridha terhadap apa yang telah ditentukan-Nya dan melarang keduanya saling iri dan dengki dengan kelebihan yang diberikan atas sebagian yang lain.
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. (An Nisa’ :32)
Islam; Tentang Perempuan dan PolitikTelah kita pahami bersama bahwa perempuan disamping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami serta anak dari ayah bundanya, maka ia adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi merupakan satu kesatuan yang utuh, karena keduanya bertanggung jawab untuk mengantarkan kaum muslimin untuk menjadi umat terbaik di dunia ini. Dan ini merupakan salah satu aktivitas politik yang harus dilaksanakan baik oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dan berkesinambungan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini terdapat kesalahanpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan politik bukan milik dan bagian perempuan. Ini karena politik dalam kacamata mereka identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipu muslihat yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun mereka tidak mau. Akhirnya kaum perempuan hanya mencukupkan diri memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anaknya, dan keluarganya, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Tetapi sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa terkecuali, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Sehingga aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, maka suara perempuan tidak akan di dengar dan diperjuangkan sehingga wajar bila akhirnya jalan yang ditempuh adalah harus menguasai suara di legislatif ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.
Adanya pendapat yang berbeda ini sebenarnya berpangkal dari pemahaman yang salah terhadap makna politik yang disandarkan kepada realitasnya dalam kehidupan, disamping merupakan akibat pemahaman yang salah terhadap aturan-aturan Islam. Mengenai definisi politik misalnya, banyak kalangan yang mengungkapkan pemahaman mereka tentang politik dengan pemaknaan yang sempit dan terbatas, diantaranya ada yang mendefinisikan politik sebagai suatu proses yang berjalan terkait dengan penyelenggaraan negara atau sistem pemerintahan. Sementara itu, dalam kamus Litre (1870), politik didefinisikan sebagai ilmu memerintah dan mengatur negara atau seni memerintah dan mengatur masyarakat manusia.
Prof. Miriam Budiarjo mengungkapkan pula, bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Dalam hal ini, menurutnya politik selalu menyangkut tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pibadi seseorang (private goals). Lagipula politik menyangkut kegiatan berbagai-bagai kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang-seorang (individu).
Secara bahasa (lughoh), politik (as-siyâsah) sebenarnya berasal dari kata ‘sâsa’, ‘yasûsu’, ‘siyâsatan’ yang berarti mengurus kepentingan seseorang. Dalam kamus al-Muhith dikatakan bahwa , ‘sustu ar-ra’iyata siyâsatan’ yang berarti saya memerintahnya dan melarangnya. Dekat dengan pengertian ini, Ahmad ‘Athiyah menyatakan bahwa politik bermakna memelihara dan memperhatikan urusan rakyat . Sementara itu secara lebih jelas, Syekh Hasan Al-Banna, menyatakan bahwa politik adalah memperhatikan urusan umat, luar dan dalam negeri, intern dan ekstern secara individu dan masyarakat keseluruhannya, bukan terbatas pada kepentingan golongan semata. Beliau juga berpendapat, bahwa politik tidak hanya menyangkut penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga upaya menciptakan sistem yang bersih dan berkeadilan, di mana mekanisme kontrol berperan besar. Senada dengan beliau, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya Al-Afkaru As-Siyâsiyah , mendefinisikan bahwa politik atau As-Siyâsah mempunyai makna mengatur urusan umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya.
Definisi politik sebagai pemelihara urusan umat
(ri’ayatu syu’unil ummah) ini sesunguhnya dapat diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban untuk mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda :
“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan ummat, dan tidak memberikan nasihat kepada mereka (ummat), dia tidak akan mencium bau syurga.”(HR Bukhari dan Maqil bin Yasar ra)
“Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara’) maka dia tidak akan dimintai tanggungjawabannya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya, maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridha (dengan perbuatan yang bertentangan dengan hukum syara’) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya:
”Apakah kita tidak memerangi mereka?”Beliau saw. menjawab:
”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam).”(HR Muslim dari Ummu Salamah ra)
“Siapa saja bangun di pagi hari dan perhatiannya kepada selain Allah, maka dia tidak berurusan dengan Allah. Dan barangsiapa yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).”(HR Hakim dan Al-Khatib dari Hudzaifah ra)
“Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan dia menipu mereka (ummat) maka Allah akan mengharamkan dia masuk ke dalam syurga.”(HR Bukhari dan Muslim dari Ma’qil bin Yasar ra).
Dari Jarir Ibnu Abdullah ra yang berkata: “
Aku mendatangi Nabi saw, kemudian aku berkata:’Aku berbai’at kepadamu dalam Islam. Kemudian Rasulullah saw mensyaratkan kepadaku untuk menasihati setiap muslim.”(HR Bukhari).
Hadits-hadits diatas, baik berkenaan dengan penguasa dan kedudukannya, pengoreksian (muhasabah) umat pada penguasa atau hubungan antara sesama kaum muslimin dalam mengurus kepentingan mereka dan untuk saling menasehati, semua itu menunjukkan makna politik, yakni mengurus kepentingan umat.
Bertolak dari pengertian bahwa politik adalah tanggungjawab pengaturan dan pemeliharaan urusan umat/masyarakat secara keseluruhan, maka tidak terlihat didalamnya unsur perebutan kekuasaan, kekejaman, ketidak-adilan dan sebagainya. Apalagi, Islam meletakkan dasar pengaturan dan pemeliharaan urusan umat ini di atas landasan hukum-hukum Allah, bukan pada kediktatoran pada penguasa atau keinginan sekelompok orang. Islam memandang, bahwa penguasa hanya merupakan pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah swt semata, sedangkan masyarakat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik. Koreksi masyarakat terhadap penguasa inilah yang akan menjaga para pelaku politik agar senantiasa berada dalam rel hukum-hukum syara’.
Dari pengertian politik di ataspun sesungguhnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa aktivitas tersebut ternyata tidak hanya dibebankan kepada laki-laki saja, karena perempuan pun merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat secara umum. Terlebih-lebih lagi jika kita memperhatikan nash-nash berikut ini :
ولتكم منكم أمة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر واولآئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Islam),menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung”(QS Ali Imran : 104).
Sabda Rasulullah saw dari Hudzaifah ra :
“Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka dan barangsiapa yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasehat bagi Allah dan Rasulnya, bagi kitab-Nya, bagi pemimpinnya dan bagi umumnya kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk diantara mereka” (HR Ath-Thabraniy).
Nash-nash di atas menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintah kepada kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan untuk memperhatikan atau memikirkan urusan umatnya, termasuk memperjuangkan agar upaya pemeliharaan urusan umat terlaksana. Dengan demikian, politik merupakan bagian yang inhern di dalam ajaran Islam. Sehingga upaya pemisahannya jelas-jelas merupakan upaya sekularisasi Islam yang tidak saja akan menjauhkan umat dari Islam, tetapi lebih jauh akan menjatuhkan mereka kepada kehinaan. Di sisi lain, Lafazh man من dan ummatun ( امة ) menunjukkan bahwa perintah tersebut berlaku umum bagi laki-laki maupun perempuan. Dan ketika Allah dan Rasul-Nya memerintahkan sesuatu bagi kaum muslimin seluruhnya, maka dapat dipastikan bahwa seluruh kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan sanggup melakukannya. Sebab Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar kesanggupannya, sebagaimana janji Allah swt:
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها لها ما كسبت وعليها ما ا كتسبت
“Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapatkan pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya".(QS Al-Baqarah : 286)
Pada dasarnya ketika kaum muslimin –termasuk kaum Muslimahnya-- berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya (potensi kemanusiaannya) untuk turut menyelesaikan urusan umat, maka pada saat itulah tampak keterlibatannya dalam aktivitas politik. Lalu, jika keterlibatan perempuan dalam masalah politik dianggap melanggar fitrah, maka fitrah mana yang dilanggar ? Bukankah secara fitrah perempuan adalah bagian dari masyarakat, dimana di dalamnya terdapat kepentingan yang berkaitan dengan kehidupannya yang perlu diatur ? Dari sinilah politik pun merupakan bagian dari kehidupan muslimah, bahkan menjadi bagian dari kehidupan kaum Muslim seluruhnya. Sehingga dilihat dari sisi perempuan, keluarga dan masyarakat tetap merupakan bagian dari kehidupan mereka. Tidak bisa satu bagian diambil sedangkan sebagian lain ditinggalkan.
Dalam tataran praktis, sesunggunya pelaksanaan kewajiban berpolitik ini dibebankan kepada seluruh komponen masyarakat, baik penyelenggara negara (penguasa), jama’ah (kelompok) maupun individu.
1. Kepada Penyelenggara Negara (Penguasa)
Negara menjalankan aktivitas politiknya dengan mengatur urusan ummat secara praktis, ke dalam maupun ke luar negeri. Ke dalam negeri (internal), negara menjalankan politiknya dengan memberlakukan hukum-hukum Islam secara internal di seluruh wilayahnya. Hukum-hukum yang diberlakukan mencakup hubungan antar individu masyarakat (mu’amalah), melaksanakan system hukum pidana (hudud), memelihara akhlaq, menjamin pelaksanaan ibadah, dan mengatur segala urusan rakyat sesuai dengan hukum Islam. Selain itu, negara pun memberikan informasi-informasi dan pemikiran-pemikiran yang benar dan jelas tentang Islam, kepada rakyatnya di seluruh wilayah. Serta memberikan suasana yang kondusif bagi terlaksananya aturan-aturan Allah & Rosul-Nya. Adapun ke luar negeri, negara menjalankan politik luar negerinya dalam mengatur hubungan negara Islam dengan negara, umat, dan bangsa lain, yang bertujuan mengurus kepentingan eksternal ummat. Politik luar negeri ini dijalankan dengan tetap berpedoman kepada pemikiran yang baku, yaitu menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, umat, dan bangsa, dengan dakwah dan jihad. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Pada saat negara Islam Madinah berdiri. Beliau menjalin hubungan dengan negara-negara lain dengan tujuan menyebarluaskan Islam. Mengadakan perjanjian dengan kaum Yahudi agar dapat menyiarkan dakwah di Hijaz. Kemudian mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan masyarakat Quraisy untuk mendakwahkan Islam di Jazirah Arab. Selain itu, Beliau saw pun mengirimkan surat kepada para penguasa yang ada di negara-negara di luar Jazirah Arab, untuk menjalin hubungan yang berlandaskan Aqidah Islam, semata-mata untuk menyeru agar mereka masuk ke dalam Islam. Hal seperti ini dilakukan pula oleh para khalifah selanjutnya, hingga masa kekhalifahan terakhir di Turki. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini merupakan dalil penyebaran Islam sebagai dasar hubungan luar negeri, dan membuktikan bahwa Beliau saw diutus untuk seluruh umat manusia.
Aktifitas inipun dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah. Bukan dengan tujuan untuk ekspansi ataupun kolonialisme/imperealis tapi semata-mata untuk penyebaran dakwah Islam. Karena Islam ataupun diutusnya Rasul adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Allah swt berfirman :
ومآ ارسلنا ك إلا كآ فة للنا س
“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya.”(TQS. Saba’;28)
قل يآ ايها النا س إني رسول الله اليكم جميعا
“Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (TQS. Al-A’raaf;158).
Selain aktivitas-aktivitas yang telah disebutkan di atas, Rasulullah saw juga melakukan jihad dalam penyebaran Islam, dimana jihad ini merupakan metode yang dipakai untuk menghilangkan halangan-halangan fisik dalam dakwah yang dilakukan oleh negara ke luar negeri. Maka, berdasarkan ketentuan syari’ah, kekuasaan dan kepengurusan kepentingan ummat hanya diberikan kepada penyelenggara negara (penguasa), bukan kepada individu ataupun jama’ah. Hal ini dipertegas oleh sabda Rasulullah saw :
“Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpin) maka bersabarlah. Barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemimpin Islam) walaupun sejengkal saja, lalu mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.”(HR Bukhari dari Ibnu Abbas ra)
Hadist ini menunjukkan bahwa pemberontakan kepada penguasa berarti pemberontakan kepada kekuasaan. Ini bermakna, bahwa kekuasaan adalah milik amir atau khalifah yang berwenang untuk mengurus dan memelihara kepentingan-kepentingan ummat/rakyat. Seperti sabda Rasulullah saw.;
“Adalah Bani Israil yang mengatur urusan mereka adalah para Nabi. Bila wafat seorang nabi, diganti nabi berikutnya. Tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para khalifah.’(HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
2. Kepada Jama’ah (kelompok)
Aktivitas politik yang dilakukan oleh sebuah jama’ah adalah seperti yang tercantum di dalam QS Ali Imran:104 :
ولتكم منكم أمة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر واولآئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang yang beruntung.”
Keberadaan jama’ah yang melaksanakan aktivitas menyeru kepada Islam dengan amar ma’ruf nahi munkar, telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., dan itu merupakan metode (thoriqoh) yang baku, meliputi pertama, sifat dakwah yang fikriyah (pemikiran), siyâsah (politis), dan idiologis; Kedua tahapan dakwah yaitu tatsqif (pembinaan/pengkaderan), tafa’ul wa kifah (interaksi dan perjuangan), dan tathbiq lil hukam (penerapan dengan kekuasaan), serta ketiga, tujuan dakwah, yaitu untuk melanjutkan kehidupan Islam. Melalui metode dakwah inilah aktivitas politik dilakukan oleh jama’ah, dengan memahamkan Islam kepada kaum muslimin secara total dan mendasar (inqilabiyah), melalui pembinaan intensif (murokazzah) dan jama’iy. Serta melakukan perang pemikiran di tengah-tengah ummat, yaitu dengan mengungkapkan kebobrokan pemikiran-pemikiran kufur yang ada, dengan menampakkan kesalahan dan ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia, melalui pernyataan atau penentangan terhadap hal-hal yang salah dan rusak yang bertentangan dengan Islam. Menciptakan opini publik yang berlawanan dengan yang ada untuk mempengaruhi, dengan menjelaskan Islam sebagai sebuah sistem yang dapat menyelesaikan dan mengatur problematika hidup manusia. Selain itu, umat pun dipahamkan bahwa dengan sistem kufur yang diberlakukan kepada mereka oleh penguasa, termasuk urusan-urusan mereka yang tidak terurusi dan terpenuhi secara benar. Sehingga ummat diharapkan memiliki kesadaran dan keinginan untuk diatur dengan aturan Islam yang mengatur kepentingan-kepentingan mereka, yang akhirnya membuat ummat rindu dan menuntut terhadap penerapan syariat Islam atas mereka. Aktivitas politik jama’ah pun dapat dilakukan dengan melakukan koreksi (muhasabah) kepada penguasa yang nyata-nyata telah melakukan kemunkaran, dan ini merupakan salah satu bentuk perjuangan politik (kifah siyasi). Perjuangan ini dilakukan tanpa kekerasan karena Rasulullah saw tidak pernah melakukan aktivitas kekerasan dalam aktivitas dakwahnya.
3. Kepada Individu
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa politik (siyâsah) bermakna mengatur urusan umat, ke dalam dan ke luar negeri. Memelihara urusan ummat berarti memelihara kepentingan hidup ummat, yang sama artinya pula mengetahui bagaimana penguasa mengatur ummat/rakyatnya. Dengan demikian, aktivitas menentang kebijakan penguasa dzalim, menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran kepada penguasa dzalim, serta bersikap kritis dan bersebrangan dengan penguasa dzalim, merupakan bentuk aktivitas-aktivitas politik yang berarti pula mengurus ummat. Seruan untuk aktivitas-aktivitas tersebut, tampak dalam nash-nash berikut ini, dimana Rasulullah saw, bersabda:
“Akan ada para amir (penguasa), maka kalian (ada yang) mengakui perbuatannya dan (ada yang) mengingkarinya. Siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan dengan hukum syara’) maka dia tidak akan diminta tanggung jawabnya, dan siapa saja yang mengingkari perbuatannya, maka dia akan selamat. Tetapi siapa saja yang ridha (dengan perbuatannya yang bertenntangan dengan hukum-hukum syara’) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya:
”Apakah kita tidak memerangi mereka?”Beliau saw menjawab:
”Tidak, selama mereka menegakkan shalat (hukum-hukum Islam).” (HR Muslim dari Ummu Salmah ra)
“Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran (haqq) di depan seorang penguasa yang dzalim.” (HR Abu Dawud dari Abu Said Al-Khudri ra)
Rasulullah saw juga bersabda :
“Penghulu para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan (setara dengannya) seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang dzalim, menyerukan (kepadanya) untuk berbuat baik dan melarangnya (berbuat kemunkaran), kemudian ia dibunuh” (HR Hakim dari Jabir ra)
Allah SWT berfirman:
الم ، غلبت الروم ، فى ا دنى الأرض وهم من بعد غلبهم سيغلبون ، فى بضع سنين لله الأمر من قبل ومن بعد ويومئذ يفرح المؤمنون
“Alif …lam …Miim… Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat. Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang beberapa tahun lagi. Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah mereka menang. Dan di hari itu (kemenangan atas bangsa Romawi) bergembiralah orang-orang yang beriman.”(TQS. Ar-Ruum: 1-4)
Dari hadits-hadits dan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa keterlibatan dalam aktivitas politik merupakan kewajiban bagi setiap muslim, di mana Allah SWT menuntut kaum muslimin secara tegas untuk mengurus umat Islam, yaitu dengan melibatkan diri dalam aktivitas politik. Keterlibatan individu-individu muslim dalam politik ini bertujuan melindungi kaum muslimin dari kerusakan akibat tindakan-tindakan penguasa yang zhalim dan musuh-musuh Islam. Dari Jabir bin Abdullah ra berkata :
“Saya datang kepada Rasulullah dan berkata:’Aku berbai’at kepadamu dalam Islam. Kemudian Rasulullah saw. Mensyaratkan kepadaku untuk menasihati setiap muslim.”(HR Bukhari).
Sabda Rasulullah saw :
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya (kekuasaannya), jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka ubahlah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR Muslimin).
Ini berarti bahwa kaum muslimin harus terlibat dalam politik internal, yaitu senantiasa mengontrol terhadap kepemimpinan penguasa dalam mengurusi kepentingan ummat, dan juga senantiasa ber-amar ma’ruf nahi munkar antara anggota masyarakat. Selain itu, kaum muslimin juga harus terlibat dalam politik luar negeri, dengan selalu bersikap waspada terhadap rencana dan tindakan negara-negara kafir yang dapat merugikan dan membahayakan ummat, melalui upaya mengungkap dan menghentikannya. Oleh karena itu, kaum musllimin harus paham pula politik internasional dan politik negara-negara lain, agar efektif dalam dakwah kepada mereka. Maka merupakan fardhu kifayah untuk memahami percaturan politik mereka, berdasarkan kaidah:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Suatu kewajiban tidak akan sempurna pelaksanaannya tanpa adanya sesuatu,
maka sesuatu itu menjadi wajib.”Syara’ telah mewajibkan kepada seluruh kaum muslimin untuk berdakwah kepada seluruh umat manusia, maka merupakan kewajiban pula untuk selalu berhubungan dengan masyarakat internasional, menyadari permasalahannya, mengetahui motif-motif politiknya, mengikuti setiap aktivitas politiknya, mengamati gaya politik dan hubungan internasional, serta memantau setiap manuver-manuver politik yang dilakukannya, termasuk mengoreksi penguasa jika meraka salah dalam melaksanakan hubungan perpolitikan dengan negara-negara lain.
Kiprah Politik MuslimahSetelah kita kaji nash-nash, baik Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah telah jelas bahwa berpolitik merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh kaum muslimin, tanpa kecuali, dimana mereka saling bahu membahu dan bekerjasama dalam memperhatikan dan memajukan masyarakat kaum muslimin.
Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberikan potensi yang sama dari sisi insaniyahnya, berupa potensi akal dan potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani). Potensi-potensi inilah yang akan mendorong manusia untuk terjun dalam kancah kehidupan. Terlebih lagi keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk saling bekerjasama di antara keduanya dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di antara mereka, sebagaimana firman Allah dalam QS At-Taubah : 71
والمؤمنون والمؤمنا ت بعضهم اوليآء بعض يأمرون با لمعروف
وينهون عن المنكر
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar …(QS At-Taubah : 71)
Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan “laki-laki mukmin” dan “perempuan mukmin” untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas politik yaitu amar ma’ruf nahyi munkar. Dari ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat yang terdiri atas laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh seluruh kaum muslimin, baik laki-laki maupun perempuan, keduanya menjadi bagian dari masyarakat/umat yang memiliki tanggungjawab yang sama untuk ikut menentukan arah, warna dan pola generasi kini dan masa depan. Maka boleh dikatakan sangat picik bila orang berpandangan bahwa dunia perempuan dibentengi oleh tirai domestik (kehidupan keluarga). Cukuplah perempuan piawai di antara kamar dan dapur, tak usahlah peduli dengan deru kehidupan di balik jendela. Disadari atau tidak hal ini bisa membawa kepada penindasan hak-hak perempuan dalam kehidupan umum (di luar rumah). Semua ini tidak akan terjadi apabila hak dan kewajiban wanita dalam kehidupan umum dijamin dan dilindungi baik oleh masyarakat maupun penguasa.
Namun, haruslah dipahami pula, bahwa ketika seorang perempuan melakukan aktivitas politik atau terjun dalam aktivitas politik bukan merupakan satu jalan agar perempuan dapat menguasai suatu posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara perempuan didengar oleh umat/masyarakat. Tetapi harus dipahami bahwa esensi kiprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah swt, sebagai suatu bentuk tanggungjawabnya terhadap masyarakat yang terdiri atas perempuan dan laki-laki, bukan masyarakat laki-laki ataupun masyarakat perempuan secara terpisah,. Sehingga dalam aktivitas politik ini, maka tentu saja perjuangan yang dilakukan oleh kaum perempuan tidak boleh terpisah ataupun memisahkan diri dari laki-laki, karena disamping masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan, Islam pun tidak pernah memisahkan suatu permasalahan sebagai permasalahan laki-laki atau permasalahan perempuan yang harus dipecahkan oleh masing-masing dari keduanya, tetapi memandangnya sebagai permasalahan manusia yang harus diselesaikan oleh keduanya, baik laki-laki maupun perempuan sebagai tanggungjawabnya terhadap masyarakat. Di samping itu seorang muslim harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan. Semua ini semata-mata karena Allah swt, Sang Pembuat hukum dan Pencipta manusia sangat memahami apa yang terbaik bagi manusia, laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu Allah telah menetapkan aturan-aturan bagi perempuan dalam beraktivitas politik, yaitu :
A. Aktivitas Politik Yang Boleh dilakukan :1. Hak dan kewajiban bai’atDalam hukum Islam sahnya pengangkatan seorang khalifah itu adalah adanya bai’at, yaitu pernyataan dari kaum muslimin kepada seorang Muslim’ bahwa mereka rela mengangkat dan taat kepada orang tersebut untuk memimpin mereka memberlakukan hukum-hukum Allah di muka bumi ini. Apabila ada sekelompok kaum muslimin yang telah mewakili kaum muslimin lain melakukan bai’at, maka sahlah seseorang yang dibaiat itu menjadi khalifah yang harus ditaati oleh seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini, Islam memberikan hak dan kewajiban untuk melakukan baiat kepada perempuan sebagaimana kepada laki-laki Diriwayatkan dalam sebuah hadis shahih, dari Ayyub, dari Hafshah dari Ummu Athiyah ra yang berkata :
“Kami barbaiat Rasulullah saw, lalu beliau membacakan kepadaku, ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu dan melarang kami untuk niyahah (meratapi mayat), karena itulah salah seorang wanita dari kami menarik tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata : ‘seseorang telah membuatku bahagia dan aku ingin membalas jasanya’. Dan Rasulullah tidak berkata apa-apa, lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR Bukhari)
Makna hadits ini adalah, ada salah seorang di antara para perempuan yang membaiat Rasulullah saw melepaskan genggaman/jabat tangannya karena hendak meratapi mayat (isi baiat) sahabat yang telah membahagiakannya. Sedangkan perempuan-perempuan lainnya tetap dalam keadaan membai’at Rasulullah. Ini memberikan penjelasan kepada kita semua bahwa di hadapan Rasulullah, kaum perempuan tersebut membai’at Rasulullah saw dan Rasulullah pun menerima bai’at mereka.
2. Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummatMajelis ummat adalah suatu badan negara Islam yang terdiri atas wakil-wakil rakyat yang bertugas memberikan nasehat dari umat kepada khalifah. Wakil-wakil rakyat ini mengajukan apa saja yang dibutuhkan rakyat dan memberikan saran bagaimana sebaiknya cara kebutuhan tersebut terpenuhi. Di samping itu, mereka juga harus mengoreksi dan menasehati penguasa apabila cara pemenuhan yang ditetapkan oleh khalifah bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam riwayat shahih dari Ibnu Hisyam, dari Ka’ab bin Malik ra, disebutkan bahwa setelah tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang perempuan melakukan bai’at Aqabah II, maka Rasul berkata kepada mereka :
اخرجو ا لى منكم اثنى عشر نقيبا يكونون على قومهم بما فيهم كفلاء
“Datangkanlah dua belas wakil dari kalian, yang ada pada mereka tanggungjawab
atas kabilahnya masing-masing”
Seruan Rasulullah ini ditujukan kepada ke-tujuh puluh lima orang Madinah tersebut termasuk di dalamnya dua orang perempuan untuk memilih wakil di antara mereka. Selain itu Rasul juga tidak menentukan bahwa wakil yang dipilih itu harus laki-laki, sehingga ada hak yang sama dalam masalah ini bagi laki-laki dan perempuan untuk menjadi wakil rakyat. Kedua perempuan tersebut adalah Nasibah binti Ka’ab Ummi Imarah, perempuan dari Bani Mazin dan ‘Asma binti Amru’ bin Adiy dari Bani Salamah Keduanya berhak untuk memilih 12 wakil dari 75 orang Madinah yang membaiat Rasulullah, di samping mereka juga berhak untuk dipilih menjadi salah satu wakil dari 12 orang wakil yang dibutuhkan sebagai pemimpin dari rombongan (kabilah-kabilah) tersebut. Artinya perempuan boleh dipilih ataupun memilih wakil dari mereka, karena Rasulullah tidak mengkhususkan hadits tersebut untuk laki-laki saja.
3. Kewajiban amar ma’ruf nahi munkarAktivitas ini merupakan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan, karena nash-nash yang berkaitan dengan masalah ini bersifat umum baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah :
ولتكم منكم أمة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف وينهون عن المنكر واولآئك هم المفلحون
“Dan hendaklah ada segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS Ali Imran : 104)
والمؤمنون والمؤمنا ت بعضهم اوليآء بعض يأمرون با لمعروف
وينهون عن المنكر
“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar … (QS At-Taubah : 71)
Berkenaan dengan aktivitas perempuan dalam amar ma’ruf nahi munkar, senantiasa melekat dalam ingatan kita bagaimana Fathimah binti Al-Khaththab beramar ma’ruf nahyi munkar kepada saudara kandungnya Umar bin Khaththab dengan penuh keberanian dan ketegaran. Dimana setelah mencela apa yang menjadi sesembahan Umar dan peribadatan kepadanya, Fathimah mengenalkan dan menyampaikan Islam kepada Umar dengan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an dari QS Thaha. Sampai akhirnya Umar masuk Islam dan menjadi pembela Islam.
4. Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasaApabila penguasa menetapkan suatu aturan yang melanggar hukum syara’ atau ada kebutuhan rakyat yang luput dari penguasa, maka wajib bagi setiap muslimin untuk menasehati penguasa agar ia dapat memperbaiki kesalahan tersebut. Nasehat tersebut bisa disampaikan langsung kepada penguasa atau melalui syura atau lewat partai. Mengenai hal ini, seperti halnya kepada pria, Allah swt juga mensyaratkan kepada wanita untuk memberi nasehat, sebagaimana hadits di bawah ini :
الدين النصيحة. قيل لمن يا رسول الله ,قا ل لله ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم
“Diin (Islam) itu nasehat, kemudian ditanyakan : Kepada siapa yaa Rasulullah ? Beliau menjawab kepada Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan rakyat mereka” Sejarah telah mencatat ada seorang perempuan yang mengkritik apa yang dilakukan Rasulullah saw terhadap kasus yang menimpanya. Adalah Barirah, budak perempuan Aisyah ra. Ketika itu Aisyah memerdekakannya, sedangkan Barirah berstatus sebagai istri Mughist, salah seorang budak. Saat itu berlaku hukum bahwa ketika seorang budak sudah dimerdekakan sedangkan suaminya belum merdeka, maka baginya diberi hak untuk memilih apakah tetap menjadi istrinya atau bercerai dari suaminya. Waktu itu Barirah memilih untuk menceraikan diri dari suaminya. Ketika kabar ini sampai kepada para shahabat, mereka membujuk Barirah untuk mencabut keputusannya, tetapi Barirah tetap pada keputusannya. Kemudian akhirnya para shahabat mengadukan hal ini kepada Rasulullah saw. Lalu Rasulullah menganjurkan Barirah untuk membuka hatinya kembali untuk Mughist. Anjuran nabi ini dijawab oleh Barirah : “Apakah Rasulullah memerintah saya untuk menerima kembali Mughist, sedangkan saya tidak berhajat lagi kepadanya, yaa Rasulullah ?” Kemudian Rasulullah menyadarinya bahwa ia tidak berhak untuk mencampuri masalah ini, beliau menjawab :”Tidak, saya tidak memerintah engkau, saya tidak boleh memperkosa (memaksakan kehendak)”.
Contoh lain adalah apa yang dilakukan oleh Khaulah binti Hakim bin Tsa’labah ra. yang memprotes khalifah Umar ketika Umar menetapkan jumlah mahar tertentu bagi perempuan dikarenakan tingginya mahar yang diminta oleh kaum perempuan pada waktu itu. Dan Umar pada waktu itu menyadari kesalahannya dan mencabut keputusannya dengan mengatakan : “Perempuan ini benar dan Umar salah”
5. Menjadi Anggota Kutlah Siyasi (Partai Politik)
Keberadaan kutlah siyasi merupakan pemenuhan kewajiban dari Allah SWT dalam QS Ali Imran; 104:
ولتكم منكم أمة يدعون إلى الخير ويأ مرون با لمعروف
وينهون عن المنكر واولآئك هم المفلحونs
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang yang beruntung.”Kutlah siyasi ada untuk menjaga agar semua hukum-hukum Allah tetap diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya sepanjang masa. Keberadaannya wajib bagi kaum muslimin, baik di dunia diterapkan Sistem Islam ataupun tidak. Hanya perbedaannya adalah, jika ada sistem Islam, maka kewajiban untuk beraktivitas di dalamnya adalah fardu kifayah, sedangkan jika belum ada sistem Islam di dunia, kewajiban beraktivitas di dalamnya adalah fardu’ain. Karena pada saat ini Sistem Islam belum tegak di bumi, maka kaum muslimin seluruhnya termasuk muslimah, wajib ’ain untuk masuk dan beraktivitas dalam Kutlah Siyasi, dimana yang menjadi aktivitas pokok partai tersebut adalah membina kesadaran politik masyarakat dengan Islam, dan sekaligus mengoreksi penguasa jika mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Perempuan-perempuan yang pertama-tama masuk Islam bersama-sama dengan para shahabat dibina ke-Islamannya oleh Rasul Saw. Merekapun berjuang bersama Rasulullah saw untuk menyampaikan Islam kepada kaum perempuan Quraisy. Merekapun melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi (sirriyyah), kemudian terang-terangan (setelah turun perintah Allah untuk berdakwah secara terang-terangan dalam QS Al-Hijr : 94) bersama-sama dengan para shahabat dan Rasulullah saw. Menurut beberapa sumber, perempuan-perempuan yang pertama-tama masuk Islam selain keluarga Rasulullah, antara lain : Aminah binti Khalaf, Asma’ binti Abubakar, Aisyah binti Abubakar, Ummu Salamah, Fathimah binti Al-Khaththab dan sebagainya.
Selain aktivitas-aktivitas di atas masih sesungguhnya banyak lagi aktivitas politik lain yang dilakukan oleh para shahabiyat ra, seperti berhijrah ataupun berjihad bersama Rasulullah saw. Dalam berjihad, perempuan-perempuan di masa Rasulullah tersebut tidak hanya sekedar membantu di dapur umum saja ataupun mengobati yang terluka, tetapi banyak di kalangan para shahabiyat yang terjun langsung dalam pertempuran melawan musuh-musuh Islam. Salah seorang di antaranya adalah Khaulah binti Azuar, yang kemudiania dikenal sebagai prajurit bercadar. Suatu saat dalam peperangan dengan Romawi, dimana kaum muslimin dipimpin oleh Khalid bin Walid, Khalid kaget bukan main ketika ia melihat seorang prajurit bercadar yang tinggi semampai memakai pakaian hitam-hitam melaju bersama kudanya melintasi prajurit-prajurit berkuda lainnya. Ia mampu memporakporandakan musuh, sementara tombaknya telah berlumuran darah. Khalid lalu memerintahkan prajurit lain untuk membantumya. Dan berhamburanlah mereka mengepung pasukan Romawi hingga tak bisa berkutik lagi. Itulah sosok Khaulah binti Azuar, sosok muslimah yang berani di medan perang tetapi tetap tidak melupakan urusan rumah tangganya.
B. Aktivitas Politik Yang Diharamkan Disamping aktivitas-aktivitas yang sebelumnya dijelaskan, sesungguhnya ada aktivitas-aktivitas politik tertentu yang tidak diperkenankan oleh Allah untuk digeluti oleh perempuan., yakni aktivitas-aktivitas yang terkategori kepada aktivitas kekuasaan.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan aktivitas kekuasaan adalah aktivitas pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung dan menyeluruh seperti halnya menjadi seorang penguasa. Penguasa dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab penuh secara langsung dalam mengurusi urusan umat, dimana dalam sistem Islam jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara), muawwin tafwidl (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah) dan ‘amil (kepala daerah).
Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan jabatan kekuasaan kepada perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki. Hanya saja, pengkhususan ini bukan untuk merendahkan perempuan atau menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua, karena Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat dalam politik sama pentingnya; Penguasa sebagai pelaksana politik yang bersumber dari hukum-hukum Allah swt, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah swt. Karenanya keberhasilan pengaturan urusan umat demi tercapainya kesejahteraan dan kemajuan masyarakat tergantung tidak hanya kepada pemimpinnya tetapi juga kepada seluruh warga masyarakat tersebut. Dengan demikian Islam tidak memandang orang yang menjabat kepala negara lebih mulia derajatnya, sebab yang menentukan kemuliaan itu adalah ketaatannya menjalankan aturan-aturan Allah swt. Oleh karena itu bisa saja petani atau pedagang lebih mulia di hadapan kepala negara apabila si petani atau pedagang tersebut lebih taat dalam menjalankan tanggungjawab yang diberikan Allah kepadanya.
Memang, jabatan kepala negara merupakan sebuah tanggungjawab yang besar karena menyangkut terlaksananya pengaturan kehidupan umat sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya, maka Islam memberikan aturan yang sangat terperinci tentang masalah ini. Syeikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya
Nizhâmul Hukmi fil Islam menegaskan syarat-syarat utama seorang kepala negara, yaitu :
1. Muslim (QS An-Nisaa : 141 dan An-Nisaa :59)
2. Laki-laki, berdasarkan hadits : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada wanita” (HR Bukhari dari Abu Bakrah)
3. Baligh, berdasarkan hadits : “Telah diangkat pena (tidak dibebankan hukum) dari orang yang tidur hingga ia bangun, anak-anak hingga ia baligh dan orang gila hingga akalnya kembali sehat” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad)
4. Berakal sehat, berdasarkan hadits di atas.
5. Adil, artinya konsisten dalam menjalankan agamanya. (QS At-thalaq : 2 :”Hendaklah menyaksikan dua orang yang adil (tidak fasik) di antara kalian”. Kalau untuk saksi saja disyaratkan adil, maka terlebih lagi bagi khalifah.
6. Merdeka, karena seorang budak tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya apalagi mengatur orang lain.
7. Mampu melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu mampu memelihara urusan umat berdasarkan Al-Qur’an dan hadits Rasul.
Dengan demikian syarat laki-laki sebagai kepala negara dan pejabat penguasa di bawahnya adalah syarat mutlak bagi pemerintahan Islam. Hal ini telah menjadi sunnah Rasulullah dan dipegang teguh oleh kaum muslimin dari masa ke masa. Para ulama mujtahid empat mazhab bahkan telah bersepakat bahwa mengangkat seorang wanita menjabat kepala negara adalah haram. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an mengatakan : Khalifah harus laki-laki dan para fuqaha bersepakat bahwa perempuana tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya perempuan menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita di dalam pengadilan”. Bahkan menurut para fuqaha Imam Syafi’I, laki-laki merupakan syarat sahnya aqad khalifah yang utama . Secara rinci terdapat sejumlah argumentasi sebagai dasar keharaman perempuan menjadi kepala negara.
Pertama, terdapat hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari shahabat Abu Bakrah ra yang mengatakan, bahwa tatkala mendengar kabar mengenai penyerahan kekuasaan negara Persia dari Raja Kisra kepada anaknya, Bauran, Rasulullah Saw bersabda :
لن يفلح قوم ولوا امرهم امراة
“Tidak akan pernah berjaya/beruntung suatu kaum jika mereka menyerahkan urusan (pemerintahan/kekuasaan) kepada perempuan “ (HR Bukhari).
Lafazh
wallau amrahum dalam hadits ini berarti mengangkat seseorang sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Sekalipun teks hadits tersebut berupa kalimat berita (khabar), tetapi pemberitaan dalam hadits ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan urusan kekuasaan/pemerintahan kepada perempuan berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan indikasi adanya tuntutan yang bersifat jazm (tegas dan pasti) yang menunjukkan bahwa mengangkat perempuan sebagai kepala negara adalah haram.
Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadits ini. Mereka menuduh kepada perawi hadits ini, yaitu Abu Bakrah sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinahan di masa Umar bin Khaththab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab tentang orang-orang yang meriwayatkan hadits, seperti Tadzhîbu al-kamâl fî Asmâ-a ar-Rijâl, Thabaqat Ibnu Sa’ad, Al Kâmil fî Tarikh Ibnu al-Atsir menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang alim dan perowi yang terpercaya, termasuk sahabat pilihan. Sedangkan Aly Ash-Shobuni mengatakan bahwa Abu Bakrah adalah orang yang shaleh dan wara’ (sangat hati-hati lantaran sangat taqwanya). Oleh karena itu dari segi periwayatan tidak ada alasan sama sekali menolak keabsahan hadits tentang larangan mengangkat perempuan sebagai kepala negara.
Salah satu yang menggugat hadits ini adalah Fatimah Mernissi. Menurutnya setelah membuka Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, ia berkesimpulan bahwa hadits tersebut baru diungkapkan oleh Abu Bakrah kepada Aisyah setelah kondisi Aisyah terjepit dalam perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Sehingga, bisa dipahami sebagai : adanya kebutuhan dari Abu Bakrah dalam situasi politik tersebut untuk mengungkap hadits tersebut sebagai alasan kenapa ia tidak berpihak, walaupun mungkin sebenarnya ia mendukung apa yang dilakukan Aisyah. Ini dari segi pemahaman konteks, ada yang lebih penting menurutnya, yaitu dari segi keterandalan Abu Bakrah sebagai perowi. Mernissi memvonis Abu Bakrah sangat diragukan kredibilitasnya. Ia jelaskan bahwa Ibnu Atsir yang menulis riwayat hidup Abu Bakrah membuktikan perawi tersebut pernah melakukan pengakuan palsu pada kasus persaksian perzinaan zaman Khalifah Umar.
Bila kita membaca langsung kitab Fathul Bari yang ditulis oleh Al-Iman Al-Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqolani dalam bab surat Nabi kepada Kisra dan Qaishar, maka kita akan temukan Hadits itu diriwayatkan oleh Bukhari dari Utsman dari Haitsam dari ‘Auf dari Al-Hasan dari Abi-Bakrah ra yang berkata : “Sungguh Allah swt telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah kudengar dari Rasulullah pada perang Jamal setelah hampir-hampir aku ikut berperang bersama Ashâb al- Jamal (tentara unta yang dipimpin Aisyah untuk menuntut darah Ustman bin Affan). Abu Bakrah berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah tentang rakyat Parsi yang mengangkat putri Kisra menjadi Ratu Parsi, Rasulullah SAW bersabda : “Tidak akan pernah beruntung (mendapat kejayaan) suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan mereka kepada perempuan”.
Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa lafazh “ayyaamal Jamal” (saat perang Jamal) tidak dikaitkan dengan lafazh “sami’tuhâ” (aku pernah mendengar), melainkan dikaitkan dengan lafazh “nafa’aniyallâh” (Allah telah memberikan manfaat ilmu kepadaku), sehingga dapat dipastikan bahwa Abu Bakrah pernah mendengar hadits tersebut dari Rasulullah sebelumnya. Dalam kitab tersebut tak dijumpai bahwa Imam Ibnu Hajar mengkritik hadits tersebut. Juga tak ditemukan apa yang dipaparkan Mernissi dari Fathul Bari. Imam ahli hadits tersebut justru menghubungkannya dengan hadits nomor sebelumnya, yakni tentang Kisra yang merobk-robek Surat Dakwah Nabi. Kisra yang menjadi penguasa negara adikuasa saat itu, setelah merobek surat tersebut, dibunuh oleh anaknya sendiri yang ingin menjadi raja. Anaknya tersebut, setelah enam bulan berkuasa, dibunuh oleh saudara-saudaranya sendiri. Semua saudara laki-laki raja yang baru membunuh raja tersebut tak ada yang naik tahta. Lantaran mereka tak ingin tahta kerajaan lepas dari keluarga tersebut, mereka sepakat mengangkat saudara perempuannya, yakni putri Kisra. Inilah yang kemudian mengantarkan mereka kepada terpecah-belah dan hilangnya kerajaan bangsa Parsi sesuai dengan doa Rasulullah saw. setelah mendengar surat beliau saw dirobek-robek oleh Kisra. Inilah penjelasan dalam Fathul Bari. Sedangkan tentang kasus kesaksian Abu Bakrah terhadap tindakan zina yang dilakukan oleh Al-Mughirah, yang dalam pandangan Mernissi ia telah melakukan kesaksian palsu, faktanya tidak demikian. Imam Ibnu Katsir, dalam kitabnya Al-Bidâyah wa Nihâyah, diungkapkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang sahabat Rasulullah saw yang martabatnya tinggi. Beliau bersama saudaranya yang bernama Ziyad dan kedua orang kawannya yang bernama Sahl (Sybl) bin Ma’bad dan Nafi’ bin Al Harits menyaksikan Al Mughirah berzina. Tatkala Ziyad ragu-ragu dengan kesaksiaannya, Khalifah Umar menjilid (hukuman bagi orang yang menuduh berbuat zina tetapi tak mendatangkan empat orang saksi) tiga lainnya. Setelah itu, Khalifah Umar meminta ketiganya mencabut kesaksiannya. Dari tiga orang tersebut, hanya Abu Bakrah yang menolak mencabut kesaksiannya. Pada saat itu Al Mughirah mengatakan : “Hai amirul mukminin puaskanlah hatiku dengan orang ini.” Lalu Umar marah kepada Al Mughirah sambil berkata :”Diam kau! Kalau aku mendapatkan kesaksian yang sempurna, niscaya engkau akan kurajam dengan batu-batu yang kau cari sendiri.” Perawi hadits mengatakan bahwa Abu Bakrah adalah orang yang terbaik diantara para saksi tersebut.
Dari riwayat di atas, jelaslah bahwa yang dibuktikan bukanlah kepalsuan kesaksian Abu Bakrah, tetapi didapatkan mundurnya satu saksi, sehingga tidak sempurna batas minimal saksi dalam kasus perzinaan. Kemudian Al-Baihaqi meriwayatkan ucapan Abu Bakrah : “Saya tidak menuduh ia berzina, tetapi saya menyampaikan kesaksian saya. Dalam hal ini Abu Bakrah memisahkan antara 2 hal, yaitu qadzaf (menuduh berzina) dan syahid (persaksian).
Di samping itu ada pula yang menganggap bahwa larangan mengangkat perempuan sebagai kepala negara tidak mencakup larangan untuk menjadi presiden, karena jabatan presiden bukanlah al-imâmu al a’dham, sebagaimana dalam sistem pemerintah Islam. Pendapat ini sangatlah lemah, mengapa ? Karena sebenarnya teks hadits ini sudah menjawab dengan sendirinya. Faktanya, Bauran, putri Kisra yang diangkat sebagai ratu dalam sistem kekaisaran Persia memang tidak sama dengan sistem pemerintahan Islam. Bila dalam kasus Bauran saja Rasulullah mengharamkan, apa bedanya dengan sistem presiden sekarang yang sama-sama bukan sistem pemerintahan Islam. Lebih dari itu faktanya jabatan presiden adalah termasuk penguasa yang memiliki wewenang kekuasaan atas rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian obyek pembahasan hadits mencakup jabatan presiden.
Kedua, dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang mewajibkan taat kepada kepala negara, yaitu QS An-Nisaa’ : 59, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dalam ayat ini perintah taat kepada pemimpin menggunakan lafazh ulil amri. Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, seharusnya digunakan kata
ûlatu al-amri.Ketiga, dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk yang jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin dari kaum perempuan, yaitu dalam QS AN-Nisaa : 34, yang artinya : “Para lelaki adalah pemimpin atas kaum perempuan” Ayat ini memang berbicara tentang kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, lalu apa hubungannya dengan negara ? Dengan pendekatan tasyri’ min bâbi al-aula (keharusan yang lebih utama), maka bila pemimpin rumah tangga saja harus laki-laki, apalagi ‘rumah tangga besar’ (negara) lebih-lebih lagi. Dengan kata lain, bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki.
Keempat, dalam kitab Marotib Al-Ijma’, karangan Imam Ibnu Hazm, halaman 126 menyatakan bahwa : “mereka (para shahabat) bersepakat/setuju bahwa imam itu tidak boleh bagi perempuan atau orang kafir, tidak pula bagi anak-anak dan tidak pula bagi yang belum baligh”
Ini adalah Ijma shahabat (kesepakatan para shahabat) tentang keharaman perempuan menduduki jabatan kekuasaan.
Demikianlah Islam telah menjelaskan secara terperinci, jelas dan pasti mengenai keharaman mengangkat seorang perempuan sebagai kepala negara. Dan larangan perempuan menduduki jabatan kepala negara, baik itu khalifah, presiden, perdana mentri, raja, kaisar dan lain-lain apapun namanya bukanlah perkara khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam hukum Islam, karena nash-nashnya telah jelas, ‘Lâ ijtihâda ma’a wujûd an- nâsh.’
Hanya saja masih ada beberapa kalangan yang membolehkan perempuan menduduki jabatan kepala negara, di antaranya dengan alasan sebagai berikut :
1. Kisah ratu Balqis dalam Al-Qur’an (QS: Saba). Alasan ini tidak dapat diterima karena merupakan kisah di masa Nabi Sulaeman. Apa yang berlaku di masa nabi-nabi terdahulu tidak berlaku bagi ummat Muhammad kecuali telah disyariatkan kembali oleh risalah yang dibawa Muhammad saw.
Ada satu kaidah yang bisa dijadikan dalil dalam persoalan ini :
“Syar’u man qoblana laisa syar’an lana” (syariat sebelum kami adalah bukan syariat kami). Lebih dari itu Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa ratu Balqis adalah orang yang tidak mendapat petunjuk. Kemudian setelah ia memeluk agama Nabi Sulaiman, ia menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi Sulaeman.
2. Sebagian mengatakan bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara dengan merujuk kepada keterlibatan Aisyah dalam perang Jamal, maka pendapat inipun terbantahkan. Mengapa ? Karena Aisyah sendiri tidak bermaksud untuk merebut kekuasaan khalifah yang sah pada masa itu, tetapi ia hanya ingin menuntut pengusutan atas terbunuhnya khalifah Ustman. Dan ketika diingatkan oleh para sahabat yang lainpun Aisyah menyesali apa yang telah dilakukannya, terbukti dengan kata-kata yang diucapkan setelah perang Jamal berlalu : “Laitanî mittu qobla yaumil Jamal bi’isyrîna sanatan (… Andaikan aku mati duapuluh tahun sebelum perang Jamal…)
3. QS At-Taubah : 71, yang artinya : “Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah awliya, bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf mencegah dari yang munkar …”. Menurut mereka kata ‘awliya’ mengandung pengertian pemimpin, artinya laki-laki bisa menjadi pemimpin perempuan atau sebaliknya perempuan memimpin laki-laki. Alasan ini tidak tepat digunakan sebagai dalil. Karena kata maulâ ataupun auwliya merupakan lafazh musytarok (memiliki banyak makna), ada tidak kurang dari 27 makna, tetapi tidak satupun yang bermakna pemimpin atau penguasa, melainkan di antaranya bermakna sekutu, rekanan, tetangga penolong dan sebagainya, kecuali jika bergabung dengan kata amir sesudahnya maka artinya baru penguasa . Dan jikapun kita kembalikan kepada tafsir ulama salaf, maka tidak kita dapati pengertian awliya dalam QS At-Taubah ayat 71 yang berarti penguasa atau pemimpin, tetapi yang dimaksud dalam ayat ini adalah penolong, atau teman kejasama . Terlebih-lebih lagi, penjelasan lebih lanjut tentang makna awliya ini sebenarnya terdapat pada ayat itu sendiri, yaitu aktivitas yang dilakukan, beramar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jelaslah bahwa aktivitas-aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang wajib dilakukan oleh seluruh kaum muslimin baik laki-laki ataupun perempuan bukan hanya penguasa.
4. Kenyataan adanya presiden-presiden perempuan di sejumlah negeri-negeri Muslim. Alasan ini tidak bisa diterima untuk menggugurkan haramnya wanita menjadi kepala negara, sebab kenyataan ini merupakan penyimpangan yang justru harus diluruskan. Sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila bertentangan dengan hukum itu sendiri. Apakah bila banyak orang yang meninggalkan sholat lalu hukum sholat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib ? Hukum wajibnya shalat tidak berbeda dengan hukum-hukum wajib lainnya.
Demikianlah Islam telah menjelaskan syarat-syarat seseorang dapat dicalonkan atau menjabat sebagai kepala negara atas kaum muslimim. Termasuk syarat itu, kepala negara haruslah laki-laki. Hal ini dijelaskan oleh Islam agar umat terhindar dari kehancuran sosial dan politik, jika mereka memahami dan tunduk kepada sistem hukum Islam.
Sayangnya sebagian besar umat adalah orang-orang yang terbius oleh gemerlapnya demokrasi dan terlena dengan slogan reformasi, yang melupakan rambu-rambu dan petunjuk Islam dalam menuntun kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Disamping itu atas nama musyawarah untuk mufakat mereka berdalih keputusannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurut mereka Islam mendorong musyawarah. Padahal demokrasi tidak sama dengan musyawarah atau syura. Demokrasi adalah berkumpulnya suara untuk membuat hukum rekaan manusia, sedangkan syura adalah berkumpulnya suara untuk menjalankan hukum Islam, bukan untuk membuat hukum, karena hukum telah dibuat oleh Allah swt. Dan Dia satu-satunya Dzat yang berhak dan layak untuk membuat hukum bagi manusia. Rasulullah pun telah menasehatkan agar perasaan ummat tunduk dibawah kendali aqidah dan syariat Islam, jika ummat memang menghendaki keselamatan di dunia dan akhirat, Rasulullah bersabda :
“Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) tunduk terhadap apa yang telah aku datangkan (yaitu hukum syariat Islam)”Oleh karena itu kita sebagai umat Islam harus senantiasa berupaya sekuat tenaga menyadarkan dan membina umat Islam dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam sehingga umat tidak mudah terasuki oleh pemikiran-pemikiran asing (di luar Islam) yang merusak. Dan sebaliknya umat Islam akan senantiasa memegang kuat pemikiran Islam yang dipahaminya dan senantiasa mengikatkan dirinya dengan Islam, rela dan ridha hanya dengan Islam serta merasa bertanggungjawab akan permasalahan umat yang dihadapinya. Dan pada akhirnya akan muncul kerinduan dalam dirinya untuk tegaknya sistem Islam yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia di muka bumi ini.
Sinergisme Peran Politik Perempuan Dengan Peran-Peran LainnyaDari pembahasan sebelumnya telah kita pahami bersama bahwa Allah swt, telah memberikan posisi dan peran-peran beragam bagi laki-laki dan perempuan. Dari segi insaniyahnya (kemanusiaannya) Allah memberikan peran dan posisi yang sama, namun ketika fungsi dan kedudukannya sedikit berbeda maka Islam memberikan aturan yang berbeda kepada keduanya.
Perempuan di samping ia sebagai bagian dari masyarakat, maka ia pun juga sebagai bagian dari keluarga, apakah sebagai istri, ibu ataupun sebagai anak. Ketiga peran ini keseluruhannya harus dilaksanakan oleh kaum perempuan tidak terkecuali.
Sekalipun Islam telah menetapkan bahwa tugas utama seorang perempuan adalah sebagai ibu (ummun) dan pengatur rumah tangga (rabbat al-bayt), tidak berarti bahwa seorang perempuan boleh meninggalkan peran-perannya yang lain. Seorang muslimah haruslah menyadari bahwa ketika Allah telah menetapkan peran-peran tersebut, maka dapat dipastikan bahwa perempuan manapun pada dasarnya akan mampu untuk melaksanakan peran-peran tersebut, karena Allah swt tidak mungkin membebani kaumnya dengan beban-beban yang tidak mungkin ditanggungnya. Mari kita simak salah satu ayat Al-Qur’an berikut ini :
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها لها ما كسبت وعليها ما ا كتسبت
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS Al-Baqarah : 286).
Hanya saja pada faktanya tidak dapat dipungkiri ketika kaum perempuan/muslimah berupaya maksimal untuk melaksanakan peran-peran ataupun kewajiban-kewajiban tersebut dihadapkan kepada terjadinya benturan di antara kewajiban-kewajibannya tersebut. Lalu bagaimana seharusnya ia bersikap?
Islam adalah dîn yang diturunkan oleh yang Maha Sempurna, yang telah mengatur kehidupan manusia dengan sangat terperinci. Ketika terjadi benturan antara suatu kewajiban dengan kewajiban yang lain, maka umat tidak akan bingung dalam melangkah karena Islam telah mengajarkan konsep aulawiyât, yaitu prioritas pelaksanaan hukum syara’. Konsep ini menuntun manusia untuk mendahulukan melaksanakan yang fardhu daripada yang sunnah, mendahulukan yang sunnah daripada yang mubah, serta mendahulukan yang fardhu ’ain daripada fardhu kifayah. Dan apabila berbenturan antara yang fardhu ’ain dengan fardhu ‘ain lainnya, maka yang diprioritaskan adalah yang lebih darurat menurut syara’, bukan menurut penilaian manusia.
Hal lain yang harus diperhatikan pula bahwa dalam aulawiyat seseorang dituntut untuk mendahulukan mengerjakan kewajiban yang satu, baru kemudian mengerjakan yang lain, bukan mengerjakan kewajiban yang satu lantas meninggalkan kewajiban yang lain, karena pelaksanaan suatu kewajiban tidak boleh menyebabkan seseorang melalaikan kewajiban yang lain. Misalnya, seorang muslimah dihadapkan kepada kewajiban mengasuh anaknya, sementara itu pada waktu yang sama ia harus mengajarkan Islam kepada masyarakat selama beberapa jam. Pada saat itu ia tidak mendapatkan orang yang dapat dipercaya dan aman bagi perkembangan fisik, mantal dan nilai agama anaknya, sementara ia tidak bisa memberikan pengajaran kalau membawa anaknya. Maka pada saat itu ia harus memilih tinggal di rumah untuk mengasuh anaknya. Namun demikian tidak diperbolehkan baginya membiarkan keadaan tersebut berlangsung terus, tetapi ia harus berusaha maksimal mencari atau mendidik seseorang yang dapat dipercaya untuk mengasuh anaknya ketika ia keluar rumah beberapa jam untuk menunaikan kewajiban yang lain sebagai anggota masyarakat.
Dari uraian di atas jelaslah kini bahwa laki-laki dan perempuan harus bersama-sama mengemban tanggungjawab politik, dan sudah seharusnya saling menghargai keberadaan dan perannya masing-masing demi terwujudnya masyarakat manusia yang damai, tentram dan sejahtera berdasarkan syariat Islam. Hanya saja ditengah kondisi masyarakat saat ini, termasuk para perempuan dalam keadaan kesadaran politiknya (secara umum) masih rendah, apa yang harus dilakukan untuk membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik dikalangan para perempuan tersebut ? Tentu saja dengan sudut pandang Islam.
Arah Pemberdayaan Politik Perempuan Dalam Perspektif Islam
Karena perempuan adalah bagian dari masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka ketika kita membahas tentang pemberdayaan politik perempuan, kita tidak boleh memandang perempuan secara individual, yakni memandang perempuan sebagai individu semata. Artinya, kita harus memandang keberadaan perempuan sebagai bagian dari manusia yang harus hidup berdampingan dengan laki-laki, baik dalam kehidupan khususnya (dalam rumah tangga dengan suami dan anak-anak atau dengan ayah dan saudara-saudaranya) ataupun kehidupan umum (ditengah-tengah masyarakat) dengan peran dan tanggungjawabnya masing-masing. Dengan demikian, upaya pemberdayaan politik perempuan menurut Islam tidak boleh lepas dari upaya pemberdayaan politik anggota masyarakat secara keseluruhan, dimana kerangka pandang yang dipakai tentu saja harus sama, yaitu kerangka pandang yang bersifat universal (mencakup seluruh manusia di dunia) dan khas (menurut sudut pandang tertentu). Kerangka pandang seperti inilah yang akan memberi jaminan tidak adanya pihak yang dirugikan, yang tidak lain adalah kerangka pandang Islam.
Berkaitan dengan upaya yang harus diperjuangkan kaum muslimin untuk meraih kemuliaannya sebagai khoiru ummah (ummat terbaik), maka upaya pemberdayaan politik perempuanpun harus menuju ke sana dan harus mengacu kepada pengertian politik yang sesungguhnya. Atau dengan kata lain, pemberdayaan politik perempuan merupakan upaya agar perempuan memfungsikan perannya dalam percaturan politik berdasarkan tujuan yang harus dicapai dan sesuai dengan bidang yang boleh dan mampu digelutinya. Sehingga bukan posisi puncak pengambil kebijakan yang akan dituju, tetapi terwujudnya perspektif (sudut pandang) tertentu, yaitu Islam ditengah-tengah masyarakat. Tidak penting siapa pengambil kebijakannya, yang penting adalah sudut pandang apa yang dijadikan landasan dalam pengambilan keputusan, apakah senantiasa berdasarkan ketentuan Allah swt atau tidak, benar atau salah? Bila sudut pandang yang digunakan sudah benar, yaitu Islam maka dipastikan akan dapat memberikan jaminan keadilan bagi manusia. Sehingga siapapun yang muncul sebagai pengambil kebijakan hasilnya akan benar dan memberikan keadilan jika terikat dengan sudut pandang tersebut. Dalam hal ini, Islam telah mengharuskan bagi para umatnya (termasuk pemimpin) untuk memutuskan kebijakan berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena Islam telah menetapkan bahwa kedaulatan ada di tangan syara’. Karenanya apabila terdapat pertentangan keputusannya dengan apa yang telah Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kaum muslimin untuk mengoreksinya.
Lalu langkah apa yang harus ditempuh oleh kaum muslimin untuk pemberdayaan politik perempuan ? Langkah pertama yang harus kita tempuh adalah mewujudkan kesadaran politik di kalangan para muslimah. Selanjutnya mengarahkan dan menggerakkan mereka secara jama’iy (bersama) agar senantiasa mengoptimalkan perannya dalam bidang politik. Kesadaran politik di sini maksudnya adalah kerangka pandang yang memandang dunia secara universal, bukan parsial berdasarkan sudut pandang tertentu. Bagi seorang muslim, tentu saja sudut pandang yang dipakai adalah aqidah Islam, Lâ Ilâha Illallâh Muhammadur Rasûlullâh. Selama kesadaran politik ini melekat pada setiap muslimah, maka secara sadar dia mengharuskan dirinya untuk terjun dalam aktivitas politik dalam rangka mewujudkan terbentuknya kerangka pandang yang mereka anut di tengah-tengah masyarakat. Sehingga merekapun berkepentingan untuk menyerang dan menentang pemikiran yang bertentangan dengan kerangka pandangnya, yaitu Islam, karena ini merupakan tanggungjawab utamanya.
Adapun jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan kesadaran politik ini adalah dengan memberikan pendidikan politik sesuai dengan makna politik yang sesungguhnya, baik berupa pemikiran-pemikiran Islam dan hukum-hukumnya maupun tela’ah terhadap peristiwa-peristiwa politik. Pemikiran-pemikiran Islam di sini tidak boleh hanya dipandang sebagai informasi, tetapi harus dipandang sebagai acuan untuk membahas atau mensikapi fakta, sehingga ia bisa memberikan keputusan terhadap fakta yang dia indra. Demikian pula dalam telaah terhadap peristiwa-peristiwa politik tidak boleh hanya dianggap sebagai informasi belaka, tetapi harus dianalisa berdasarkan pandangan yang universal dan sudut pandang yang khas, yaitu aqidah Islam. Dengan demikian, pendidikan politik ini akan menghasilkan para muslimah yang mampu mensikapi setiap peristiwa dengan benar dan tepat, sesuai dengan kerangka pandang Islam.
Hanya saja harus diperhatikan bahwa dalam proses pemberdayaan perempuan ini, perjuangan yang dilakukan tidak diarahkan untuk mencapai kesetaraan derajat dan posisi antara laki-laki dan perempuan, karena Islam telah menempatkan laki-laki dan perempuan setara derajatnya. Laki-laki tidak lebih tinggi derajatnya dari perempuan, demikian pula sebaliknya. Karena ketinggian derajat seseorang ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada Allah swt. Oleh karena itu dalam proses perjuangannya kaum perempuan tidak memisahkan diri dari perjuangan kaum laki-laki, tetapi berjuang bersama-sama untuk mewujudkan masyarakat Islam sebagai “khairu ummah” ( sebaik-baik ummat) di dunia ini. Dan kondisi yang demikian sungguh telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw, dimana perempuan muslimah telah mampu memainkan perannya bersama-sama dengan kaum laki-laki, baik dalam keluarga maupun perannya sebagai bagian dari masyarakat.
Perempuan dalam pandangan Islam memang menempati posisi mulia dan terhormat. Dalam hal ini, pandangan Islam tidak bisa dikatakan terlalu maskulin atau bias gender. Islam kadang berbicara tentang perempuan dari sisi keperempuanannya (misal dalam soal haidh, mengandung, melahirkan, menyusui dan sebagainya) dan kadang pula berbicara tentang perempuan sebagai manusia yang tidak berbeda dengan laki-laki (missal dalam hal kewajiban sholat, zakat, haji, berakhlaq mulia, amar ma’ruf nahi munkar, dakwah kepada Islam dan sebagainya). Kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan secara individual sebagai manusia mulia, dan secara kolektif bersama laki-laki menjadi bagian dari tatanan keluarga dan masyarakat yang harmonis. Keduanya, laki-laki dan perempuan memiliki peran dan tanggungjawab yang sama dalam menentukan maju mundurnya sebuah masyarakat. Dan kondisi yang demikian sengguh telah berlangsung sejak masa Rasulullah saw, dimana perempuan muslimah telah mampu memainkan peran-perannya, baik dalam keluarga maupun perannya sebagai bagian dari masyarakat.
Telah tercatat dalam sejarah sekian peristiwa tentang aktivitas muslimah yang layak kita jadikan teladan. Sebut saja Sumayyah, istri Yasir, syahidah pertama yang meninggal dunia setelah disiksa oleh orang kafir Quraisy karena mempertahankan aqidahnya. Atau peran para istri Rasulullah saw yang dengan sepenuh hati senantiasa mendukung perjuangan Rasulullah saw untuk menegakkan kalimah Allah. Bahkan beberapa di antaranya sebelum bersuamikan Rasulullah, sudah terlibat dalam perjuangan. Ummu Salamah (istri Rasulullah yang keenam) misalnya, termasuk perempuan yang pertama-tama masuk Islam dan berada di antara 10 orang yang ikut hijrah ke Habasyah. Suaminya sebelum Rasulullah, Abu Salamah adalah pahlawan perang Badar, peran Uhud dan walikota Madinah pertama. Ia (Ummu Salamah) juga yang mendorong Rasulullah untuk melaksanakan perintah menyembelih hewan qurban pada waktu perjanjian Hudaibiyah, setelah Rasulullah merasa gundah gulana lantaran melihat para shahabat tidak segera melaksanakan perintah itu.
Tidak jarang peran perempuan Islam ketika itu adalah peran yang beresiko tinggi. Asma’ binti Abubakar misalnya, bertugas untuk mengantar makanan dan menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana orang kafir Quraisy kepada ayahandanya, Abubakar dan Rasulullah saw yang tengah bersembunyi di gua Tsur dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah. Peran ini sangat berbahaya, karena bila ketahuan orang kafir Quraisy bukan hanya dia yang celaka, tapi Abubakar dan Rasulullah beserta misi da’wah yang diembannya juga terancam keselamatnnya.
Tidak sedikit kaum perempuan di masa Rasulullah saw maupun masa shahabat yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar tanpa ada keraguan sedikitpun, sekalipun yang dikoreksi adalah seorang kepala negara. Adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah pernah mengajukan gugatan terhadap suaminya yang atas perlakuan suaminya kepadanya (zhihar, menyamakan punggung khaulah dengan punggung ibu suaminya). Hingga turun Al-Qur’an QS Al-Mujadilah ayat 1-4 untuk menyelesaikan permasalahannya. Demikian pula ketika khalifah Umar bin Khaththab menentukan jumlah mahar tertentu bagi perempuan yang akan dinikahi karena tingginya permintaan mahar dari para perempuan. Kala itu Khaulah mengingatkan dan menasihati khalifah, karena Allah swt sendiri tidak menentukan jumlah mahar tertentu bagi perempuan sehingga tidak ada hak bagi manusia untuk menentukannya (QS An-Nisaa (4) : 20). Atas protes dan nasihat Khaulah itu, khalifahpun mencabut kebijakannya.
Selain itu ada pula Asma’binti Yazid. Seorang orator, singa podium dari kalangan perempuan mukmin. Prestasi dan pengabdiannya kepada Islam sedemikian besarnya. Ia juga tergolong perempuan pejuang yang tabah, yang sangat disegani dan terhormat, juga ahli pikir dan ahli agama. Bahkan beliau dipercaya menjadi delegasi perempuan dalam menyampaikan permasalahan yang berhubungan dengan para perempuan kepada Rasulullah saw dalam majelis syuro.
Demikian secara ringkas kisah teladan dari para perempuan di masa Rasulullah Saw dan sahabat ra. Dapat kita pastikan bahwa Islam telah memberikan kesempatan yang sama luasnya kepada laki-laki dan perempuan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat membawa mereka kepada derajat kemuliaan di sisi Allah swt. Kendati demikian, Islam juga mengingatkan bahwa bagaimanapun laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Oleh karenanya Islam telah memberikan tuntunan yang lengkap tentang pandangan terhadap laki-laki dan perempuan, peran dan tanggungjawabnya masing-masing serta aktivitas-aktivitas yang dibebankan kepada keduanya dalam kancah kehidupan ini.
Bercermin Kepada Para Shahabiyât ra. Sejarah telah mencatat bagaimana kaum perempuan di masa Rasulullah Saw (para shahabiyah) melakukan aktivitas dan perjuangan politik tanpa meninggalkan tugas utama mereka sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Mereka berjuang bersama-sama Rasulullah saw dan para shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan sahabatnya. Begitu pula dengan peran istri-istri Rasulullah dalam perjuangan menegakkan Islam di muka bumi ini serta dukungan mereka pada perjuangan beliau, semua itu sesungguhnya merupakan bukti nyata bahwa mereka melakukan aktivitas politik.
1. Khadijah binti Khuwailid ra.Beliau adalah salah satu istri Rasulullah saw dan termasuk ke dalam orang-orang yang pertama masuk ke dalam Islam,; Wanita pertama yang membenarkan dan memeluk risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw untuk seluruh umat manusia. Hidupnya dihiasi dengan kebajikan serta jiwanya mencerminkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw pernah bersabda tentang istri yang sangat dicintainya ini : “Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkariku. Ia membenarkan ajaranku ketika orang-orang mendustakan. Dan ia adalah perempuan yang selalu membantu perjuanganku dengan harta kekayaan ketika orang-orang tiada mempedulikan. (HR Ahmad)
Khadijah lahir dari keluarga Bani Hasyim dari kalangan keluarga yang mulia, jujur dan pemimpin. Besar dikalangan keluarga mulia, terdidik dengan akhlak yang terpuji, teguh dan cerdik. Kaumnya memberikan julukan baginya Al-Thahirah yang berarti ‘Yang Suci’ karena sangat baik akhlaknya dan sopan santunnya, seakan-akan tanpa cacat.
Beliau juga dikenal sebagai perempuan cerdas dan piawai dalam bidang perdagangan, sukses dalam menjalankan roda-roda usahanya dan sanggup membiayai hampir seluruh dakwah Rasulullah saw. Sekalipun demikian beliau tetap rendah hati, berakhlak mulia dan menjaga kesuciannya. Beliau juga tetap menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, serta tetap menghormati dan mentaati Rasulullah saw sebagai suaminya meski usianya lebih tua 15 tahun dari Rasulullah. Dari ibu yang mulia inilah lahir anak perempuan yang mulia pula Fathimah Az-Zahra.
Sebagai istri tak ada satupun orang yang mencela Kahdijah, bahkan justru pujian yang datang untuknya. Khadijah mendampingi Rasulullah saw hampir seperempat abad lamanya. Hidupnya dilalui dengan penuh kesetiaan dan kebajikan. Dan sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya, beliaupun mendampingi Rasulullah dalam suka dan duka .
Ibnu Ishaq menyebutkan dalam Al-Siyar wal Maghazy ; Khadijah adalah orang yang pertama kali beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan apa yang beliau sampaikan, sehingga dengan begitu Allah meringankan beban dari Rasulullah saw. Rasulullah tidak pernah mendapat hal-hal yang tidak disukai dari ucapan-ucapan Khadijah, baik penolakan terhadap beliau atau pendustaan yang membuat Rasulullah bersedih hati, bahkan justru Allah memberikan jalan keluar melalui Khadijah, dimana jika Rasulullah kembali kepada Khadijah, maka ia akan menegaskan hati Rasulullah dan meringankan bebannya.
Khadijah tahu betul bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah, Nabiyullah, laki-laki pilihan yang diturunkan oleh Allah swt untuk seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira untuk seluruh umat. Khadijahlah orang yang senantiasa berperan dalam menenangkan ketakutan Rasulullah saw ketika wahyu turun kepada beliau. Ketika turun wahyu yang pertama, yaitu QS Al-Alaq 1-5, Rasulullah pulang dari tepatnya bertahanuts (menyendiri dan beribadah) di gua Hiro dalam keadaan terguncang gemetaran. Lalu Khadijah menyelimuti Rasulullah, hingga ketakutan beliau mereda. Beliau Saw bersabda kepada Khadijah , “Aku takut atas diriku.” Lalu Khadijah berkata : “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah tidak akan menelantarkan engkau, karena engkau suka menyambung hubungan kekerabatan, membawakan beban, memberi orang yang tidak punya, menjamu tamu dan menolong orang yang melakukan kebaikan”. Dalam kisah yang lain pun diungkapkan bagaimana Khadijah menenangkan Rasulullah saw ketika wahyu turun, yakni ketika Muhammad saw baru saja melihat Jibril, “Terimalah kabar gembira wahai anak pamanku dan teguhkanlah hatimu. Demi yang diriku ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku berharap engkau menjadi nabi Umat ini”
Dari kisah tentang Khadijah r.a di atas jelas sekali bahwa apa yang dilakukannya kepada Muhammad saw, bukanlah sekedar perannya sebagai seorang istri yang sangat berbakti kepada suaminya. Tapi lebih dari itu, Khadijah sesungguhnya telah menjalankan peran politiknya sebagai seorang muslimah, dimana dengan ketajaman dan kepekaan akalnya belaiu mampu mencermati secara mendalam masalah wahyu dan risalah yang sampai kepada Rasulullah saw. Di samping itu kepeduliannya yang tinggi tentang berbagai hal yang ada di sekitarnya menunjukan tingkat kesadaran politik yang tinggi. Begitu pula, pendampingan Khadijah dan upaya yang dilakukan untuk menenangkan Rasulullah saw bukan sekedar dorongan sebagai istri atau ibu dari anak-anaknya, tetapi dorongan sebagai bagian dari umat Islam karena dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya Khadijah tahu benar bahwa apa yang terjadi pada diri Muhammad saw bukan semata-mata karena keberadaannya sebagai suami atau ayah dari anak-anaknya, tetapi sebagai seorang utusan Allah dalam membawa wahyu dan risalah-Nya untuk ummat manusia yang ada pada masa itu hingga manusia di masa yang akan datang. Hal ini tidak lain sebagaimana apa yang dipahami dari perkataan Waraqah, anak pamannya, ketika Khadijah mencari tahu tentang peristiwa-peristiwa yang dialami Rasulullah saw, yaitu : “Wahai Khadijah, kalau engkau masih percaya kepadaku, sesungguhnya telah datang ‘an-nams al-akbar’ kepadanya. Dia adalah nabi umat ini. Maka katakan kepadanya agar dia teguh hati.
Kisah lain yang akan lebih menguatkan bagaimana Khadijah sangat berperan dalam mendukung perjuangan Rasulullah saw dalam dakwah Islam adalah ketika Rasulullah saw bangkit menyampaikan risalah, tampil menyeru kaumnya untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya, maka mereka mendustakan beliau dan melecehkan dakwah beliau, sementara Khadijah justru sebaliknya menjadi pendukung beliau dalam menghadapi pelecehan tersebut. Dia berbuat apa yang dapat diperbuatnya untuk meringankan beban Muhammad saw, sampaipun akhirnya terjadi pemboikotan yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy kepada Rasulullah Saw dan para shahabat dan kerabatnya. Dalam peristiwa tersebut, orang-orang Quraisy membuat perjanjian tertulis yang isinya memboikot Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib secara total. Mereka tidak memiliki dan menerima tawaran nikah dari kaum muslimin, tidak menjual dan membeli apapun kepada dan dari kaum muslimin, dengan tujuan agar kaum muslimin menaruh ketidak percayaan kepada Rasulullah saw, yang akhirnya kaum muslimin meninggalkan Rasulullah saw dan meninggalkan Islam. Jika ini terjadi, Muhammad akan terkucil sendirian dalam kondisi seperti itu, dan mereka berharap Muhammad akan mencampakkan dakwahnya .Tetapi apa yang akhirnya terjadi ?
Pemboikotan itu tidak memberi pengaruh sedikitpun bagi para shahabat maupun Rasulullah dan para pengikutnya, sebaliknya semakin mempekokoh keimanan mereka, kekuatan dan keteguhan orang-orang mukmin yang menyertainya tidak surut. Termasuk ummul mukminin, Khadijah binti Khuwailid ia senantiasa berada di samping Muhammad saw, memberikan pembelaan terhadap beliau, bergabung bersama Rasulullah dalam memikul penderitaan karena sikap kaumnya dengan jiwa yang ridha dan sabar, hingga akhirnya setelah + 3 tahun pemboikotan tersebut dicabut oleh orang Kafir Quraisy sendiri.
Tidak berapa lama setelah berakhirnya pemboikotan, dalam usia 65 tahun Khadijah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Tentu saja Rasulullah Saw merasa kehilangan atas meninggalnya Khadijah, seorang istri yang dengan setia mendampinginya dalam suka dan duka, seorang ibu yang dengan pemahaman yang tinggi mampu menghasilkan generasi yang berkualitas prima, seperti Fatimah Az-Zahra dan sebagainya, serta seorang muslimah yang dengan pengorbanan yang luar biasa mendukung terhadap perjuangan dakwah Rasulullah saw, bahkan berperan aktif dalam perjuangan menyebarkan dakwah Islam ke tengah-tengah umat manusia.
2. Sumayyah binti Khubath ra.Ia termasuk perempuan-perempuan pertama yang masuk ke dalam Islam, termasuk tujuh orang pertama yang memeluk Islam, bersama-sama dengan suaminya Yasir bin Amir bin Malik dan anaknya Ammar. Tidak lama setelah cahaya Islam menerangi Makkah, keluarga Yasir langsung memenuhi panggilan iman kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad saw. Dalam keluarga ini terhimpun keutamaan kesabaran dan jihad. Dan sejak mereka masuk ke dalam Islam, mereka mendapat siksaan dari orang-orang Kafir Quraisy. Apalagi ketika orang-orang Kafir Quraisy melihat kekokohan iman mereka yang dinilai tinggi, maka kemarahan orang-orang Kafir Quraisy semakin memuncak. Hampir setiap helaan nafas yang mereka hembuskan ditujukan untuk menyiksa orang-orang yang mengucapkan,”Rabb kami adalah Allah”. Termasuk yang dialami oleh keluarga Yasir, yaitu Yasir, Sumayyah dan Ammar bin Yasir, dimana mereka disiksa dengan siksaan yang amat pedih dan dipaksa untuk meninggalkan Islam. Tetapi siksaan yang mereka terima tidak berpengaruh sedikitpun pada keluarga ini kecuali tetap beriman dengan teguh dan ikhlas. Sampai ketika mereka sedang menyiksa keluarga Yasir, Rasulullah lewat di depan mereka, seraya memberikan kabar gembira.
“Sabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah syurga. Sesungguhnya aku tidak memiliki apapun dari Allah untuk kalian,” Rasulullah menyatakan pada mereka bahwa tempat yang dijanjikan untuk mereka adalah syurga, maka tidak ada yang dilakukan Sumayyah kecuali berkata :”Sesungguhnya aku telah melihatnya dengan jelas, wahai Rasulullah,”
Mereka senantiasa shabar menghadapi siksaan yang ditimpakan kepada mereka oleh orang-orang Kafir Quraisy, sampai akhirnya merenggut nyawa Yasir bin Malik. Tetapi hal ini tidak menimbulkan kegentaran pada diri Sumayyah, bahkan ia lebih menantang orang-orang atau pemuka Kafir Quraisy sehingga menambah geram pemuka Kafir Quraisy, terutama Abu Jahl, hingga akhirnya ia menusukkan tombak ke tubuh Sumayyah binti Khubath r.a sampai beliau meninggal dunia sebagai syahidah pertama. Demi mempertahankan ke-Islamannya ia korbankan jiwanya. Subhanallah, tidak diragukan lagi bagaimana perannya sebagai seorang muslimah, sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggungjawab bagi tegaknya Islam, sehingga dengan ikhlas dan ridho ia serahkan jiwanya hanya untuk Islam semata, sekalipun siksaan yang diterimanya sedemikian besarnya.
Semasa hidupnya, Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti dan mengabdi kepada suaminya, dan senantiasa mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Sebagai seorang ibu, dapat kita lihat dari sosok anaknya, yakni Ammar bin Yasir. Ia pun termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam bersama-sama dengan ayah bundanya, dimana kekuatan dan kekokohan imannya mampu menggentarkan orang-orang kafir Quraisy yang menyiksanya. Ia juga seorang mujahid yang tangguh, dengan gagah berani, ia mempertaruhkan nyawanya melawan musuh-musuh kaum muslimin.
Jelaslah bahwa Sumayyah tidak saja hanya memerankan tugasnya sebagai istri dan ibu, tetapi sebagai seorang muslimah yang memberikan andil dan semangat besar bagi kaum muslimin lainnya dengan mengajak keluarganya kepada Islam dan tetap kokoh memegang teguh dînnya sekalipun siksaan yang diterimanya sangat berat.
3. Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq ra.Asma’ juga dikenal sebagai kelompok wanita yang pertama-tama masuk Islam. Ia merupakan muhajirah yang agung, yang mengorbankan harta, raga dan jiwanya hanya untuk Islam. Semua unsur keturunan yang mulia terkumpul dalam pribadinya. Hal itu cukup untuk mengangkat derajatnya ke tempat yang tinggi dan membanggakan. Ayahnya, Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat karib yang paling utama bagi Rasulullah semasa beliau hidup, dan khalifah pertama sesudah beliau wafat. Kakeknya, Abu Atiq, ayahnya Abu Bakar. Saudara perempuannya, Aisyah Ummul Mukminin (Istri Rasulullah SAW), seorang wanita suci, bersih, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firmanNya. Suaminya, Zubair bin Awwam, seorang tokoh yang sangat mengutamakan ridha Allah dan ridha ibu bapaknya.
Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, seorang pemuda miskin, tidak mempunyai pelayan yang selalu siap sedia membantu pekerjaannya, tidak mempunyai harta yang dapat melapangkan kehidupan keluarganya, kecuali hanya seekor kuda yang dirawatnya dengan baik.
Sungguh pun begitu Asma’ tidak kecewa. Dia adalah seorang istri yang baik dan setia, serta selalu khidmat kepada suaminya. Jika suaminya sedang sibuk mengemban tugas-tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya, Asma’ tidak segan-segan bekerja keras merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya.
Pribadi Asma’ dirahmati Allah dengan keistimewaan yang menonjol yang jarang terdapat sekaligus, kecuali dalam pribadi segelintir pria. Dia cantik, hampir sama dengan saudaranya, Aisyah. Dia cerdas, lincah, cekatan, bangsawan dan memiliki otak yang sangat cemerlang.
Kepemurahannya menjadi teladan bagi orang banyak. Anaknya, Abdullah pernah berkata:”Aku belum pernah melihat wanita yang pemurahnya melebihi ibuku, Asma’. Bibiku berlainan. Kalau bibiku, dikumpulkannya lebih dahulu sedikit demi sedikit sesuatu yang akan dinafkahkannya, maka bila sudah terkumpul barulah dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkannya, lain dengan ibuku, dia tidak pernah menyimpan sesuatu sampai besok.”
Dari segi kecemerlangan berfikirnya, sangat nampak dalam diri putri Abu Bakar ini. Ia senantiasa bertindak penuh perhitungan dan bijaksana. Ketika ayahnya, Abu Bakar Shiddiq membawa seluruh uang simpanannya untuk kepentingan hijrah bersama Rasulullah saw, tidak satu sen pun ditinggalkannya untuk keluarganya. Setelah Abu Quhafah, bapak Abu Bakar atau kakek Asma’, mengetahui kepergian anaknya, dia datang ke rumah Abu Bakar untuk memastikan. Ketika itu Abu Quhafah masih musyrik. Kata Abu Quhafah:”Demi Allah! Tentu bapakmu mengecewakanmu dengan hartanya, disamping dia menyusahkanmu dengan kepergiannya.”
“Tidak kek! Sekali-kali tidak! Bapak banyak meninggali kami uang,” jawab Asma’ menghibur kakeknya. Asma’ pergi mengambil batu-batu kerikil, kemudian dimasukkannya ke kotak, tempat dia biasa menyimpan uang. Sesudah itu ditutupnya kerikil tersebut dengan kain-kain pakaiannya. Kemudian di bawanya si kakek ke tempat simpanan uang tersebut dan diletakkannya tangan kakek di atas kain-kain yang menutup kerikil itu. Kata Asma’ : ”Lihatlah Kek! Kami banyak ditinggali uang oleh Bapak,”padahal kakeknya buta.
“Bagus ..! Bagus ..! Kalian ditinggali banyak uang. Syukurlah..!” kata sang kakek.
Sesungguhnya maksud Asma’, disamping untuk menyenangkan hati kakek supaya tidak susah memikirkan dan memberinya apa-apa lagi. Lebih jauh dari itu, sebenarnya Asma’ tidak mau menerima bantuan orang musyrik, walau itu dari kakeknya sendiri. Hal ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan sedemikian besarnya perhatiannya terhadap dakwah dan kepentingan kaum muslimin.
Asma’ binti Abu Bakar diberi julukan oleh Rasulullah sebagai Dzatun Nithâqayn (wanita yang mempunyai dua ikat pinggang). Hal ini terkait dengan peristiwa, ketika tepat di hari Rasulullah SAW hendak berangkat hijrah ke Madinah. Asma’ menyediakan makanan dan minuman untuk perbekalan beliau berdua dengan ayahnya Abu Bakar. Ketika dia hendak mengikat karung makanan dan qirbah (tempat air minum) dia merobek ikat pinggangnya sebagai tali pengikat. Karena itulah Rasulullah saw mendo’akan nya semoga Allah mengganti ikat pinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga. Sejak itu Asma’ digelari “Dzatin Nithâqain”.
Berkaitan dengan peristiwa hijrah inipun, sebenarnya ada berbagai hal yang bisa kita teladani, yang menggambarkan bagaimana kekuatan berfikir dan berstrategi yang dimiliki oleh seorang muslimah, tentu saja ini berkaitan dengan aktivitas politiknya yang dihasilkan dari kecemerlangan akal yang dimilikinya, bukan sekedar aktivitasnya mengantarkan makanan saja.
Asma’ mengirim makanan untuk dua orang yang berperan penting bagi umat Islam, Rasulullah dan ayahnya, Abu Bakar agar keduanya tidak kehausan atau kelaparan. Tetapi lebih dari itu, Asma’ juga menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana orang-orang Kafir Quraisy terhadap kaum muslimin, yakni ketika suasana sangat genting dimana orang-orang Kafir Quraisy tengah mencari-cari Rasulullah saw untuk dibunuh karena bencinya mereka terhadap dakwah Islam dan orang-orang yang mengemban risalah Islam. Dengan perut yang besar, karena kehamilannya waktu itu, Asma’ mengambil peran yang beresiko tinggi, mengapa ? Karena bila ketahuan, bukan hanya nyawanya yang menjadi taruhan, tetapi lebih dari itu, Abu Bakar dan utusan Allah, Muhammad saw pun akan terancam keselamatannya. Apalagi orang-orang Kafir Quraisy saat itu tengah marah besar karena Muhammad saw berhasil lolos dari kepungan, dan posisinya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Tetapi dengan sangat cerdik dan penuh perhitungan Asma’ berjalan menuju persembunyian Abu Bakar dan Rasulullah saw di gua Tsur, sambil menggembalakan kambing-kambingnya. Ia berjalan di depan dan kambing-kambingnya berjalan di belakangnya. Dengan cara ini, tidak ada yang bisa mengikuti jejaknya, karena jejak kaki Asma’ terhapus oleh jejak kaki kambing gembalaannya. Apa yang dilakukan Asma’ itu belum tentu mampu dilakukan seorang lelaki pemberanipun, karena hal itu bisa mengundang bahaya, kezhaliman dan keberingasan orang-orang kafir Quraisy. Suatu perbuatan yang membutuhkan pemikiran yang mendalam, keteguhan hati, sekaligus keberanian dan kekuatan iman.
Ternyata permasalahannya tidak berhenti sampai disini saja, setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil keluar dari tempat persembunyiannya dan berhijrah ke Madinah, Asma’ menuturkan, “Kami di datangi beberapa orang Quraisy, di antara mereka adalah Abu Jahal. Mereka bertanya, “Mana ayahmu wahai putri Abu Bakar ?” Dengan diplomatis Asma’ akhirnya menjawab,” Demi Allah, aku tidak tahu di mana sekarang ayahku berada, ”Seketika itu pula Abu Jahal mengangkat tangannya dan menampar pipi Asma’ dengan satu kali tamparan yang membuat anting-antingnya lepas, setelah itu mereka beranjak pergi.
Setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil hijrah ke Madinah, maka giliran Asma’ untuk hijrah ke Madinah, sementara saat itu Ia dalam keadaan hamil tua, mengandung Abdullah bin Zubair. Sekalipun sudah hampir melahirkan, keadaan ini tidak menjadi rintangan baginya untuk menempuh perjalanan jauh dan berbahaya. Akhirnya, setelah sampai di Quba, Asma’ melahirkan bayi yang sangat didambakannya. Sebagai tanda syukur dan gembira, kaum muslimin mengucapkan takbir dan tahlil menyambut kelahiran Abdullah bin Zubair. Itulah bayi yang pertama lahir di Madinah.
Asma’ segera membawa bayinya ke hadapan Rasulullah saw dan meletakkannya di pangkuan beliau. Rasulullah mengambil air ludahnya sedikit, lalu dimasukkannya ke mulut bayi tersebut, itulah makanan yang pertama masuk ke dalam rongga mulut anak itu. Kemudian beliau membaca do’a bagi bayi tersebut.
Sebagai seorang ibu, telah sering pula kita mendengar kisahnya, sosok ibu yang mengerti benar perannya menciptakan generasi yang berkualitas prima, generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, apakah itu harta, anak, istri dan sebagainya, generasi yang siap berjuang membela bendera Islam dan kalimah Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasûlullâh. Dan generasi seperti ini nampak jelas dalam diri putra Asma’ binti Abu Bakar, yaitu Abdullah bin Zubair. Tentang hal ini kita simak salah satu kisah pertemuan terakhir antara ibu dan anak yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain, semata-mata karena kecintaan keduanya yang tinggi kepada Allah swt dan RasulNya.
Abdullah bin Zubair diangkat menjadi khalifah setelah khalifah Yazid bin Mu’awiyah meninggal. Negeri-negeri Hijaz, Mesir, Iraq, Khurasan dan sebagian besar negeri Syam telah tunduk ke bawah pemerintahannya. Tapi Bani Umayyah tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan tentara yang besar di bawah pimpinan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafy untuk menggulingkan khalifah. Abdullah bin Zubair turun ke medan tempur memimpin sendiri tentara yang setia kepadanya. Dia memperlihatkan kebolehannya sebagai panglima perang yang gagah berani dengan taktik dan strategi perang yang brilian.
Tetapi para perwira bawahan dan prajuritnya banyak yang meninggalkannya satu demi satu, membelok ke pihak musuh. Akhirnya dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit dia mundur di bawah naungan Ka’bah yang suci dan agung. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubair pergi menemui ibundanya yang sudah lanjut usia.
“Assalâmu’alaiki warahmatullâhi wabarakâtuhu, wahai ibunda!” kata Abdullah memberi salam kepada ibunya.
“Wa’alaikas salâm warahmatullâhi wabarakâtuhu, ya Abdullah! Mengapa engkau datang ke sini pada saat begini? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tentaramu menggetarkan seluruh kota Mekkah,” kata ibunya.
“Aku datang hendak bermusyawarah dengan ibu,” jawab Abdullah dengan hormat dan menunjukkan kasih sayangnya.
“Tentang masalah apa?” tanya ibunya khawatir.
“Tentaraku banyak meninggalkanku. Mereka membelot dari padaku ke pihak musuh. Mungkin karena takut kepada Hijjaj atau mungkin juga karena menginginkan sesuatu yang di janjikannya, sehingga anak-anak dan istriku pun berpisah denganku. Sedikit sekali jumlah tentara yang tinggal bersamaku. Mereka itu pun agaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersamaku. Sementara itu, para utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang kuminta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Bagaimana pendapat ibu?” Tanya Abdullah.
Asma’ menjawab dengan suara tinggi, ”Terserah kepadamu ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang tahu dengan dirimu? Bila engkau yakin bahwa engkau mempertahankan yang hak dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkan seperti para prajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan benderamu! Tetapi bila engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau seorang anak laki-laki yang pengecut. Berarti engkau mencelakakan diri sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, nak!”
Abdullah menundukkan kepala di hadapan ibunya yang kelihatan marah bercampur berbagai perasaan yang tidak pasti wujudnya. Walaupun ibunya sudah tua dan buta, Abdullah yang khalifah dan panglima perang yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya karena sangat hormat dan kasih kepadanya.
“Tetapi aku akan terbunuh hari ini, bu! Kata Abdullah lembut.
“Itu lebih baik bagimu dari pada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj. Akhirnya toh kepalamu akan diinjak-injak juga oleh budak-budak Bani Umayyah dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sulit dipercaya,” jawab ibunya tegas dengan nada tinggi.
“Aku tidak takut mati, bu! Tetapi aku khawatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam,” kata Abdullah lagi.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan perbuatan orang hidup sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang,” kata ibunya.
“Semoga ibu diberkati Allah. Begitu pula hendaknya buah pikiran ibu yang selalu terang benderang. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah kudengar dari ibu sebentar ini. Allah Maha Tahu, aku tidak lemah dan tidak terlalu hina. Dia Maha Tahu, aku tidak terpengaruh oleh dunia dan kemewahannya. Murka Allah bagi orang-orang yang menyepelekan segala yang diharamkanNya. Inilah aku, anak ibu! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat ibu. Apabila tewas, janganlah ibu menangisiku. Segala urusan kehidupan ibu, serahkan kepada Allah…! Kata Abdullah menguatkan hati ibunya.
“Yang ibu kuatirkan kalau-kalau engkau tewas di jalan yang sesat,” kata Asma’ memperlihatkan keteguhan imannya.
“Percayalah ibu! Anak ibu tidak memiliki pikiran sesat untuk berbuat keji. Anak ibu tidak percaya untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang-orang muslim yang baik, atau melakukan kejahatan-kejahatan lain. Anak ibu mengutamakan keridhoan ibu. Aku katakan semua ini di hadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Allah ta’ala menanamkan kesabaran yang dalam di hati sanubari ibu.”
Jawab Asma’ ”Alhamdulillâh…! Segala puji bagi Allah yang telah membuat engkau teguh memegang apa yang disukai-Nya dan yang ibu sukai pula. Mendekatlah kepada ibu, anakku! Ibu ingin mencium baumu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir bagi ibu untuk menciummu…”
Abdullah menjatuhkan diri ke pangkuan ibunya. Hidung Asma’ beranjak dari kepala, ke muka dan tengkuk Abdullah. Tangannya menyentuh tubuh Abdullah, tetapi tiba-tiba Asma’ menarik kembali tangannya yang keriput seraya bertanya, ”Apa yang engkau pakai, hal Abdullah?”
“Baju besi!” jawab Abdullah.
“Untuk apa pakaian seperti ini dipakai oleh orang yang ingin syahid?” Tanya Asma’.
‘Aku memakainya untuk menyenangkan hati ibu,” jawab Abdullah.
“Tanggalkan baju besi itu! Tanpa baju besi itu engkau lebih memperlihatkan semangat yang tinggi dan keperkasaan. Disamping itu engkau dapat bergerak dengan leluasa, ringan dan lincah. Sebagai gantinya pakailah celana rangkap. Seandainya engkau tewas auratmu tidak mudah terbuka,” kata ibunya dengan penuh kasih sayang.
Abdullah melepas baju besinya, kemudian memakai celana rangkap. Sesudah itu dia pergi ke Masjidil Haram meneruskan pertempuran sambil berpesan kepada ibunya,” jangan bosan mendo’akanku, ibu!”
Asma menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ”Wahai Allah! Kasihanilah dia karena shalat yang panjang diselingi tangis di tengah malam buta, ketika orang-orang lain sedang tidur nyenyak. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan haus ketika bertugas jauh dari Madinah atau Mekkah dalam menunaikan ibadah puasa karenaMu. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang selalu berbuat kebaikan dan menuntut kasih sayangnya terhadap ibu dan bapaknya. Duhai Allah! Aku serahkan dia ke dalam pemeliharaanMu dan aku ridha dengan apa yang telah Engkau tetapkan baginya dan berilah aku pahala orang-orang yang sabar…!
Sebelum matahari terbenam di sore hari itu, Abdullah bin Zubair syahid menemui Rabbnya. Dia pulang ke rahmat Allah karena mengutamakan ridha Allah. Lebih kurang tujuh belas hari setelah kematian putranya, Asma’ wafat pula menyusul putranya tercinta. Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq pulang ke rahmatullah dalam usia seratus tahun. Walapun usianya sudah lanjut, namun giginya masih utuh semuanya, tidak ada yang tanggal satupun. Daya pikirnya tetap kuat dan prima. Begitu pula imannya seperti dikisahkan dari cela-cela kehidupannya yang penuh taqwa. Radhiyalhu’anhuma. Semoga Allah meridhai kedua hambanya. Asma’ dan Abdullah bin Zubair, putranya.
Inilah sebuah teladan yang sangat berharga bagi kita semua, bukan saja keberaniannya, kepatuhannya kepada Allah, suami dan ayahnya, pengorbanannya yang besar atau sikap dermawannya, serta kedalaman berpikirnya, tetapi lebih dari itu kesadaran politik yang dimiliki serta kemampuannya mensinergiskan peran-peran yang harus dilaksanakan oleh seorang muslimah demikian melekat kuat dalam dirinya.
Bersama suaminya, Zubair terbentuklah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan karena harta yang melimpah ruah, tetapi sebuah keluarga yang selalu diberkahi dan dirahmati oleh Allah swt, karena anggota-anggota keluarganya menjadikan kecintaan kepada Allah swt di atas kecintaan-kecintaan lainnya. Dari keluarga ini lahir seorang syuhada yang gagah berani, yang tidak takut terhadap apapun kecuali kepada Allah swt. Sekalipun demikian, Asma’ tidak mengabaikan peran politiknya. Ia berperan aktif dalam hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Berpindahnya kaum muslimin dari kondisi yang buruk kepada yang baik, sehingga akhirnya tegaklah daulah Islamiyah di Madinah.
4. Asma’ binti Yazid Al-Anshariyah ra.Asma’ masuk Islam bersama para perempuan yang lebih dahulu masuk Islam dari kalangan Anshor melalui tangan Mush’ab bin Umair. Dia seorang wanita suci yang ideal dalam iman, ilmu dan kesabaran, serta memiliki keutamaan yang banyak. Ditambah lagi ia termasuk perempuan yang meriwayatkan hadits Rasulullah saw. Dia termasuk perempuan yang berbaiat dan mujahidah yang hidup pada permulaan Islam di Madinah. Kelebihan lain yang dimilikinya adalah bahwasanya Asma’ binti Yazid merupakan seorang orator, singa podium dari kalangan perempuan mukmin. Karenanya bukan suatu hal yang aneh jika ia dipercaya menjadi delegasi atau wakil kaum perempuan dalam menyampaikan permasalahan yang berhubungan dengan perempuan pada Rasulullah saw dalam majelis syuro. Asma’ pernah melontarkan sebuah pertanyaan yang mengundang decak kagum orang-orang yang mendengarnya. Kita simak kisahnya,
“Ya Rasulullah, aku mewakili kaumku untuk menanyakan kepada engkau. Bukankah Allah mengutus engkau untuk seluruh umat, baik laki-laki maupun perempuan. Kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Namun kami merasa diperlakukan tidak sama dengan kaum laki-laki. Kami adalah golongan yang serba terbatas dan terkurung. Kerja kami hanya menunggu rumah kalian (laki-laki), memelihara dan mengandung anak kalian dan tempat pemuas nafsu laki-laki (suami). Kami tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan seperti yang dilakukan kaum laki-laki. Kami tidak berkesempatan untuk mendapatkan pahala shalat Jum’at (karena memang tidak wajib), menengok orang sakit, mengantar dan merawat jenazah, berhaji (kecuali disertai mahrom), dan amalan yang paling utama jihad fî sabîlillâh. Ketika kalian pergi haji dan berjihad, kami bertugas menjaga harta dan anak kalian, menjahit pakaian kalian. Apakah mungkin dengan itu kami memperoleh pahala seperti amalan yang kalian lakukan ?” Mendengar pertanyaan demikian, Rasulullah saw kaget dan bangga seraya berkata kepada para shahabat yang lain, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan yang lebih baik dalam soal agama selain dari perempuan ini?” Para shahabat menjawab, “Ya Rasulullah, kami tidak menyangka dan berpikir bahwa perempuan itu akan bertanya sedemikian jauh. “ Maka Rasulullah bersabda, “Wahai Asma’ kau pahamilah dan nanti sampaikanlah kepada kaummu. Kebaktian kalian pada suami dan usaha mencai keridhoannya telah meliputi dan menyamai semua yang dilakukan suami-suami kalian.”
Jawaban yang singkat namun padat dan bermakna tinggi. Jawaban yang memberikan ketenangan bagi kaum perempuan, karena kekhawatiran mereka salah dalam melangkah atau lalai dalam menjalankan aturan Allah serta karena sangat lobanya mereka untuk mendapatkan pahala dari Allah swt. Asma’ pun dengan gembira segera pulang dan menyampaikan berita gembira tersebut pada kaum perempuan. Dan mereka menerima dengan senang hati, sami’na wa atha’na.
Asma’ adalah orang yang sangat haus akan ilmu. Ia senantiasa bertanya kepada Rasulullah tentang berbagai hal hingga kepada rinciannya, sehingga ia mendapatkan kejelasan tentang apapun yang ditanyakan dan tidak ada lagi masalah yang dianggapnya rumit dan tersamar.
Di antara keluhuran perangainya, Asma’ binti Yazid adalah dalam hal hafalan dan pemahamannya tentang hadist nabi. Ia meriwayatkan hadist sebanyak delapan puluh satu hadist . Ini menunjukkan bahwa Asma’ sangat memperhatikan ilmu dan iapun sangat rajin mengunjungi Rasulullah saw dan ummul mukminin untuk bertanya tentang Islam.
Keluarga Asma’ adalah keluarga mujahid. Ayahnya Yazid bin As-Sakan Al-Anshary dan pamannya Ziyad bin Sakan Al-Anshary, adalah dua pahlawan penunggang kuda yang menjual dirinya bagi Allah, hingga mereka mati syahid dalam perang Uhud. Dalam perang Khandaq, Asma’ binti Yazid mengirimkan makanan untuk nabi Muhammad dan para shahabat, demikian pula dalam perang Khaibar dan perang Yarmuk, ia memberi makan dan minum para prajurit yang kehausan dan mengobati orang-orang yang terluka. Di samping itu, Asma’ bersama-sama dengan kaum perempuan bersiaga di garis belakang sambil terus menyemangati para prajurit Muslimin, sehingga jikapun ada prajurit yang mundur ke garis belakang, kaum perempuan mengacung-acungkan kayu, sehingga prajurit Muslim yang berniat mundur kembali maju dan memberikan perlawanannya kepada tentara Romawi. Mereka pun terus bertempur hingga Allah memberikan kemenangan dan mampu mengalahkan pasukan Romawi. Adapun di antara pahlawan perempuan tercatat di antaranya Asma binti Yazid ra. Dia terjun dalam kancah pertempuran dan berhasil membunuh sembilan orang pasukan Romawi dengan menggunakan tiang penyangga kemahnya.
5. Khaulah binti Malik bin Tsa’labah ra.Khaulah seorang perempuan yang fasih bicara dan indah bahasanya, selalu dekat dengan Allah, imannya senantiasa kokoh dan kuat dalam keadaan segenting apapun, hal ini berdampak besar dalam keteguhannya berhukum kepada aturan-aturan Allah swt. Ia selalu bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu ataupun perbuatan yang tidak diketahuinya. Bahkan ia tidak segan-segan mengingatkan siapapun, termasuk amirul mukminin jika menurut pemahamannya tidak sesuai dengan Islam.
Di masa Rasulullah saw Khaulah pernah mengadukan masalah perlakuan suaminya yang mendzihar dirinya kepada Rasulullah. Hal ini bukan karena ia benci kepada suaminya, tetapi ia ingin mengetahui kejelasan hukum tentang persoalan yang dihadapinya karena ia khawatir diri dan suami yang dicintainya akan melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan hal ini pada akhirnya turunlah QS Al-Mujadilah ayat 1-4 sebagai jawabannya. Dan tentu saja hal ini melegakan Khaulah.
Khaulah bercerita aku adalah isteri Aus bin Shamit. Ia seorang lelaki yang sudah tua dan suka menghardik dan kurang baik perilakunya. Suatu hari, ia marah kepadaku, seraya berkata,”Ya Khaulah, engkau bagiku bagaikan punggung ibuku,” Ia kemudian keluar, dan duduk di dalam perkumpulan kaum, untuk beberapa waktu lamanya. Lalu ia datang kembali padaku, serta menghendaki diriku. Kepadanya aku katakan,”Jangan engkau lakukan hal itu, Demi Tuhan yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, engkau tidak dapat lagi berbuat begitu (Jima’) denganku, karena engkau telah mengucapkan apa yang baru engkau ucapkan, hingga Allah dan Rasul-Nya memberi keputusan antara kita,”(Karena di zaman jahiliyah apabila seorang suami mengatakan hal tersebut kepada istrinya, maka istrinya pada waktu itu menjadi haram baginya).
Maka (kisahnya) aku pergi menghadap Rasulullah saw, lalu aku ceritakan apa yang baru saja terjadi atas diriku, dan aku adukan pula keburukan akhlak suamiku kepada beliau. Maka kemudian beliau bersabda, “Ya Khaulah, anak pamanmu itu sudah tua, maka takutlah engkau kepada Allah.” Lalu ia mengatakan, “Demi Dzat yang menurunkan kitab kepadamu, ia tidak menyebutkan thalaq. Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu beratnya musibah yang menimpaku dan alangkah berat bagiku berpisah dari suamiku, Ya Allah, turunkanlah melalui lisan Nabi-Mu keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kesulitan kami ini.
Sejak peristiwa itu, demi Allah, aku terus-menerus menunggu hingga Allah menurunkan Ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalahku dengan Aus bin Shamit. Lalu Rasulullah mengisolasi diri sebagaimana biasa, hingga kemudian keluar dengan wajah ceria, seraya bersabda,”Ya Khaulah, Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an mengenai masalahmu dengan suamimu. ”Sesaat kemudian Rasulullah membacakan ayat itu kepadaku:
”Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Melihat orang-orang yang menzhihar isterinya diantara kamu (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atas dirinya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur (bersetubuh). Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atas dirinya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barangsiapa tidak kuasa (berpuasa dua bulan berturut-turut), maka wajib atas dirinya memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”(QS Al-Mujadilah : 1-4)
Selanjutnya Rasulullah bersabda kepadaku. ”Ya Khaulah, suruhlah suamimu memerdekakan seorang budak.” Jawabku, ”Ya Rasulullah, demi Allah, ia tidak mampu untuk memerdekakan budak.” Rasulullah bersabda lagi. ”Suruhlah ia berpuasa dua bulan berturut-turut.” Jawabku, ”Demi Allah, ia sudah tua renta, dan tidak akan mampu berpuasa dalam waktu dua bulan berturut-turut.” Lalu Rasulullah bersabda, ”Suruhlah ia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq (enam puluh sha’) korma.” Jawabku, ”Ya Rasulullah, ia tidak punya korma sebanyak itu. ” Selanjutnya Rasulullah bersabda, ”Saya akan membantu dengan setandan korma.” Lalu aku menimpali Sabda Rasulullah, “Ya Rasulullah, aku juga akan membantunya dengan setandan korma.” Rasulullah kemudian bersabda, ”Benar dan bagus engkau, wahai Khaulah. Pergi dan bersedekahlah untuknya. Kemudian bersikaplah yang baik terhadap anak pamanmu (suamimu).” Maka aku pun segera melaksanakan apa yang diperintahkan dan dipesankan oleh Rasulullah.
Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Umar bin Khathab pada suatu waktu pernah melewati Khaulah. Ketika itu Umar yang memangku jabatan khalifah, sedang mengadakan ekspedisi wilayah. Ia berada di atas kendaraan yang dikawal oleh para prajurit, lalu Khaulah menghentikannya, seraya memberikan nasehat, “Aku masih ingat, dahulu engkau dipanggil dengan nama Umair. Aku sering melihatmu di pasar Ukadz, bermain dan bergulat bersama anak-anak sebayamu. Sekarang, engkau berganti nama menjadi Umar. Bahkan, lebih dari itu, engkau kini sudah digelari Amirul Mukminin. Sungguh indah sebutan nama itu, tetapi apakah engkau tahu makna di balik gelar tersebut ? ketahuilah, wahai Umar, orang yang takut mati tentu tak akan menyia-nyiakan usianya untuk beramal kebaikan.”
Umar menundukkan kepalanya, mendengar nasihat dari perempuan tua tersebut, tak ubahnya seperti seorang anak kecil yang dengan hormat menyimak di depan ibunya. Lalu para pengawal berkata kepada Umar, “Ya Amiral-Mukminin, adakah engkau berhenti di tempat ini hanya karena wanita tua?”. Umar bin Khathab sebenarnya merasa tersinggung atas partanyaan itu, namun ditahan. Lalu ia balik bertanya, “Tahukah kalian, siapakah wanita ini ? Ia adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah. Allah telah mendengar perkataan dan mengabulkan do’anya dari atas langit ketujuh sana. Apakah pantas, jika Allah saja mau mendengar perkataannya, sedangkan Umar tidak mau mendengarnya ? Sungguh, sebuah ketololan bila itu terjadi.”
Pernah pula terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, dimana situasi yang terjadi adalah tingginya mahar yang diminta kaum perempuan dari laki-laki yang hendak menikahinya. Maka untuk kemashlahatan kaum muslimin, waktu itu Umar menetapkan jumlah/besar mahar tertentu, yaitu tidak boleh lebih dari 400 dirham. Mendengar ketetapan khalifah Umar pada waktu itu, maka Khaulah menilai bahwa apa yang dilakukan Umar waktu itu sudah menyalahi tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka kemudian ia protes atau lebih tepat lagi mengoreksi penguasa (muhasabah lil hukkam). Lalu ia berkata kepada Umar, “Apa hak engkau yaa Amirul mukminin menentukan jumlah mahar perempuan, sedangkan Allah saja tidak pernah membatasi jumlah/besarnya mahar tersebut.” Seraya ia membacakan salah satu ayat Al-Qur’an, yang artinya : “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (QS An-Nisaa : 20). Mendengar apa yang dikatakan khaulah, Umar segera menyadari kekeliruannya, lalu ia berkata : “Perempuan ini benar dan Umar salah.”
Demikianlah sebuah teladan yang patut kita contoh sebagai seorang muslim. Ketidak relaan seorang muslimah jika dia melihat seorang muslim/muslimah lainnya – siapapun ia, apakah itu orang terdekat dengannya, tetangganya atau orang lain bahkan seorang khalifah (kepala negara) sekalipun – keliru dalam bertindak (= menyalahi aturan – aturan Allah dan Rasul-Nya). Nampak sekali dalam dirinya rasa tanggungjawab sebagai seorang muslimah apakah ia sebagai istri, bagian dari keluarga lainnya ataupun sebagai bagian dari sebuah masyarakat, yang ia juga bertanggung jawab untuk senantiasa menjaga kesehatan masyarakat. Sinergisme peran yang sangat baik, menempatkan posisinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang Maha Kuasa.
6. Ummu Sulaim binti Milhan ra.Shahabiyat mulia ini adalah salah seorang perempuan dari kalangan Anshor. Ia termasuk shahabiyah yang utama, yang menghimpun ilmu, pemahaman, keberanian, kemurahan hati, kebersihan dan keikhlasan bagi Allah serta Rasul-Nya. Ia seorang ibu dari seorang shahabat yang mulia, Anas bin Malik. Ada sebuah ungkapan : “Ummu Sulaim adalah perempuan yang tunduk kepada keputusan orang yang dicintainya, yang biasa membawa tombak dalam peperangan.”
Sejak di awal ke Islamannya, perempuan cerdas ini, telah memiliki iman yang kuat dan mapan. Ia selalu menghadirkan sepak terjang yang baik dan cemerlang, menunjukkan barokah dan ketajaman akalnya disamping iman, keikhlasan dan kebenarannya. Ia masuk Islam dan ikut berbaiat, sedangkan suaminya dalam keadaan musyrik. Ia mencintai Islam dengan kecintaan yang mendalam, menyatu dengan jiwa dan raganya. Kelurusan hatinya ditunjukkan dengan sikapnya yang teguh di hadapan suaminya yang masih musyrik.
Di zaman jahiliyah Ummu Sulaim menikah dengan Malik bin Nadhar dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Anas bin Malik (yang kelak menjadi shahabat yang utama). Ketika suaminya mengetahui ke-Islaman Istrinya, betapa marahnya ia, lalu mendatangi istri dan anaknya, lalu berkata : “Ya, Umma Sulaim, adakah engkau rela meninggalkan agamamu dan agama nenek moyangmu ?”. Lalu Ummu Sulaim menjawab : “Tidak, cuma aku percaya kepada laki-laki pembawa risalah itu.” (laki-laki tersebut tidak lain adalah Muhammad saw). Lalu kemudian ia menuntun Anas dengan kalimah syahadat, seraya berkata : Ya, Anas, ucapkanlah : “Asyhadu Allâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammadar Rasûlulâh.”
Anas menurutinya dan mengucapkan syahadat, sehingga ia berhak mendapatkan kebahagiaan. Melihat hal ini Malik bertambah marah kepada istrinya, lalu ia berkata kepada Ummu Sulaim : “Jangan kau rusak anakku”. Tapi dengan tenang dan bijaksana Ummu Sulaim berkata : “Sesungguhnya aku tidak merusaknya, tapi justru menunjukinya.”
Kemudian Malik pergi ke Syam dengan membawa kemarahan, tapi di tengah perjalanan ia terbunuh oleh musuh. Ketika berita kematian Malik sampai pada Ummu Sulaim, ia berkata : “Aku tidak akan menyapih anakku, Anas hingga ia sendiri menghendakinya.” Kemudian ia berkata lagi, ‘Aku tidak akan menikah lagi hingga Anas menyuruhku menikah.” Lalu Anas menjawab : “Semoga Allah membalas kebaikan ibu yang telah memeliharaku dengan baik.”
Ummu Sulaim memenuhi janji yang pernah diucapkannya dan memfokuskan pada pendidikan anak semata wayangnya. Ia mengajarinya kecintaan kepada Allah, Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan Islam. Saat Anas masih kana-kanak, belum mencapai usia baligh, namun ia memiliki kecerdasan dan kepandaian. Dia mendapatkan bimbingan dan pendidikan di rumah Nabi Muhammad saw, yang di kemudian hari Anas menjadi salah seorang shahabat terkemuka.
Perilaku shahabiyat ini sangat baik, salah satu perilaku yang cukup menonjol adalah ia sangat pemurah. Dan subhanallah, Allah selalu memberkahi dan memuliakan makanan dengan barokah yang langsung dapat dirasakan. Dan hal ini sering sekali terjadi ketika Ummu Sulaim mengirim makanan kepada Rasulullah saw dan shahabat lainnya yang sebenarnya hanya cukup untuk 1atau 2 orang saja, tapi dengan izin dan barokah Allah makanan tersebut dapat mencukupi orang banyak, sehingga shahabat-shahabat yang lainnya dapat ikut menikmatinya.
Ummu Sulaim meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw sebanyak 14 buah hadits. Empat di antaranya diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, sebuah hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri dan sebuah hadits juga yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
Pada suatu hari ada seorang laki-laki datang kepada Ummu Sulaim untuk melamarnya, yaitu Abu Thalhah Al-Anshary. Di sinilah Ummu Sulaim dituntut untuk membuat pertimbangan. Dia berpikir yang tenang, karena Abu Thalhah masih musyrik. Tapi siapa tahu ia mau mendengarkan perkataannya. “Yaa Abu Thalhah, apakah engkau tidak tahu bahwa yang engkau sembah itu adalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan madharat kepadamu ? Atau berapa kayu yang dibuat oleh tukang kayu, dipahat dan dibentuknya, apakah ia dapat memberi manfaat dan madharat kepadamu ?” Lalu Abu Thalhah datang lagi untuk kedua kalinya dengan tujuan yang sama, untuk mengajukan lamaran dan menyinggung masalah pernikahan.
“Wahai Abu Thalhah,” Kata Ummu Sulaim, “lelaki seperti engkau tidak layak untuk ditolak. Tapi engkau adalah orang kafir, sementara aku perempuan muslimah, yang tidak mungkin bagiku untuk menikah denganmu”.
“Apa yang harus kulakukan untuk tujuan itu ?” Tanya Abu Thalhah.
“Hendaklah engkau menemui Rasulullah saw, “ jawab Ummu Sulaim.
Abu Thalhah langsung beranjak hendak menemui Rasulullah saw yang waktu itu sedang duduk bersama para Shahabat. Ketika Rasulullah melihat kedatangan Abu Thalhah, beliau bersabda,”Abu Thalhah mendatangi kalian dan tanda-tanda Islam tampak di antara kedua matanya.” Lalu Abu Thalhah memberitahukan kepada Rasulullah saw tentang hajatnya kepada Ummu Sulaim. Akhirnya ia setuju untuk menikah dengan Ummu Sulaim, kemudian ia mengucapkan kalimat syahadat, lalu Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar ke-Islamannya. Ummu Sulaim lalu berkata kepada anaknya, wahai Anas, bangkitlah dan nikahkanlah Abu Thalhah, maka jadilah keduanya menikah.
Tentang kisah yang penuh berkah ini, salah seorang tabi’in berkata, ”Kami tidak pernah mendengar maskawin yang lebih mulia daripada mas kawinnya Ummu Sulaim, yaitu Islam.”
Alangkah indahnya cara yang ditempuh oleh Ummu Sulaim dalam memilih suami, tidak memberi arti kepada calon suami selain memilih orang bersedia berpegang teguh pada ajaran Islam. Firasat Ummu Sulaim terhadap Abu Thalhah ternyata benar, ia selalu ditunjuki oleh Allah, sehingga iapun dapat meraih kebahagiaan karena Ummu Sulaim merupakan istri yang pandai, bertakwa, mulia, senantiasa menjaga janjinya dan menghormati suaminya serta memelihara ucapan termasuk kepada suaminya. Anas, anak dari suaminya terdahulupun mendapatkan kebahagiaan semakin bertambah karena ia mendapatkan kesempatan untuk mengabdi kepada Rasulullah saw.
Sebagai seorang ibu telah jelas bagaimana Ummu Sulaiman mampu melaksanakannya dengan baik. Kita dapat melihat dari anaknya Anas bin Malik serta anak-anak yang dilahirkannya dari pernikahannya dengan Thalhah. Lalu bagaimana perannya sebagai seorang isteri ? Ada sebuah kisah yang disampaikan oleh anaknya Anas bin Malik : “Anak Abu Thalhah, hasil pernikahannya dengan Ummu Sulaim meninggal. Lalu Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian menceritakan kejadian ini kepada Abu Thalhah. Biar aku sendiri yang menceritakannya.”
Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim mendekatinya kemudian seperti biasanya ia menghidangkan makan malam untuknya. Abu Thalhah pun makan dan minum sepuasnya. Setelah itu Ummu Sulaim berdandan sehingga terlihat lebih cantik dari hari-hari sebelumnya. Abu Thalhah sangat tertarik, lalu mengajaknya tidur dan melakukan hubungan suami isteri. Setelah selasai memenuhi hajat suaminya, Ummu Sulaim bercakap-cakap dengan suaminya, ia bertanya kepada suaminya : “Ya, Abu Thalhah, bagaiman pendapatmu bila suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu kaum itu memintanya kembali pinjaman tersebut. bolehkah keluarga tadi melarangnya ? Jawab Abu Thalhah, tentu saja tidak boleh. Lantas Ummu Sulaim berkata, “kalau begitu, relakanlah anakmu yang telah diminta kembali oleh yang punya, Allah swt.” Mendengar kata-kata isterinya, Abu Thalhah sangat marah, lau berkata, “Engkau biarkan aku kotor (junub) seperti ini, baru setelah itu engkau beritahu tentang keadaan anakku !”
Keesokkan harinya Abu Thalhah pergi menghadap Rasulullah, memberitahukan peristiwa yang dialaminya semalam. Lalu Rasulullah bersabda, “Semoga Allah memberi berkah kepada kalian berdua dalam ‘malam pengantinmu’ tadi malam.” Dari hubungan suami isteri tersebut, ternyata Ummu Sulaim hamil. Dan selanjutnya mereka berdua dikaruniai keturunan yang banyak oleh Allah swt.
Seorang muslimah sudah selayaknya mengetahui keutamaan-keutamaan Ummu Sulaim. Bagaimana cintanya beliau kepada Allah dan Rasul-Nya serta baktinya kepada suaminya. Ia juga seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya. Bagaimana ketika ia menghadapi kesulitan dan ujian yang diberikan Allah kepadanya dengan keimanan, kemantapan hati serta kesabaranya yang tinggi dengan tidak bergoncang sedikitpun. Tutur kata yang baik, halus dan tajam tetapi ma’ruf menjadikan siapapun yang diajak bicara akan berusaha untuk mendengarkannya. Kedermawanan dan sikap pemurah juga menjadi pekerti yang senantiasa dijaganya. Lebih dari itu, Ummu Sulaim bukanlah orang yang hanya memikirkan keluarga dan anak-anaknya semata. Tapi ia menyadari betul bahwa dirinya adalah bagian dari umat Islam, yang memiliki tanggungjawab terhadap umat. Masih kita ingat bagaimana amar ma’ruf nahyi mungkar yang dilakukannya kepada Abu Thalhah sebelum ia masuk Islam. Imam Qurthubi pun menjelaskan bahwa pada waktu perang Hunain, Ummu Sulaim berada di antara orang-orang yang bertahan bersama Rasulullah saw. Pada waktu itu ia memegang unta Abu Thalhah sambil membawa badik untuk melindungi Rasulullah. Dalam perang Uhud, ia menunjukkan perannya yang besar, memberi minum orang-orang yang haus dan mengobati orang-orang yang terluka bersama-sama dengan Aisyah. Demikian pula dalam perang Khaibar.
Satu lagi teladan bagaimana perempuan di masa Rasulullah saw. Ia tidak melalaikan kewajiban atau tugas utamanya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga (ummun wa rabbat al-bait) serta tidak melalaikan kewajibannya sebagai umat atau bagian dari masyarakat. Ketiga peran perempuannya berjalan secara harmonis, tidak mengutamakan yang satu lalu melalaikan yang lain. Maka pada dasarnya perempuan manapun dan di masa kapanpun akan mampu melaksanakan peran-perannya sebagai perempuan yaitu sebagai hamba Allah, bagian dari keluarga (anak, isteri atau ibu) serta bagian dari masyarakat sekaligus secara sinergis dan harmonis asalkan kita semua mengikuti aturan-aturan Allah swt dan Rasul-Nya.
7. Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah saw ra.Fathimah dilahirkan di Ummul Qura, ketika orang-orang Quraisy merehab bangunan ka’bah, yaitu lima tahun sebelum kenabian. Kedua orangtuanya sangat senang dan gembira karena kelahirannya. Ia tumbuh di rumah yang suci, mendapatkan limpahan kasih sayang dari kedua orangtuaya dan berkembang dalam suasana nubuwwah yang suci. Matanya terbuka untuk melihat urusan risalah yang dikhususkan Allah bagi ayahnya, Muhammad saw.
Fathimah sebagaimana putri-putri Rasulullah lainnya berada dalam satu ikatan bersama ibu mereka Khadijah dalam kelompok terdepan di pelataran Islam, yang membenarkan ayah mereka yang memang telah dikaruniai sifat-sifat yang diberkahi sebelum risalah. Ke-Islaman keluarga ini, Muhammad saw, istri dan putri-putrinya merupakan ke-Islaman fitrah yang suci, yang disuapi dengan iman dan nubuwwah, yang dibesarkan pada keutamaan dan kemuliaan akhlak.
Abu Nu’aim mensifati Fathimah Az-Zahra dengan berkata : “Di antara para wanita yan g suci dan ahli ibadah serta bertakwa ialah Fathimah radhiyallahu anha. Dia menghindari dunia dan kesenangannya, mengetahui aib dunia dan bencananya”. Kehidupannya diwarnai kesederhanaan namun ditaburi barokah dan cahaya yang mengisyaratkan zuhud, wara’ dan ketakutannya kepada Allah serta berbuat secara berkelanjutan untuk mendapatkan keridhaan-Nya.
Pada tahun kedua setelah hijrah, Ali bin Abu Thalib menikahi Fathimah dengan mas kawin baju besi senilai empat dirham. Keduanya menjalani kehidupan suami istri dengan penuh kebahagiaan. Sejarah tidak mengenal seorang perempuan yang mampu menghimpun kesabaran dan ketakwaan seperti halnya Fathimah Az-Zahra’, putri Rasulullah ini. Sejak hari pertama pernikahannya dengan Ali, ia mengerjakan sendiri tugas rumah tangganya yang cukup berat pada waktu itu. Dia harus menggiling bahan makanan dan membuat adonan roti hingga rambutnya terkena percikan-percikan tepung, kemudian ia memprosesnya dan memasaknya hingga matang. Sementara suaminya yang zuhud dan mujahid tidak mampu mengupah pembantu untuk membantu Fathimah dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Sebagai seorang ibu, nampak dari anak-anaknya yang sangat cinta kepada Allah swt, menjadi anak-anak yang dicintai dan disayangi oleh siapapun, terutama Rasulullah saw. Siapa yang tidak mengenal Hasan dan Husein, mereka adalah anak-anak yang sangat dekat dengan Allah swt, sangat besar pengorbanannya untuk Islam dan kaum muslimin.
Sebagai seorang anak pun tak ada yang bisa meragukannya bahwa Fathimah adalah anak yang berbakti kepada kedua ayah bundanya. Dari Ibnu Abbas raa dia berkata, “ Setelah turun ayat Idza ja’a nashrullah wal fathu, maka nabi saw memanggil Fathimah dan bersabda kepadanya, bahwa kematian beliau sudah dekat yang membuat Fathimah menangis. Lalu beliau bersabda, “Jangan engkau menangis, karena engkaulah keluargaku yang pertama kali bersua denganku,” Sehingga membuat Fathimah tersenyum.
Ketika sakit, Nabi saw semakin berat sehingga membuat beliau pingsan, maka Fathimah berkata, “Aduhai kasihan engkau wahai ayah !” Setelah siuman beliau bersabda, “Tidak ada lagi kesusahan yang menimpa ayahmu setelah hari ini.” Setelah itu Rasulullah berpulang ke Rahmatullah, yang membuat Fathimah bersedih dan menangis. Dia berkata, “Wahai ayah, kepada Jibril kami sampaikan kabar kematianmu. Wahai ayah, kepada Rabb engkau penuhi seruan-Nya. Wahai ayah syurga Firdaus tempat kembalimu”.
Fathimah Az-Zahra’ memiliki sepak terjang yang harum di medan jihad, sejarah telah mencatat keutamaan-keutamaannya di berbagai pertemuan, bersama-sama dengan Rasulullah saw. Dalam perang Uhud, peperangan yang mengandung banyak pelajaran dan pengorbanan, Nabi Muhammad saw mendapatkan luka di badan dan wajah beliau, hingga darah beliau mengalir deras, Fathimah langsung memeluknya. Kemudian ia mengusap darah Rasulullah dan mengalirkan air di atasnya. Ketika ternyata darah tersebut tidak berhenti mengalir, maka Fathimah membakar potongan tikar, kemudian abunya ditempelkan ke luka tersebut hingga akhirnya darah tersebut berhenti mengalir. Pada saat ini beliau bersabda : “Amat besar kemarahan Allah terhadap orang-orang yang membuat wajah Rasul–Nya berdarah”.
Dalam perang Uhud ini Fathimah keluar bersama-sama dengan perempuan-perempuan dari kalangan Muhajirin dan Anshor sambil mengusung air dan makanan di punggung mereka. Tentang peran Fathimah ra dalam perang Uhud ini, shahabat Sahl bin Sa’d berkata, “Rasulullah saw terluka hingga gigi seri beliau patah, Fathimah binti Rasulullah saw mencuci darah dan Ali mengalirkan air kepada beliau dengan menggunakan teko. Ketika Fathimah melihat bahwa air itu justru membuat darah semakin deras mengalir, dia mengambil potongan tikar dan membakarnya hingga ia menjadi abu, lalu dia menempelkan abunya di luka beliau, hingga darah tidak lagi mengalir dari lukanya.
Fathimah juga ikut dalam perang Khandaq dan Khaibar, ia pernah juga keluar bersama empat belas perempuan lainnya, diantaranya Ummu Sulaim binti Milhan dan Ummul Mukminin Aisyah untuk membawa air dalam qirbah dan membawa perbekalan di punggungnya untuk memberi makan dan minum orang-orang mukminin yang sedang berperang.
Itulah Fathimah Az-Zahra’, perempuan yang cantik dan elok rupa dan perilakunya. Di saat yang bersamaan ia adalah anak yang sholehah yang berbakti kepada ayah dan bundanya, sehingga menjadi kebanggaan orangtuanya Ia juga seorang istri yang mengerti tugas dan posisinya. Ia tidak mengeluh atas peran dan tanggungjawab yang diberikan aturan Allah dan Rasul-Nya atas kaum perempuan, termasuk dirinya, sekalipun ia sendiri yang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangganya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Di sisi lain, ia juga merupakan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ia didik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sangat cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad saw. Bukan semata-mata karena Muhammad saw adalah kakeknya, tapi karena Muhammad saw adalah orang yang diutus oleh Allah swt untuk menyampaikan atau menyebarkan syariat Islam.
Meskipun demikian, Fathimah tidak terkungkung/terpenjara hanya dalam peran domestiknya saja. Ia menyadari betul bahwa ia adalah bagian dari umat atau masyarakat Islam yang memiliki andil dan tanggungjawab untuk memajukan dan mengantarkan umat Islam kepada umat yang mulia, sebagai umat yang terbaik di muka bumi ini. Ia tidak pernah merasa malu untuk bertanya kepada Rasulullah tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam, kemudian menyampaikan kepada suaminya ataupun wanita-wanita lain apalagi Fathimah termasuk orang yang dekat dengan Rasulullah. Karenanya ia sering dijadikan tempat bertanya para shahabat atau shahabiyat lainnya. Sebagai bagian dari umat Islam, Fathimah pun tidak segan-segan terjun langsung ke medan Jihad, melawan musuh-musuh kaum muslimin dan segala bentuk kesesatan yang ada. Subhanallah ketakwaannya dan ketawakalannya kepada Allah serta ketinggian berpikirnya membawanya untuk dapat menjalankan seluruh perintah-perintah Allah secara sinergis dan harmonis, tidak mengutamakan yang satu lalu mengabaikan yang lain.
8. Aisyah bin Abu Bakar Shiddiq ra.Aisyah ra adalah anak dari Abubakar Shiddiq, dari pernikahannya dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir Al Kinaniyah. Di rumah yang dinaungi dengan kebenaran, kejujuran dan iman inilah Aisyah dilahirkan, tepatnya di Mekkah, 7 tahun sebelum hijrah. Ia termasuk orang yang dilahirkan semasa Islam. Dari keluarga yang baik inilah, Allah menempatkan Aisyah sebagai individu yang baik pula, hingga akhirnya memiliki kedudukan yang besar di antara perempuan Islam.
Aisyah diberi julukan Ash – Shiddiqah binti Ash Shiddiq (Perempuan yang sangat jujur putrid dari orang yang sangat jujur). Ia dipilih oleh Allah sebagai istri Nabi Muhammad sa. Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Saya bermimpi bermimpi melihatmu dua kali atau tiga kali, malaikat datang membawamu pada sehelai kain sutera, lalu malaikat itu berkata kepadaku : Ini adalah istrimu. Maka saya membuka kain penutup mukamu dan ternyata engkaulah orangnya. Maka saya berkata : Kalau hal ini dari Allah, maka Dia pasti akan meluluskannya (HR Bukhari dan Muslim). Terhimpun dalam dirinya ilmu dan keutamaan, yang menjadikan dirinya sebagai sosok yang harum dalam perasaan, karena ia telah meninggalkan jejak yang diberkahi di dunia ini.
Berkaitan dengan ketinggian ilmunya, para shahabat dan tabi’in mengomentarinya, Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan, “Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih mengerti tentang sunnah Rasul yang lebih mengena pendapatnya, lebih tahu tentang ayat Al-Qur’an yang turun, serta lebih mengerti tentang hal-hal fardhu, selain Aisyah.” Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Aisyah memiliki pengetahuan yang tinggi dalam bidang tafsir, hadits, fiqh juga dalam bidang pengobatan, syair dan silsilah”.
Abu Bard bin Abu Musa mengisahkan dari ayahnya, “Kami para sahabat Rasul tidaklah menghadapi suatu kesulitan lantas kami tanyakan kepada Aisyah, melainkan kami mendapatkan penyelesaian yang baik darinya.”
“Aku melihat guru-guru para shahabat besar bertanya kepada Aisyah tentang faraidh.” Shahabat Urwah bin Zubair berkata, “Aku tidak pernah mengetahui seorangpun yang lebih mengerti tentang Al-Qur’an dan ketentuan-ketentuannya, tentang halal haram, tentang syair, tentang pembicaraan dan nasab bangsa Arab selain Aisyah,” Abu Umar berkata, “Pada zamannya tidak ada seorangpun yang menandingi Aisyah dalam bidang ilmu fiqh, ilmu pengetahuan dan ilmu syair.”
Demikianlah Aisyah, perempuan yang paling mendalam ilmunya, sampai-sampai Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan pun biasa mengirim utusan kepadanya untuk menanyakan As-Sunnah. Suatu hal yang tidak dapat disangsikan lagi, karena Ash-Shiddiqah tumbuh di rumah Ash-Shiddiq, lalu hidup di rumah nubuwwah, menciduk dari sumber nabawiy yang murni, terlibat secara langsung dalam sebab-sebab turunnya Al-Qur’an. Cukuplah baginya bahwa rumahnya sebagai tempat turunnya wahyu. Sehingga tidak mengherankan jika dia merupakan perempuan yang paling mendalam ilmunya. Karena itulah ilmu dan keutamaannya menyebar ke seluruh pelosok negeri, melebihi orang lain dalam berbagai macam hal yang wajib dan sunnah.
Aisyah juga merupakan perowi hadits yang handal. Ia termasuk salah satu dari tujuh orang yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi saw, bahkan menerima hadits langsung dari Rasulullah. Aisyah juga memiliki kelebihan dalam menukil sunnah nubuwwah yang berupa perbuatan, lalu ia mengajarkan kepada kaum muslimin lainnya. Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah sebanyak 2210 hadits, yang terdapat dalam shahih Bukhari-Muslim sebanyak 297 hadits, yang disepakati oleh Imam Bukhari-Muslim sebanyak 174 hadits, sedang yang diriwayatkan Bukhari sendiri sebanyak 54 hadits dan Muslim sendiri 69 hadits.
Aisyah, ummul mukminin menjadi teladan dalam zuhud, kemurahan hati dan kedermawanan. Ia mencapai derajat zuhud yang tinggi karena ia lebih sering berpaling dari dunia dan menghadap kepada Allah untuk melaksanakan ibadah. Hampir tidak ada harta yang ada di tangannya walau hanya beberapa saat, melainkan dia menyalurkannya kepada orang-orang miskin. Di antara gambaran kedermawanannya, sampai-sampai dia pernah membagi-bagikan seratus ribu dirham hanya dalam satu hari, yang pada hari itu dia berpuasa tanpa menyisakan satu dirham pun di dalam rumahnya.
Dalam hal ibadahpun tidak ada yang meragukan, bahwa Aisyah orang yang paling dekat dengan Rasulullah, sehingga ibadahnya dianggap sebagai gambaran sederhana dari ibadah beliau. Aisyah banyak mendirikan shalat sunnah, terutama shalat malam. Tentang puasanya, maka ia senantiasa berpuasa ad-dahr (sehari puasa sehari tidak, seperti puasa Dawud). Aisyah adalah orang yang tidak pernah berdiam diri ketika ada shahabat yang salah dalam memahami Al-Qur’an dan sunnah atau melanggar hukum syariat. Diriwayatlkan dari ubaidillah bin Umair, ia berkata : Terdengar oleh Aisyah bahwa Abdullah bin Amr memerintahkan para perempuan untuk membuka sanggulnya ketika mandi besar. Maka Aisyah berkata : “Alangkah mengherankan Ibnu Amr ini, ia perintahkan para perempuan agar membuka sanggulnya ketika mandi, mengapa tidak mencukur rambutnya sekalian ? Sungguh saya pernah mandi bersama Rasulullah saw dari satu bak dan saya tidak lebih hanya menyiram kepalaku tiga kali (HR Muslim). Ia pun pernah menghadapi perempuan-perempuan Himsh sambil berkata, “Barangkali kalian termasuk perempuan-perempuan pemandian umum. Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Siapapun perempuan yang melepas pakaian di luar rumah suami, berarti dia telah merusak tabir antara dirinya dengan Allah,” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah). Ketika Aisyah melihat perubahan mode pakaian dari sebagian perempuan sepeninggal Rasulullah, ia mengingkarinya seraya berkata, “Seandainya Rasulullah melihat apa yang dilakukan perempuan sekarang, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana perempuan-perempuan Bani Israil dahulu.”
Aisyah juga merupakan salah seorang perempuan yang tangguh dalam berjihad. Sewaktu perang Uhud, ia ikut mengangkuti air di pundaknya bagi para mujahidin, padahal usianya masih sangat muda, kurang lebih sebelas tahun. Anas bin Malik meriwayatkan, “Aku melihat Aisyah binti Abubakar dan Ummu Sulaim, keduanya menyingsingkan ujung pakaiannya. Keduanya mengangkuti geriba air di atas pundak lalu memberi minum orang-orang yang terluka. Kemudian keduanya kembali dan memenuhi geriba itu, lalu memberi minum mereka.” (Muttafaq alaih). Demikian pula ketika perang Khandak, Aisyah terjun langsung dalam perang tersebut bergabung dengan para shahabat, dimana pada waktu itu Aisyah maju mendekati front mujahidin paling depan.
Riwayat hidup Aisyah merupakan cermin bagi para pemudi, yang dari perjalanan hidup itu mereka dapat mengetahui bagaimana ia memiliki kepribadian kuat tanpa harus merendahkan diri. Mereka akan mengetahui pula bagaimana ia menjaga kebagusan lahiriah, tetapi penuh ketundukan dan kesederhanaan. Bagaimana ia memahami dan mendalami agama sehingga menjadi sumber argumentasi. Bagaimana ia memahami kata-kata agama ke dalam amalan-amalan nyata. Bagaimana ia memberikan buah pikiran dan material demi menegakan agama Allah. Bagaimana ia menata kehidupan suami istri hingga dapat membangkitkan semangat suami, yang dengan semangat ilmunya berupaya meraih kejayaan.
Aisyah telah memberikan teladan yang sangat banyak. Ia menjadi rujukan dalam menyelesaikan berbagai keputusan dan masalah agama. Ketajaman pemikiran, keluhuran akhlak, dan kelemah lembutan sikapnya terhadap Rasulullah telah menjadikan dirinya sangat terpercaya dalam bidang hadits syarif. Ia tidak pernah ragu-ragu memberi pelayanan kepada orang-orang yang berperang dan membantu memenuhi keperluan mereka. Kelemahlembutannya dan kebaikannya terhadap orang lain menyebabkan ia mampu mengalahkan kepentingan pribadi demi kepentingan orang lain. Ia juga tidak rela orang lain melakukan suatu perbuatan yang melanggar syariat Allah, karenanya ia senantiasa mengoreksi dan mengingatkan para shahabat dan senantiasa meluruskan jika terdapat pemahaman yang salah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an ataupun hadits Rasulullah.
Khatimah
Demikianlah sekelumit kisah shahabiyat yang agung, yang terdidik dengan pemahaman yang benar tentang Islam. Kehidupan mereka cukup memberi gambaran yang jelas bagaimana seharusnya seorang Muslimah berpikir dan bersikap, dimana keyakinan yang kokoh terhadap kebenaran Islam, telah menjadikan mereka siap menerima apapun ketentuan yang telah Allah bebankan kepada mereka, tanpa memperhitungkan lagi nilai-nilai manfaat dan kebenaran relatif yang muncul dari akal dan hawa nafsunya. Ketika Allah menetapkan peran dan fungsi tertentu atas mereka, mereka tak lantas berpikir bahwa Allah dan RasulNya telah bersikap dzalim atas mereka. Sehingga kalaupun pada satu saat muncul pertanyaan mengenai pembedaan peran dan fungsi perempuan atas laki-laki sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh Asma kepada Rasulullah saw, maka itu semata-mata didorong oleh kerakusan mereka akan pahala dan kedudukan yang tinggi di hadapan Allah SWT. Karena mereka demikian yakin, bahwa kemuliaan tertinggi adalah kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Salah satu teladan penting yang dapat kita ambil dari mereka adalah, kemampuan mereka mensinergiskan keseluruhan peran dan fungsi yang telah Allah bebankan atas mereka, baik dia sebagai seorang hamba Allah, sebagai istri dan ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Seluruh kewajiban yang terkait dengan peran-peran dan fungsi itu mampu mereka tunaikan tanpa mengabaikan yang satu dari yang lainnya. Kesibukan dan beratnya beban mereka dalam mengurus kehidupan rumahtangganya tidak lantas membuat mereka abai terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan terlebih-lebih lagi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab besar untuk bersama-sama kaum Muslimin yang lain membangun kehidupan yang mulia. Demikian pula sebaliknya, kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan masyarakat, yang terwujud dalam keterlibatannya dalam aktivitas politik, tidak lantas pula membuat mereka lalai terhadap kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Semua, mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pelaksanaan atas seluruh peran-peran dan fungsi itu, adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka yang suatu saat akan mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Fakta inilah yang hari ini belum kita temukan pada sebagian besar kalangan Muslimah. Keta’juban mereka akan modernisme Barat dan tersibghahnya pemikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran asing, (termasuk feminisme) telah membuat mereka lebih suka mengadopsi gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari tuntunan Islam. Keimanan mereka terhadap aqidah Islam, ternyata belum cukup memberi dorongan agar mereka mau terikat dengan aturan-aturan Islam sebagai satu-satunya solusi kehidupan mereka, sebagaimana yang nampak pada setiap sosok shahabiyat yang mulia. Sehingga jangankan bercita-cita untuk berjuang demi Islam sebagai pelaksanaan kewajibannya atas masyarakat, terikat dengan hukum-hukum yang bersifat individualpun sangat sulit untuk diharapkan.
Kuatnya dominasi kehidupan kapitalis-sekularistik di seluruh aspeknya, dipastikan menjadi akar utama kian kokohnya kondisi ini. Karena dengan aqidah dan sistem ini, kaum Muslim telah dituntun untuk senantiasa mensandarkan kebahagiaan dan kemuliaan hudupnya pada nilai-nilai manfaat yang muncul dari asas rasionalitas manusia. Sementara disisi lain, keberadaan Islam sebagai ideologi kian tertutupi oleh minimnya pengetahuan yang shahih tentang Islam. Kian lama, mereka kian kehilangan gambaran yang utuh dan holistik tentang bagaimana indahnya sosok kehidupan yang terbangun oleh Islam. Bahkan yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka merelakan dirinya menjadi antek dan corong asing. Yang tanpa pembayaran sedikitpun mereka mau menjadi pengukuh dan penjaga atas dominasi pemikiran asing di negeri-negeri kaum Muslimin. Sementara pada saat yang sama, mereka campakkan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan penuh rasa jijik dan malu, sehingga seakan-akan tak ada yang tersisa dari Islam selain nama dan sejarah masa lalu saja. Mereka bangga menjadi penyeru kekufuran, sekalipun dengan itu, mereka harus membayarnya dengan murka Allah yang tak tertandingkan.
Kondisi inilah yang seharusnya membuat kita sadar; bahwa sudah saatnya kita bergerak untuk membenahi kehidupan yang carut marut dan jauh dari berkah illahiyah ini dengan segera mewujudkan sistem Islam. Caranya tidak lain dengan melakukan proses penyadaran, bahwa fakta rusaknya kehidupan yang senyatanya juga mereka rasakan ini adalah akibat dari jauhnya mereka dari sistem Islam; Sebuah sistem yang tegak di atas landasan yang shahih, yakni pengakuan atas keberadaan hak mutlak Allah sebagai Pencipta Yang Maha Tahu dan Maha Adil atas pengaturan kehidupan manusia di bumi miliknya ini. Sistem inilah yang sebelumnya telah membawa kaum Muslim kepada sebuah kebangkitan hakiki, yang secara dzahir muncul dalam bentuk peradaban yang agung selama berabad-abad. Justru tatkala kaum Muslim meninggalkan Islam, kehinaanlah yang kemudian mereka dapatkan. Sehingga, selama kaum Muslim terbuai oleh janji-janji manis sekularisme, dengan seluruh pemikiran yang tercabang darinya, sekecil apapun, maka hal tersebut menjadi jaminan pasti atas berlangsungnya keterpurukan dan kehinaan yang dialami umat ini sampai kapanpun.
Hanya saja, pada kenyataannya sebuah perubahan masyarakat tidak akan pernah diperoleh secara mudah. Apalagi, jika perubahan yang dimaksud adalah perubahan masyarakat ke arah terwujudnya sistem Islam. Ini mengingat, pihak asing tak akan begitu saja membiarkan ‘gerakan’ perubahan ini berjalan mulus, sementara ‘kemenangan mereka hari ini’ merupakan hasil kerja keras dan perjuangan panjang mereka selama berabad-abad. Karena itulah maka, sinergisme langkah setiap komponen masyarakat yang sudah tersadarkan, baik laki-laki maupun perempuan menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Disamping, memastikan, bahwa langkah-langkah yang ditempuh merupakan langkah-langkah yang secara pasti pula akan menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Langkah ini tidak lain adalah langkah da’wah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Saw sebagai teladan terbaik umat Islam. Dimana atas bimbingan wahyu, beliau telah berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang agung yang mampu mengungguli umat-umat yang lainnya.
Pada akhirnya, masa depan kaum Muslim ini, memang terletak pada pundak kita bersama. Sehingga keterlibatan kita dalam ‘proyek besar ini’ menjadi bagian dari wujud tanggungjawab kita atas ‘nasib’ Islam dan kaum Muslim.
---------------
Belum ada tanggapan untuk "My Book : REVISI POLITIK PEREMPUAN, Idea Pustaka, Bogor, 2003, 233 hlm."
Posting Komentar