By Siti Nafidah Anshory
Tak banyak yang tahu, bahwa tanggal 25 Januari merupakan Hari Gizi Nasional. Tak ada seremonial khusus yang digelar, selain beberapa acara yang digelar secara terbatas oleh ormas maupun LSM tertentu dan nyaris tanpa sorotan media.
Tentu saja, minimnya perhatian masyarakat termasuk pemerintah terhadap momen penting ini tak seminim persoalan-persoalan gizi buruk yang ril terjadi di tengah masyarakat. Bahkan tak bisa ditutup-tutupi, jika persoalan gizi buruk hingga kini masih menjadi salah satu PR besar bagi bangsa Indonesia, tak terkecuali di Jawa Barat.
Badan PBB untuk urusan pangan atau United Nation World Food Programme (WFP) mencatat, pada tahun 2009 lalu masih terdapat sekitar 13 juta anak Indonesia yang mengalami kekurangan gizi dan masih menjadi raport merah pencapaian target MDGs 2010. Sementara di Jawa Barat, di tahun yang sama Dinkes Provinsi Jabar mencatat, dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu, 380.673 orang di antaranya (10,8%) termasuk dalam kategori gizi kurang, dan 38.760 anak di antaranya (1,01%) divonis menderita gizi buruk.
Memang agak sulit untuk memperoleh data aktual dan valid tentang kasus-kasus tersebut. Namun data yang ada ditengarai hanya menggambarkan fenomena gunung es. Bisa dipastikan kasus-kasus yang terjadi sebenarnya jauh melampaui yang tertulis di atas kertas. Setidaknya, banyaknya kasus pengidap gizi buruk di berbagai daaerah yang terekam oleh media menunjukkan hal tersebut.
Tentu saja, kasus gizi buruk bukanlah satu-satunya persoalan yang wajib diwaspadai dan harus menjadi perhatian kita bersama. Ada banyak daftar persoalan yang juga menuntut perhatian karena menyangkut nasib bangsa ke depan. Persoalan anak terlantar –termasuk anak jalanan—juga tak kalah fenomenal, terutama setelah banyak kasus seputar rentannya kehidupan mereka terblow up ke permukaan, seperti kasus pencabulan, merebaknya seks bebas, aborsi dan AIDS, bahkan kasus-kasus penculikan anak dan pembunuhan yang mengancam kehidupan mereka. Secara kuantitatif, jumlahnya terus meningkat setiap tahun. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) dari Departemen Sosial tahun 2009 misalnya menyebutkan, jumlah anak telantar di Indonesia mencapai 3,4 juta anak. Satu tahun berikutnya (2010) bertambah 2 juta anak menjadi 5,4 juta dan hampir 10%nya ada di Jawa Barat.
Masalahnya, persoalan ini ternyata berjalin berkelindan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang memang belum bisa dikatakan baik dan merata. Hingga akhir tahun 2009 , dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar US $ 1,55 per hari sebagai pembatas miskin-tidak miskin (versi BPS), tercatat masih ada sekitar 14,1 % penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini –meski memunculkan kontroversi—sempat diklaim terus menurun oleh pemerintah di tahun 2010 hingga menjadi 13,4 %. Sedangkan di Jawa Barat, hingga akhir Juli 2009 masih terdapat sekitar 11,96 persen dari 42 juta jiwa yang terkatagori miskin dengan tingkat daya beli yang rendah. Bayangkan jika standar penghasilannya dinaikkan agar terlihat lebih ‘layak’.
Dari sisi kualitas, derajat kemiskinan yang dialami masyarakatpun sudah sangat mengenaskan an tentu berdampak pada kasus-kasus lain semisal gizi buruk dan anak terlantar. Terus melambungnya harga-harga pangan dan bahan bakar telah memaksa keluarga-keluarga miskin berdaya beli sangat rendah bertahan dengan cara apapun yang mereka bisa. Alih-alih berpikir tentang kecukupan gizi, yang penting ada yang bisa mengganjal perut mereka. Ada yang menyelingi kosumsi beras dengan tiwul atau nasi aking, ada yang meminta sisa-sisa nasi atau kerak nasi dari tetangga, atau benar-benar bertahan hanya dengan mengkonsumsi tiwul atau nasi aking saja. Kasus 6 orang anggota keluarga yang meninggal gara-gara makan nasi tiwul di Jawa Tengah kemarin cukup untuk menunjukkan seberapa mengenaskan potret kemiskinan yang terjadi di negeri kita.
Benar bahwa kemiskinan bukanlah akar masalahnya. Namun demikian, kemiskinan inilah yang ditengarai menjadi kontributor utama merebaknya kasus-kasus di atas. Dimana karena miskin, masyarakat tak bisa memenuhi hak mereka dan anak-anak mereka untuk mendapatkan jaminan ketersediaan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan yang berkualitas sebagai bekal membangun masa depan mereka. Alih-alih berkontribusi dalam membangun peradaban bangsa, bertahan hidup pun betul-betul butuh perjuangan.
Ironisnya, kondisi seperti ini tak seharusnya terjadi di negeri berlimpah kekayaan alam ini. Terlebih secara kultur, rakyat Indonesia sesungguhnya bukanlah manusia-manusia malas yang tak mau bekerja dan berusaha mencari penghidupan yang layak. Tengoklah pekerjaan informal yang tiba-tiba bermunculan di tengah krisis dan diklaim pemerintah sebagai indicator menurunnya angka pengangguran yang padahal tak ada kaitannya dengan hasil kerja mereka. Gelas plastic bekas yang tiba-tiba disulap menjadi mainan anak-anak, pedagang jajanan murahan yang makin banyak, pengamen dan pemulung, bahkan para pengemis yang kian memenuhi jalan hingga ke desa-desa. Semua itu menunjukkan daya juang yang tetap dimiliki bangsa ini di tengah kesulitan hidup yang mencekik mereka.
Persoalannya adalah, bangsa ini tak seharusnya miskin, dan anak-anak merekapun tak selayaknya kehilangan masa depan, jika saja kekayaan yang melimpah ruah diurus dengan benar demi kesejahteraan mereka dan pemerintah pun menerapkan kebijakan yang membela kepentingan rakyatnya, bukan malah menerapkan kebijakan neolib yang memihak kapitalis asing dan kapitalis pribumi yang rakus dan hobi merampok harta rakyat mereka. Tengok saja, keberadaan UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal yang keseluruhannya mengandung semangat liberalisasi dan privatisasi ala kapitalisme neoliberalisme, justru menjadi jalan bagi asing dan segelintir kapitalis negeri ini untuk menguasai asset-aset strategis milik rakyat. Tak heran jika nyaris 90 % ladang minyak kita dikuasi perusahaan asing, semetara rakyat harus antri minyak dan listrik milik mereka sendiri dan membelinya dengan harga mahal. Ladang emaspun dikuras habis; tiap hari sejak tahun 1969 tak kurang dari 102 kg emas di diproduksi perusahaan tambang Freeport, sementara di pihak lain, rakyat Indonesia khususnya Papua banyak yang mati kelaparan dan mewarisi kerusakan lingkungan yang sangat parah. Tak cukup dengan itu, kebijakan anti subsidi dan liberalisasi komoditas panganpun membuat rakyat termasuk para petani tak bisa meningkatkan taraf hidupnya selain tetap bertahan agar tak jatuh lebih miskin lagi.
Tentu saja kondisi ini tak bisa dibiarkan berlangsung lebih lama lagi. Perselingkuhan penguasa dengan para pemilik modal besar dan pihak asing harus segera diakhiri. Berbagai kesepakatan, undang-undang dan kebijakan lain yang nyata-nyata telah merugikan rakyat banyak dan anti penyelamatan generasi harus segera dicabut. Dan ini hanya mungkin dilakukan jika ada perubahan paradigmatik dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Senyatanya Indonesia, bukan hanya butuh orang yang baik dan jujur, tapi juga sistem yang benar. Dan Islam menawarkan itu, yakni sistem yang tegak diatas asas yang benar yang lahir dari kesadaran tentang hakekat penciptaan dan pasti akan melahirkan sistem hidup yang benar yang sesuai tujuan penciptaan (fitrah) itu. Sistem yang ada selama ini diterapkan–yakni sistem kapitalisme liberalisme yang tegak di atas asas sekularisme—memang tak sesuai fitrah manusia, karena di buat dan diciptakan oleh akal manusia yang lemah dan terbatas. Sistem ini justru disetting untuk menumbuh suburkan kedzaliman; yang meniscayakan orang-orang baik dan benar terwarnai sistem rusak atau justru tersingkir ke pinggiran.
Karenanya berharap Indonesia berubah tidak mungkin jika tanpa perubahan sistem; ibarat pohon busuk, ganti mulai akar hingga ke daun. Dan cara ini bisa ditempuh melalui revolusi sosial yang lahir dari kesadaran berpikir ideologis dan dilakukan tanpa kekerasan. Dan dengan cara ini, mimpi menyelamatkan generasi akan bisa diwujudkan.[]
Belum ada tanggapan untuk "GIZI BURUK, ANAK TERLANTAR DAN FENOMENA KEMISKINAN"
Posting Komentar