Oleh : Siti Nafidah Anshory
Meski didesak anggota Komisi IX DPR, Institut Pertanian Bogor atau IPB dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih tetap menolak mengumumkan daftar susu formula tercemar enterobacter sakazakii. Alasannya mereka belum menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung. Sikap IPB membuat anggota Dewan kesal dan memilih keluar ruangan. Demikian berita yang dimuat dalam Liputan6.com pada Kamis, 17 Pebruari lalu.
Seminggu sebelumnya, kepala BPOM Kustantinah juga telah melakukan jumpa pers yang dihadiri Menkes dan kuasa hukum IPB di Gedung Kemenkominfo dan mengumumkan bahwa tidak ada susu formula yang terkontaminasi bakteri menghebohkan ini. Namun, tentu saja pengumuman ini tidak serta merta membuat masyarakat lega. Terlebih dalam beberapa kesempatan wawancara, Menkes terus meyakinkan masyarakat, bahwa bakteri ini tidak berbahaya sepanjang tidak diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan dan penyajian susu dilakukan dengan benar karena bakteri ini akan mati pada suhu 70°C. Pernyataan Menkes ini justru menguatkan dugaan akan kemungkinan masih adanya susu yang tercemar, disamping tentu saja menunjukkan ketidakseriusan pemerintah melakukan penjagaan maksimal terhadap masyarakat.
Geger sakazakii sebenarnya telah dimulai ketika seorang pengacara dari Komnas Perlindungan Anak bernama David L. Tobing menggugat Menkes, IPB dan BPOM untuk mengumumkan hasil penelitian tim IPB tahun 2006 yang menemukan bahwa 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) telah terkontaminasi enterobacter sakazakii; bakteri berbahaya yang dalam jangka panjang, yakni 6 sampai 8 tahun pasca konsumsi, bisa menyebabkan infeksi selaput otak, infeksi saluran kencing, kerusakan saluran pencernaan, bahkan hidrosephalus.
Proses gugatan tersebut setidaknya menghabiskan waktu lebih dari tiga tahun hingga akhirnya dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Pada 26 April 2010 MA mengumumkan putusannya dan memerintahkan pihak IPB, Menkes, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk segera mengumumkan merek susu formula yang tercemar itu. Namun kemenangan gugatan David tersebut tidak serta merta mendorong pihak tergugat melaksanakan hasil gugatan. Selain alasan amar putusan belum sampai, etika penelitian yang mengharuskan untuk menjaga data, menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengetahui produk minuman dan makanan bayi apa saja yang bermasalah itu. Pihak pemerintah sendiri terus bersikukuh bahwa mereka tidak bisa mengumumkan hasil penelitian berkenaan dengan independensi penelitian dan belum sampainya amar putusan pada mereka. Sementara MA, ketika dikonfirmasi mengenai amar putusan yang belum juga dilaksanakan, menyatakan bahwa hal itu bukan wewenangnya. Bahkan hakim yang memutuskan perkaranya pun menyatakan belum pernah melihat salinan amar putusan tersebut.
Sakazaki Hanya Salah Satu IroniSelain sudah ada putusan MA, secara normatif, Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menjamin adanya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Peraturan tersebut seharusnya cukup untuk memaksa pihak terkait untuk segera mengumumkan hasil temuan tim peneliti IPB, mengingat ada hak masyarakat yang sudah terlanggar dan bahaya yang mengancam mereka. Namun seperti biasa, aturan hukum di Indonesia hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jika yang melanggar rakyat kecil, maka hukum demikian berwibawa. Tapi jika menyangkut kepentingan penguasa atau orang kaya, hukum seperti tak berdaya.
Apa yang dipertontonkan pemerintah dalam hal ini Menkes dan MA serta IPB sebagai lembaga pendidikan dan pengabdian masyarakat terkait kasus sakazakii hanyalah satu dari sekian banyak ironi yang terjadi di negeri bernama Indonesia ini. Lembaga-lembaga yang seharusnya berpihak pada kepentingan masyarakat justru bersikap abai dan menganggap sepele kegelisahan masyarakat menghadapi bahaya yang mengancam kehidupan anak-anak mereka dengan cara berusaha menutup-nutupi persoalan atasnama kepentingan ilmiah (independensi penelitian) dan alasan-alasan lain yang terkesan dicari-cari. Wajar jika akhirnya muncul pertanyaan besar, seberapa seriuskah pemerintah dan lembaga terkait berusaha menjamin dan mewujudkan hak-hak masyarakat? Dan seberapa besar keberpihakan mereka kepada kepentingan rakyat?
Yang menjadi masalah, kasus sakazakii bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan abainya pemerintah atas tanggungjawab mereka mengurusi urusan rakyat dengan pengurusan yang maksimal, termasuk dalam menjamin ketersediaan pangan yang aman bagi masyarakat. Geger formalin pada makanan, borax dan penggunaan zat tambahan berbahaya lain pada bahan-bahan konsumsi baik yang diproduksi industri besar maupun skala rumahan, seolah dibiarkan pemerintah lewat begitu saja. Begitupun penggunaan bahan-bahan tambahan pada produk pangan dan obat/vaksin yang terindikasi haram dikonsumsi dan dipakai umat Islam –seperti zat yang mengandung babi, bangkai dan khamr-- malah dibiarkan merebak tanpa terkendali. Pada kasus-kasus ini, masyarakat yang peduli, termasuk MUI, dibiarkan berjuang sendiri. Sementara pemerintah asyik dengan agenda membangun citra dan bermain politik demi melanggengkan kekuasaan kelompoknya, seraya memanfaatkan ‘kepolosan’ (kalau tidak disebut kebodohan) mayoritas rakyatnya sendiri.
Selain soal jebakan kekuasaan, bau busuk kapitalisme juga tercium dari kasus-kasus semacam ini. Pemerintah seringkali ewuh pakewuh jika sudah berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Ini wajar, mengingat dalam system hidup kapitalistik yang konsisten dijalankan pemerintah seperti ini, perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha memang menjadi hal biasa.
Senyatanya, siapapun tak bisa memungkiri jika kekuasaan yang dibangun di negara ini tak lepas dari sokongan para pebisnis (baca : para kapitalis), baik lokal maupun asing. Mereka dengan rela mengucurkan dana milyaran rupiah untuk mengongkosi kampanye politik para penguasa. Bahkan tak sedikit para penguasa yang (bukan kebetulan) berasal dari kalangan pengusaha.
Dalam kamus pebisnis, tentu saja dana-dana sponsorship yang mereka keluarkan akan dihitung sebagai komponen biaya produksi yang mengharuskan adanya kompensasi. Kompensasi tersebut bisa jadi berupa kebijakan yang menguntungkan maupun berupa jaminan kemudahan dan keamanan bagi langgengnya hegemoni bisnis mereka. Tak heran pula jika dalam pengambilan kebijakan, kepentingan para pemilik modal atau pengusaha selalu menjadi prioritas utama penguasa. Dan jika terjadi bentrok kepentingan antara masyarakat umum dengan kepentingan pengusaha, penguasa akan lebih rela mengorbankan rakyat daripada mengorbankan sponsor utama kekuasaan mereka.
Mirisnya, ketidakadilan semacam ini terjadi dalam seluruh aspek kehidupan.
Kekuasaan bagi mereka justru digunakan sebagai jalan mulus untuk mengeruk sebesar-besar keuntungan. Rakyatpun dibiarkan melarat, bahkan sekarat karena tertutup jalan bagi mereka mendapatkan pendidikan yang layak, kemudahan berusaha, dan layanan kesehatan yang membuat mereka menjadi generasi kuat dan bermartabat. Undang-Undangpun dimanfaatkan sebagai alat legitimasi untuk mempecundangi rakyat, merampok kekayaan mereka dan membiarkan mereka terus berkutat dalam keputusasaan, sendirian. Hati nurani para penguasa ini seolah terkunci; tak peduli satu-demi satu rakyat mati karena kemiskinan dan kualitas kesehatan yang menyedihkan di tengah cerita indah tentang kekayaan alam yang melimpah ruah milik negeri antah berantah bernama Indonesia. Di sisi lain mereka para penguasa, terus berupaya menutupi kebusukan ini dengan program basa-basi dan tak penting, yang cuma menghamburkan dana hasil keringat rakyat dan tak lebih menjadi ajang proyek yang dimanfaatkan para kacung mereka sendiri.
Sungguh, alangkah buruk apa yang mereka kerjakan. Sebagai pemegang kekuasaan seharusnya mereka menjadi pelopor dalam kebaikan dengan berupaya sungguh-sungguh menjaga umat dari ancaman kebinasaan. Sebagai penguasa, merekalah yang bertanggungjawab menjamin pemenuhan berbagai hak dan kebutuhan rakyat serta berkewajiban mewujudkan kesejahteraan mereka. Sayangnya, hal ini memang tak mungkin diharapkan akan terwujud dalam system kapitalisme yang punya cacat bawaan sejak dari asas. Yakni asas/aqidah sekularisme yang menafikan pengaturan agama dalam kehidupan. Aqidah inilah yang menjauhkan para penguasa Muslim dari kesadaran ruhiyyah mereka dan menumpulkan mata batin mereka, bahwa sejatinya kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dan akan menjadi sesalan berkepajangan di akhirat kelak. Aqidah ini pulalah yang membelokkan pandangan mereka dari ketundukan kepada perintah dan larangan Allah SWT, termasuk perintah untuk hanya mau berhukum pada aturan-aturan Allah yang akan mewujudkan rahmat bagi semua dan bukan pada aturan-aturan manusia yang hanya memberi rahmat bagi penguasa dan pengusaha saja.
Islam Satu-Satunya HarapanBerbeda halnya dengan sistem Islam. Sistem ini tegak diatas landasan yang sahih, yakni keyakinan akan adanya Pencipta yang bukan hanya berhak untuk disembah, tapi juga satu-satunya yang berhak mengatur manusia dan kehidupan. Dengan keyakinan ini, seorang Muslim menyadari bahwa visi hidupnya adalah Ilallah, sementara misinya adalah menjadi ‘Abdullah. Dengan kesadaran ini, setiap muslim akan siap terikat dengan aturan-aturan Allah, dan bertanggungjawab dalam setiap status dan peran penghambaan yang diembannya.
Status dan peran kepemimpinan/kekuasaan adalah status dan peran manusia yang asasi dalam pandangan Islam. Rasulullah Saw bersabda:
“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas secara khusus menyebutkan kedudukan penguasa sebagai pemimin umat, yakni sebagai penanggungjawab atas urusan rakyatnya. Dalam hadits lain disebutkan Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya pemimpin (Imam) kaum muslimin adalah perisai dimana kaum Muslimin berperang dan dilindungi di belakangnya …” (HR. Muslim)
“Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka” (HR. Abu Na'im)
Fungsi pengurusan (
ri’ayah), perlindungan (
junnah) dan pelayanan setiap pemimpin umat dalam pandangan Islam tidak hanya memiliki dimensi sosial (horizontal) sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalistik yang memandang kepemimpinan para penguasa tak lebih dari kontrak sosial. Dengan kontrak ini, rakyat mengangkat dan mengupah para penguasa hanya untuk melaksanakan kehendak mereka dan merepresetasikan keinginan-keinginan mereka yang serba relative dan bermacam ragam kepentingan. Sementara dalam Islam, fungsi-fungsi kepemimpinan tadi juga memiliki dimensi ruhiyyah (vertikal) berupa pertanggungjawaban penguasa pada Sang Raja Diraja (Allah al Malik al Mulk) atas kewajiban kepemimpinan, yang sejatinya bertindak sebagai penerap aturan-aturanNya. Dengan aturan inilah ri’ayah (pengurusan) urusan manusia/rakyat dijalankan dan keadilan hakiki pun dapat diwujudkan.
Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :
“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
“ Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)
Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.
Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi khoyru ummah di antara manusia.
Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi SesudahnyaRasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).
Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.
Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.
Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.
Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.
Jejak Kesejahteraan KhilafahSepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/
ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.
Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.
Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.
Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.
Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana kasus sakazakii dan banyak kasus lainnya. Benarlah sabda Rasulullah Saw :
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)
Hingga kapan ini kita biarkan?
Tidakkah kita rindu akan penguasa adil yang menyayangi umat dan amanah dalam ri’ayah?
Tidakkah kita ingin hidup sejahtera dalam naungan ridha Allah karena penguasa berpegang teguh pada syariah dalam wadah khilafah?
Mari berjuang, agar di akhirat kita punya hujjah!
-----------
Belum ada tanggapan untuk "Kasus Sakazakii Cuma Satu Bukti Kebobrokan Pemerintahan Kapitalistik"
Posting Komentar