Oleh : Siti Nafidah Anshory
(Edisi editan, ditulis 17 Maret 2011)Pengantar Jelang tahun 2011 menjadi momen bersejarah bagi perubahan eskalasi politik Timur Tengah yang sejak dulu dikenal ‘mapan’ oleh penerapan sistem diktatorisme. Rakyat yang selama ini diam tak berdaya karena terkekang oleh kebijakan otoriter rezim penguasa, tiba-tiba berontak menyerukan perubahan. Fakta ini cukup menghentak pandangan masyarakat dunia, bahwa seberapapun besarnya kekuatan yang dibangun penguasa untuk mempertahankan hegemoninya, tak akan pernah mampu menghalangi kekuatan rakyat ketika mereka menghendaki perubahan.
Adalah rakyat Tunisia yang awalnya meradang. Aksi bakar diri seorang sarjana muda penjual sayur bernama Muhammad Bouazizi yang frustrasi akibat gerobaknya disita polisi, menjadi pemicu kemarahan rakyat yang sudah lama terpendam. Bouazizi seolah mewakili perasaan mereka yang sangat menderita akibat kedzaliman dan sikap arogan penguasa sekuler Tunisia. Apa yang dilakukannya rupanya cukup menginspirasi rakyat untuk melakukan aksi perlawanan. Revolusi rakyatpun meletus tanpa bisa dibendung. Jutaan rakyat turun ke jalan-jalan, hingga tepat 10 hari pasca tewasnya Bouazizi, kekuasaan despotik Presiden Zine el-Abidine Ben Ali yang sudah berlangsung sepanjang 23 tahun itu akhirnya tumbang. Ben Ali dan keluarganya terpaksa lari dengan membawa kehinaan beserta puluhan koper berisi emas dan uang milik rakyat. Mereka bersembunyi di ketiak raja Arab Saudi setelah Pemerintah Prancis sang sekutu lamanya ternyata emoh memberikan perlindungan.
Apa yang terjadi di Tunisia –negeri di Afrika Utara yang oleh Barat dipandang ‘paling aman’-- kemudian menginspirasi rakyat Mesir untuk melakukan revolusi serupa. Di bawah pemerintahan Mubarak dan para pejabatnya, rakyat Mesir memang tak kalah menderita di banding rakyat Tunisia, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara politik. Secara ekonomi, rakyat Mesir telah lama didera kemiskinan yang sangat parah. Pengangguran dan melambungnya harga pangan yang terjadi akhir-akhir ini kian menambah penderitaan mereka. Secara politik pun, kehidupan mereka begitu tertekan, karena sebagaimana pendahulunya, Mubarak yang didukung AS ini sangat konsisten menerapkan kebijakan represif. Tak sedikit dari lawan politik Mubarak, terutama kalangan Islamis, yang tewas dibunuh atau terpaksa menghabiskan usia di penjara-penjara bawah tanah Mesir yang terkenal mengerikan itu. Kondisi pelik inilah yang menjadi semacam tungku minyak revolusi. Hingga saat api revolusi Tunis memercik ke arahnya, tungku itupun dengan cepat terbakar dan mengobarkan semangat perlawanan rakyat sedemikian rupa hingga mampu menembus pertahanan militer Mubarak dan akhirnya berhasil menumbangkan singgasana kebesaran yang berpuluh tahun dipertahankannya.
Tak hanya Mesir yang tertular semangat revolusi Tunis. Libanon, Aljazair, Sudan, Bahrain, Yaman, Oman dan Libya pun turut bergolak. Seolah dikomando, mayoritas rakyat di negeri-negeri Tiran tersebut bergerak dengan suara sama; menuntut perubahan rezim dengan harapan bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di Libya, pergolakan rakyat bahkan berakhir dengan perang saudara. Pemerintahan Muammar Gaddafi dan pedukungnya hingga kini terus berusaha mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuatan senjata untuk menumpas gerakan perlawanan yang menginginkan ketumbangannya.
Sumirnya Arah Perubahan Saat pemberitaan mengenai panasnya situasi Timur Tengah ini mencuat ke seantero jagad, tak sedikit yang berharap peristiwa ini akan menjadi momentum terjadinya perubahan mendasar yang bisa mengubah konstelasi politik dunia, mengingat Timur Tengah dikenal sebagai jantungnya dunia. Namun jika menyimak perkembangan yang terjadi, nampak bahwa perubahan yang diinginkan masyarakat Arab ternyata tak memiliki landasan kuat dan visi jelas. Yang penting bagi mereka, rezim lama tumbang digantikan dengan yang baru. Atau setidaknya kebutuhan naluriyah mereka terpenuhi dengan segera.
Kenyataan inilah yang menyebabkan semangat perubahan dengan mudah dibajak oleh berbagai kepentingan. Baik kepentingan rezim lama yang berupaya melanggengkan dinastinya dengan cara berganti wajah dari otoriter tiba-tiba menjadi (seolah) pro rakyat (demokratis), maupun oleh kepentingan asing, dalam hal ini negara-negara besar, yang berkehendak merevitalisasi dominasi ideologi dan ekonominya dengan cara mendukung rezim baru yang loyalitasnya tak diragukan.
Apa yang terjadi di Tunis dan Mesir jelas menggambarkan hal ini. Naiknya Mohammed Gannouchi menggantikan Ben Ali maupun Omar Sulaeman yang menggantikan Mubarak adalah bentuk pembajakan yang telanjang atas arah perubahan. Pasalnya Gannouchi dan rezim baru yang dibentuknya sama-sama dikenal sebagai loyalis Ben Ali dan pemerintah sekutunya, Perancis. Bahkan berbagai analisis menyebutkan, bahwa dia sengaja dipasang oleh Perancis untuk mengamankan kepentingannya setelah Ben Ali ditumbangkan.
Begitupun dengan Omar. Selama masa kekuasaan Mubarak dia dikenal sebagai tangan kanannya. Sebagai kepala badan intelejen Mesir, dialah yang bertugas memberangus lawan-lawan politik Mubarak, terutama dari kelompok Islam. Omar pun –-sebagaimana Mubarak-- dikenal memiliki hubungan khusus dengan CIA (AS) dan Israel. Bisa dipahami jika saat terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran menuntut Mubarak mundur, AS –sebagaimana diungkap Wikileaks-- buru-buru menyiapkan Omar sebagai pengganti Mubarak untuk memastikan Mesir tetap dalam genggamannya. Ini mengingat posisi Mesir adalah penjaga utama kepentingan dan kompas keamanan AS di Timur Tengah, termasuk menjadi penjaga utama proses normalisasi hubungan Arab-Israel yang dimotori AS.
Adapun di luar Tunis dan Mesir, pembajakan justru lebih banyak dilakukan penguasanya sendiri, dengan cara segera memberi rakyat ‘obat sementara’ untuk melemahkan semangat revolusi/perlawanan mereka. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh yang diprotes karena sudah berkuasa selama 32 tahun misalnya, segera berjanji akan turun di tahun 2013. Raja Yordania, Abdullah II, merespon aksi rakyat dengan segera merombak kabinetnya seraya memasukkan beberapa tokoh oposisi dan media ke dalamnya. Presiden Aljazair Abdel Aziz Bouteflika memilih cara meraih simpati rakyat dengan mengambil kebijakan mencabut UU Darurat yang telah berjalan hampir 20 tahun. Presiden Suriah Bashar al-Assad berancang-ancang melakukan reformasi. Sementara Penguasa Arab Saudi dan Bahrain mencoba membungkam rakyat dengan segera mengumumkan rencana pemberian uang tunai kepada rakyat dalam jumlah besar. Ironisnya, dengan cara ‘sederhana’ ini, para penguasa tiran akhirnya berhasil meredam benih revolusi hingga tak berkembang menjadi kekuatan yang mendorong sebuah perubahan besar.
Seruan Khilafah di Kancah Revolusi Kian sumirnya arah perubahan sebenarnya tak bisa dilepaskan dari peran media (milik) Barat yang berhasil membangun opini dan mengerdilkan agenda revolusi menjadi sekedar soal perubahan rezim dan soal perut. Media Barat –yang kemudian dijadikan referensi oleh media-media lokal— memang intens mengopinikan bahwa masalah utama rakyat adalah kemiskinan dan rezim otoriter. Merekapun mengopinikan, bahwa rakyat semua negara yang dilanda gelombang demonstrasi itu hanyalah menginginkan pekerjaan dan kesempatan, menentang harga makanan yang tinggi dan korupsi serta menginginkan sistem politik yang tidak dicengkram keras oleh tangan besi pemerintah yang otoriter (lihat tulisan Frank Gardner, Wartawan BBC urusan keamanan pada artikel Revolusi Dunia Arab Terhenti di Libya?, dirilis www.bbc.co.uk/ indonesia, 5 Maret 2011). Itulah yang mereka sebut sebagai perjuangan demokrasi mewujudkan pemerintahan sipil melawan otokrasi dan otoritarianisme. Tapi benarkah demikian?
Dengan cara seperti ini, Media Barat sebenarnya sedang berupaya membelokkan kesadaran masyarakat dunia dari arah perubahan yang benar. Mereka pun sedang berupaya menutupi realitas tentang sedang tumbuhnya kesadaran ideologis di tengah-tengah umat, yakni munculnya gerakan yang menginginkan perubahan sistem secara mendasar melalui penegakkan khilafah yang mendunia.
Faktanya, di tengah gelombang revolusi Arab itu, seruan khilafah memang cukup nyaring terdengar. Di tengah revolusi Melati Tunisia misalnya, masîrah (long march) berlangsung di jalan-jalan seraya menyerukan slogan “
lâ syarqiyyah wa lâ gharbiyyah … lâ dimoqrâthiyyah wa wathaniyyah … bal khilâfah Islâmiyyah”. Di Mesir suara-suara lantang pun muncul dalam khotbah-khotbah Jum’at, channel-channel TV keagamaan, dan kelompok massa yang menyerukan penerapan Islam di Lapangan Tahrir, di berbagai pusat diskusi di kota Alexandria, dan wilayah-wilayah Mesir lainnya. Bahkan di Libya, seruan-seruan untuk penerapan Islam juga berlangsung, meskipun Gaddafi melancarkan kampanye untuk merusak citra Negara Islam, dan selalu mengaitkannya dengan berbagai aksi kekerasan. Terkait hal ini, para pemimpin entitas Yahudi bahkan mengatakan bahwa karakter revolusi di Libya adalah karakter Islam. Adapun di Yaman, berlangsung pula seruan-seruan para ulama yang menyampaikan kabar gembira akan kembalinya Khilafah. Bahkan ada beberapa kota yang telah diwarnai dengan kibaran bendera
al-Uqab, yaitu
al-Liwa’ dan
ar-Rayah sehingga media-media lokal dan Arab terdorong menerbitkan headline:
“Yaman berada di pinggiran Khilafah Islam”, dan
“ar-Rayah telah berkibar di atas sekolah-sekolah di Aden” (www.hizbut-tahrir.or.id).
Namun hampir seluruh media besar milik Barat justru memboikot dan menihilkan adanya seruan perubahan ke arah Islam di kancah revolusi tersebut. Bahkan mereka berupaya menutupnya dengan karakter sekuler seperti dengan menonjolkan isu demokratisasi dan semangat melawan penindasan. Hal ini dikarenakan para pemimpin Barat, khususnya Amerika, Eropa dan Yahudi sangat ketakutan akan bahaya yang mengancam mereka. Yakni berupa kemungkinan berdirinya negara Islam pasca revolusi yang akan mengganggu keseimbangan kekuasaan dan mengubah bandul sejarah yang hari ini ada di pihak mereka ke tangan Islam.
Pernyataan tentang ketakutan ini senyatanya telah disampaikan oleh Clinton, Cameron, Ashkenazi, Netanyahu dan Berlusconi. Bahkan situs HTI menyebut, bahwa media-media besar Barat seperti Fox News dan The Independent, semuanya telah membicarakan tentang ketakutan para politisi Barat terhadap revolusi ini dan isu pendirian Khilafah, serta implikasinya bagi Barat dan dunia. Pemberitaan inilah yang memaksa Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Moussa mengeluarkan pernyataan untuk menenangkan kecemasan Barat dan meredakan badai ketakutan pada diri mereka.
Revolusi Arab dan Refleksi Dakwah Syariah Khilafah Fakta-fakta mengenai adanya seruan khilafah dalam revolusi Arab tentu tak bisa dilepaskan dari peran kelompok dakwah yang tetap konsisten menyerukan urgensi dan kewajiban menegakkan syariah dalam wadah khilafah. Hanya saja, sejauhmana gagasan ini terkristal di tengah umat memang butuh penelaahan, mengingat faktanya api revolusi Arab kini nyaris padam, dan suaranya pun nyaris tak terdengar ke permukaan sejalan dengan terpenuhinya tuntutan-tuntutan rakyat yang bersifat parsial.
Kita tentu berharap bahwa apa yang dikatakan Frank Gardner, bahwa revolusi dunia Arab akan berakhir di Libya tidaklah benar. Kita juga berharap, melemahnya pemberitaan soal revolusi Arab hanyalah soal keberhasilan media Barat melakukan pemboikotan, bukan karena semangat revolusi itu benar-benar padam. Namun kita tak bisa menutup mata, bahwa kita pernah beberapa kali kehilangan momentum perubahan hakiki dalam beberapa peristiwa sejarah, termasuk reformasi Indonesia di tahun 1998. Fakta ini setidaknya bisa menjadi bahan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan dakwah mengembalikan Islam di tengah-tengah kancah kehidupan umat.
Dalam salah satu kitabnya, Al-‘Alamah Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan, bahwa keberhasilan sebuah gerakan sesungguhnya diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan hawa nafsu penguasa. Sementara terkait keberhasilan tujuan dakwah, yakni tegaknya syariah dalam wadah khilafah hanya bisa dilakukan setelah terbentuknya opini publik yang lahir dari kesadaran umum terhadap ideologi Islam.
Hal ini tentu hanya bisa diwujudkan manakala aktivitas peleburan ideologi yang dilakukan kelompok dakwah dan para pengembannya di tengah-tengah masyarakat melalui kontak-kontak produktif berjalan sempurna. Sehingga ideologi Islam yang diemban kelompok dakwah dan para pengembannya tadi diimani dan diemban pula oleh umat. Kesadaran ideologi seperti inilah yang akan mendorong umat untuk siap turut serta berjuang bersama kelompok dakwah tadi mewujudkan Islam di kancah kehidupan, menembus setiap penghalang, baik yang datang dari penguasa maupun dari pihak asing yang tak menghendaki umat Islam bangkit, termasuk penghalang yang mengancam nyawa mereka.
Pada kasus revolusi Arab dan revolusi-revolusi di negeri Islam sebelumnya, arus kesadaran ideologis seperti ini nampaknya belum terbentuk secara massif di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, alih-alih mampu mewujudkan kekuasaan yang berlandaskan Islam, malah dengan mudah arus perubahan dibelokkan ke arah yang justru menjauhkan mereka dari hakekat kebangkitan. Nampak pula, bahwa mayoritas umat bahkan belum mampu membaca akar persoalan mereka secara sempurna berikut solusi yang harus ditempuhnya, yakni masalah ketiadaan sistem Islam dan keharusan kembali menerapkan sistem ini dalam kehidupan. Mereka bahkan bisa dikatakan masih berada pada taraf pemikiran dan perasaan yang rendah, sehingga sekalipun mereka menyadari akan buruknya kondisi mereka dan menyadari kebutuhan akan kepemimpinan yang sahih dan ikhlas, penuh kesadaran dan bisa merasakan keadaan mereka, namun kesadaran dan perasaan tersebut masih kabur dan tak mampu mendorong ke arah perubahan sebenarnya selain sekedar asal berubah saja.
Menciptakan Peluang Revolusi Hakiki di IndonesiaMeski tak jelas akhir ceritanya, namun ada beberapa hal yang bisa diambil dari peristiwa Revolusi Arab. Revolusi ini setidaknya memberi pelajaran, bahwa perubahan hakiki memang tak bisa instan, apalagi spontan. Meski perubahan merupakan hal fitrah dan alami, namun Allah SWT lewat suri tauladan Rasulullah Saw telah mengajarkan bahwa perubahan adalah “diciptakan”. Ternyata, ada peran aktif yang dituntut untuk sebuah perubahan, mulai dari membuat peta masalah, menetapkan landasan, mendisain target dan menghitung langkah, memproses, hingga mewujudkan. Tanpa itu semua, perubahan hanya akan berarti pemborosan (waktu, energi, biaya, nyawa) yang berujung pada kesia-siaan, bahkan kehinaan berupa kian kuatnya cengkraman kekufuran.
Sesungguhnya perubahan yang kita inginkan hanya satu, yakni perubahan ke arah Islam dan hanya dengan landasan Islam. Perubahan seperti ini mengharuskan kelompok dakwah dan para pengembannya menjalani tahap demi tahap perubahan masyarakat tapi tetap fokus pada aktivitas mewujudkan kekuasaan Islam tanpa kekerasan. Dan untuk itu dibutuhkan tekad yang dipenuhi kesadaran dari seluruh aktivis dakwah secara majmu’ (akumulatif) untuk melangkah dengan serius, shabar, sungguh-sungguh melakukan peleburan di tengah umat, dan terus-menerus menghantam berbagai bentuk interaksi yang berlangsung di tengah kehidupan mereka, termasuk apa yang tengah berlangsung antara mereka dan penguasa, atau antara penguasa itu dengan negara-negara lain, dan dengan berbagai uslub dan wasilah membangun kepemimpinan umat agar suatu saat bisa berhasil mewujudkan tujuan perjuangan apapun resikonya.
Aktivitas dakwah di Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar membawa masyarakat ke arah Islam. Potensi SDM dan SDA yang besar, suasana dakwah yang kondusif dan relative aman, benturan yang relative kecil, perasaan Islam yang masih kuat, adalah aspek-aspek pendukung dakwah yang ada di negeri ini. Tak mengherankan jika ada yang memprediksi tumbuhnya benih khilafah di Indonesia. Karenanya jangan sampai kesempatan emas menjadi jalan datangnya nashrullah ini ‘direbut’ orang lain, dengan hanya berharap dan menunggu orang lain yang bergerak dan kita yang menikmati hasilnya. Justru kitalah yang seharusnya menjadi subjek perubahan dan eksekutor kemenangan di tahap akhir perjuangan ini sekalipun untuk meraihnya kita harus kehilangan banyak kesempatan menikmati dunia.
KhotimahMeski hingga hari ini upaya para pengemban dakwah syariah dan khilafah belum berhasil mewujudkan tujuannya, namun sekali lagi, tetap bisa dikatakan bahwa posisi mereka sudah berada di akhir tahap kedua menuju tahap akhir perjuangan. Kesadaran ini mengharuskan seluruh komponen yang ada bergerak dalam dakwah dimanapun adanya, merevitalisasi diri dan perjuangannya dengan cara sesegera mungkin menyempurnakan niat dan kerja, serius menutup apa yang kurang, bersungguh-sungguh menciptakan peluang dan berlomba meraih posisi tertinggi dalam kebaikan.
Cukuplah bagi kita, bergemanya seruan khilafah di berbagai belahan dunia dan munculnya sikap ketakutan para pemimpin musuh termasuk dalam revolusi Arab sebagai bukti bahwa apa yang diperjuangkan selama ini tidaklah sia-sia sekalipun hasilnya belum sempurna. Bahkan masing-masing dari kita harus terus berupaya menguatkan keyakinan, bahwa khilafah benar-benar akan kembali dalam waktu dekat melalui tangan-tangan kecil kita. Insya Allah.[SNA]
Belum ada tanggapan untuk "Revolusi Timur Tengah dan Refleksi Dakwah Syariah Khilafah"
Posting Komentar