Mempertanyakan Paradigma Pembangunan Kesehatan Nasional, Retrospeksi di Hari Kesehatan Nasional ke-47
Oleh : Siti Nafidah AnshoryIndonesia Cinta Sehat. Demikian tema peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-47 Tahun 2011 yang jatuh pada hari ini, 12 Nopember. Dengan tema ini diharapkan, semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan yang harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa bisa terus ditingkatkan.
Tak dipungkiri, bahwa sehat merupakan salah satu hak dasar manusia yang sekaligus menentukan kualitas sumberdaya manusia. Bahkan dalam konteks pembangunan, faktor kesehatan, disamping pendidikan dan ekonomi,menjadi salah satu ukuran penentu Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), yang selanjutnya dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan secara keseluruhan.
Menelisik RealitasMeski sehat merupakan hak semua orang, realitas hari ini menunjukkan, bahwa keadaan sehat –jiwa dan raga-- masih menjadi mimpi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat di Jawa Barat. Masih tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang, tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI), makin banyaknya pengidap penyakit menular semisal TBC, dan inveksi semacam HIV/AIDS, masih merebaknya kasus malaria dan diare, serta meningkatnya kasus penyakit tak menular termasuk sakit kejiwaan, membuktikan bahwa derajat kesehatan masyarakat terbilang masih sangat rendah.
Tahun 2010 saja, di Indonesia masih terdapat sekitar 4,9 persen penderita gizi buruk dan 20 persen anak penderita gizi kurang. Hal ini sejalan dengan hasil riset International Food Policy Research 2010 yang menunjukkan Global Hunger Index Indonesia tahun 2010 masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'. Sementara di Jawa Barat sendiri, tercatat masih ada 15 ribu dari 3,7 juta anak yang mengalami gizi buruk dan 400 ribu yang terkatagori gizi kurang.
Di tahun yang sama, Indonesia menduduki ranking ke-5 negara dengan jumlah penderita TB tertinggi di dunia. Sementara Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan pengidap TBC tertinggi di Indonesia. Jumlah penderita TB di Indonesia diperkirakan 235 per 100.000 penduduk (data resmi Dirjen PPPL, Kemenkes, 2011), dan 35.000-nya ada di Jawa Barat. Angka ini, ditengarai jauh lebih kecil dari yang sebenarnya, mengingat cara penyebaran penyakit TB terjadi begitu cepat. Netty Heryawan pernah mengatakan, setidaknya ada 1 orang penduduk yang terpapar TB per menitnya. Sementara situs tbindonesia.or.id menyebut, di Indonesia kasus TB bertambah ¼ juta kasus baru setiap tahun. Kemudian tiap tahun ada sekitar 140.000 kematian terjadi disebabkan oleh TB, dan sebagian besar penderitanya ada di usia produktif (15-55 tahun).
Tingginya AKI dan AKB juga masih menjadi PR besar pembangunan kesehatan di Indonesia, termasuk Jawa Barat ke depan. Data resmi terakhir (SDKI, 2007) menyebut AKI di Indonesia masih 228 per 100.000 dari kelahiran hidup (KH). Sementara pada periode yang sama, Angka kematian Balita masih 44 per 1.000 KH, Angka kematian bayi 34 per 1.000 KH dan angka kematian neonatal per 1.000 KH. Adapun Jawa Barat termasuk satu dari lima daerah penyumbang AKI dan AKB paling banyak di Indonesia.
Kasus HIV/AIDS juga tak kalah memprihatinkan. Hingga 30 September 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 22.726 kasus tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi usia produktif yaitu usia 20-29 tahun (47,8%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40-49 (9,1%). Dari jumlah itu, 4.250 kasus atau 18,7% diantaranya meninggal dunia. Sementara kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Riau. Data ini terus bertambah dengan jumlah pertambahan yang mencapai ribuan tiap triwulannya.
Untuk kasus malaria, pada faktanya Indonesia pun masih termasuk salah satu negara yang beresiko malaria, karena sampai 2007 masih terdapat 396 kabupaten (80 persen) endemis malaria. Pada 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan 2009 menjadi 1,14 juta kasus. Selain itu jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop terdapat kuman malaria) pada 2008 ada 266 ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009. Sekalipun pada beberapa periode ke depan beberapa wilayah seperti Jawa (termasuk Jabar) ditargetkan mencapai eliminasi malaria, namun banyaknya kendala yang dihadapi membuat beberapa pihak meragukan pencapaian target ini.
Di luar penyakit menular, permasalahan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat juga nampak dari merebaknya berbagai kasus penyakit tak menular seperti kanker, jantung, hipertensi/stroke, dll, termasuk juga kasus penyakit kejiwaan. Khusus mengenai kasus sakit jiwa, data mengejutkan diungkapkan Dr Natalingrum SpKJ MKes dari Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Ia mengatakan, satu dari lima orang di Jawa Barat mengalami gangguan jiwa ,mulai dari taraf ringan (cemas), sedang (stress dan depresi), hingga gangguan jiwa berat. Beliau juga mengatakan, bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan penderita gangguan jiwa tertinggi di Indonesia. Bahkan angka rata-ratanya mencapai 20 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional yang ‘hanya’ mencapai 11,6 persen. Data mengejutkan tersebut dikatakan Natalingrum pada acara Pertemuan Peningkatan Peran Media Massa Tentang Kesehatan Jiwa di Hotel Grand Seriti Hegarmanah, Kamis (13/10/2011).
Apa Yang Salah ?Fakta-fakta di atas sesungguhnya hanyalah secuil persoalan yang menggambarkan masih buruknya kondisi kesehatan masyarakat Indonesia secara umum dan Jawa Barat secara khusus. Apalagi, banyak kalangan yang tidak percaya bahwa angka-angka statistik di atas menunjukkan fakta sebenarnya. Mereka lebih yakin, bahwa sebagaimana fenomena puncak gunung es kondisi ril yang dihadapi masyarakat sesungguhnya jauh lebih buruk dari itu. Terutama ketika belakangan ini, tubuh-tubuh kering dan keriput anak-anak penderita gizi buruk, keluarga-keluarga yang terpaksa makan nasi aking/tiwul dan kasus-kasus miris lainnya kembali sering menghiasi media-media massa kita, bahkan bermunculan di sekeliling kita.
Ironisnya, pemerintah selalu mengklaim bahwa penurunan angka persentase kasus dari tahun ke tahun menunjukkan pembangunan kesehatan sudah berhasil mencapai targetnya sehingga derajat kesehatan masyarakat pun diklaim terus membaik. Fakta ini menunjukkan bahwa bagi pemerintah, ‘angka-angka’ statistik seolah lebih penting daripada realitas sebenarnya. Sehingga untuk kasus gizi buruk misalnya, persentase 4,9 penderita gizi buruk yang sama dengan 1,39 juta balita Indonesia seperti tak dihiraukan. Padahal, jika pemerintah konsisten menggunakan perspektif HAM dalam pembangunan kesehatan sebagaimana termaktub dalam UU No. 36 tahun 2009 yang menyebut bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, maka pembiaran negara sehingga menyebabkan lebih dari 1 juta balitanya mengalami gizi buruk, sudah merupakan pelanggaran HAM, karena dalam prinsip HAM, 1 korban pembiaran negara saja, sudah disebut sebagai sebuah pelanggaran HAM.
Terlebih, apa yang selama ini disebut dengan target pembangunan, termasuk pembangunan kesehatan yang dijadikan acuan oleh pemerintah, semisal capaian angka-angka standar MDGs yang minimalis itu, seringkali malah menjadi penghambat bagi pemerintah untuk melakukan berbagai upaya lebih dari apa yang sebenarnya bisa dilakukan dan malah mendorong pemerintah untuk tak maksimal dalam mengerahkan segala sumberdaya yang sebenarnya dimiliki. Buktinya, meski secara normatif, UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan sebagaimana sudah disebutkan, dan menjadikan pemerintah sebagai penanggungjawab untuk mewujudkannya, namun realita yang terjadi masih jauh panggang dari api. Betapa banyak kelompok masyarakat yang masih kesulitan memperoleh akses atas sumberdaya di bidang kesehatan, termasuk untuk memperoleh layanan yang aman, bermutu dan terjangkau, juga untuk mendapatkan lingkungan yang sehat serta untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab sebagaimana juga diamanatkan dalam undang-undang.
Bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai hal untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat memang tak bisa dinafikan. Namun keterbatasan anggaran, sering menjadi alasan pemerintah tak maksimal urusi persoalan kesehatan rakyat. Memang, meski UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan pengalokasian anggaran kesehatan 5 persen dari total APBN, realisasinya masih jauh dari itu. Anggaran Kementerian Kesehatan pada 2010 hanya mencapai Rp 20,8 triliun atau lebih dari 2 persen dari total APBN. Tahun 2011, anggaran naik menjadi Rp 26,2 triliun atau hampir 3 persen dari APBN 2011. Padahal, angka 5 persen yang diamanatkan dalam UU kesehatan itupun sebenarnya hanya memenuhi standar minimal anggaran kesehatan yang ditetapkan WHO, yakni 5-15 persen dari total APBN.
Selain soal uang, paradigma pembangunan kesehatan juga tidak jelas. Paradigma kuratif yang bersifat pragmatis justru sangat dominan sehingga membuat upaya pembangunan di bidang kesehatan menjadi tidak efektif dan berjangka pendek, bahkan terkesan ‘mengatasi masalah dengan masalah’. Program Pemberian Makanan Tambahan, vitamin A dan tablet besi bagi bumil, taburia dan iodisasi garam yang berlangsung selama periode tertentu dan tidak sepanjang waktu untuk mengatasi gizi buruk misalnya; atau program kondomisasi dan pemberian Anti Retroviral Treatment (ARV) untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS; pemberian kelambu, penyemprotan dan pemberian obat untuk penanggulangan malaria yang semuanya focus pada upaya-upaya kuratif, tentu tak akan bisa mengeliminasi terjadinya kasus-kasus tersebut dalam jangka panjang. Begitupun dengan program layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin –termasuk pengobatan gratis bagi penderita TB--, jampersal, dll, yang realitanya baru dinikmati sebagian kecil rakyat miskin di perkotaan saja dan diperburuk dengan kebijakan desentralisasi. Layanan ini pun jelas hanya focus pada aspek kuratif saja. Itupun dengan fasilitas layanan kesehatan yang sulit diakses (misal karena butuh biaya transportasi besar dan prosedur yang berbelit-belit) serta dengan kualitas layanan dan pengobatan yang seadanya.
Selain kental paradigma kuratif, pembangunan kesehatan juga kental dengan paradigma sektoral, dimana masalah kesehatan hanya dipandang sebagai masalah kesehatan, khususnya bagaimana cara mengobati. Padahal faktanya, kondisi sehat dipengaruhi banyak factor, antara lain kondisi ekonomi, pendidikan, kualitas lingkungan, keamanan, dan lain-lain. Kondisi ekonomi yang kurang, pendidikan yang rendah, kualitas lingkungan dan keamanan yang buruk tentu akan berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat.
Kenyataannya, hingga saat ini kondisi ekonomi masyarakat masih sangat memprihatinkan. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal (16/8/2011) menyebutkan, bahwa saat ini ada sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang hidup di daerah tertinggal yang meliputi 183 kabupaten. Data statistikpun menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang terkatagori miskin, baik dengan level sangat miskin, miskin, hampir miskin dan hampir tidak miskin yang sewaktu-waktu dengan mudah berubah menjadi kelompok miskin memang masih sangat banyak.
Hingga Maret 2011, dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar Rp 233.740 per bulan sebagai pembatas miskin-hampir miskin dan standar Rp. 280.488 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan hampir tidak miskin, serta standar Rp. 350.610 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan tidak miskin (versi BPS), tercatat masih ada sekitar 30,02 juta orang penduduk Indonesia yang terkatagori miskin dan 27,12 juta terkatagori hampir miskin (data lain menyebut 36 juta). Sayangnya, data untuk kelompok sangat miskin dan hampir tidak miskin tidak ditemukan, tetapi ditengarai jumlahnya juga cukup besar. Wajar jika ada yang menengarai bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia sebenarnya terkatagori miskin. Apalagi jika standar yang digunakan dinaikkan dengan yang lebih ‘layak’ dan manusiawi. Adapun untuk Jawa Barat, hingga Maret 2011 ditemukan ada sekitar 11,27 persen yang terkatagori miskin (standar Rp. 220.098 per kapita per bulan).
Dengan kondisi ekonomi yang sedemikian, tentu akan berdampak pada aspek kehidupan yang lainnya. Setidaknya hal itu berarti, ada separuh masyarakat Indonesia yang akan mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Demikian pula, ada separuh masyarakat Indonesia yang terhalang untuk mendapatkan asupan gizi memadai yang dibutuhkan untuk membangun tubuh yang sehat dan kuat serta untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas. Dan karena kemiskinan juga selalu identik dengan kualitas lingkungan, sanitasi dan tempat tinggal yang serba kumuh dan tidak sehat serta ketersediaan air bersih yang kurang memadai, maka itu berarti ada separuh masyarakat Indonesia yang terpaksa hidup di lingkungan yang buruk dan fasilitas yang tak menunjang bagi kesehatan mereka. Data statistik sendiri mencatat, ada 68% rumah di Indonesia terkatagori tidak layak.
Karena masalah kesehatan demikian kompleks dan bukan sekedar masalah individual, maka jelas bahwa pembangunan bidang kesehatan tak bisa dipisahkan dari kebijakan pembangunan sektor lainnya. Dan semuanya membutuhkan paradigma pembangunan yang sahih serta sistem yang tepat dan terintegrasi, juga tanggungjawab dan political will yang baik dari pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara.
Dengan kata lain, pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai bagian dari pembangunan sistem secara keseluruhan yang semestinya ditujukan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, lahir dan batin dalam setiap aspek kehidupan mereka secara merata. Karena ketika masalah kesehatan hanya dipandang sebagai masalah kesehatan dan ditanggungjawabi institusi kesehatan saja, yang terjadi adalah ‘ketidakberdayaan’, diskriminasi dan misskordinasi antar sektora dan antar daerah.
Ambil contoh, Kemenkes menyebutkan bahwa di bidang sanitasi lembaganya telah berhasil menggerakkan masyarakat di 2.510 desa untuk melaksanakan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di tahun 2010. Padahal jumlah desa di Indonesia ada sekitar 75 ribu desa. Lantas bagaimana dengan nasib 72.490 desa lainnya? Kemudian secara nasional, jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) juga diklaim terus meningkat. Akan tetapi nyatanya, secara rasio antara FPK dengan jumlah penduduk masih sangat jauh. Begitu pula, sebaran FPK di semua wilayah dan aksesibilitas masyarakat terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan terhadap FPK tersebut masih terbatas, antara lain akibat kondisi jalan yang buruk, transportasi dan listrik yang mahal dan belum memadai, juga ketersediaan sarana, obat dan SDM di fasilitas layanan kesehatan yang belum mencukupi baik dari sisi jenis, harga, kualitas maupun kuantitas. Dan ini lagi-lagi diperburuk oleh kebijakan desentralisasi (otda) yang membuka ruang ketidakadilan lebih besar.
Kapitalisme-Sekularisme, Biang Persoalan KesehatanDari sini terlihat, bahwa masalah di bidang kesehatan juga menyangkut kebijakan pembangunan di bidang lainnya; ekonomi, lingkungan, infrastruktur (PU), transportasi, energi dan pendidikan sebagai penyedia SDM kesehatan, hukum, dll. Persoalannya, dengan paradigma pembangunan yang serba kapitalistik dan sekularistik yang diterapkan pemerintah selama ini, maka masyarakat yang sejahtera, termasuk di bidang kesehatan akan sulit diwujudkan. Penerapan sistem ekonomi liberal sebagai derivate kapitalisme dan sekularisme yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi malah memunculkan gap yang makin lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Dan hal ini merupakan ciri khas sistem ekonomi kapitalisme.
Pada tahun 2011 misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim mencapai 6,1-6,5% dan income per kapita juga naik menjadi US $ 3000. Akan tetapi pertumbuhan tersebut realitanya lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah. Bahkan ditengarai, 8% pendapatan nasional dikuasi hanya oleh beberapa konglomerat saja, sementara sisanya diperebutkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Catatan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro (26/10/2011) juga menyebut, di tahun 2010 kekayaan 40 orang terkaya mencapai Rp 680 triliun, atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin.
Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sama sekali tak berkorelasi dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Bahkan, meski Indonesia negara kaya raya, punya emas, baja bahkan uranium, punya minyak dan gas alam, punya hutan dan perairan yang sangat luas, punya kekayaan budaya yang luar biasa, tetap saja masih berjalan di belakang. Rakyat kebanyakan tak bisa menikmati hasilnya. Alih-alih bisa menjadi modal mensejahterakan rakyat, kekayaan alam milik mereka yang melimpah ruah itu malah dibiarkan dirampok dan dieksploitasi oleh para kapitalis lokal dan kapitalis asing. Sementara rakyat harus rela hidup dengan beban pajak yang mencekik yang ditarik pemerintah untuk membiayai APBN dan sebagiannya malah masuk ke kantong para pejabat yang mayoritas sudah terpapar budaya korup dan penyakit gila proyek akibat pola pikir sekuleristik.
Bak tikus mati di lumbung padi. Demikianlah nasib bangsa ini. Wajar jika Human Development Report tahun 2011 melaporkan bahwa peringkat IPM/HDI Indonesia terus merosot dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini berada di level ke 124 dari 187 negara. Pendapatan perkapita masyarakatnya pun, meski diklaim meningkat, tetap saja tergolong rendah sehingga Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income countries). Pada 26 Oktober lalu, Bedah editorial Media Indonesia Metrotv bahkan merilis kabar bahwa saat ini Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia.
Disamping kemiskinan, penerapan sistem kapitalisme sekularisme juga berdampak buruk pada kualitas lingkungan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh bagi kesehatan. Orientasi meraih keuntungan sebanyak mungkin sebagai karakter dasar sistem kapitalisme telah membuat kebijakan pembangunan yang diterapkan minus dari kesadaran ruhiyah manusia sebagai pengelola kehidupan dan minus dari rasa tanggungjawab mereka pada Sang Pencipta Kehidupan. Akibatnya, kebijakan industrialisasi, liberalisasi dan privatisasi yang diterapkan nyaris tanpa batas justru menjadi jalan bagi para pengusaha rakus, terutama yang tergabung dalam korporasi internasional untuk mengeruk harta kekayaan milik rakyat termasuk berbagai sumber daya alam, bahkan sumber-sumber air mereka dan menyisakan dampak buruk berjangka panjang buat anak cucu bangsa termasuk terhadap kesehatan mereka.
Betapa hari inipun kita sudah merasakan dampaknya. Air bersih kian sulit didapat akibat sumber-sumber air pegunungan dikuasai swasta dan dijadikan komoditas ekonomi, sementara air tanah berkurang akibat alam dieksploitasi tanpa upaya konservasi dan rehabilitasi serta akibat tata wilayah yang nyata-nyata tak terintegrasi. Udara kian tercemar berbagai gas beracun yang berasal dari kendaraan dan asap paberik. Sungai-sungai pun hampir seluruhnya tercemar oleh limbah industri dan terkonversi menjadi tempat menampung jutaan kubik sampah rumahtangga yang di waktu musim hujan berakibat banjir dimana-mana. Mirisnya, ini terjadi karena pengelolaan negara yang tidak jelas, baik dari sisi asas maupun cabangnya. Bahkan pada banyak kasus, negara menjadi pelegitimasi atas penghancuran lingkungan secara sistematis dengan penerapan undang-undang semisal UU PMA, UU MIGAS, UU SDA, dll yang hanya menguntungkan pihak pengusaha daripada rakyatnya dan melegitimasi mereka mengeksploitasi alam seenak perutnya. Dan dalam kapitalisme hal yang demikian adalah niscaya. Karena penguasa-pengusaha memang bersimbiosis mutualisma.
Selain soal kemiskinan dan lingkungan, kentalnya paradigma kapitalistik juga nampak dalam membangun hubungan rakyat dengan penguasa sebagai hubungan antara pembeli dan penjual, termasuk di bidang kesehatan yang sejatinya menjadi hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Penggunaan konsep anggaran berbasis kinerja dalam kebijakan pembangunan bidang kesehatan adalah salah satu buktinya.
Hal ini terungkap dari pernyataan Menkes Endang Sri Rahayu sendiri yang menyebut bahwa sejak tahun 2010 pemerintah mulai menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja, dimana setiap rupiah yang dianggarkan harus menghasilkan suatu output/outcome tertentu. Karenanya, jika kita teliti rincian APBN TA 2011, maka sector kesehatan ternyata memang masuk dalam item sumber pendapatan negara, yakni di bidang jasa yang antara lain meliputi pendapatan rumahsakit dan instansi kesehatan lainnya (18,26 M), pendapatan registrasi dokter dan dokter gigi (47 M) serta pendapatan badan jasa layanan umum seperti pendapatan penyediaan jasa pelayanan rumah sakit sebesar 3,9 T lebih. Ini artinya, alih-alih menerapkan kebijakan yang memberi kemudahan bahkan layanan kesahatan gratis bagi masyarakat, pemerintah --ibarat pedagang-- justru telah menjadikan sector kesehatan yang sejatinya merupakan hak rakyat sebagai sarana mengeruk keuntungan, termasuk melalui pungutan pajak atas rumahsakit komersial (swasta) dan perusahaan obat.
Wajar jika kesan mahal dan mewah masih melekat dengan dunia layanan kesehatan di Indonesia. Dan wajar pula jika pemerintah tak merasa gerah dengan kapitalisasi sector kesehatan yang dilakukan oleh para pengusaha termasuk yang terjadi di bidang obat/farmasi serta kapitalisasi yang terjadi di dunia pendidikan sebagai penyedia SDM kesehatan, sekalipun sebagai dampaknya, makin banyak kelompok masyarakat yang tak terjangkau program layanan kesehatan gratis tadi, yang mau tak harus menerima kenyataan betapa mahal dan sulitnya mendapatkan hak atas layanan kesehatan yang memadai. Itulah kenapa, bagi mayoritas bangsa ini, kondisi sehat hingga kini masih menjadi mimpi dan sampai kapanpun akan terus menjadi mimpi.
Indonesia Sehat, (Seharusnya) Bukan MimpiMasyarakat Indonesia sesungguhnya bisa menjadi masyarakat yang sejahtera dan memiliki derajat kesehatan yang tinggi. Hanya saja, untuk mewujudkannya dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan sadar atas posisinya sebagai penanggungjawab atas seluruh urusan rakyat serta dibutuhkan adanya sistem hidup yang tegak diatas asas yang sahih dan memiliki seperangkat aturan yang mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan atas seluruh umat. Pemimpin yang kuat dan sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya akan berupaya sekuat tenaga agar seluruh rakyat bisa sejahtera. Pemimpin seperti ini, tentu tak akan rela, apalagi merasa lega jika masih ada satu orang rakyatpun yang tak terpenuhi hak-haknya.
Kepemimpinan seperti ini memang tak akan muncul dalam sistem yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya. Karena sekularisme hanya menjadikan kepemimpinan sebagai urusan yang berdimensi dunia saja. Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Dimensi ini dalam realitasnya masih memungkinkan dikamuflase dan tak bisa dituntut. Bahkan dengan paradigma sekulerisme, kepemimpinan hanya diterjemahkan sebagai alat meraih kekuasaan dan materi semata. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiyyah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah SWT.
Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :
“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)
Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.
Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi umat terbaik (khoyru ummah) di antara manusia.
Adapun soal sistem, maka tentu saja kepemimpinan yang ideal tak mungkin berjalan tanpa dukungan sistem yang ideal pula. Adapun sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme telah terbukti tak bisa diharapkan. Selain karena tegak di atas asas yang rusak, yakni sekularisme, sistem ini terbukti hanya melahirkan berbagai aturan hidup yang rusak dan merusak seperti sistem ekonomi yang eksploitatif, ekspansif dan liberalistik, sistem sosial budaya yang permissive dan hedonistik, sistem hukum yang diskrimintif, dan sebagainya.
Sistem yang ideal hanya mungkin berasal dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT, yakni sistem Islam. Sistem ini tegak diatas keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba Allah dengan mengemban amanat sebagai pengelola kehidupan dalam rangka beribadah kepadaNya. Dari asas keyakinan ini lahirlah ketundukkan atas aturan hidup yang diturunkanNya, yakni Islam.
Sebagai agama yang berasal dari Allah Sang Maha Pencipta, sejatinya Islam adalah agama yang sempurna. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (melalui aturan-aturan tentang ibadah dan aqidah), mengatur hubungan manusia dengan dirinya (melalui aturan tentang makanan dan minuman, pakaian serta akhlaq), islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (melalui aturan tentang urusan muamalah yakni sistem politik, ekonomi, sosial, dll dan sistem sanksi). Semua aturan ini, jika diterapkan secara komprehensif (kaaffah) dipastikan akan menjamin tercapainya kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kesejahteraan (penuh rahmat).
Dalam konteks kesehatan, penerapan hukum Islam baik yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab individu, masyarakat maupun negara secara otomatis akan berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kepatuhan individu rakyat untuk memelihara kebersihan dan membiasakan hidup sehat sebagaimana di ajarkan Islam, adanya kontrol masyarakat dan penerapan berbagai aturan masyarakat oleh negara akan menjadi pilar pembangunan kesehatan masyarakat.
Negara dalam hal ini menjadi penanggungjawab berjalannya semua sistem yang ada. Penerapan sistem ekonomi Islam yang anti riba dan mengatur soal kepemilikan secara jelas, antara lain menetapkan kekayaan alam sebagai milik rakyat/umat, menjadi starting point yang memperjelas langkah penguasa untuk menetapkan arah kebijakan pembangunan yang ditujukan semata-mata untuk kepentingan umat. Kekayaan alam yang melimpah ruah tersbut akan betul-betul termanfaatkan sebagai modal untuk mensejahterakan mereka, menjamin ketahanan pangan dan kebutuhan dasar mereka lainnya, termasuk membiayai kebutuhan rakyat atas layanan kesehatan yang maksimal, dan bukan malah dihadiahkan kepada asing.
Sebagai perisai, negara juga akan bertanggungjawab untuk menjaga umat dari semua hal yang akan membahayakan. Tata wilayah dan eksplorasi alam akan dibuat sedemikian rupa didasarkan kesadaran akan tanggungjawab sebagai khalifah fil ardh. Pengawasan akan pangan dan obat dilakukan seketat mungkin sehingga masyarakat terjaga dari kemudharatan. Sistem pendidikan pun akan diterapkan dengan target pencerdasan, bukan hanya dari aspek skill tapi juga kepribadian, sehingga lahir pribadi-pribadi yang istimewa dan bertanggungjawab tidak hanya pada dirinya tapi pada umat secara keseluruhan.
Hal ini akan diperkuat dengan penerapan hukum yang tegas bagi para pelanggar hukum. Segala praktek yang merugikan kepentingan umat termasuk merugikan kesehatan mereka akan diminimalisir. Praktek korupsi dan pencurian harta rakyat, praktek pengrusakan lingkungan yang dilakukan para penguasaha egois, penipuan oleh produsen/pedagang makanan, minuman dan obat-obatan, dan dll akan dibabat habis dengan penerapan sistem sanksi dan kontrol ketat oleh para penegak hukum yang ditugaskan.
Demikianlah, kepemimpinan dan sistem Islam yang tegak di atas landasan ruhiyyah akan menciptakan kehidupan yang penuh berkah dan indah. Sementara kepemimpinan dan sistem kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme hanya bisa menciptakan kehidupan yang serba susah dan jauh dari berkah.
Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi SesudahnyaRasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).
Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.
Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.
Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.
Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.
Jejak Kesejahteraan KhilafahSepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.
Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.
Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.
Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.
Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan dan sistem Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Benarlah sabda Rasulullah Saw:
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)
[SNA] -----------
Belum ada tanggapan untuk "INDONESIA SEHAT (SEHARUSNYA) BUKAN MIMPI"
Posting Komentar