(Potongan dari artikel tentang Kesehatan yang kayaknya terlalu puanjaang ...)PengantarPemerintah boleh berbangga karena secara statistik angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini (2011) meningkat hingga mencapai angka 6,1-6,5% dan income per kapita juga naik menjadi US $ 3000. Akan tetapi tahukah anda jika pertumbuhan tersebut realitanya lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah?
Ditengarai, 8% pendapatan nasional itu dikuasai hanya oleh beberapa konglomerat saja, sementara sisanya diperebutkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Catatan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro (26/10/2011) bahkan menyebut, di tahun 2010 kekayaan 40 orang terkaya mencapai Rp 680 triliun, atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin.
Kenyataannya, hingga saat ini kondisi ekonomi masyarakat memang masih sangat memprihatinkan. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal (16/8/2011) menyebutkan, bahwa saat ini ada sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang hidup di daerah tertinggal yang meliputi 183 kabupaten. Data statistikpun menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang terkatagori miskin, baik dengan level sangat miskin, miskin, hampir miskin dan hampir tidak miskin yang sewaktu-waktu dengan mudah berubah menjadi kelompok miskin memang masih sangat banyak.
Hingga Maret 2011, dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar Rp 233.740 per bulan sebagai pembatas miskin-hampir miskin dan standar Rp. 280.488 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan hampir tidak miskin, serta standar Rp. 350.610 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan tidak miskin (versi BPS), tercatat masih ada sekitar 30,02 juta orang penduduk Indonesia yang terkatagori miskin dan 27,12 juta terkatagori hampir miskin (data lain menyebut 36 juta). Sayangnya, data untuk kelompok sangat miskin dan hampir tidak miskin tidak ditemukan, tetapi ditengarai jumlahnya juga cukup besar. Wajar jika ada yang menengarai bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia sebenarnya terkatagori miskin. Apalagi jika standar yang digunakan dinaikkan dengan yang lebih ‘layak’ dan manusiawi.
Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebetulnya sama sekali tak berkorelasi dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Bahkan, meski Indonesia negara kaya raya, punya emas, batubara, baja bahkan uranium, punya minyak dan gas alam, punya hutan dan perairan yang sangat luas dengan kandungan hayati yang melimpah ruah, punya kekayaan budaya yang luar biasa, tetap saja negeri ini masih berjalan di belakang. Rakyat kebanyakan tak bisa menikmati hasilnya. Alih-alih bisa menjadi modal mensejahterakan rakyat, kekayaan alam milik mereka yang melimpah ruah itu malah dibiarkan penguasa untuk dirampok dan dieksploitasi oleh para kapitalis lokal dan asing yang bersimbiosis mutualisma dengan kekuasaan mereka. Sementara di saat yang sama, banyak hak-hak rakyat yang tidak mampu diwujudkan penguasa dengan dalih kekurangan dana. Bahkan rakyat harus rela hidup dengan beban pajak yang mencekik yang ditarik pemerintah untuk membiayai APBN, yang (padahal) persentase terbesarnya justru dipakai membayar utang negara dan sebagian lainnya malah masuk ke kantong para pejabat korup dan sudah terpapar penyakit
gila proyek akibat pola pikir sekuleristik yang meracuni benak-benak mereka.
Bak tikus mati di lumbung padi. Itulah ibarat yang tepat bagi nasib bangsa ini. Wajar jika Human Development Report tahun 2011 melaporkan bahwa peringkat IPM/HDI Indonesia terus merosot dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini berada di level ke 124 dari 187 negara. Pendapatan perkapita masyarakatnya pun, meski diklaim meningkat, tetap saja tergolong rendah sehingga Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah (
lower middle income countries). Pada 26 Oktober lalu, Bedah editorial Media Indonesia Metrotv bahkan merilis kabar bahwa saat ini Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia.
Masyarakat Sejahtera (Seharusnya) Bukan MimpiMasyarakat Indonesia sesungguhnya bisa menjadi masyarakat yang sejahtera. Hanya saja, untuk mewujudkannya dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan sadar atas posisinya sebagai penanggungjawab atas seluruh urusan rakyat serta dibutuhkan adanya sistem hidup yang tegak diatas asas yang sahih dan memiliki seperangkat aturan yang mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan atas seluruh umat. Pemimpin yang kuat dan sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya akan berupaya sekuat tenaga agar seluruh rakyat bisa sejahtera. Pemimpin seperti ini, tentu tak akan rela, apalagi merasa lega jika masih ada satu orang rakyatpun yang tak terpenuhi hak-haknya.
Kepemimpinan seperti ini memang tak akan muncul dalam sistem yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya. Karena sekularisme hanya menjadikan kepemimpinan sebagai urusan yang berdimensi dunia saja. Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Dimensi ini dalam realitasnya masih memungkinkan dikamuflase dan tak bisa dituntut. Bahkan dengan paradigma sekulerisme, kepemimpinan hanya diterjemahkan sebagai alat meraih kekuasaan dan materi semata. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiyyah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah SWT.
Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :
“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)
Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.
Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi umat terbaik (khoyru ummah) di antara manusia.
Adapun soal sistem, maka tentu saja kepemimpinan yang ideal tak mungkin berjalan tanpa dukungan sistem yang ideal pula. Adapun sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme telah terbukti tak bisa diharapkan. Selain karena tegak di atas asas yang rusak, yakni sekularisme, sistem ini terbukti hanya melahirkan berbagai aturan hidup yang rusak dan merusak seperti sistem ekonomi yang eksploitatif, ekspansif dan liberalistik, sistem sosial budaya yang permissive dan hedonistik, sistem hukum yang diskrimintif, dan sebagainya.
Sistem yang ideal hanya mungkin berasal dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT, yakni sistem Islam. Sistem ini tegak diatas keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba Allah dengan mengemban amanat sebagai pengelola kehidupan dalam rangka beribadah kepadaNya. Dari asas keyakinan ini lahirlah ketundukkan atas aturan hidup yang diturunkanNya, yakni Islam.
Sebagai agama yang berasal dari Allah Sang Maha Pencipta, sejatinya Islam adalah agama yang sempurna. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (melalui aturan-aturan tentang ibadah dan aqidah), mengatur hubungan manusia dengan dirinya (melalui aturan tentang makanan dan minuman, pakaian serta akhlaq), islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (melalui aturan tentang urusan muamalah yakni sistem politik, ekonomi, sosial, dll dan sistem sanksi). Semua aturan ini, jika diterapkan secara komprehensif (kaaffah) dipastikan akan menjamin tercapainya kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kesejahteraan (penuh rahmat).
Dalam konteks kesehatan, penerapan hukum Islam baik yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab individu, masyarakat maupun negara secara otomatis akan berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kepatuhan individu rakyat untuk memelihara kebersihan dan membiasakan hidup sehat sebagaimana di ajarkan Islam, adanya kontrol masyarakat dan penerapan berbagai aturan masyarakat oleh negara akan menjadi pilar pembangunan kesehatan masyarakat.
Negara dalam hal ini menjadi penanggungjawab berjalannya semua sistem yang ada. Penerapan sistem ekonomi Islam yang anti riba dan mengatur soal kepemilikan secara jelas, antara lain menetapkan kekayaan alam sebagai milik rakyat/umat, menjadi starting point yang memperjelas langkah penguasa untuk menetapkan arah kebijakan pembangunan yang ditujukan semata-mata untuk kepentingan umat. Kekayaan alam yang melimpah ruah tersbut akan betul-betul termanfaatkan sebagai modal untuk mensejahterakan mereka, menjamin ketahanan pangan dan kebutuhan dasar mereka lainnya, termasuk membiayai kebutuhan rakyat atas layanan kesehatan yang maksimal, dan bukan malah dihadiahkan kepada asing.
Sebagai perisai, negara juga akan bertanggungjawab untuk menjaga umat dari semua hal yang akan membahayakan. Tata wilayah dan eksplorasi alam akan dibuat sedemikian rupa didasarkan kesadaran akan tanggungjawab sebagai khalifah fil ardh. Pengawasan akan pangan dan obat dilakukan seketat mungkin sehingga masyarakat terjaga dari kemudharatan. Sistem pendidikan pun akan diterapkan dengan target pencerdasan, bukan hanya dari aspek skill tapi juga kepribadian, sehingga lahir pribadi-pribadi yang istimewa dan bertanggungjawab tidak hanya pada dirinya tapi pada umat secara keseluruhan.
Hal ini akan diperkuat dengan penerapan hukum yang tegas bagi para pelanggar hukum. Segala praktek yang merugikan kepentingan umat termasuk merugikan kesehatan mereka akan diminimalisir. Praktek korupsi dan pencurian harta rakyat, praktek pengrusakan lingkungan yang dilakukan para penguasaha egois, penipuan oleh produsen/pedagang makanan, minuman dan obat-obatan, dan dll akan dibabat habis dengan penerapan sistem sanksi dan kontrol ketat oleh para penegak hukum yang ditugaskan.
Demikianlah, kepemimpinan dan sistem Islam yang tegak di atas landasan ruhiyyah akan menciptakan kehidupan yang penuh berkah dan indah. Sementara kepemimpinan dan sistem kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme hanya bisa menciptakan kehidupan yang serba susah dan jauh dari berkah.
Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi Sesudahnya
Rasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).
Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.
Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.
Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.
Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.
Jejak Kesejahteraan KhilafahSepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.
Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.
Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.
Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.
Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan dan sistem Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Benarlah sabda Rasulullah Saw:
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)
[SNA] -----------
Belum ada tanggapan untuk "MERINDUKAN KEPEMIMPINAN ISLAM"
Posting Komentar