(Daur ulang tulisan lama, karena masalah yang dihadapi ternyata masih sama...)
Oleh : Siti Nafidah AnshoryBagi sebagian kalangan, Ujian Nasional bisa jadi menjadi mimpi buruk. Tidak hanya siswa, guru bahkan orangtuapun tak kalah stress menghadapi momen penentuan yang satu ini. Jauh-jauh hari sebelum UN dilangsungkan, aura 'kepanikan' sudah terasa dimana-mana. Istighasah dan dzikir bersamapun menjadi ritual yang seolah wajib dilakukan oleh beberapa sekolah. Dan puncaknya, akan terlihat nanti terlihat saat hasil diumumkan. Para siswa yang lulus, secara ekspresif akan meluapkan kegembiraan mereka dengan berbagai cara. Sementara yang ‘gagal’, akan larut dalam histeria, seakan-akan segala harapan hidup hilang karenanya. Penghalusan istilah ‘tidak lulus’ dengan kata ‘mengulang’, rupanya tak berarti apapun untuk mengurangi kesedihan mereka.
Ujian Nasional memang selalu menyisakan cerita. Namun dari tahun ke tahun, ceritanya nyaris sama. Kebocoran soal dan kunci jawaban, tradisi konspiratif antar institusi pendidikan di daerah demi saling menjaga citra, dan cerita-cerita miring lainnya selalu mengiringi perhelatan tahunan bernama Ujian Nasional (UN).
Sayangnya, seperti biasa, catatan-catatan miring seputar UN inipun cuma menjadi bahan perdebatan sesaat, yang satu dua hari menjadi headline berita di berbagai media, namun kemudian berakhir dengan sendirinya tanpa meninggalkan makna apa-apa. Setelah itu, perhatian publikpun kembali disibukkan oleh hingar-bingar persoalan politik yang disuguhkan media. Seolah-olah tak ada masalah dengan dunia pendidikan kita. Padahal, ada hal besar yang sedang dipertaruhkan; masa depan pendidikan dan wajah generasi penerus bangsa. Realitas inilah yang memunculkan pertanyaan, seberapa besar sesungguhya arti pendidikan bagi mereka?
Tak bisa dipungkiri, bila selama ini kita terbiasa disibukkan oleh hal-hal yang bersifat artifisial, seremonial, dan kebiasaan basa-basi lainnya. Terkait pendidikan misalnya, kita selalu terobsesi dengan ukuran-ukuran kuantitatif dibanding sibuk memikirkan soal kualitas. UN adalah salah satu buktinya. Meski UN dimunculkan dengan dalih sebagai alat ukur untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan, namun UN terlanjur tampil bak eksekutor. Ironisnya, standarisasi lewat UN ini dilakukan dengan mengabaikan kenyataan betapa masih lebar kesenjangan mutu penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Tidak saja antar pusat dan daerah, bahkan di satu daerah hingga di satuan unit sekolah sekalipun. Padahal, bagaimana bisa, sekolah-sekolah dengan fasilitas terbatas yang senyatanya mayoritas harus distandarisasi dengan standar yang sama dengan sekolah-sekolah favorit yang minoritas? Bagaimana bisa, sekolah-sekolah dengan mutu guru seadanya bisa bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan dengan mutu guru terpilih sebagaimana yang galibnya ada di kota-kota besar? Ibarat anak kecil dipaksa bertanding dengan atlit profesional, mana bisa menang?
Sekalipun filosofinya memang bukan untuk kalah-menang, sekali lagi, UN kadung dipahami sebagai eksekutor. Wajar jika prosesi UN selalu identik dengan kepanikan dan stress berjamaah, yang faktanya, tak jarang memunculkan kenekadan untuk melakukan hal yang tak sepatutnya dilakukan, seperti kecurangan massal dll.
Mirisnya, semua ini tak jarang melibatkan para guru, institusi sekolah, bahkan pihak pemda yang tak mau kehilangan muka jika tingkat kelulusan di daerahnya tak sesuai dengan harapan. Alih-alih mampu meningkatkan mutu pendidikan, kondisi ini akhirnya justru mencederai tujuan pembangunan di bidang pendidikan itu sendiri. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya dimaui pemerintah dengan penyelenggaraan UN?
Sayangnya, inilah wajah dunia pendidikan kita saat ini. Ketidakjelasan tujuan dan strategi pendidikan serta kesemrawutan pelaksanaannya pun menjadi persoalan paradigmatik yang menghambat pencapaian target ‘sukses hakiki’ di bidang pendidikan. Padahal, sejatinya aspek pendidikan merupakan salah satu pilar utama pengokoh bangsa. Karena melalui pendidikanlah generasi mumpuni penerus bangsa bisa dipersiapkan.
Betul bahwa secara tekstual visi pendidikan nasional sudah ideal. Bahkan dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hanya saja, realitanya jauh panggang dari api. Paradigma sekularisme kenyataannya begitu kental mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Selain berakibat menjauhkan pendidikan dari arah dan tujuan membangun kepribadian mulia sebagaimana yang diharapkan, dominasi paradigma sekularisme juga telah melemahkan fungsi-fungsi unsur pelaksana pendidikan, mulai dari unsur instrument pendidikan, keluarga, hingga masyarakat.
Lemahnya instrumen pendidikan tercermin dari kacaunya kurikulum dan disfungsi guru dan sekolah. Kacaunya kurikulum, nampak dari tidak proporsionalnya bobot materi pelajaran yang tidak nyambung dengan arah dan tujuan pendidikan. Minimnya jam pelajaran agama dan dikotomi sekolah agama versus sekolah umum adalah buktinya. Alih-alih mampu menghasilkan manusia cerdas-pandai-bertakwa kepada Sang Pencipta, output dari sistem rusak ini hanya mampu menghasilkan orang-orang pandai tapi minus akhlak dan spiritualitas, serta orang-orang cerdas yang cenderung materialistik dan individualistik. Maraknya tawuran pelajar dan mahasiswa, seks bebas di kalangan remaja, kejahatan kerah putih, dan lain-lain hanyalah secuil fakta bagaimana produk yang dihasilkan dari pendidikan sekularistik ini.
Di samping soal proporsi, beratnya bobot materi pelajaran dan padatnya jadwal kegiatan sekolah berikut tugas-tugas harian pun menjadi catatan tersendiri atas lemahnya aspek kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Selain membuat para siswa kewalahan mencerap materi pelajaran secara maksimal untuk bisa membangun kepribadian dan keahlian, kondisi ini juga membuat tradisi ‘bersekolah’ menjadi sekedar rutinitas yang dijalani tanpa target, bahkan menjadi beban yang sangat melelahkan. Untuk beroleh nilai bagus, menyontek dan menjiplak pun menjadi hal yang diwajarkan. Sementara bagi pihak sekolah dan pemerintah, strategi penilaian melalui ulangan dan ujian pun –termasuk penyelenggaraan UN-- akhirnya tak lebih dari ‘survey angka-angka’ yang tak lagi mampu memaknai keberhasilan proses pendidikan yang sesungguhnya diinginkan.
Selain kurikulum, lemahnya instrument pendidikan juga nampak dari rendahnya kualifikasi guru. Kini jarang ditemui cerita, ada sosok guru ideal yang bukan sekedar menjadi ‘pengajar’, melainkan sebagai ‘pendidik’ layaknya ‘bu Muslimah’ dalam cerita Laskar Pelangi. Bagi sebagian guru, aktivitas mengajar tak lebih dari sebuah pekerjaan mentransfer ilmu, bukan mentransfer pemahaman, apalagi mentransfer nilai dan kepribadian. Rupanya, idealisme para guru kadung tergadai oleh sulitnya persoalan dan persaingan hidup yang harus dihadapi. Sampai-sampai upaya pemerintah mengup-grade mutu pendidikan melalui program sertifikasi guru pun, dibaca oleh kebanyakan dari mereka sebagai ‘jalan pintas’ beroleh gaji lebih pantas. Tak heran jika ada saat dimana para guru lebih sibuk mengikuti seminar demi selembar sertifikat daripada memilih sibuk mengajar. Dan ketika saat UN tiba, tak ayal mereka pun ikut ketar-ketir akan buah pekerjaannya.
Begitupun dengan sekolah, mayoritas tak mampu menampilkan diri sebagai instrument pendidikan yang ideal. Minimnya fasilitas di kebanyakan sekolah akibat kurangnya perhatian pemerintah sebagai penyelenggara utama pendidikan yang salahsatunya tercermin dari kebijakan anggaran untuk pendidikan, membuat budaya belajar sangat sulit ditumbuhkan. Disisi lain, orientasi bisnis yang dilegalkan oleh undang-undang dan kian meracuni sebagian sekolah berkatagori unggul, sedikit demi sedikit telah mengikis idealita tentang kemuliaan tujuan pendidikan. Hingga lagi-lagi, prestasi pendidikan pun hanya dinilai dengan angka-angka. Dan ruh kapitalisme, tanpa sadar terinternalisasi ke dalam jiwa anak didik, yang dibiasakan berasik-masyuk dengan kebanggaan diri yang menumpulkan rasa empati.
Semua kondisi ini lantas diperparah dengan lemahnya fungsi keluarga dan masyarakat sebagai dampak penerapan sistem sekular. Tengok saja, tak sedikit orangtua yang dengan sadar mengabaikan kewajiban mendidik anak-anak mereka. Jikapun tersisa rasa tanggungjawab, paradigma sekuler dan materialistik telah membuat kebanyakan dari mereka kadung memandang anak sebagai ‘investasi ekonomi’ yang mereka didik semata untuk tujuan-tujuan ekonomi. Parahnya, unsur masyarakat sekuler pun menjadi pengukuh bagi semua kekacauan ini. Masyarakat seperti ini justru intens mengajari anak dengan berbagai pola kekerasan, pornografi-pornoaksi, seks bebas, narkoba, dan hal-hal negatif lain, termasuk menghalalkan berbagai kecurangan saat pelaksanaan UN.
Atas semua hal ini, kiranya perlu ada perenungan kembali soal paradigma pendidikan yang diadopsi bangsa ini. Pihak pemerintah seharusnya berpikir, bahwa sekularisme jelas tak layak dipertahankan sebagai asas, kecuali kita berharap kondisi bangsa terus terperosok dalam kehancuran. Begitupun, berbagai kebijakan yang menjadi derivasi asas sekularisme harus segera dicampakkan karena terbukti telah melahirkan berbagai kekacauan dan menjauhkan bangsa ini dari tujuan mulia pendidikan. Yakin, hanya dengan paradigma Ilahiyah sebagai asasnya, dan dengan sistem pengaturan yang terpancar dari asas itu, kebijakan pendidikan dipastikan akan mengarah pada tujuan ideal yang diharapkan. Yakni bukan saja membentuk output pendidikan yang mumpuni di bidang sains, tetapi juga paham tentang kehidupan sekaligus memiliki kepribadian khas dan kuat yang akan mampu mengubah karakter ’bangsa budak dan pengekor’ ini menjadi bangsa yang mandiri dan siap menjadi negara nomor satu. Dan ini, sama sekali tak mustahil. Karena sejarah keemasan masa lalu telah gamblang membuktikannya.[][]
Belum ada tanggapan untuk " "
Posting Komentar