Oleh : Siti Nafidah Anshory Setelah krisis keuangan global melanda, sistem keuangan apa yang anda percaya paling baik untuk diterapkan di dunia? 88,5% dari 29.486 responden menjawab sistem keuangan Islam. Sedangan responden yang memilih sistem ekonomi kapitalis hanya 5,0% saja dan yang memilih sistem ekonomi keuangan komunis sebanyak 6,5%.
(Sumber : Aljazeera.net)
Pengantar
Hasil survey di atas boleh jadi validitasnya dipertanyakan. Hanya saja, krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis subprime mortgage yang disusul bangkrutnya bank investasi raksasa dan tertua di Amerika, Lehman Brother beberapa waktu lalu, seharusnya cukup untuk menjadi pelajaran bahwa ada yang salah dalam sistem keuangan dunia sekaligus dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkannya. Terlebih krisis yang sama bukan sekali ini terjadi. Setidaknya, sepanjang abad 20 ini tercatat lebih dari 20 kali dunia mengalami krisis besar, terutama krisis tahun 30-an, tahun 1981-1982, 1998 dan tahun 2008 yang efeknya bukan cuma dirasakan oleh satu-dua negara saja melainkan semua negara, termasuk Indonesia. Bahkan krisis yang terakhir terjadi (2008) tercatat dalam the guiness book of record sebagai resesi terpanjang sejak perang dunia II mengalahkan the great depression pada era 1929-1930. Selama ini memang tak sedikit yang percaya, bahwa sistem ekonomi kapitalisme dengan liberalisasi pasar sebagai ‘nyawa’nya adalah sistem ekonomi terbaik. Namun faktalah yang membuktikan, bahwa sistem ini tak mampu bertahan oleh krisis demi krisis yang ditimbulkannya sendiri. Bahkan demi menyelamatkan dirinya, kaum kapitalis rela melanggar ‘akidah’nya sendiri (yakni filsafat laissez faire) yang mengharamkan campur tangan negara sebagai prasyarat terjaminnya mekanisme pasar bebas.Pada kasus krisis finansial global di atas, pemerintah negara-negara kampiun kapitalis rela menggelontorkan dana penyelamatan ratusan milyar dollar guna mencegah efek domino yang mungkin timbul akibat krisis finansial tersebut. Tercatat, pemerintah Amerika harus merogoh koceknya dalam-dalam (sekitar 700 milyar dollar) untuk membeli hutang beracun (toxic debt) lembaga-lembaga keuangan yang ambruk karena kredit property. Begitupun pemerintah negara-negara kapitalis Eropa, yang selain harus mengelontorkan dana talangan ratusan milyar dollar, juga merasa perlu menasionalisasi lembaga-lembaga keuangan yang bermasalah. Nyatanya, apa yang mereka lakukan tak mampu menutupi kebobrokan sistem ekonomi ini. Collaps-nya bursa saham yang dibarengi melonjaknya harga dollar AS sebagai standar utama kurs mata uang dunia membuat perekonomian dunia yang nyaris seluruhnya dikangkangi system ini centang perenang. Dimana-mana kegiatan produksi mandek. Konsekuensinya, rasionalisasi besar-besaran terjadi, yang berarti jumlah pengangguran membengkak dan tingkat kemiskinan terus bertambah. Di Indonesia sendiri berbagai upaya penyelamatan, termasuk penggunaan resep yang diberikan IMF nyaris tak berguna sama sekali. Bahkan, secara kuantitatif dan kualitatif, kondisi perekonomian terus memburuk yang diantaranya ditandai dengan meningkatnya angka kemiskinan yang menembus angka di atas 49% (sebagaimana Data Bank Dunia tahun 2006 dengan standar income di bawah 2 $/hari), sekalipun tak dipungkiri jika secara makro-agregat tingkat pertumbuhan ekonominya diklaim mengalami peningkatan. Artinya jikapun pertumbuhan terjadi, sebetulnya sama sekali tidak berkualitas karena faktanya sama sekali tidak berimplikasi pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat secara keseluruhan.
Cacat Bawaan Kapitalisme
Banyak kritik yang sebenarnya ditujukan pada sistem ekonomi Kapitalis. Hanya saja, para penganutnya tetap berdalih bahwa anomali-anomali yang muncul dalam praktek kapitalisme hanyalah merupakan persoalan biasa; teknis semata, bukan ideologis. Sehingga ketikapun krisis berulang terjadi, mereka katakan bahwa kapitalisme akan selalu memiliki mekanisme untuk menyeimbangkan keadaan hingga tercapai ekuilibrium ekonomi baru yang adaptable.Adam Smith menyebut mekanisme penyelesaian masalah ini sebagai ‘the invisible hand’ (tangan gaib yang tak kelihatan) yang sebetulnya impossible. Karena ketikapun mekanisme pasar berjalan dan ekuilibrium baru terbentuk, berbagai persoalan ekonomi seperti kesenjangan dan kemiskinan faktanya justru kian bertambah parah. Sementara masyarakat ‘dipaksa’ beradaptasi dengan cara menerima keadaan karena mereka memang selalu berada dalam posisi tidak memiliki pilihan-pilihan. Sesungguhnya jika mau jujur, apa yang mereka katakan ini hanyalah cerminan sikap apologetik dan ketidakmampuan menghadirkan solusi alternatif atas fakta bobroknya sistem kapitalisme berikut dampak penerapannya. Terlebih, siapapun tak ada yang bisa menyangkal, bahwa kapitalisme telah gagal menciptakan kehidupan yang ideal sebagaimana sosialisme komunisme telah terlebih dahulu gagal. Alih-alih mampu memberi kesejahteraan kepada masyarakat dunia, sistem ini bahkan telah menjadikan mayoritas masyarakat dunia sebagai budak bagi segelintir para pemilik modal (kaum kapitalis)dan dalam konteks negara, telah menjadikan mayoritas negara dunia ketiga menjadi sapi perahan bagi segelintir negara-negara maju (negara kapitalis). Didin S. Damanhuri dalam salah satu tulisannyasempat mengkritik pandangan Kwik Kian Gie yang menurutnya cenderung berpretensi menilai kapitalisme sebagai sistem yang bebas nilai. Menurutnya, sekalipun kapitalisme diakui telah berhasil menciptakan efisiensi ekonomi (termasuk dalam proses produksi) melalui isu globalisasi-liberalisasi, namun memahami kapitalisme tak bisa dengan begitu saja mengabaikan dimensi empiris maupun dimensi epistemologisnya. Secara empirik, tak dipungkiri jika sejarah penerapan kapitalisme yang hegemonik senantiasa terus diwarnai oleh getaran berjuta rakyat yang termarjinalisasi hingga muncul kontradiksi-kontradiksi berupa ketimpangan struktural yang demikian lebar antara si kaya dan si miskin dan berdampak hingga pada tataran politik dan yang lainnya. Sedangkan secara epistemologis, sejarah kemunculan kapitalisme tak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan sekularisme dan materialisme yang ‘menolkan’ peran agama. Bahkan ketiganya bisa dikatakan lahir dari rahim yang sama.
Dalam pandangan Taqiyuddin An-Nabhani, apa yang disebut Didin sebagai dimensi empirik dan epistemologi dari kapitalisme tadi sesungguhnya memang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Beliau bahkan memastikan, bahwa sejarah buruk yang terjadi sebagai dampak penerapan kapitalisme justru merupakan konsekuensi logis dari keberadaan akidah sekularisme dan materialisme yang menjadi ruh kapitalisme. Artinya, kapan dan dimanapun kapitalisme diterapkan, hasilnya akan sama saja; kapitalisme hanya akan memunculkan kontradiksi, kerusakan, bahkan kehancuran kemanusiaan. Kalaupun ada yang diuntungkan, maka itu hanyalah kamuflase belaka. Hal ini bisa dipahami mengingat sekularisme lahir dengan semangat pembebasan manusia dari campur tangan Tuhan dalam mengatur kehidupan. Sekularisme telah memberikan hak mutlak rububiyyah hanya kepada (akal) manusia yang sangat lemah dan terbatas. Menurut paham ini, manusialah yang berwenang menetapkan konsep baik dan buruk (khoyr wa syar), terpuji dan tercela (qobih wa hasan), bahkan membuat berbagai aturan yang menyangkut interaksi manusia satu sama lain termasuk dalam beraktivitas ekonomi. Oleh akidah ini, agama dikebiri fungsinya sedemikian rupa hingga terlarang menyentuh aspek-aspek kehidupan, kecuali masalah ibadah ritual, termasuk upacara perkawinan dan ritual kematian.
Dari paradigma berpikir inilah kemudian muncul berbagai aturan kehidupan yang keseluruhannya bersumber dari akal. Dalam konteks ekonomi, muncul apa yang disebut dengan prinsip-prinsip ekonomi dan pandangan tentang masalah ekonomi berikut solusinya, yang kesemuanya tercakup dalam sistem ekonomi bebas agama, baik yang bersifat sosialistik maupun yang kapitalistik (sistem ekonomi kapitalis).
Dalam konteks kapitalisme, muncul pandangan semisal, bahwa cakupan pembahasan ekonomi adalah tentang kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia beserta alat-alat (goods) pemuasnya, yang kesemuanya hanya menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia saja, sementara aspek spiritual dan moral cenderung diabaikan. Muncul pula konsep-konsep dasar yang membangun sistem ekonomi kapitalis semisal masalah scarcity, teori tentang nilai dan struktur harga, yang berimplikasi pada pengaturan-pengaturan praksisnya dalam kehidupan. Terkait konsep scarcity (kelangkaan) misalnya, kapitalisme berpandangan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan benda/barang/alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Inilah yang kemudian dianggap sebagai masalah ekonomi menurut kapitalisme. Dalam praksisnya, system ini akhirnya sangat fokus dalam upaya meningkatkan produksi setinggi-tingginya (produce to produce, peningkatan GNP)seraya menilai tingkat kesejahteraan semata pada tingkat pertumbuhan ekonomi dalam tataran makro-agregat (rata-rata) dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan orang per orang atau mengabaikan pemerataan dan keadilan. Padahal faktanya, yang menjadi problem ekonomi bukanlah kelangkaan, melainkan masalah distribusi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan secara orang per orang hingga kesejahteraan dirasakan oleh setiap individu tanpa kecuali. Terlebih, pandangan kapitalisme tidak membedakan antara kebutuhan pokok dengan sekunder, dimana pada faktanya, kebutuhan pokok manusia sebetulnya terbatas, sementara yang tidak terbatas (berganti-ganti) hanyalah kebutuhan sekundernya. Tentang masalah nilai (value) barang yang dihasilkan, kapitalisme sekuler hanya memandang nilai kegunaan (utility) suatu barang/benda/jasa semata dari apakah semuanya itu memberi kepuasan dan dibutuhkan orang atau tidak, tanpa memandang aspek lain semisal status halal-haram. Dengan kata lain, kapitalisme hanya akan memandang alat pemuas kebutuhan sebagai alat yang bisa memuaskan kebutuhan, tanpa memperhatikan pertimbangan lain termasuk apa yang seharusnya menjadi pijakan masyarakat. Sehingga, sepanjang benda/jasa itu dibutuhkan dan dianggap bermanfaat bagi manusia (memiliki nilai ekonomi), maka benda/jasa itu sah-sah saja diproduksi dan ditransaksikan, termasuk misalnya khamr, pelacuran, produk-produk pornografi dan lain-lain.
Adapun terkait masalah harga (price), kapitalisme memandang bahwa harga merupakan pendorong laju produksi dan pengendali distribusi. Dengan kata lain, mekanisme hargalah yang akan menciptakan keseimbangan ekonomi secara otomatis, sekaligus akan menentukan siapa produsen yang boleh masuk ke wilayah produksi dan siapa konsumen yang boleh menikmati pemenuhan kebutuhan. Pada saat yang sama, harga jugalah yang berfungsi mengatur/penentu distribusi kekayaan kepada anggota masyarakat ketika mengkonsumsi barang & jasa sesuai dengan harga barang yang mampu dibelinya.
Dengan kerangka dasar tentang harga ini, sistem kapitalisme meniscayakan si kuat (pemilik kekayaan/para kapitalis) memangsa si lemah, si lemah bahkan tak mendapatkan apa-apa. Juga meniscayakan kehidupan materialistik yang menafikan aspek moral-spiritual, dimana manusia menjadi sekedar homo economicus (makhluk pengejar materi) sebagaimana klaim Adam Smith. Padahal pada faktanya tak semua orang memiliki kemampuan sama dalam mengakses barang dan jasa, baik dalam posisinya sebagai konsumen, maupun produsen. Hingga sistem ini memungkinkan munculnya jurang pemisah yang terus melebar antara si kaya dan si miskin, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin kian miskin.
Inilah cacat-cacat bawaan sistem ekonomi kapitalisme yang bukan cuma menunjukkan kerusakannya, tetapi juga berbahaya bagi kemanusiaan. Asas sekularisme dan ketiga kerangka dasar tadi terbukti telah membentuk watak dasar kapitalisme yang begitu mengagungkan kebebasan (tanpa norma), bersifat materialistik, individualistik dan eksploitatif. Watak dasar inilah yang mengukuhkan terjadinya praktek-praktek imperialisme di berbagai belahan dunia dari masa ke masa, baik dalam bentuk imperialisme klasik (militeristik), maupun neo imperialisme (melalui pemikiran, kebijakan ekonomi, politik, dan lain-lain) yang nampaknya jauh lebih berbahaya jika dibandingkan dengan imperialisme klasik. Dalam bahasa Todaro, watak imperialisme negara-negara maju (kapitalis) ini dinyatakan sebagai “kecenderungan negara-negara kaya untuk ‘mencapai jarak jauh’ ke seluruh penjuru dunia guna mendapatkan produk-produk pokok dan bahan-bahan baku, upah buruh yang rendah dan pasar-pasar yang menguntungkan bagi produk-produk industri mereka.”
Fundamental Ekonomi Kapitalis : Rapuh!
Selain karena cacat bawaan yang ada dalam siystem kapitalisme, krisis global yang terus berulang ini juga dipicu oleh rapuhnya faktor-faktor penopang fundamental ekonomi kapitalis itu sendiri. Faktor-faktor dimaksud adalah :
1. Kapitalisme menjadikan riba, pasar uang dan pasar modal (sektor non ril) yang spekulatif sebagai basis fundamental ekonominya. Sebagaimana diketahui, dewasa ini sektor perbankan sudah menjadi sarana investasi yang sangat diminati oleh masyarakat. Sektor yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi alat menyerap modal masyarakat untuk menggenjot usaha di sektor ril ini justru menjebak dirinya sendiri dalam keruwetan yang tak berujung pangkal. Di satu sisi, penetapan sistem bunga bank memang menarik minat masyarakat untuk menyimpan uang mereka dengan iming-iming interest yang besar, namun di pihak lain pendanaan yang diberikan pihak bank pada dunia usaha seringkali berakhir dengan masalah. Hal ini jualah yang awalnya memicu terjadinya resesi ekonomi di AS yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Munculnya kasus subprime mortgage berawal dari transaksi haram ini, dimana para nasabah tak mampu membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dengan suku bunga yang tinggi. Akhirnya kredit macetpun terjadi. Perbankan AS lumpuh total, demikian juga dengan perbankan internasional. Mereka sudah tidak lagi memiliki cadangan dollar untuk dipinjamkan ke negara lain. Alhasil dollar menjadi barang langka yang dibutuhkan para investor untuk kebutuhan menjaga likuiditas.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan adanya transaksi derivatif di pasar uang dan pasar modal yang menjadi pilar penopang syitem keuangan kapitalisme. Dalam pasar uang terjadi transaksi mata uang, sehingga uang yang seharusnya hanya berfungsi sebagai alat tukar, dalam sistem kapitalis juga memiliki fungsi sebagai komoditas yang diperdagangkan dan menjadi alat spekulasi. Akibatnya nilai tukar uangpun mengalami fluktuasi mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Ketika dollar dijadikan sebagai standar mata uang dunia, maka semakin banyak yang memburu dollar hingga nilai mata uang ini menjadi tinggi, sementara nilai mata uang lain justru melemah. Kondisi inilah yang menyebabkan kondisi ekonomi dunia menjadi rentan dan pada saat yang sama kondisi politik internasionalpun menjadi tidak stabil, bahkan mudah direkayasa. Inilah yang terjadi pada tahun 1997, ketika George Soros melakukan aksi borong dollar hingga rupiah melemah dan ekonomi Indonesia colaps hingga sekarang.
Hal yang sama terjadi di pasar saham dan pasar modal. Di pasar ini, saham, obligasi dan surat-surat berharga lainnya berpindah tangan berkali-kali dalam waktu yang sangat cepat. Alih-alih mendorong nilai investasi dan laju produksi ril perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperjual belikan, yang terjadi justru sebagaimana di pasar uang. Nilai saham yang sejatinya hanya angka-angka ini secara spekulatif naik dan turun mengikuti hukum permintaan atas saham-saham tadi di pasar bursa. Dan sesungguhnya penggelembungan nilai transaksi di pasar ini hanya berkisar angka-angka semata, karena pada prakteknya pasar ini tidak ada (non ril), dan tidak berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas sektor ekonomi ril yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat untuk menggenjot perekonomian mereka. Republika mencatat, pertumbuhan sektor non ril di tingkat dunia mencapai 700X lipat sektor riil, sementara di Indonesia, pada tahun 2006 tercatat 10 kali lipat yakni sektor riil Rp.3.338 T dan sektor non riil 27.764 T (Rep. 14-3-08). Tentu saja pasar jenis ini sangat berbahaya, karena unsure spekulasinya sangat tinggi; berupa keuntungan yang menggiurkan dan kerugian yang menjatuhkan. Unsur spekulasi inilah yang menyedot sebagian besar peredaran uang yang ada di masyarakat di sector non ril ini, hingga dengan mudah pula mengalami kegoncangan yang berujung pada krisis moneter dan ekonomi sebagaimana sudah sering dialami. Ibarat balon, terus menggelembung, menjadi besar tapi kosong, hingga pada tahap tertentu pecah tanpa menyisakan apa-apa (bubble economy).
2. Sistem moneter dalam kapitalisme tidak bersandar pada mata uang emas dan perak. Tak dipungkiri jika saat ini sedang terjadi ‘rezimisasi mata uang dollar AS’ dengan menjadikan mata uang ini sebagai standar moneter di dunia. Hal ini bermula dari keputusan Presiden AS, Richard Nixon pada tanggal 15 Juli 1971 yang secara resmi menggantikan sistem Brettonwoods yang dianggap sebagai keputusan yang mengikat mata uang dollar dengan emas dan mematoknya dengan nilai tertentu.Keputusan ini tentu menguntungkan AS, karena secara otomatis dia bisa mengontrol mata uang negara lain, karena hanya AS-lah yang berhak untuk membuat dollar, mencetak dan menerbitkannya. Sementara negara-negara lain hanya ‘diwajibkan’ untuk menyandarkan mata uang mereka pada mata uang ini. Akibatnya nilai tukar negara lain, termasuk rupiah menjadi tidak stabil karena mengikuti pergerakan dollar dan pasar dollar yang fluktuatif. Wajar jika kemudian, AS juga bisa menjadikan dollar ini sebagai alat politik untuk melakukan penjajahan ekonomi atas negara-negara lain. Masalahnya, standarisasi dollar terhadap mata uang dunia ini sangatlah rentan terhadap krisis, karena keberadaannya tidak di-back up dengan cadangan emas. Begitupun dengan uang-uang yang beredar di negara-negara lain termasuk Indonesia semuanya tidak diback-up dengan emas. Seluruh mata uang yang beredar hanyalah kertas-kertas yang dicetak Bank Sentral, dimana masyarakat ‘dipaksa’ oleh undang-undang untuk percaya bahwa lembaran kertas itu memiliki nilai tukar sebagaimana tertera di dalam kertas dan bisa menjadi alat transaksi atas barang dan jasa. Barangkali kondisi ini bisa diibaratkan sebagaimana permainan monopoli.
Tentu saja kondisi ini menyebabkan tingkat instabilitas yang sangat tinggi karena mata uang ini hanya dijamin oleh tingkat ‘kepercayaan publik’ terhadap institusi yang mengeluarkannya. Sementara yang namanya ‘kepercayaan publik’ jelas sangat rentan terhadap berbagai isu dan situasi politik yang terjadi, hingga wajar jika nilai mata uangpun menjadi sangat fluktuatif dan rawan krisis. Hal inilah yang saat ini sedang terjadi dengan dollar, hingga krisis globalpun tak bisa terhindarkan.
3. Sistem distribusi dalam kapitalisme disandarkan pada prinsip kebebasan hak milik. Hal ini sejalan dengan prinsip liberalisme yang inhern dengan kapitalisme. Dengan prinsip ini, plus diperkuat prinsip sekularisme yang menafikan nilai moral dan agama, kapitalisme meniscayakan para pemilik modal kuat menguasai asset-aset strategis dengan berbagai cara dan menggunakannya sebagai alat untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, sistem kepemilikan dalam kapitalisme lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas, tanpa ada pembatasan-pembatasan seperti mengenai mana yang berhak dimiliki individu, mana yang menjadi hak publik dan mana yang berhak dikuasai oleh negara berikut aturan pengelolaannya. Akibatnya praktek-praktek monopoli dan korporasi menjadi wajar terjadi sebagai “hard fact” persaingan ekonomi global, sebagaimana terjadi atas perusahaan-perusahaan tambang Indonesia yang habis dikuasai kapitalis dan negara asing, berikut segelintir kapitalis lokal. Sementara rakyat banyak sebagai pemilik sah kekayaan alam tersebut harus menderita karena untuk menikmatinya mereka harus membayar dengan harga yang sangat mahal.
Sistem Ekonomi Islam, Sistem Yang Manusiawi
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki aturan yang sangat unik dan manusiawi terkait dengan ekonomi. Sistem ini bukan hanya kuat dalam asasnya, tetapi juga ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memungkinkan penyelesaian seluruh problema ekonomi secara tuntas dan sempurna. Sistem ini juga bukan hanya teruji secara konsep, tetapi juga telah terbukti secara praktis menghantarkan umat Islam terdahulu menjadi umat yang berperadaban tinggi, sejahtera dan menyebarkan kesejahteraan pada umat-umat lainnya, sebagaimana –antara lain—catatan Wikipedia mengenai peran kekhalifahan Utsmani dalam membantu kelaparan di Irlandia dan Amerika Serikat di awal abad 19-an. Banyak buku yang bisa dirujuk untuk melihat bagaimana tingkat kesejahteraan yang dialami umat Islam saat mereka hidup dalam sistem yang menerapkan Islam, termasuk sistem ekonominya.Hingga dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi ini, memungkinkan bagi masyarakat Muslim mengembangkan peradaban (hadlarah), madaniyah dan saintek, dan akhirnya kaum Muslim mengalami kemajuan di berbagai bidang. Justru ketika umat Islam lepas dari sistem ini dan tunduk pada sistem yang dipaksakan oleh penjajah, mereka berubah menjadi umat yang hina, terpuruk dan bermental pengekor sebagaimana terjadi saat ini. Karenanya, menjadi penting mengembalikan kesadaran umat akan jatidirinya yang asli sebagai khoiru ummah, dengan menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran Islam yang tinggi dan cemerlang sebagai solusi kehidupan, termasuk dalam bidang ekonomi. Pemikiran-pemikiran ini adalah pemikiran yang tegak diatas keyakinan, bahwa Allah sebagai Pencipta Manusia Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Sempurna juga adalah Pengatur Kehidupan (Asy-Syari’/Al-Hakim). Dialah yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi manusia, hingga aturan-aturan yang Dia turunkan harus diyakini sebagai problem solver atas seluruh persoalan manusia, termasuk di dalamnya persoalan-persoalan yang menyangkut ekonomi, baik dalam tataran mikro, maupun makro.
Tatkala berbicara tentang bagaimana aturan-aturan Islam menyangkut masalah ekonomi atau apa yang disebut dengan sistem ekonomi Islam, faktanya memang telah banyak terjadi kesamaran. Dalam bayangan mayoritas masyarakat, aturan ekonomi Islam hanyalah berbicara seputar ekonomi berbasis moral, zakat, infaq, shadaqah (termasuk wakaf), larangan riba, dan hal-hal yang sejenis dengan itu. Sehingga ketika mereka berbicara tentang penyelesaian terhadap masalah ekonomi, seperti problem kemiskinan dan kebobrokan lembaga keuangan konvensional, solusi yang muncul dan banyak diperbincangkan –termasuk dalam konteks pembaharuan-- hanyalah seputar optimalisasi pemberdayaan ZISWAF, pemberdayaan ekonomi santri, pendirian lembaga keuangan non riba, dan ide-ide cabang lainnya. Sementara, tataran asas dan fundamental ekonomi yang memang bersifat makro nyaris tidak pernah tersentuh. Padahal itulah akar masalah rusaknya perekonomian secara keseluruhan. Akibatnya, persoalan ekonomipun terus terjadi tanpa bisa diselesaikan, kecuali dalam skala yang sangat kecil dan artifisial.
Sistem ekonomi Islam sesungguhnya berbicara mulai dari aspek fundamental. Dan sistem ini bisa dikomparasikan dengan sistem ekonomi lainnya, baik kapitalisme maupun sosialisme-komunisme hingga akan Nampak keunggulan-keunggulannya. Setidaknya ada 4 pilar –disamping paradigma aqidah Islam— yang menopang kekuatan sistem ini, yang kesemuanya berbeda secara diametral dengan sistem-sistem di luar Islam lainnya. Keempat pilar itu adalah :
1. Penolakan atas transaksi ribawi sekecil apapun dalam aktivitas perekonomian.
Islam mengharamkan aktivitas riba apapun jenisnya. Bahkan Allah telah melaknat dengan menyerupakan riba sebagai perbuatan setan dan memaklumkan perang terhadap orang-orang yang melakukan aktivitas riba ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS. Al-Baqarah : 275)
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu” (TQS. Al-Baqarah: 279).
Berdasarkan ayat-ayat di atas, transaksi perbankan yang kini sudah menjadi gaya hidup kapitalis dengan unsur ribanya jelas sangat diharamkan oleh Islam. Terlebih pada faktanya, aktivitas ini telah menimbulkan kemadharatan yang sangat besar, tidak hanya pada tataran individu, tetapi juga tataran masyarakat bahkan negara. Justru dengan adanya larangan riba, harta masyarakat akan terjaga dari kerusakan akibat riba. Sementara dalam tataran makro akan tercipta iklim ekonomi yang sehat, dimana uang akan beredar mengikuti perkembangan arus barang dan jasa, bukan malah tersimpan dalam bentuk asset bank, hingga pada akhirnya akan terjadi perputaran ekonomi di tingkat ril yang jelas-jelas akan menguntungkan masyarakat banyak.
2. Islam menjadikan emas dan perak sebagai standar mata uang dan moneter.
Yang dimaksud disini adalah penggunaan emas dan perak sebagai standar satuan uang, baik diwujudkan dalam bentuk fisik emas dan perak (jika memungkinkan), atau dengan mempergunakan uang kertas yang dijamin (diback up) oleh cadangan emas dan perak yang disimpan di Bank Sentral. Dengan demikian, uang-uang yang beredar di tengah-tengah masyarakat memiliki nilai intrinsik yang setara dengan nominalnya, hingga memang benar-benar layak menjadi alat tukar dalam setiap transaksi pertukaran barang dan jasa.
Sesungguhnya, pensyari’atan tentang mata uang berbasis emas ini sangat jelas di dalam Islam. Setidaknya, praktek ini dilakukan oleh Rasulullah Saw, sekalipun di awal masa Islam ini negara Islam tidak secara khusus mencetak mata uang Islam. Saat itu kaum muslimin telah menggunakan dinar Byzantium dan dirham Kisra sebagai mata uang mereka. Kaum Muslim baru mencetak mata uang dinar dan dirham sendiri dengan bentuk, pola dan standar yang khas pada masa kekhalifahan Malik bin Marwan. Oleh karenanya, penggunaan standar mata uang emas jelas merupakan af’al Rasul dan ijma’ shahabat. Terlebih, banyak pensyariatan di dalam Islam yang senantiasa dikaitkan dengan standar emas dan perak ini, semisal nishab zakat, nishab pencurian yang dikenai had, diyat pembunuhan, larangan menimbun emas dan perak (QS. 9:34, dalam konteks mata uang) dan sebagainya. Ada beberapa keuntungan (hikmah) yang akan diperoleh dari penggunaan mata uang emas ini, diantaranya : · Sistem uang emas dan perak bersifat internasional dengan kurs yang bersifat (relatif) tetap. Sehingga, nilai tukar 1 dinar pada jaman Nabi Muhammad yang bisa ditukarkan dengan 1 ekor kambing misalnya, ternyata saat inipun dapat digunakan untuk membeli 1 ekor kambing (1 dinar = 4,25 gr emas = sekitar Rp. 800.000,-). Hal ini sejalan dengan fakta, bahwa dinar (emas) dan dirham (perak), keduanya disepakati sebagai benda yang bernilai (benda mulia), kapan dan dimanapun. Dengan demikian, sekalipun mata uangnya berbeda-beda, sistem ini akan memperlancar nilai tukar secara stabil, karena setiap jenis mata uang distandarisasi dengan standar yang sama dan nilainya relatif tetap. Hal ini akan mendorong pengembangan bisnis dan perdagangan internasional karena tak ada kekhawatiran akan fluktuasi kurs pertukaran mata uang.
· Sistem uang emas dan perak tidak akan menyebabkan dunia mengalami kelebihan mata uang secara tiba-tiba dengan bertambahnya peredaran mata uang seperti yang biasa terjadi pada mata uang kertas. Ini karena mata uang emas dan perak bersifat tetap dan stabil, bahkan mampu menambah kepercayaan terhadap emas dan perak. Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan neraca keuangan negara tetap terjaga, karena negara akan berupaya seketat mungkin menerbitkan mata uang baru. Karena jika peredaran mata uang tidak terjaga sebagaimana yang sering terjadi pada mata uang kertas, tentu permintaan emas akan terus meningkat. Sementara, jika negara tidak mampu memenuhi permintaan akan emas ini, niscaya akan terjadi pelarian emas dan perak ke luar negeri dan akibatnya cadangan emas dan perak di dalam negeri akan berkurang.
· Dengan penerapan sistem uang ini, tiap negara akan berupaya menjaga kekayaan emas dan peraknya, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas atau perak dari satu negara ke negara lain, apalagi membiarkannya dirampok sebagaimana yang terjadi dengan kasus Freeport dan Newmont di Indonesia. Negarapun tidak akan memerlukan kontrol ketat untuk melindungi kekayaannya, sebab kekayaan tersebut tidak akan di transfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan syar’I, seperti untuk membayar barang atau gaji para pekerja.
Seluruh dunia sebenarnya terus menggunakan sistem mata uang ini dalam kegiatan transaksional mereka, baik di dalam negeri, maupun di tingkat internasional. Selama itu pula tidak pernah dijumpai masalah yang terkait dengan mata uang itu sama sekali (masalah moneter), seperti inflasi dan defaluasi yang sering berujung pada krisis ekonomi. Artinya, sepanjang system mata uang emas dan perak ini digunakan, stabilitas keuangan dunia benar-benar terjamin. Hanya saja, cara ini kemudian dihapus oleh negara-negara kapitalis sebagai bentuk konspirasi mereka untuk melakukan penjajahan gaya baru atas negeri-negeri yang lebih lemah. Dan ini memang sudah berhasil mereka lakukan. Mereka sudah berhasil menjadikan negeri-negeri lemah ini tergantung secara politik dan ekonomi, sekalipun mereka akhirnya tak mampu menghindari akibat kerakusan mereka sendiri dengan munculnya berbagai krisis moneter di negeri-negeri mereka.
3. Ekonomi Islam bertumpu pada sektor ekonomi ril. Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap transaksi harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhul, dharar, dan sebagainya sebagaimana yang ada dalam aktivitas ekonomi non ril (pasar uang, pasar modal/bursa saham) dalam sistem kapitalis yang jelas-jelas telah menimbulkan krisis. Ekonomi Islam bertumpu pada sektor ril sepenuhnya, dimana transaksi yang dilakukan harus merupakan sesuatu yang memberikan manfaat yang ril bagi pelakunya, halal, sekaligus memberikan kompensasi yang bersifat ril juga. Ketika transaksi dilakukan, maka uanglah yang dijadikan alat tukar, bukan sebagai komoditas seperti dalam sistem kapitalis.
Dalam Islam uang dipandang sebagai milik masyarakat yang digunakan sebagai alat tukar untuk memperoleh barang dan jasa. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Karena itulah Islam melarang aktivitas menimbun harta (kanzul mal) (QS. At-Taubah : 34), yang jika dilihat dari perspektif ekonomi berarti menimbun mata uang. Pelarangan ini bisa dipahami karena penimbunan mata uang, misal karena dorongan investasi ribawi dan transaksi spekulatif di bursa saham yang ‘menggiurkan’, justru akan membuat aktivitas produksi dan transaksi ril yang dibutuhkan masyarakat akan berkurang, bahkan mandek. Itulah pula kenapa islam justru mendorong transaksi-transaksi syariah semacam syirkah --dengan berbagai macam variasinya-- di tengah-tengah masyarakat berdasarkan akhlak Islam dan ruh yang tak lepas dari semangat beribadah kepada Allah. Islam juga sangat menganjurkan aktivitas khoiriyah semacam zakat, sedekah dan pinjam-meminjam yang bebas riba yang keseluruhannya berarti menggerakkan perekonomian umat dan menjamin terjadinya perputaran barang dan jasa secara merata.
Inilah ekonomi ril yang menjadi pilar sistem ekonomi Islam. Ekonomi ril jelas tidak akan memunculkan krisis karena bertumpu pada aktivitas produksi dan transaksi barang dan jasa yang manfaatnya secara langsung bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat, berupa ketersediaan lapangan pekerjaan atau peluang-peluang usaha, meratanya tingkat daya beli dan karenanya kesejahteraan masyarakatpun bisa terus ditingkatkan.
4. Sistem Islam mengatur masalah distribusi dan kepemilikan harta secara adil dan manusiawi. Islam membagi kepemilikan harta atas 3; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam hal ini negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Terkait dengan kepemilikan umum, Islam mengharamkan penguasaannya oleh individu maupun oleh negara. Islam justru mewajibkan kepada negara untuk memastikan agar harta milik umum ini betul-betul bisa dinikmati untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, dengan cara mengelolanya dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan eksplorasi, penjualan maupun distribusi. Adapun jenis-jenis kepemilikan umum ini mencakup : (a) harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti laut, danau, sungai, pulau dan sebagainya. (b) apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti sumber-sumber energy, hasil tambang dalam jumlah (deposit) tak terbatas, sarana-prasarana umum, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan hadits Rosulullah SAW, beliau bersabda : “Kaum Muslim berserikat dalam tiga jenis harta, yakni air, padang gembalaan dan api”(HR. Abu Daud dari Ibnu Abbas). Dengan demikian, apa yang lumrah terjadi dalam sistem kapitalisme seperti swastanisasi dan privatisasijelas-jelas dilarang dalam Islam.
Adapun kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya diserahkan kepada individu pada selain harta milik umum. Kepemilikan jenis ini juga harus dilindungi oleh negara, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang merampasnya, termasuk negara sekalipun (misal melalui nasionalisasi). Sedangkan kepemilikan negara yaitu ada pada harta yang hak pengelolaannya ada pada negara/khalifah sesuai dengan pandangan ijtihadnya (qanun). Harta ini meliputi, kharaj, fa’I, barang temuan, dan sebagainya, yang kesemuanya bisa digunakan untuk pembiayaan pengelolaan negara maupun untuk kepentingan-kepentingan penstabilan ekonomi negara. Senyatanya, pengaturan sistem kepemilikan seperti ini tidak ditemukan dalam sistem ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme kepemilikan hanya dijelaskan secara global tanpa batasan-batasan. Misalnya pernyataan John M. Hartwick, bahwa “a property right is bundle of characteristics that convey certain powers to the owner of the right. The owner may be an individual, a group of individuals (e.g., a firm), or the state (e.g., public lands)”.Bahkan dalam kapitalisme, adanya prinsip kebebasan kepemilikan memungkinkan apa yang seharusnya menjadi milik umum justru dikuasai oleh individu. Inilah yang menyebabkan berbagai ketidakadilan kerap terjadi. Rakyat antri BBM, bahkan harus membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Begitupun dengan listrik, jalan tol, dan sebagainya. Rakyatpun harus hidup dengan susah payah sekalipun tanah air mereka kaya raya. Ini karena, kekayaan alam yang sesungguhnya menurut syara’ adalah milik rakyat dibiarkan oleh negara dikuasai oleh individu dan kapitalis asing. Bahkan ironisnya, ‘perampokan’ hak milik umum ini justru dilegitimasi oleh undang-undang (antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU PMA, dan lain-lain).
Penutup
Persoalan ekonomi yang dihadapi umat seperti kemiskinan yang berdampak pada pesoalan-persoalan sosial sesungguhnya bersifat paradigmatic dan sistemik. Karenanya diperlukan upaya-upaya mendasar untuk melakukan pembaruan sistem ekonomi yang diterapkan dengan menghadirkan alternatif solusi yang kuat secara konsep dan terbukti solutif secara empirik.
Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan problem ekonomi krusial yang dihadapi saat ini setelah sistem ekonomi sosialis terlebih dulu ambruk dan justru sedikit demi sedikit bersinkretis dengan kapitalisme sebagaimana slogan Glasnot dan Perrestroika-nya Mikhael Gorbachev. Persoalannya, bagaimana menghadirkan sistem ekonomi Islam ini sebagai sesuatu yang dipahami utuh, mengingat pemikiran-pemikiran Islam saat ini sudah sedemikian terkebiri oleh sekularisme yang juga telah sedikit demi sedikit merasuk dalam tubuh umat, serta teracuni oleh gagasan-gagasan kapitalisme yang secara sistematis ditanamkan dalam benak mereka.
Gagasan-gagasan kembali pada ekonomi syari’ah sebagaimana yang kerap didengungkan, sesungguhnya bisa menjadi modal awal untuk menggali kembali kedalaman konsep ekonomi ini hingga betul-betul bisa dipahami utuh dan terformulasikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan praksis yang akan diterapkan oleh negara. Jangan sampai, gagasan-gagasan pembaruan ekonomi Islam akhirnya hanya berkutat pada tataran cabang dengan target individual, kelompok, jangka pendek dan terkesan tambal sulam atas kebobrokan system yang ada sebagaimana yang terjadi selama ini, semisal hanya berkutat dalam masalah pengembangan lembaga keuangan syariah dan pemberdayaan ZISWAF saja. Mengingat –sekali lagi—semrawutnya persoalan ekonomi yang terjadi sesungguhnya bersifat sistemik dan paradigmatik, sehingga membutuhkan perubahan sistemik dan paradigmatik pula. Wallahu a’lam bi ash-Shawwab.[][]
-----------------------
DAFTAR PUSTAKA
Al-Badri, Abdul Aziz. 1990. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terj.).Jakarta : Gema Insani Press.
Al-Faruqi, Lois Lamya dan Ismail R. al-Faruqi. 2000. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Terj.). Bandung : Mizan. Cet. Ke-2.
Diah Aryati Prihartini, “Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan” (online resources) diakses dari www.repository.gunadarma.ac.idpada tanggal 3 Maret 2009. Hartwick, John M, et. Al. 1997. The Economics of Natural Resource Use. USA : Addison-Wesley. Second edition.
Diah Aryati Prihartini, “Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan”(online resources) diakses dari www.repository.gunadarma.ac.idpada tanggal 3 Maret 2009.
Belum ada tanggapan untuk "SAATNYA SISTEM EKONOMI ISLAM MENGGANTIKAN SISTEM EKONOMI KAPITALISME"
Posting Komentar