Oleh : Siti Nafidah Anshory
Urgensi Persatuan Hakiki dan Realitas Ummat Islam Saat Ini Jika seseorang menelaah kandungan al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia akan menemukan, bahwa Islam secara jelas telah menentukan beberapa masalah penting (qodhiyah al-mashiriyah/the vital issues) bagi kaum muslimin dan sekaligus menentukannya sebagai masalah hidup atau mati. Diantara masalah penting tersebut adalah kewajiban menjaga persatuan ummat Islam dan kewajiban menjaga kesatuan negara bagi seluruh kaum muslimin.
Perkara ini nampak jelas ketika Islam melarang adanya lebih dari seorang Khalifah dan melarang setiap aktivitas pemberontakan (bughat), seraya menjelaskan tindakan yang harus diambil untuk mengatasinya, yakni dengan tindakan hidup dan mati. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa memberikan bai’at kepada seorang imam, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia taat kepadanya semampunya. Apabila datang seseorang hendak mencabut kekuasaannya, maka penggallah lehernya” (THR. Muslim)
Juga diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (THR. Muslim). Senada dengan itu, Arfajah ra. menuturkan, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa mendatangi kalian, sedang urusan kalian berada di tangan seorang laki-laki (khalifah), dan orang itu hendak merusak persatuan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia” (THR. Muslim)
Sementara itu mengenai pemberontakan (bughat), Allah SWT telah berfirman :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut sampai golongan itu kembali kepada perintah Allah” (TQS. Al-Hujurat : 9).
Dan dalam salah sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda :
“Barangsiapa keluar (memberontak) dari ummatku, sedangkan mereka dalam keadaan bersatu, maka penggallah lehernya dengan pedang, siapapun mereka”. Sesungguhnya, kaum muslimin terdahulu telah menerapkan ketentuan ini secara konsisten, yakni dengan tetap menempatkan persoalan-persoalan tersebut sebagai salah satu perkara yang paling penting dan paling kritis. Tak seorangpun dari mereka berani mengabaikan dan meremehkannya, hingga saat itu ummat Islam mampu bangkit menjadi ummat yang mulia, dan negara Islampun muncul sebagai negara besar, kokoh dan digdaya. Namun ketika para khalifah semakin lemah dan pemahaman ummat terhadap Islam semakin berkurang, kaum muslimin tidak lagi menganggap perkara tersebut sebagai persoalan utama yang harus disikapi dengan tindakan hidup dan mati. Mereka justru mulai lalai dan membiarkan begitu saja terjadinya pemisahan beberapa wilayah Islam dari kekuasaan khilafah, hingga disintegrasi kaum muslimin menjadi sesuatu hal yang dianggap lumrah. Bahkan ketikapun akhirnya institusi khilafah terhapus, dan Mustafa Kemal menyatakan pemisahan Turki dari semua negeri Islam, seraya --pada saat yang sama-- menyetujui penyerahan negeri-negeri tersebut pada kekuasaan negara-negara kafir, kaum muslimin sama sekali tidak peduli atas ancaman malapetaka yang senyatanya sudah ada di depan mata mereka. Perhatian mereka justru tercurah seluruhnya pada ‘impian’ mewujudkan ‘bangsa merdeka’ yang secara sistemis memang telah dicekokkan dalam benak-benak mereka oleh kaum kafir. Mereka tak mampu menyadari bahwa sesungguhnya ‘impian’ ciptaan orang-orang kafir tersebut hanyalah racun yang akan membunuh mereka secara perlahan, hingga pada akhirnya eksistensi mereka hilang dari dunia ini tanpa bekas sedikitpun!
Kondisi ini sesungguhnya membuktikan, bahwa jauhnya kaum muslimin dari Islam dimasa-masa kemundurannya telah menyebabkan mereka tidak lagi menganggap persoalan menjaga persatuan jamaah dan negara sebagai masalah utama dan penting bagi mereka. Padahal, justru ketika mereka mengabaikan persoalan inilah, maka berbagai masalah mulai mendera kehidupan mereka. Keruntuhan institusi Khilafah yang hakekatnya merupakan pemersatu dan sekaligus payung pelindung kaum muslimin melalui penerapan hukum-hukum Islam, telah menandai runtuhnya persatuan hakiki ummat yang selama ini menjadi rahasia kekuatan bagi terbangunnya ‘izzah mereka selama ribuan tahun di hadapan bangsa-bangsa lain. Dan pada akhirnya, persatuan hakiki tersebut justru tergantikan oleh ukhuwwah Islamiyyah semu yang mandul, simbolis dan terartikulasi sebatas perasaan saja.
Akibatnya, ummat yang semula kokoh bersatu bagai satu tubuh, kemudian terpecah buncah dalam puluhan keping negara bangsa (nation state) yang masing-masing tak lagi saling terikat dan tak punya arti apa-apa. Hingga sejak saat itu, bahkan sampai hari ini, negeri-negeri Islam terus-menerus menjadi objek bulan-bulanan dan penindasan orang-orang kafir, baik secara fisik, ekonomi, politik, budaya, hankam, maupun secara pemikiran. Lantas sistem kehidupan Islam yang muliapun akhirnya tergantikan oleh sistem kufur yang rusak dan merusak. Hingga tak ada satupun aspek kehidupan kaum muslimin yang bisa lepas dari dominasi dan kontrol mereka. Tak heran jika, sekalipun secara kuantitas ummat Islam merupakan entitas terbesar di dunia, namun secara kualitas, mereka berada jauh di bawah, terinjak-injak dan terhinakan. Persis sebagaimana sinyalemen Nabi SAW 14 abad yang lalu, bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menjadi obyek jarahan orang-orang kafir, karena sekalipun jumlah mereka banyak, mereka tak lebih dari kumpulan buih di lautan.
Disinilah sebenarnya urgensi mengembalikan persoalan ini pada tempatnya, yakni bagaimana mengembalikan masalah persatuan ummat dan kesatuan negara yang menerapkan sistem Islam ini sebagai masalah yang sangat penting bagi kaum muslimin. Karena pemahaman inilah yang akan mendorong umat untuk berjuang merealisasikannya, hingga kemuliaan sebagai khoiru ummah akan terraih kembali.
Kendala Membangun Kembali Persatuan HakikiHanya saja, tak bisa dipungkiri bahwa membangun kesadaran dan keyakinan tentang pentingnya persatuan ummat ini, yakni dengan cara menegakkan Khilafah yang akan menerapkan sistem Islam atas seluruh kaum muslimin, memang bukanlah perkara yang mudah. Karena, sekalipun secara fakta kaum muslimin sudah mulai merasakan rusaknya sistem kehidupan yang melingkupi mereka selama ini, dan mulai tumbuh kesadaran pada sebagian mereka untuk kembali kepada tuntunan Illahi, akan tetapi kesadaran tersebut belum betul-betul tertancap dalam akal dan hati mereka. Apalagi, selama ini mereka memang telah kehilangan gambaran yang utuh dan benar mengenai realitas persatuan umat dan penerapan syari’at Islam dalam kehidupan, terutama dalam kerangka Khilafah Islamiyah yang bersifat mondial.
Hal ini nampak pada munculnya berbagai pernyataan yang mengekspresikan keraguan –disamping penolakan-- terhadap kemungkinan membangun persatuan hakiki pada tataran kekinian. Ungkapan-ungkapan yang muncul, antara lain :
Bahwa secara realitas, ummat Islam adalah ummat yang sangat heterogen, baik dalam aspek kebangsaan, sejarah, budaya dan bahasa. Karenanya, tidak mungkin menyatukan ummat Islam dalam satu wadah kenegaraan. 1)
Bahwa secara realitas pula, kaum muslimin terpecah dalam berbagai kelompok/ madzhab yang masing-masing memiliki ‘tafsir’ tersendiri mengenai syari’at dan bagaimana menerapkannya. 2)
Bahwa masih banyak perbedaan khilafiyah di kalangan umat yang sangat sulit dipersatukan.
Bahwa kaum muslimin di masing-masing negeri tengah disibukkan dengan berbagai persoalan internal yang membuat mereka tak berkesempatan memperhatikan ‘nasib’ saudaranya di negeri-negeri yang lain, apalagi berpikir tentang keinginan membangun persatuan secara politik di antara mereka . 3)
Bahwa terdapat perbedaan yang diametral antara struktur masyarakat zaman Nabi dengan struktur masyarakat modern, sehingga pemaksaan untuk menerapkan Islam ‘apa adanya’ hanya akan berbuah kegagalan. 4)
Bahwa sekalipun diakui Khilafah Islam pernah ada dan telah mampu menunjukkan supremasi dan kegemilangannya di panggung sejarah, namun upaya mengembalikannya pada realitas kekinian adalah sesuatu yang utopis, mengingat begitu banyak problematika sosiologis-historis umat Islam kontemporer yang menegasikan kemungkinan sistem ini diterapkan kembali. 5)
Dari paparan diatas, kita bisa melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya keraguan bahwa kaum muslimin bisa bersatu dalam persatuan hakiki di bawah bendera Khilafah, di antaranya :
1) Adanya pemikiran nasionalisme yang membuat kaum muslimin terkotak-kotak berdasarkan asas kebangsaan atau kesukuan, dan --pada saat yang sama-- mengalahkan ikatan iman yang (seharusnya) ada dalam diri mereka. Sesungguhnya, keberadaan paham ‘rusak’ inilah yang selama ini menyulitkan kaum muslimin, tak terkecuali para aktivis gerakan Islam, untuk bisa membayangkan bagaimana realitas persatuan hakiki umat yang harus diperjuangkan, apalagi dalam bentuk satu wadah institusi khilafah.
2) Berkembangnya paham demokrasi yang sangat mengagungkan pluralisme, termasuk pluralisme politik, jaminan atas HAM dan sebagainya.6). Paham ini menolak terjadinya penyatuan umat dalam satu kultur (terutama kultur politik), karena bagi demokrasi, dominasi kultur tertentu dianggap sebagai pengingkaran terhadap realitas masyarakat yang plural dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak mendasar manusia.
Padahal jika kita telaah nash-nash syara’ dan realitas penerapan Islam dalam sejarah, maka kita akan temukan bahwa pluralitas masyarakat tidak menjadi penghalang bagi terwujudnya kesatuan jamaah dan sistem. Karena Islam telah memecahkan persoalan heterogenitas masyarakat ini dengan mengembalikannya pada standar yang satu, yakni ikatan akidah dengan kepurnaan sistem hukum yang dibangunnya. Justru ikatan inilah yang terbukti mampu menjadikan masyarakat yang plural tadi menjadi masyarakat yang solid dan ‘sempurna’ hingga lebih dari 13 abad.
3) Terdapat kekaburan persepsi mengenai hal-hal yang perlu dipersatukan dan hal-hal yang boleh berbeda. Ini nampak ketika mereka menganggap bahwa adanya perbedaan pendapat dalam perkara-perkara khilafiyah di tengah masyarakat akan menjadi penghalang bagi terwujudnya persatuan ummat. Padahal selama perbedaan itu tidak menyangkut persoalan aqidah, ataupun menyangkut hukum-hukum syara’ yang tegak di atas dalil-dalil yang qath’iy, maka perbedaan tersebut dianggap absah dan dianggap sebagai bagian dari kekayaan khazanah fiqih Islam. Sehingga adanya perbedaan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak upaya penyatuan umat Islam di bawah satu wadah institusi politik.
4) Ada pula yang beranggapan bahwa ide penyatuan kaum muslimin di bawah bendera Khilafah berarti penyeragaman dalam segala hal. Sehingga yang terbayang adalah kesan otorita-rianisme dan kekejaman penguasa seperti yang pernah terjadi dimasa kemunduran Islam (Contohnya kasus Imam Ahmad bin Hambal). Padahal, sekalipun khalifah memiliki hak legislasi (tabbaniy) atas suatu pendapat, sesungguhnya hak itu hanya menyangkut perkara-perkara yang memang akan menentukan corak masyarakat (seperti aturan-aturan kemasyara-katan/’anzhimat al-mujtama’; meliputi sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, persanksi-an dan lain-lain). Adapun perkara-perkara yang menyangkut individu, seperti urusan ibadah, maka hal tersebut diserahkan kepada pendapat masing-masing, selama dipastikan pendapat tersebut merupakan pendapat yang Islami, yakni yang dilandaskan pada dalîl atau syubhah ad- dalîl.
5) Terdapat ketidakjelasan gambaran hakekat persatuan yang diharapkan oleh kaum muslimin, sehingga seruan untuk menggalang ukhuwwah Islam seringkali diartikan sebatas seruan moral individual saja, atau kalau dalam tataran politik internasional, ukhuwwah Islamiyah hanya tergambar dalam bentuk kerjasama antar dunia Islam (seperti OKI) dan bukan kesatuan sistem politik dalam bentuk Khilafah.
Kondisi-kondisi inilah yang saat ini menjadi salah satu kendala internal terbesar bagi upaya mewujudkan persatuan ummat di bawah naungan khilafah Islam. Mengingat, perkara yang seharusnya termasuk ma’lûmun min ad-dîni bi ad-dharûrah justru masih dianggap asing oleh masyarakat kaum muslimin sendiri. Oleh karena itulah, maka menjadi kewajiban para pengemban dakwah untuk menghilangkan berbagai tabir yang menutupi kebenaran dan keniscayaan ide persatuan dan khilafah ini, termasuk membongkar kerusakan pemikiran-pemikiran yang menghalanginya, dengan cara melakukan berbagai langkah dakwah di tengah-tengah mereka. Adapun targetnya adalah memberi keyakinan pada ummat bahwa persatuan seluruh kaum muslimin bukanlah perkara yang utopi, melainkan suatu hal yang pasti. Sehingga dengan keyakinan ini umat akan tergerak untuk berjuang bersama mewujudkan persatuan hakiki tersebut dalam realitas kehidupan.
Langkah-Langkah Membangun Keyakinan Ummat Untuk BersatuSetidaknya ada dua pendekatan yang bisa diambil untuk meyakinkan ummat akan keniscayaan membangun persatuan yang hakiki dalam realitas kekinian, yakni melalui pendekatan I’tiqadi dan pendekatan faktual. Pendekatan I’tiqadi dilakukan dengan cara menjelas-kan, bahwa menjaga persatuan kaum muslimin dan menghindari perpecahan di antara mereka sesungguhnya merupakan perintah syara’ yang harus diyakini sebagai konsekwensi keimanan kepada Allah SWT. Adanya kedua perintah Allah ini menunjukkan bahwa membangun persatuan dan meninggalkan perpecahan di kalangan umat sesungguhnya merupakan hal yang pasti bisa dilakukan. Sebab, Allah SWT tidak mungkin memerintahkan suatu kewajiban yang pelaksanaan/ pengabaiannya akan dihisab, sementara perbuatan tersebut tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Berkenaan dengan perintah Allah ini, ada banyak dalil yang bisa disampaikan beserta tafsirnya, di antaranya firman Allah dalam QS. Al-Hujurat : 10 :
“ Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara”.Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum mukminin adalah dalam hal dien dan kehormatan, bukan dalam nasab. Sementara itu, dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan ingatl;ah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (TQS. Ali Imran : 103).
Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa hampir terprovokasinya kaum Aus dan Khajraj oleh orang-orang Yahudi yang mengungkit-ungkit permusuhan mereka di masa lalu. Ketika kejadian ini sampai pada Rasulullah, lalu beliau mengingatkan mereka dengan bersabda :
“Apakah kalian hendak membangga-banggakan dan menonjol-nonjolkan semangat jahiliyyah padahal aku ada di antara kalian?” Para sahabat Anshar dari kedua suku itupun menyesal dan langsung meletakkan senjata mereka masing-masing.
Dalam hal ini, para ulama Tafsir menafsirkan ayat ini dengan nada yang sama, yakni memerintahkan kaum mukmin untuk bersatu atas dasar Islam dan hukum-hukum Islam (Imam Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim I/477 dan Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf I/386). Sementara itu, Imam Ibnu Katsir mengutip pula sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT meridlai kalian tiga perkara dan memurkai kalian tiga perkara, Allah meridlai kalian jika kalian 1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, 2) berpegang kepada tali Allah dan tidak bercerai berai, 3) kalian sering menasehati orang yang diserahi Allah kekuasaan/wewenang untuk urusan pemerintahan kalian …….” Demikian pula nash-nash yang sudah diungkap diawal sesungguhnya merupakan hujjah atas permasalahan ini.
Adapun pendekatan faktual bisa dilakukan dengan menghadirkan berbagai realitas yang mudah dijangkau, hingga kaum muslimin mampu meraba keberadaan ide persatuan dan kesatuan negara sebagai sesuatu yang riil, dan bukan utopi. Misalnya dengan cara menjelaskan bahwa secara thabi’i manusia membutuhkan persatuan, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan ketentraman; bahwa saat inipun dunia sudah memiliki kecenderungan untuk menyatu, sehingga dunia seolah telah menjadi sebuah ‘dusun kecil’; dan bahwa secara realitas ikatan-ikatan yang selama ini ‘mempersatukan’ mereka terbukti merupakan ikatan yang lemah dan rusak, sehingga memunculkan dorongan pada diri mereka untuk segera menanggalkan pemikiran-pemikiran tersebut, dan lain-lain.
Sesungguhnya, banyak peristiwa aktual yang bisa dijadikan contoh riil bagi keniscayaan membangun persatuan umat saat ini. Diantaranya fakta-fakta aktual seputar usaha AS untuk bisa menggenggam dunia dalam kepalan tangannya agar dapat mengatur dunia dengan sistem kapitalisme yang dia emban. Begitu pula dengan upaya berbagai negara di seluruh belahan dunia untuk mengokohkan kesatuannya, seperti negara-negara Eropa yang membentuk Uni Eropa dan di Asia Tenggara dengan AIPO-nya. Ataupun fakta Daulah Khilafah Islam masa lalu, yang meskipun jaman itu dikenal sebagai jaman onta, akan tetapi terbukti mampu menyatukan lebih dari 2/3 dunia lama yang memiliki keaneka ragam bangsa, bahasa, adat istiadat, negara dan sistem perundang-undangan. Tentulah di jaman super modern seperti sekarang ini, mewujudkan kembali persatuan umat dan kesatuan negeri-negeri Islam di seluruh dunia bukan suatu hal yang sulit. Apalagi dengan kesamaan keyakinan terhadap aqidah dan ideologi Islam, beserta unsur-unsur pendukung lainnya, umat Islam memiliki kans yang sangat besar untuk bersatu dan menjadi umat adidaya dunia di bawah naungan khilafah.
Langkah-Langkah Membangun Persatuan Kaum Muslimin Tentu saja, untuk mewujudkan persatuan umat Islam dalam sosok yang riil tidak cukup hanya dengan bekal keyakinan akan keniscayaannya saja. Akan tetapi lebih dari itu, umat Islam harus memiliki gambaran yang benar tentang ‘wujud’ persatuan yang akan dibangunnya, sehingga mereka tidak kembali terjebak pada ‘isu persatuan’ yang sifatnya semu dan sloganis.
Harus digambarkan, bahwa persatuan kaum muslim yang sebenarnya adalah persatuan yang kokoh dan dinamis. Ibarat satu tubuh, ketika satu bagian merasa sakit, maka yang lain akan merasakan demamnya, atau secara refleks tubuh yang lain bereaksi untuk melakukan tindakan yang akan menghilangkan rasa sakit itu. Demikian pula dengan persatuan kaum muslimin. Tatkala kaum muslimin di negeri yang lain tersakiti, maka saudara-saudara mereka di negeri yang lain akan berupaya membantu saudaranya dengan memaksimalkan segenap kemampuan mereka, tanpa berpikir lagi tentang perbedaan bangsa, bahasa ataupun budaya mereka.
Kondisi ideal ini, tentu tidak mungkin terwujud jika kaum muslimin masih hidup dalam habitat keterpecahbelahannya seperti sekarang ini. Kepelbagaian negara dimana mereka hidup dengan segala atribut sistem perundang-undangannya dan pembatasan-pembatasan wilayah kenegaraannya, justru akan tetap menjadi penghalang terbesar bagi kaum muslimin untuk mengekspresikan rasa ukhuwwahnya secara kongkrit terhadap saudara-saudara mereka di negeri-negeri yang lain. Oleh karenanya, sudah saatnya kaum muslimin mencampakkan keterpecahbelahan itu, dengan cara meleburkan diri dalam satu kepemimpinan, satu negara dan satu perundang-undangan, yakni sistem pemerintahan Islam yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Karena hanya dan hanya dengan Khilafahlah, kaum muslimin bisa dipersatukan, melalui penerapan syari’at Islam secara kâffah oleh seorang khalifah yang dibaiat atas dasar keridhaan mereka. Daulah Khilafah Islam ini pulalah yang akan menghimpun seluruh potensi umat Islam, menjadi payung pelindung buat mereka dan menyatukan dunia Islam hingga dapat membangun kembali peran internasionalnya, melawan penindasan orang-orang kafir dan menyebarkan rahmat Islam melalui dakwah dan jihad fî sabîlillâh.
Inilah yang seharusnya dipahami, bahwa selain sebagai kewajiban syar’i, menegakkan Khilafah sebagai institusi penerap hukum Islam dan pemersatu umat Islam di seluruh dunia sesungguhnya juga merupakan sebuah urgensi. Oleh karenanya, ide khilafah dengan segala penjelasannya yang rinci harus terus-menerus disebarluaskan ke tengah-tengah umat, sehingga sedikit demi sedikit bisa mengikis keraguan mereka akan tegaknya kembali sistem ini di tengah-tengah mereka, termasuk membantah berbagai pendapat yang menolak gagasan khilafah. Caranya, tidak lain dengan menggencarkan penyebaran opini dan menginteraksikan ide-ide Islam kaffah maupun ide khilafah di tengah-tengah umat melalui proses peleburan (kontak aktif) para aktivis dakwah syariah-khilafah secara riil ke tengah umat, dengan menggunakan berbagai uslub (cara) yang dianggap bisa menghantarkan pada terrealisasinya target tersebut.
Diharapkan, pada akhirnya kaum muslimin akan memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya bergerak bersama mewujudkan Islam dan mewujudkan Khilafah Islam dalam kehidupan. Sekaligus menjadikan perkara ini sebagai agenda perjuangan bersama. Karena bagaimanapun, gagasan mengenai penerapan syariat Islam dalam bentuk khilafah yang demikian ideal, hanya akan menjadi sebatas idealita saja jika tidak ada upaya mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Dan upaya mewujudkan keduanya tentu bukan hanya tugas satu kelompok dakwah saja. Bahkan tidak mungkin dipikul oleh kelompok itu saja, melainkan harus dilakukan secara bersama oleh seluruh komponen umat yang berkesadaran. Karena ‘proyek’ ini merupakan proyek yang besar, menyangkut eksistensi dan kemuliaan umat dimasa depan.
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (TQS. Muhammad : 7)
Wallahu a’lam bi ash-shawwab [SNA, 2001]
--------------
Catatan Kaki :1). Pendapat ini salah satunya disampaikan oleh Prof. Dr.Quraisy Shihab ketika mentafsirkan QS. Al-Anbiya (21) : 92 dan Al-Mukminun (23) : 52 yang makna umumnya “Sesungguhnya umat ini adalah ummat yang satu” dan QS. Al-Maidah : 48 yang artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dijadikan-Nya satu ummat saja …”. Beliau mentafsirkan ayat ini dengan menyatakan : “sebagaimana dipahami dari perandaian ayat ini, maka tidak dapat diklaim bahwa al-Qur’an menuntut penyatuan ummat Islam seluruh dunia dalam satu wadah persatuan. Juga tidak bisa dikatakan bahwa Islam menolak paham kebangsaan”. (Majalah UMMAT No.4/I dalam AL-Islam lama edisi 94)
2). M. Dawam Rahardjo dalam Artikelnya “Islam Radikal vs Islam Liberal”, Tempo 12 Januari 2003 menyatakan, karena fikih sendiri sangat beragam dan biasanya dibedakan menurut madzhab-madzhab, lantas apakah negara harus menetapkan madzhab tertentu untuk diberlakukan? …. dan siapa yang (berhak) merumuskan ketentuan fikih menjadi hukum positif?
3). Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Rektor Unuversitas Al-Azhar Mesir pada harian Al-Qabas terbitan Kuwait 20 September 1996 (dalam tulisan Sharim Abdul Matiin, Khilafah Islam Adalah Tuntunan Syari’ah Allah) menyatakan : “Tidak ada larangan bagi setiap negeri Islam untuk memiliki pemimpinnya sendiri yang akan bertanggungjawab terhadap negerinya itu. Hal ini terutama setelah banyak terdapat negeri-negeri Islam dan tersebarnya kaum muslimin di belahan bumi Timur, Barat, Utara dan Selatan. Jadi tak ada larangan bagi setiap negeri Islam itu untuk mempunyai presiden, raja atau emir –yang akan dibantu oleh para menteri—dan para penguasa (ulil amri) di negara tersebut”.
4). Ulil Abshar ‘Abdalla, Islam Kafah, Mungkinkah? Dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, JIL, hal. 301. Dia menyatakan : “Agama yang kaffah itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami sofistikasi kehidupan seperti jaman modern. Masyarakat Medinah pada jaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti jaman ini…… Ledakan-ledakan bidang kehidupan jaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama” Kegagalan Taliban di Afghan dan Ikhwanul Muslimin di Mesir sering dijadikan contoh kasus.
5). Pendapat ini antara lain disampaikan oleh Dr. Abdul Hamid Mutawwaly (Mabaadi’ Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal 548 dalam tulisan Sharim Abdul Matiin, ibidem). Ia berkata : “Tegaknya Pemerintahan Islam di masa sekarang sama halnya dengan ijma ulama, sehingga ia merupakan hal yang mustahil”. Sementara itu Syaikh Muhammad Abu Zahra (al-Waldatu al-Islamiyah, hal 64-67 dalam Sharim, ibidem) menyatakan : “Tidak boleh kita mendakwahkan untuk menegakkan suatu negara bagi dunia Islam, supaya tidak terganggu kedudukan para raja dan pemimpin-pemimpin. Kesatuan politik tidak bisa ditegakkan melalui negara kesatuan karena hal ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi”. Adapun di Indonesia, pendapat seperti ini sisampaikan oleh Drs. Moeflich Hasbullah, MA, Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam Makalahnya ; “Rekonstruksi” Khilafah : Dari Romantisme Historis ke Realitas Kontemporer” yang disampaikan pada Peringatan 76 Tahun Diruntuhkannya Khilafah Islamiyyah, LPDI Bina Ummah, Bandung, 12 Maret 2000.
6). Saiful Mujani, Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi, Wajah Liberal Islam di Indonesia, ibidem, hal 24.
Belum ada tanggapan untuk "KAUM MUSLIMIN BERSATU DALAM NAUNGAN KHILAFAH, UTOPISKAH ?"
Posting Komentar