(Sekedar Untuk Bahan Retrospeksi)
Oleh : Siti Nafidah Anshory
PendahuluanKrisis multidimensi yang kian parah dialami kaum Muslim di negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, telah menginspirasi munculnya berbagai gerakan Islam yang berupaya melakukan proses perubahan sosial untuk mengembalikan Islam ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka menyadari, bahwa sumber dari berbagai krisis tersebut tidak lain adalah penerapan sistem kapitalis sekuler yang dipaksakan atas kaum muslim serta akibat jauhnya kehidupan mereka dari nilai-nilai dan hukum-hukum Islam. Oleh karenanya, membentuk ‘masyarakat yang Islami’ melalui upaya penegakkan syari’at Islam kini menjadi sebuah cita-cita besar yang didamba dan diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam, dimanapun mereka berada.
Hanya saja, pada tataran praktisnya keberadaan gerakan-gerakan Islam tersebut tak urung memunculkan persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Ini mengingat, masing-masing gerakan memiliki keragaman platform mengenai arah perubahan dan sosok masyarakat Islami yang ingin diwujudkan, beserta cara dan metoda yang akan ditempuh dalam melakukan proses perubahan tadi. Hal inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan kebingungan di kalangan masyarakat awam. Apalagi berbagai perbedaan tersebut tak jarang berujung pada munculnya konflik internal dan eksternal yang tentu sangat kontraproduktif bagi upaya mewujudkan masyarakat Islami sebagai versus bagi sistem kehidupan yang sudah rusak tadi.
Secara fakta, setidaknya kita bisa membagi gerakan-gerakan Islam ke dalam dua kelompok besar, yakni gerakan Islam yang bersifat non-politis (jam’iyyah/ormas) dan gerakan Islam yang bersifat politis (hizb/partai). Gerakan Islam non politis umumnya memilih metode perbaikan masyarakat (ishlahiyyah/reformasi) sebagai metoda (thariqah/manhaj) perjuangannya, yakni dengan memilih penekanan pada salah satu aktivitas parsial sebagai khiththah ‘amal mereka, seperti pada aspek pendidikan dan perbaikan akhlaq, kerja sosial, dan lain-lain. Gerakan ini diwakili Jamaah Tabligh, Muhammadiyyah, Persis dan NU. Sementara, gerakan Islam yang bersifat politis secara garis besar bisa dibagi atas tiga kelompok. Pertama, gerakan yang memilih jalur demokrasi untuk mereformasi keadaan masyarakat yang sudah rusak melalui perubahan undang-undang, setahap demi setahap (tadarruj). Caranya tidak lain dengan berusaha masuk ke dalam parlemen pemerintahan non Islam melalui keikutsertaannya dalam Pemilu (perjuangan ishlah intra-parlementer). Gerakan ini diwakili Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordan, PAS di Malaysia, Partai Refah di Turki, FIS di Al-Jazair dan PKS di Indonesia. Kedua, gerakan yang memilih berjuang melakukan perubahan secara mendasar di luar sistem tanpa kekerasan (taghyir/revolusi ekstra-parlementer), karena gerakan ini memandang, bahwa proses reformasi parsial yang bersifat tambal sulam tidak akan pernah bisa mengubah keadaan masyarakat sekuler yang rusak sejak akarnya menjadi masyarakat Islam. Gerakan ini diwakili Hizbut Tahrir yang berjuang di berbagai negeri Islam dan non Islam seperti halnya Australia, Amerika dan Inggris. Ketiga adalah gerakan yang memilih melakukan perubahan sosial dengan cara mengangkat senjata (menggunakan kekuatan/revolusi fisik) untuk melawan dan sekaligus mengganti pemerintahan non Islam menjadi pemerintahan Islam. Gerakan ini diwakili Tandzimul Jihad di Mesir.
Gerakan Islam dan Jebakan DemokrasiPada faktanya, gerakan Islam yang kini dianggap lebih populer dan paling menjanjikan bagi keberhasilan upaya penegakkan syari’at Islam adalah gerakan Islam politis ishlah intra-parlementer. Ini terbukti dengan kemunculan dan keterlibatan partai-partai politik Islam dalam setiap kegiatan Pemilu di berbagai negeri Islam yang mayoritas memang menganut sistem demokrasi. Di Indonesia sendiri, perhelatan pesta demokrasi ini senantiasa diramaikan juga oleh partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Bahkan dalam beberapa kali Pemilu beberapa partai Islam dan partai berbasis massa Islam kerap bersaing di ajang Pemilu.
Di antara partai-partai tersebut ada yang secara tegas menetapkan tujuannya untuk mewujudkan struktur masyarakat yang tegak di atas Syari’at Islam meski dalam kerangka sistem demokrasi, dan ada pula yang ‘sekedar’ bertujuan menerapkan nilai-nilai moral Islam ke dalam struktur masyarakat yang diperjuangkannya. Hanya saja, lepas dari perbedaan tersebut, seluruh partai Islam tadi berkeyakinan, bahwa dengan cara demokratis inilah, yakni berjuang melalui parlemen, kondisi ummat akan berubah ke arah yang lebih baik.
Keyakinan sebagian kalangan Islam terhadap keampuhan gerakan intra-parlementer sebagai cara/metoda penerapan syari’at Islam sebenarnya dilandasi oleh beberapa alasan. Selain karena metoda gerakan seperti ini dianggap lebih ‘arif’ dan ‘realistis’ bagi realitas kekinian, juga karena cara ini dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang menghendaki kemudahan, bersikap moderat dan menolak ekstrimitas. Tentang hal ini, mereka berhujjah dengan beberapa nash, diantaranya QS. Al-Baqarah : 143 “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian sebagai umatan wasathan (yang mereka artikan sebagai umat yang moderat) ….”, serta nash hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dimana Rasul SAW bersabda : “Buatlah yang lebih mudah dan jangan mempersulit. Buatlah mereka suka dan jangan buat mereka lari”.
Jika ditelaah lebih jauh, alasan-alasan yang dikemukakan aktivis gerakan ishlah intra parlementer ini sesungguhnya sangat sejalan dengan logika demokrasi yang kadung menjadi state of mind (kerangka berpikir) mayoritas kaum muslim, tak terkecuali di kalangan aktivis gerakan Islam. Senyatanya, logika perjuangan via parlemen (memang) lebih mudah dicerna dibandingkan dengan logika perjuangan ekstra-parlementer; mendirikan parpol, ikut dalam pemilu, berkampanye, memenangkan suara, duduk di parlemen dengan suara mayoritas (minimal 50 persen plus 1), lalu mengubah hukum sekuler menjadi syari’at Islam. Sementara itu, keberadaan gerakan politik yang berorientasi taghyir ekstra-parlementer –dengan kekhasan coraknya yang sangat ideologis dan non-kompromistik-- hingga kini justru masih dianggap ‘asing’ dan tidak realistis, bahkan utopis. Selain karena cenderung ‘melawan arus’, cost (resiko/biaya, tenaga dan waktu) yang harus dikeluarkannya juga dianggap terlalu besar, sekalipun ini dilakukan tanpa kekerasan. Adapun gerakan ishlah non politis, baik yang bergerak dibidang pendidikan, moral maupun amal khoiriyat/sosial sudah sejak lama dianggap tidak bisa diharapkan akan menghasilkan perubahan sosial yang menyeluruh dengan terwujudnya masyarakat Islam, mengingat yang mereka targetkan memang bukan perubahan struktur masyarakat, melainkan hanya bertujuan untuk memberi solusi-solusi instan bagi persoalan parsial kekinian yang dihadapi umat Islam.
Adapun berkenaan dengan gerakan ishlah intra-parlementer tadi, kontroversi justru muncul ketika banyak kalangan mempertanyakan soal keabsahan dan kesesuaian sistem demokrasi --yang selama ini dijadikan sebagai landasan geraknya-- dengan sistem Islam, yang pada tataran selanjutnya memunculkan pertanyaan baru mengenai boleh-tidaknya ‘memanfaatkan’ sistem demokrasi tersebut bagi upaya perjuangan menegakkan syari’at Islam. Hal ini wajar, terutama jika mengingat bahwa, pada fakta penerapannya sistem ini memang meniscayakan terjadinya kompromi-kompromi sekaligus sikap ‘pembiaran’ terhadap nilai-nilai atau hukum-hukum di luar Islam (sekuler), meski dengan alasan tadarruj (pentahapan) sekalipun.
Tentang hal ini, Syeikh Yusuf Qardlawi 1) yang dikenal sebagai tokoh yang membolehkan gerakan ishlah intra-parlementer dan berpartisipasi dalam pemerintahan non Islam berpendapat, bahwa hakekat demokrasi sesungguhnya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, dimana demokrasi merupakan sarana terbaik untuk menjamin dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan kaum tiran, karena dia mengandung prinsip keadilan, musyawarah, menghormati HAM, memberi beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan, dan lain-lain.2) Dalam hal ini, beliau memang menolak konsep demokrasi yang menyebut bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, jika konsep itu diartikan sebagai hak menetapkan halal dan haram. Demikian juga beliau menolak prinsip mayoritas dalam demokrasi jika konsep ini diartikan berlaku mutlak. Beliau bahkan menekankan konteks demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang berlaku dalam masyarakat Islam yang kebanyakan mereka mengetahui, berakal, beriman dan bersyukur, dan bukan masyarakat yang ingkar dan menyimpang dari jalan Allah.3)
Persoalannya, secara fakta partai-partai Islam yang ada sekarang justru berjuang dalam sistem yang terbukti sudah sangat rusak dengan corak masyarakat yang sekularistik, dimana mayoritas masyarakat kadung memahami dan meyakini demokrasi sebagaimana ‘sejatinya’, yakni sebagai genitas bagi aqidah sekularisme yang terlanjur menempatkan manusia sebagai al-Mudabbir. Akibatnya, wajar jika perjuangan Islam yang mereka lakukan di dalam sistem seolah menjadi sangat ‘dilematis’ dan maju kena mundur kena. Karena ketika di lapangan mereka harus berhadapan dan terpaksa tarik ulur dengan pemikiran dan hukum sekuler yang dalam prinsip demokrasi mau tidak mau memang harus ‘diterima’ dan diakui eksistensinya. Yang kemudian terjadi pada akhirnya adalah, prinsip jalan tengah yang mereka tempuh hanya kian memposisikan Islam dalam posisi marginal; selalu terkalahkan!
Tak Hendak Menuding, Tapi Sekedar Mengajak Berhitung Dengan mencermati fakta yang ada, sesungguhnya siapapun bisa melihat, bahwa gerakan perbaikan lewat parlemen memiliki sejumlah kelemahan, yaitu :
1. Banyaknya partai-partai Islam di dalam parlemen membuat suara ummat terpecah, sehingga tidak mungkin ada partai Islam yang mendapat suara cukup besar. Sebagai konsekuensinya, wakil partai di parlemen juga sedikit. Padahal :
Dengan jumlah yang sedikit dan masing-masing partai memiliki kepentingan sendiri-sendiri (tidak ada kesamaan visi dan misi), maka suara dari partai-partai Islam menjadi tidak berarti dalam parlemen yang bersistem demokrasi ini.
Adanya partai-partai Islam yang memilih berkoalisi dengan partai nasionalis membuat suara ummat semakin hilang.
Ditambah dengan adanya aturan Pemilu 2004, yaitu penghapusan aturan stambus accord (penggabungan sisa suara) dan tidak adanya pengalihan suara antar partai dari suatu daerah pemilihan ke daerah lain memungkinkan partai politik Islam memperoleh suara jauh di bawah yang diharapkan.
2. Pemecahan masalah yang dilakukan dalam parlemen adalah berdasarkan sistem demokrasi, dimana sistem ini mengharuskan adanya pengakuan atas perbedaan pendapat dan menjadikan kompromi sebagai jalan keluarnya. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan yang muncul akibat beragamnya ideologi partai harus dipecahkan dengan cara mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan kelompok-kelompok anti syari’at Islam. Dengan demikian, pemecahan yang diambil dipastikan tidak bisa murni berdasarkan solusi Islam.
3. Dengan prinsip sekulerisme yang dianut oleh negara, menjadikan mereka terjebak dalam perjuangan parsial, bahkan akhirnya seringkali hanya mengedepankan esensi, ketimbang berupaya sungguh-sungguh menerapkan hukum-hukum Islam secara nyata. Dengan kata lain, aqidah sekulerisme yang kini melandasi kehidupan bernegara, termasuk mendasari berbagai aturan main di parlemen, secara pasti akan memustahilkan keberhasilan perjuangan penegakkan syari’at Islam. Karena bukankah sekulerisme memang menolak campurtangan agama dari kehidupan?
Lebih dari itu, fakta-fakta perjuangan berbagai gerakan intra-parlementer di berbagai negeri Islam yang menerapkan demokrasi sesungguhnya bisa menguatkan hal tersebut. Di Indonesia, dalam sekian kali pemilu, mulai dari yang dianggap kurang demokratis hingga yang dianggap paling demokratis sekalipun, prestasi partai-partai politik Islam belum ada yang mengesankan. Bahkan pada Pemilu tahun 1999, perolehan suara kumulatif partai-partai Islam (yang pada faktanya terpecah-pecah karena perbedaan visi) masih sangat jauh di bawah partai nasionalis sekuler. Prestasi tertinggi dicapai pada pemilu tahun 1955 yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis dan liberal, dimana partai Islam memperoleh suara sekitar 40 persen lebih sedikit, akan tetapi sekali lagi, jumlah itupun terpecah pada beberapa partai Islam. Untuk pemilu 2004 sebagian kalangan bahkan memprediksi hal yang ‘tak jauh berbeda’ dengan kondisi sebelumnya. Adanya kekecewaan umat Islam terhadap partai-partai Islam yang ternyata tidak jauh berbeda dengan partai-partai sekular; sarat konflik dan kurang peduli dengan nasib rakyat, serta upaya sekularisasi dan depolitisasi umat Islam yang kian gencar menjadi alasan penguat bagi analisa tersebut di atas.
Di Malaysia, nasib yang sama juga dialami Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang mengklaim sebagai representasi dari kepentingan kelompok Islam yang ingin melaksanakan hukum Islam di pentas politik nasional. Sejak berdiri, PAS tidak pernah memperoleh suara signifikan dan justru dari pemilu ke pemilu perolehan suaranya terus merosot, kalah jauh oleh aliansi partai-partai dalam Barisan Nasional yang didominasi UMNO.4)
Ketikapun pada faktanya partai-partai Islam berhasil memperoleh suara yang cukup signifikan, maka persoalan lain pun bermunculan. Untuk kasus-kasus dimana perolehan suara mereka tidak bisa mencapai mayoritas mutlak, maka partai Islam biasanya dihadapkan pada pilihan untuk membentuk pemerintahan koalisi atau melakukan aliansi. Dan kenyataannya, pemerintahan semacam ini menjadi hambatan bagi upaya merealisasikan agenda-agenda politik yang secara spesifik (seharusnya) diperjuangkan oleh partai-partai Islam tersebut. Bahkan pada tataran praktisnya, partai Islam seringkali ‘terpaksa’ harus mengesampingkan agenda politik Islam yang tidak bisa diakomodir oleh partai-partai lain yang menjadi koalisinya. Inilah yang pernah terjadi pada Ikhwanul Muslimin yang sepanjang tahun 1984 ‘terpaksa‘ beraliansi dengan Partai Wafd Baru dan pada tahun 1987 ‘terpaksa‘ beraliansi dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Liberal agar bisa merebut kursi.5) Sementara itu, untuk kasus-kasus dimana partai Islam berhasil merebut suara mayoritas mutlak, maka mereka akan dihadapkan pada dua pilihan ‘sulit’, yakni menduduki kekuasaan dengan melanjutkan sistem sekuleris yang kufur, atau menolaknya dengan resiko diberangus oleh pemerintah berkuasa dan dicap sebagai organisasi terlarang karena hendak mengganti undang-undang dasar. Kenyataan inilah yang dialami Partai Refah di Turki yang ‘terpaksa’ harus tetap menghormati konstitusi sekuler Turki berikut prinsip-prinsip demokrasi dan sekulerisme Attaturk, dan dialami partai FIS di Al-Jazair yang kemudian diberangus oleh pemerintah yang didukung Barat justru setelah memperoleh kemenangan telak atas partai-partai lain dalam Pemilu yang dianggap paling demikratis di sana. Ini menunjukkan, bahwa para pengemban sistem demokrasi-sekuler tidak akan pernah ridha untuk membiarkan partai Islam mencapai tampuk kekuasaan dan memerintah dengan Islam, sekalipun diperoleh melalui pemilu yang syah.
Timbangan Syariat, Seperti Apa? Hakikatnya, gerakan ishlah intra-parlementer muncul dilandasi dengan pemahaman, bahwa mengubah masyarakat adalah dengan melakukan perbaikan setahap demi setahap (ishlah) dengan cara masuk ke dalam sistem pemerintahan non-Islam yang berasaskan pada sistem demokrasi, terutama ke dalam lembaga-lembaga pembuat keputusan semacam parlemen. Dari konsep ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dicermati berdasarkan sudut pandang syari’at. Yakni hukum perbaikan setahap demi setahap, hukum bergabung dengan pemerintahan non Islam, hukum mengambil sistem demokrasi dan hukum berbagai aktivitas dalam parlemen yang tegak atas dasar demokrasi. Ini mengingat, persoalan mengubah masyarakat dan metoda yang harus ditempuhnya merupakan perkara yang sesungguhnya telah diatur oleh Islam. Sehingga dengan demikian, syari’at Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya sumber dan standar gerakan Islam dalam melakukan perubahan, dan bukan realitas. Realitas dengan berbagai gejalanya tidak lebih merupakan obyek yang harus dihukumi untuk kemudian dipecahkan dengan Islam.
Adapun mengenai konsep ishlah (perbaikan bertahap/parsial/reformasi), maka Islam sesungguhnya telah menetapkan kapan perubahan masyarakat bisa dilakukan secara ishlah dan kapan justru harus secara total dan menyeluruh (taghyir/revolusioner). Akan tetapi penerapannya memang akan sangat tergantung kepada fakta yang menuntutnya. Model dakwah ishlahiyyah bisa dilakukan ketika asas tegaknya masyarakat masih shahih, yakni aqidah Islamiyah. Artinya, masyarakat tersebut masih layak menyandang sebutan sebagai masyarakat Islam dan negaranya sebagai negara Islam (dar/daulah Islam), hanya saja, dalam tubuh masyarakat atau negara Islam tersebut terjadi berbagai kerusakan atau penyimpangan dalam penerapan hukum-hukumnya. Sementara itu, metoda taghyir harus dilakukan terhadap masyarakat atau negara yang secara riil tidak berpijak di atas aqidah Islam, dimana Islam tidak dijadikan sebagai asas bagi UUD, UU dan peraturan perundang-undangan mereka. Inilah yang secara riil dipraktekkan oleh Rasulullah SAW tatkala beliau berupaya mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat Islam. Oleh karena itu, kejelian pengamatan terhadap realitas (tahqiiqul manaath) yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sangatlah penting.
Jika kita amati realitas masyarakat kaum Muslim dimanapun, maka bisa dipastikan bahwa saat ini tidak ada satu komunitaspun yang layak dikatakan sebagai masyarakat Islam atau negara Islam. Karena, asas pengaturan kehidupan mereka dalam bermasyarakat dan bernegara bukanlah aqidah Islam yang menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukumnya. Realitas seperti ini sesungguhnya tidak berbeda dengan kondisi masyarakat pada masa Rasul SAW. Sehingga, metoda dakwah yang harus ditempuh sama dengan metoda da’wah beliau, yakni metoda taghyir melalui perjuangan ideologis untuk merubah sistem secara total dan mendasar. Dengan demikian, aktivitas perubahan yang tidak berlandaskan pada landasan metoda seperti ini justru tidak dapat diterima, sebab selain tidak sesuai dengan realita kondisi masyarakat, juga tidak sesuai dengan tuntunan syari’at yang secara jelas telah dicontohkan oleh baginda Rasul SAW.
Mengenai hukum bergabung (musyaarakah) dengan pemerintahan non Islam, maka aktivitas musyarakahnya sendiri diartikan sebagai turut sertanya kaum muslim dalam pemerintahan yang berdiri bukan dengan asas Islam dan memerintah tidak dengan hukum Islam. Musyarakah biasanya dilakukan dengan mengikuti permainan demokrasi dengan cara masuk ke dalam parlemen dengan tujuan untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa. Dan dengan berlalunya waktu akan sampai pada kekuasaan.6) Sementara itu, aktivitas para anggota parlemen dalam sistem demokrasi --selain melakukan fungsi pengawasan-- adalah membuat dasar negara, undang-undang serta berbagai macam produk hukum atas dasar prinsip mayoritas. Dalam hal ini yang menjadi sandaran adalah pendapat anggota parlemen yang dianggap sebagai representasi kehendak rakyat (kehendak manusia). Hukum-hukum inilah yang akan dan harus diterapkan oleh kepala dalam pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam hal ini, baik anggota parlemen, kepala negara, menteri, MK dan yang lainnya sama-sama terlibat dalam pembuatan, penerapan, serta pelanggengan perundang-undangan dan hukum buatan mereka. Fakta inilah yang juga menunjukkan hakekat dari ruh demokrasi, yang prinsip dasarnya menetapkan, bahwa kedaulatan membuat hukum ada di tangan rakyat/manusia.
Sebagai din yang haq, Islam telah menetapkan bahwa bergabungnya kaum muslim dalam pemerintahan yang tidak tegak atas asas Islam dan tidak berhukum dengan hukum Islam hukumnya adalah haram. Bahkan Islam justru memerintahkan setiap muslim untuk berlepas diri (mufaaraqah) terhadap penguasa seperti itu. Demikian juga dengan aktivitas pembuatan hukum yang sesungguhnya hanya merupakan hak prerogatif Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Di dalam al-Qur’an maupun hadits ditemukan banyak nash yang menunjukkan keharaman tersebut. Nash tersebut antara lain :
Firman Allah SWT :
“…. Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang yang kafir ……” (TQS. Al-Maidah : 44)
“Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (TQS. 12 : 40)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (TQS. Al-Maidah:5)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu ……” (TQS. Al-Maidah:49)
Sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya akan datang kepada kalian para penguasa yang mendekatkan orang-orang jahat (sebagai pembantu dan penasihat di sekitarnya) dan mengakhirkan waktu shalat. Oleh karena itu, siapa saja di antara kalian yang menjumpai hal itu, janganlah menjadi wakil rakyat, polisi, staf administrasi (penulis pendapatan negara) dan bendahara (penyimpan kas negara” (HR. Ibnu Hibban dengan sanad sahih)
“Sesudahku akan ada para pemimpin. Siapa saja yang memasuki (istana) mereka, lalu membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan akupun bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan sampai ke telaga (al-Kautsar). Siapa saja yang tidak memasuki (istana) mereka, tidak membantu kezaliman mereka, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, maka dia termasuk golonganku dan akupun termasuk golongannya, dan dia akan sampai ke telaga (al-Kautsar)” (HR. Imam Ahmad, at-Turmudzi, an-Nasai dan Ibnu Hibban)
Berdasarkan keumuman nash-nash tersebut, jelaslah, bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan seluruh pemikiran cabang yang terbangun di atasnya, termasuk masalah bergabung dengan sistem kufur yang menerapkan hukum-hukum selain Islam hukumnya haram secara syar’i. Sehingga, ketikapun dalam pemikiran cabang demokrasi kita lihat seolah-olah ada kesesuaiannya dengan Islam, maka pemikiran tersebut tetap tertolak karena kufurnya asas yang menjadi landasannya.
Fokus Dakwah Rasulullah SAW, Bergerak di Tengah Umat Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa secara I’tiqadi setiap aktivitas yang dilakukan kaum muslimin harus terikat dengan hukum syara, sehingga sumber sekaligus tolok ukur untuk menentukan jalan yang ditempuh guna mengajak ummat ke arah penerapan Islam secara kaaffah adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun langkah-langkah Rasulullah SAW sesungguhnya merupakan penerapan dan penjelasan yang bersifat amali atas metode yang harus ditempuh. Dengan demikian, metode perubahan selain metoda tersebut adalah batil dan tertolak. Bahkan disamping akan berbuah kegagalan, metoda tersebut akan menjadikannya sebagai amal yang sia-sia.
Merujuk pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah, jelas nampak bahwa beliau memfokuskan perjuangannya pada upaya mengubah pemikiran, perasaan dan aturan yang mengatur interaksi masyarakat jahiliyah masa itu secara total dan mendasar, tanpa bergabung dengan sistem yang ada. Bahkan sejak awal dakwahnya, beliau senantiasa konsisten untuk ‘menjaga jarak’ dan membedakan diri (non kompromi) dengan sistem jahili, sekalipun kesempatan itu ada. Seandainya bergabung dengan kekufuran itu bisa berhasil menegakkan Islam sekaligus mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, tentulah Rasulullah akan menerima dengan senang hati tawaran kaum kafir Quraisy yang membujuk beliau dengan kekuasaan.
Yang beliau lakukan justru secara bersungguh-sungguh menggalang kekuatan ummat di luar sistem. Karena beliau memahami, bahwa kekuatan ummatlah yang sesungguhnya akan secara alami melahirkan sebuah perubahan yang mendasar ke arah yang diinginkan. Inilah yang disebut dengan at-taghyir ‘an at-thariq al ummah. Adapun tahapan perjuangan syar’I yang beliau lakukan dapat dirinci sebagai berikut :
1. Rasulullah SAW menyampaikan da’wah Islam kepada orang-orang yang siap menerima Islam, mengorganisir dan membina mereka, serta menyiapkan mereka untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pembinaan dalam halaqah-halaqah yang mengarah pada terbentuknya kepribadian Islam yang tangguh. Yakni kader-kader yang memiliki pola pikir dan pola jiwa Islami.
2. Rasulullah SAW bersama kelompoknya terjun dalam pertarungan keyakinan dan pemikiran ke tengah-tengah masyarakat dan masuk ke dalam perjuangan politik melawan penguasa dan pemimpin kafir. Di dalam perjuangan itu, Rasul dan kutlah/kelompok beliau menanggung kesulitan yang berat, akan tetapi beliau tetap konsisten menjelaskan kebenaran, menyerang ide-ide kufur tanpa gentar sedikitpun.
3. Segala macam siksaan, penderitaan dan ancaman telah menimpa Nabi dan kelompoknya. Akan tetapi semua itu tidak memalingkan mereka dari Islam. Mereka tetap mengembannya, bersabar dan terus menyebarkannya. Dengan tegas beliau menolak penyamaan dan penyetaraan Islam dengan yang lainnya. Beliau juga menolak secara tegas segala macam rayuan, termasuk untuk mengambil bagian dalam kekuasaan kufur demi mencapai tujuan parsial. Beliau juga menolak mengambil harta atau tawaran kompromi dalam perkara kekufuran. Ketika Orang-orang kafir Quraisy menawarkan konsep penyembahan yang mendua sebagai bentuk kompromi, beliau justru menyampaikan “Katakanlah : “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kalian tidak akan menyembah yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku” (TQS. Al-Kafirun:1-6). Atau ungkapan beliau yang terkenal :
”Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan urusan ini atau aku binasa karenanya.” 7) Beliau terus menjelaskan dakwahnya, menghilangkan kekufuran dan menghilangkan pemikiran kufur, mengingatkan orang-orang kafir terhadap siksa yang pedih seraya mencela keyakinan-keyakinan dan mimpi mereka.
4. Ketika kejahatan orang-orang kafir makin bertambah-tambah, maka Rasulullah menganjurkan kepada para sahabatnya untuk berhijrah ke Habsyah demi menyelamatkan agama dan kutlah mereka. Sementara itu, beliau tetap berada di Makkah untuk melanjutkan dakwah. Kemudian ketika masyarakan kian jumud terhadap dakwah akibat kian kuatnya penindasan, Rasulullah lalu mendatangi kabilah-kabilah lain seraya menyeru mereka kepada Islam, meminta pertolongan mereka agar mereka mendukung dan menolong penerapan Islam.
5. Aktivitas Rasul terus berlangsung dalam mencari pertolongan dakwah (thalabun nushrah) tanpa membatasi pada kabilah tertentu, baik yang ada di kota Makkah maupun yang ada di luar kota Makkah. Beliau tidak marah kepada mereka sekalipun mereka menolak belaiau dengan penolakan yang buruk, hingga Allah SWT mendatangkan pertolongan dengan berimannya para pembesar dan anggota kabilah Aus dan Khazraj beserta mayoritas masyarakat Madinah yang sebelumnya telah terbina melalui tangan Mush’ab bin Umair. Lalu Rasulullah meminta pertolongan mereka untuk mendirikan negara Islam di Medinah. Dan ketika mereka setuju, Nabi berakad dengan mereka melalui Baiat Aqabah II yang esensinya merupakan akad penyerahan kekuasaan para penguasa Medinah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau berhijrah ke Medinah dan dengan kedatangan beliau berdirilah negara Islam pertama di Madinah.
Demikianlah proses perubahan revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah SAW hingga tegaknya negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah, dimana sejak saat itu pula beliau mengokohkan pilar-pilar negara dan memulai aktivitas jihad untuk meninggikan kalimat Allah dan untuk mengemban dakwah kepada seluruh manusia, Hingga Islam menjadi sistem hidup yang mendunia, dan berhasil membuktikan keberadaannya sebagai Rahmatan lil ‘alamiin.
Khatimah Dari gambaran ini, jelaslah bahwa kunci keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW adalah konsistensi beliau terhadap kemurnian ideologi yang secara sungguh-sungguh disosialisasikan kepada masyarakat melalui dakwah pemikiran, dan bukan karena berkolaborasi dengan sistem kufur.
Karenanya, niat baik dan ikhlas saja tentu tidak cukup. Sudah saatnya gerakan-gerakan Islam yang ada merevisi diri dengan melakukan aktivitas yang sesuai dengan teladan Rasulullah, dan tidak terus terbuai dengan janji manis dan logika dangkal demokrasi. Selain karena bertentangan dengan syari’at dan menjauhkan perjuangan dari keberhasilan, dari sisi ideologis langkah seperti ini bahkan berbahaya, karena menjadikan Islam sejajar bahkan lebih rendah dibanding dengan ideologi dan pemikiran kufur lainnya, akibat penerimaan dan kompromi-kompromi yang diniscayakan dalam sistem kufur seperti ini.
Yang seharusnya dilakukan justru melakukan proses kulturisasi Islam politik kepada masyarakat secara bersama-sama agar ditengah-tengah mereka muncul kesadaran politik yang tinggi, dan Islam politik menjadi cita-cita bersama yang mampu menggerakkan mereka untuk berjuang dan merealisasikannya dalam kehidupan. Inilah jalan yang dicontohkan, dan inilah jalan yang dipastikan akan menghasilkan. Adapun berapa lama waktu yang dibutuhkan, itu bukan soal, karena yang perlu pemastian adalah seberapa besar kontribusi kita dalam perjuangan ini. Dan setiap diri akan menuai apa yang ditanam.
Wallaahu a’lam.------------
Catatan kaki :1. Fiqih Negara (Terj.), Rabbani Press, Jakarta, Cet. II, 1999, hal. 165 dan hal. 228.
2. Dalam buku Fiqih Negara, ibidem hal. 231, beliau mengungkapkan, bahwa pada dasarnya bekerjasama dengan orang-orang zalim adalah haram. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang membolehkan kita keluar dari kaedah dasar hukum tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti untuk mengurangi kezaliman dan kekejian sesuai dengan kemampuan, dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan, mundur dari yang ideal kepada kenyataan yang lebih rendah, adanya sunnah tadarruj, dan lain-lain. Beliaupun menyebut beberapa persyaratan yang harus dipenuhi manakala seseorang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan non Islam, seperti keikutsertaannya itu harus secara nyata bukan hanya sekedar dakwaan dan ucapan, partisipan harus mempunyai hak untuk menentang segala hal yang bertentangan dengan Islam dan lain-lain.
3. Ibidem, hal. 182.
4. Arif B. Iskandar, Revisi dan Reposisi Partai Islam, Al-Wa’ie no. 22, Juni 2002, hal. 8.
5. John L. Esposito dan James S. Piscatori, Islam dan Demokratisasi, dalam. Arif B. Iskandar, ibidem, hal. 9.
6. Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Terj.), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Jilid II, hal. 118.
7. Sirah Ibnu Hisyam
Belum ada tanggapan untuk "MENYOAL LANGKAH DAKWAH GERAKAN ISLAM HARI INI"
Posting Komentar