By : Siti Nafidah Anshory
Tahukah anda, bahwa di kalangan sebagian remaja, virginitas sudah bukan menjadi hal yang penting lagi?
Tahukah pula anda, jika angka aborsi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengerikan? (Untuk data, lihat artikel "inilah-dampak-nyata-penerapan-sistem, postingan tanggal 30 Nopember 2010)
Data-data mencengangkan mengenai maraknya sex pra-nikah dan aborsi di kalangan remaja tersebut sesungguhnya hanya menggambarkan sedikit saja dari fakta kian merebaknya pergaulan bebas di tengah masyarakat kita. Bahkan jika dicermati, daftar kebejatan moral yang terjadi di masyarakat ternyata cukup panjang, mulai dari maraknya budaya pacaran, pornoaksi dan pornografi, MBA, prostitusi, incest, hubungan sejenis, PIL/WIL, fenomena 'ayam kampus', hingga fenomena swing dan hot party yang kini jadi ladang bisnis baru yang dikelola secara profesional oleh event organizer-event organizer tertentu.
Tentu saja, fakta-fakta ini layak membuat kita miris. Betapa tidak? Di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, 'kebebasan' seolah telah menjadi 'agama baru' hingga mampu mengikis nilai-nilai moral masyarakat, melengkapi krisis multi dimensi yang sedang mengharu-biru bangsa ini. Ironisnya, sebagian menganggap hal ini wajar saja terjadi, sebagai konsekuensi modernisme dan perubahan jaman yang tak terelakkan. Padahal, pada saat yang sama, mereka tentu tidak mungkin menutup mata atas bahaya kebebasan yang menghancurkan masyarakat ini, karena suatu saat, kondisi ini juga akan menjadi 'bom waktu' bagi kehidupan mereka sendiri. Bayangkan, apa yang akan terjadi, lima, sepuluh atau duapuluh tahun kemudian disaat anak-cucu mereka tumbuh menjadi besar, jika hari ini mereka biarkan masyarakat jatuh ke jurang kehancuran?
Budaya Bebas, Imbas Sekularisme Barat Gaya hidup bebas sesungguhnya bukan watak asli masyarakat Islam, melainkan menjadi ciri khas masyarakat Barat yang memang mengadopsi ide kebebasan sebagai asas perbuatan mereka. Sebagaimana diketahui, masyarakat Barat tegak di atas ideologi kapitalisme sekuler yang berasumsi bahwa manusia memiliki hak prerogatif untuk mengatur kehidupannya sendiri di dunia ini. Dengan paradigma ini, mereka secara tegas menolak campur tangan agama (manapun) dalam mengatur kehidupan masyarakat, terkecuali sebatas menyangkut persoalan-persoalan privat mereka. Di sisi lain, dari paradigma yang sama muncul pula ide kebebasan (liberalisme), yang menganggap bahwa secara fitrah setiap manusia lahir sebagai manusia bebas, dimana kebebasan itu harus dijamin secara mutlak dengan aturan-aturan yang berlaku. Dari asumsi inilah, lahir konsep HAM yang terformulasi dalam empat prinsip kebebasan (freedom), yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan memiliki dan kebebasan bertingkah laku.
Pada tataran praktisnya, ide kebebasan tidak hanya telah merusak, tetapi juga telah membinasakan dan membawa masyarakat Kapitalis-sekuler ke jurang kehinaan. Betapa tidak? Ide kebebasan mengajarkan 'si kuat boleh memangsa si lemah'. Ide ini juga mengajarkan seseorang boleh mengejar sebanyak mungkin kenikmatan fisik dan manfaat sesaat untuk memuaskan kebutuhan naluri dan jasmaninya. Kalaupun ada aturan main, maka itupun diserahkan kepada pendapat 'mayoritas' manusia dengan standar kemaslahatan absurd yang mereka lihat dengan keterbatasan akal mereka. Wajar jika kebejatan moral dan kehidupan bak binatang, gap sosial yang lebar menganga, serta kebobrokan lainnya menjadi cerminan masyarakat Barat hingga hari ini. Andrew L. Shapiro dalam bukunya Amerika Nomor 1, Kondisi AS yang Kontradiktif dan Ironis, secara gamblang --disertai data-data akurat-- mengungkap berbagai kebobrokan multi dimensi masyarakat Amerika dan negara Barat lainnya yang senantiasa mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi dan kebebasan, sekaligus sebagai "The Number One".
Yang menyedihkan, ide kebebasan yang lahir dari ideologi yang rusak ini kini justru diagungkan pula oleh sebagian kaum muslimin. Salah satunya, terbukti dengan maraknya pergaulan bebas yang kian menjadi trend dan dianggap sebagai standar kemajuan lifestyle di kehidupan modern. Istilah gaul, modern, dan metropolis kini selalu identik dengan pergaulan bebas, tak terkecuali di kalangan muslimah. Sementara itu, interaksi sosial diantara individu umat --termasuk antara laki-laki dan perempuan-- yang seharusnya berorientasi pada tujuan membangun kerjasama (ta'awun) demi kemajuan umat, kian tersibghah oleh warna/orientasi seksualistik. Sehingga, alih-alih umat ini bisa bangkit, yang terjadi justru sebaliknya, umat semakin terjerumus pada kehancuran.
Jika dianalisa, kondisi ini sebenarnya niscaya. Secara eksternal, Barat dengan genuitas imperialistiknya memang berkepentingan untuk 'mengekspor' budaya dan ide-ide mereka sebagai salah satu alat imperialisme bagi kepentingan hegemoninya atas dunia Islam. Melalui apa yang disebut perang pemikiran dan budaya (ghazwu al-fikr dan ghazwu ats-tsaqafi) --yang dimediasi dengan berbagai cara dan sarana, termasuk dukungan media massa--, mereka gempur pertahanan asasi kaum muslimin (yakni aqidah dan syari'at Islam) hingga umat sedikit demi sedikit mencampakkan Islam sebagai sumber kekuatan dan kemuliaannya, untuk kemudian tunduk menjadi pembebek atas peradaban Barat. Sedangkan secara internal, kondisi pemahaman umat akan agama Islam --terutama Islam sebagai ideologi--senyatanya memang lemah luar biasa, dimana kebanyakan mereka hanya mengenal Islam sebagai aqidah ruhiyah saja. Sementara itu, konsep-konsep yang menunjukkan Islam sebagai aqidah siyasiyah, aqidah problem solving, tidak lagi mereka pahami. Wajar jika, keimanan yang ada pada diri umat seolah menjadi keimanan yang kering, tak memberi pengaruh dalam kehidupan dan tak mampu menjadi solusi atas seluruh permasalahan kehidupan. Akibatnya, umat secara individu kian kehilangan pertahanan dan self of controlnya, sedangkan umat sebagai masyarakat kian kehilangan sense of control, hingga keduanya bisa dengan mudah menerima umpan beracun yang ditawarkan Barat atas nama 'kebebasan' dan modernisasi. Itulah kenapa, kini kemaksiatan dengan mudah terjadi pada siapapun dan dimanapun; di pinggir jalan, di angkot, di mall-mall, dan lain-lain, nyaris tanpa ada yang mampu untuk mencegah atau mengusiknya.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan sistem hidup sekularistik yang rusak; Sebuah sistem yang bukan saja dipastikan tak akan mampu mencegah dan memproteksi umat dari kebobrokan, bahkan pada taraf tertentu sistem ini justru menjadi sumber kebobrokan itu sendiri tatkala --misalnya-- sistem tersebut meniscayakan pelegalan atas berbagai aktivitas kemaksiyatan, atau setidaknya membiarkan dan memberi peluang semua itu terjadi melalui penerapan aturan-aturan hidup yang rusak dan tidak solutif. Sebagai contoh, sebut saja lokalisasi prostitusi, kondomisasi (ATM Kondom) dan legalisasi aborsi yang dianggap sebagai solusi atas munculnya berbagai ekses pergaulan bebas. Yang padahal, solusi tersebut jelas tidak solutif, bahkan hanya memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih rumit. Terlebih-lebih lagi, jika ditelusuri munculnya kasus-kasus pergaulan bebas dengan segala eksesnya sebenarnya bukan sekedar terkait dengan persoalan rusaknya sistem sosial saja, melainkan terkait pula dengan kerusakan sistem-sistem lainnya, seperti penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang melanggengkan kemiskinan struktural, penerapan sistem politik yang opportunistik, penerapan sistem hukum yang tidak adil dan tidak memberi efek jera, penerapan sistem pendidikan yang sekularistik, dan lain-lain. Dengan kata lain, persoalan maraknya pergaulan bebas jelas bersifat sistemik sehingga solusinyapun harus bersifat sistemik pula.
Oleh karena itu, jelas bahwa akar kerusakan masyarakat hari ini, termasuk maraknya pergaulan bebas dengan segala eksesnya, adalah akibat merebaknya ide-ide sekularistik (seperti liberalisme, hedonisme, individualisme, dll) di tengah-tengah umat serta akibat penerapan sistem hidup kapitalis-sekuler atas mereka. Yakni sistem yang sejak asasnya memang telah cacat dan rusak, sementara apa yang terbangun di atasnya berupa aturan-aturan kehidupan, termasuk aturan sosial (pergaulan) dipastikan rusak pula. Oleh karhttp://www.blogger.com/img/blank.gifena itu, jelas pula bahwa solusi atas merebaknya pergaulan bebas, bahkan solusi atas semua krisis multidimensi yang kini dialami umat Islam, tidak lain adalah dengan segera mencampakkan sistem hidup sekularistik yang rusak ini dan kemudian menggantinya dengan sistem hidup yang tegak di atas asas yang sahih, yang memancarkan aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga akan menjadi solusi tuntas atas setiap permasalahan kehidupan. Dengan aturan-aturan seperti ini, dipastikan tujuan-tujuan luhur untuk menjaga masyarakat (seperti pemeliharaan atas keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama dan ketentraman) akan segera terealisasikan. Sistem dimaksud, tidak lain adalah sistem Islam, yakni sistem yang berasal dari Dzat Yang Maha Pencipta, Yang Menciptakan manusia dan kehidupan ini seluruhnya, Dzat Yang Maha Sempurna, Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Pengatur, Dialah Allah SWT.
Solusi Islam Mengatasi Pergaulan Bebas Harus dipahami bahwa, secara keseluruhan, aturan-aturan Islam --termasuk aturan interaksi sosialnya-- tegak diatas landasan yang bertolak belakang dengan aqidah sekulerisme. Jika sekulerisme memberi kekuasaan mutlak bagi manusia untuk mengatur dirinya sendiri termasuk bagaimana cara mereka bergaul, maka Islam tegak di atas pemahaman bahwa manusia harus terikat dengan aturan PenciptaNya. Konsepsi ini sangat logis. Karena dengan mudah, manusia bisa membuktikan keberadaan Al-Kholiq Al-Mudabbir, membuktikan kelemahan dirinya, dan membuktikan kebutuhan dirinya akan aturan yang datang dari Sang Pencipta.
Karena tegak di atas landasan yang sahih, maka Islam dipastikan merupakan din (sistem hidup/an-Nidzôm al-Hâyah) yang sempurna dan komprehensif (kâmilan dan syâmilan), yakni sistem hidup yang aturan-aturannya dipastikan pula akan mampu menjawab seluruh permasalahan hidup manusia dengan tuntas. Berkenaan dengan aspek pergaulan misalnya, Islam telah menjadikan aspek interaksi sosial (pergaulan) ini sebagai salah satu objek yang dihukumi (diatur) sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya. Bahkan, Islam menempatkan aturan mengenai interaksi sosial (sistem sosial/an-nidzâm al-ijtimâ'î) ini sebagai salah satu perangkat hukum yang penerapannya tidak bisa dipisahkan dari penerapan hukum lainnya. Inilah makna keterpaduan sistem hukum Islam, dimana penerapannya secara kaffah akan menjamin kebahagiaan dan tercapainya tujuan-tujuan luhur masyarakat.
Secara garis besar, sistem sosial dalam Islam mengatur interaksi/pergaulan pria dan wanita beserta hubungan yang timbul sebagai implikasi dari adanya interaksi yang terjadi dan segala sesuatu yang terkait dengan hubungan tersebut , sehingga dengan aturan tersebut kebersihan individu dan masyarakat akan terjamin, dan di sisi lain kerusakan moral masyarakat akibat pergaulan bebas akan tercegah. Kenapa demikian? Karena sistem ini tegak di atas landasan ruh dengan tolak ukur syariat yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. Sistem ini memandang manusia, baik pria maupun wanita, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri, perasaan, kecenderungan dan akal; Membolehkan manusia bersenang-senang menikmati kehidupan dan tidak melarang manusia untuk memperoleh bagian kenikmatan hidup secara optimal, tetapi dengan tetap memelihara komunitas dan masyarakat manusia.
Sistem ini berangkat dari paradigma yang benar tentang hakekat penciptaan laki-laki dan perempuan serta tujuan interaksi di antara keduanya yang semata-mata untuk melestarikan keturunan, bukan sekedar hubungan jinsiyah (yang berorientasi seksual) seperti yang melatarbelakangi maraknya pergaulan bebas seperti terjadi saat ini. Dengan paradigma ini, Islam mengatur hubungan lawan jenis antara pria dan wanita dengan pengaturan yang rinci, dengan tetap menjaga agar naluri seksual yang ada pada manusia hanya disalurkan dengan cara yang benar dan alami (yakni hanya melalui lembaga pernikahan saja). Dengan demikian, akan tercapailah tujuan dari penciptaan naluri tersebut pada manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT, sekaligus akan menjamin adanya kerjasama (ta'awun) --yaitu kerjasama yang membawa kebaikan bagi individu, komunitas dalam masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri.
Sesungguhnya ada banyak prinsip aturan sosial dalam Islam, yang dengannya masyarakat akan terhindar dari fenomena pergaulan bebas, diantaranya: adanya perintah untuk menundukkan pandangan dan anjuran untuk segera menikah (QS. An-Nur [24]:30-31 dan al-Hadits), adanya perintah menutup aurat dan mengenakan jilbab, yakni pakaian khusus untuk keluar rumah yang dipakai di atas pakaian rumah (QS. An-Nur [24]:31 dan Al-Ahzab [33]:59 serta al-Hadits), adanya larangan bertabarruj atau menampakkan kecantikan di hadapan pria yang bukan mahram (al-Hadits), adanya larangan wanita melakukan safar dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam atau lebih, kecuali disertai mahramnya (al-Hadits), adanya larangan bagi wanita keluar rumah kecuali atas izin suami atau walinya (al-Hadits), adanya pemisahan jamaah wanita dan pria baik di wilayah publik maupun privat (al-Hadits), adanya kewajiban menjaga 'iffah (QS An-Nur[24]:33), serta hukum-hukum lain yang menjaga agar interaksi yang terjadi di antara pria dan wanita bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara pria dan wanita yang bukan mahram, jalan-jalan bersama, dan-lain-lain. Sebab tujuan interaksi di antara keduanya harus mengarah pada diperolehnya hak-hak masing-masing atas kemaslahatan, sekaligus agar mereka dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim.
Itulah beberapa contoh aturan sosial dalam Islam yang penerapannya tidak bisa lepas dari sistem-sistem yang lainnya. Artinya, sistem sosial ini tidak akan berarti apa-apa, jika sistem lainnya tidak dilandaskan pada aturan Islam. Dalam hal ini, termasuk penerapan sistem sanksi (an-nidzâm al-'uqûbât), yang dalam ajaran Islam terkatagori metode (thariqah) untuk menjamin pelaksanaan hukum-hukum tadi pada tataran praktis. Sistem sanksi dalam Islam ini setidaknya memiliki dua fungsi, yakni sebagai pencegah dan penebus. Pencegah, karena sanksi hukum Islam yang berat akan membuat seseorang berpikir ribuan kali untuk melakukan pelanggaran. Penebus, karena penerapan hukum Islam atas pelaku kemaksiyatan (jârimah/kriminalitas) merupakan tebusan atas dosanya tadi sehingga di akhirat dia tidak akan mendapatkan hukuman lagi atas jenis dosanya itu.
Tiga Pilar Penerapan Hukum Islam Dari paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tidak ada pilihan lain jika ingin selamat dari kehancuran masyarakat selain dengan kembali kepada sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaafah dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Hanya saja agar seluruh hukum Islam ini bisa dilaksanakan secara utuh, maka setidaknya ada tiga pilar penerapan hukum Islam yang harus terwujud dalam kehidupan umat, yaitu (1) ketaqwaan individu yang mendorongnya terikat kepada hukum syara, (2) Kontrol masyarakat, dan (3) Kendali negara sebagai penerap dan pelaksana hukum.
Pilar pertama, ketaqwaan individu, yaitu sikap yang lahir dari keimanan setiap individu masyarakat yang dibangun oleh pemahaman terhadap Islam yang benar. Keimanan yang mantap dan kokoh, yang tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Allah dan RasulNya, terhadap adanya hisab, syurga dan neraka, akan berimplikasi pada munculnya kesadaran penuh pada diri seseorang untuk senantiasa menjaga perbuatannya agar tidak melanggar hukum-hukum Allah dan berupaya maksimal untuk terus konsisten menjalankan seluruh perintahNya. Kalaupun suatu saat dia khilaf melakukan penyimpangan, maka dia akan segera bertaubat dan menebus semua kesalahannya (QS. Ali-Imran[3]:135), karena dia yakin bahwa adzab akhirat jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman di dunia.
Adalah Maiz Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah, dua orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw. yang sama-sama melakukan zina dan kemudian meminta dijatuhi hukuman oleh Rasulullah Saw, sekalipun tidak ada seorangpun yang menyaksikannya. Mengapa mereka dapat melakukan hal demikian? Padahal hukuman bagi pezina muhshan (pria/wanita yang pernah menikah) adalah dirajam hingga mati di hadapan orang banyak. Jawabannya tidak lain karena adanya ketaqwaan mereka kepada Allah SWT serta keyakinan yang begitu kuat terhadap kehidupan akhirat, sehingga rasa malu, bahkan kematian sekalipun sanggup mereka jalani. Justru dengan cara itu, dosa mereka akan diampuni dan di akherat mereka mendapatkan jaminan syurga Allah SWT. Inilah buah dari ketaqwaan seseorang. Dan jika ketaqwaan tersebut masih dimiliki oleh individu, masyarakat dan pemerintah, maka hukum syara pasti akan terjamin pelaksanaannya.
Pilar kedua, kontrol masyarakat. Kontrol masyarakat --baik secara pribadi maupun bersama-sama-- kepada individu-individu lainnya sangat diperlukan, karena pada dasarnya manusia bukanlah malaikat sehingga memungkinkannya untuk terjerumus pada perbuatan maksiyat. Bahkan faktanya, tak sedikit kemaksiatan berkembang luas di masyarakat dikarenakan lemahnya kontrol masyarakat, sebagaimana yang kita lihat faktanya hari ini, dimana manusia tak malu lagi --atau bahkan dengan bangga-- melakukan kemaksiatan di hadapan orang lain.
Sebagaimana ketaqwaan individu, kontrol masyarakat juga terbentuk dari pemahaman mereka terhadap hukum-hukum Allah, yang secara otomatis akan melahirkan tradisi amar ma'ruf nahi munkar dan saling muhassabah di tengah-tengah mereka. Mereka tidak cuek terhadap kondisi sekitarnya, karena pemahaman Islamnya mengajarkan bahwa masalah individu adalah masalah umat, dan bahwa yang harus terikat dengan hukum-hukum Islam bukan hanya dirinya, tetapi juga seluruh kaum muslimin.
Tentang pentingnya kontrol masyarakat ini, Rasulullah Saw pernah menyampaikan sabdanya : "Perumpamaan orang-orang yang menjaga hudud-hudud Allah dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lainnya berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang ada di atasnya. Lalu mereka berkata : 'andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas sementara mereka tidak menghendakinya, maka binasalah mereka semua. Namun jika dikehendaki oleh tangan mereka keselamatan, maka selamatlah semuanya". (HR. Bukhari)
Pilar ketiga, adanya kendali dari negara melalui penerapan sistem Islam yang menjamin selamatnya aqidah dan perilaku seluruh warga, serta terpenuhinya seluruh hak-hak warga negara secara adil dan menyeluruh. Negara pulalah yang akan menjamin terlaksananya seluruh hukum itu dengan baik melalui penerapan sanksi yang tegas atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi.
Ketiga pilar ini harus ada secara bersama. Sebab jika ada individu atau masyarakat yang bertaqwa, begitu pula ada kontrol masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam, tentu mustahil hukum Islam tersebut dapat diterapkan. Karena negaralah yang bertanggungjawab menerapkan hukum tersebut. Begitu pula apabila ada negara yang menerapkan Islam, tetapi tidak di kawal dengan adanya kontrol masyarakat dan ketakwaan individu, maka sedikit demi sedikit penerapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan diselewengkan.
Khotimah Inilah solusi Islam atas merebaknya fakta pergaulan bebas di tengah masyarakat kaum muslimin; Sebuah solusi yang bukan sekedar utopi, tetapi sesuatu yang amali. Persoalannya, apakah kita mau beranjak dari keterpurukan ini? Jika ya, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mulai membina diri dan umat dengan aqidah dan pemahaman Islam yang benar dan utuh, hingga ideologi Islam benar-benar terkristal dalam akal dan jiwa. Dengan cara ini, Insya Allah akan terbentuk pribadi-pribadi dan masyarakat yang taqwa, yang siap terikat dengan hukum-hukum Allah, mencintai dakwah serta siap berkorban untuk berjuang di jalan Allah, hingga sistem Islam yang bersih dan mulia ini tegak dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada Ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran[3]:132-133)[][][][]
(22102005)
Belum ada tanggapan untuk "KIAT ISLAM ATASI GAUL BEBAS"
Posting Komentar