Oleh : Siti Nafidah Anshory
Seperti biasa, sejak hari pertama, penyelenggaraan Ujian Nasional memang sudah diwarnai kecurangan. Bahkan untuk tahun 2011 ini soal UN ditengarai sudah lebih dulu beredar lewat jejaring facebook dan twitter (antaranews, 19/4). Media pun merilis pemberitaan tentang berbagai modus kecurangan yang dilakukan para siswa saat ujian dilangsungkan, mulai dari menyotek kopean, saling kerjasama antar siswa, atau menyalin kunci jawaban yang sudah disiapkan.
Di Padang dan Papua Barat, modus kecurangan justru dilakukan institusi sekolah dengan cara membentuk tim sukses dari kalangan para guru. Setelah soal ujian di-scan, secara cepat dibahas oleh tim sukses dan jawabannya diberikan kepada murid (Padangekspres, 19/9). Di tempat lain, kecurangan bahkan melibatkan institusi yang lebih besar lagi, yakni dinas pendidikan daerah yang menginginkan imej keberhasilan daerah dipertahankan. Modusnya adalah membuat komitmen dengan seluruh kepala sekolah agar “saling membantu” meraih target kelulusan tertinggi dengan cara melonggarkan pengawasan bahkan membantu siswa di tempat para gurunya melakukan tugas pengawasan.
Kecurangan UN sebetulnya sudah diprediksi akan terjadi. Karenanya untuk tahun ini, diluar upaya pengetatan monitoring pelaksanaan UN sejak pengadaan soal (pencetakan dan distribusi) hingga pelaksanaan di hari H, pemerintah --dalam hal ini Kemendiknas-- telah membuat jurus baru pelaksanaan UN yang dipandang bisa menekan potensi terjadinya tindak kecurangan. Misalnya dengan menerapkan mekanisme yang memudahkan kelulusan siswa dibanding tahun lalu sehingga beban psikologis diharapkan bisa berkurang.
Sebagaimana diketahui, tahun lalu kelulusan siswa hanya diukur dengan nilai hasil UN dengan nilai standar minimal 5,5 pada mata pelajaran tertentu. Cara ini nyatanya menuai banyak protes karena menilai keberhasilan siswa belajar selama 3 tahun hanya dengan test selama 3-4 hari dianggap tidak fair. Selain itu, cara ini juga telah memunculkan beban psikologis yang sangat berat, sehingga alih-alih membuat siswa berupaya meningkatkan kualitas belajar mereka, cara ini malah mendorong siswa dan sekolah terjebak dalam hal-hal irrasional termasuk terjerumus dalam budaya curang demi mengejar angka yang “hanya” 5,5. Itulah yang melatar belakangi munculya kebijakan baru, dimana kelulusan siswa dihitung dengan formulasi yang menggabungkan nilai hasil UN dan nilai sekolah dengan proporsi 60 berbanding 40 persen dengan standar nilai tetap sama, rata-rata 5,5.
Selain dengan perubahan cara penilaian, pemerintah juga menggunakana jurus lain untuk mengantisipasi kecurangan, yakni menerapkan sistem ujian dengan memberi 5 paket soal pada tiap kelas yang di tahun sebelumnya hanya 2 paket soal. Dengan cara ini, pemerintah berharap bisa menutup lubang kecurangan, termasuk peluang saling menyotek, karena dalam satu lajur, masing-masing siswa bisa jadi mendapatkan soal yang berbeda. Persoalannya, benarkah cara ini efektif untuk menekan terjadinya praktek curang saat ujian dilangsungkan? Dan bisakah menghapus mental curang hingga ke akar?
Sayangnya, fakta di lapangan tak menunjukkan hal demikian. Demi meraih angka 5,5, kecurangan tetap saja terjadi dengan modus yang lebih canggih. Penggunaan polisi, camera CCTV dan peliputan media saat ujian rupanya tak menyurutkan langkah siswa untuk tetap berlaku curang. Bahkan di jejaring sosial, tak sedikit rekan guru yang jujur mengeluhkan tekanan institusi yang meminta mereka melakukan kecurangan berjamaah dengan membiarkan siswa yang diawasi bekerjasama atau dengan memberikan jawaban soal kepada mereka demi meraih angka rata-rata minimal 5,5.
Meski ada upaya memperketat pengawasan, aplikasi di lapangan pun nyatanya tak sesederhana yang dibayangkan. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan ‘hasil baik’ UN, membuat fungsi pengawasan menjadi lemah dan rawan kebocoran. Mekanisme penilaian yang menggabungkan angka UN dengan nilai raport pun tetap membuka celah kecurangan baru yang tak jarang melibatkan internal sekolah. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sekolah tidak akan melakukan mark up nilai karena mereka pun berkepentingan mengejar target kelulusan 100 persen demi nama baik sekolah di mata “konsumen”-nya. Di pihak siswapun sama saja. Merekapun tentu tak ingin berspekulasi “mengabaikan” hasil UN jika hal itu akan membuat mereka tidak lulus. Apalagi siswa-siswa yang prestasi raportnya di bawah rata-rata. Merekapun lantas tersuasana melanggar prinsip kejujuran demi mengejar angka rata-rata 5,5.
Mirisnya, fakta-fakta seperti ini selalu saja berulang. Kecurangan demi kecurangan seolah tak bisa lepas dari seremonial ujian nasional di semua level pendidikan. Fakta inipun seolah-olah mengabsahkan berkembangnya budaya baru yang rusak; menggadai nilai moral cuma demi angka 5,5.
Bagi para orangtua maupun pendidik yang masih memiliki idealisme, kenyataan ini tentu sangat menyedihkan. Seperti halnya Siami, mana mungkin mereka rela membiarkan anak-anak mereka terkotori budaya sampah yang akan menjadikan anak berkepribadian ganda? Terlebih, upaya mereka menanamkan nilai-nilai agama pada anak di jaman penuh fitnah ini bukanlah perkara mudah. Wajar jika mereka tak rela jika hasil kerja keras selama ini harus hancur begitu saja oleh tuntutan sistem yang mendewakan angka-angka.
Yang jadi masalah, kondisi ini niscaya terjadi dalam masyarakat dengan sistem tata hidup yang tegak di atas prinsip pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Masyarakat seperti ini tak pernah peduli lagi dengan apapun yang berbau agama. Agama hanya jadi pemoles saja. Dia hanya layak dibicarakan di mesjid-mesjid, saat ibadah, pernikahan dan ritual kematian saja. Nilai moralpun hanya “dianggap” jika dipandang bermanfaat, karena bagi paham ini, manfaatlah yang menjadi standar pikir dan amal mereka.
Kasus Siamipun lagi-lagi menggambarkan hal demikian. Masyarakat yang berbalik marah karena kecurangan anak-anak mereka diadukan, justru menunjukkan betapa nilai moral dan agama sudah tidak dipentingkan. Kasus inipun seolah menggambarkan bahwa bagi kebanyakan orang tua, anak yang jujur “di jaman ini” tak lebih penting dibandingkan jika angka raportnya memalukan. Ini karena, kejujuran “di jaman ini” memang tak lebih laku jika dibandingkan nilai kelulusan. Miris memang.
Dalam sistem pendidikan kita, aroma sekularisme memang sangat kental terlihat meski secara normatif tak ada satu produk kebijakan pun yang secara langsung menunjukkan hal demikian. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 misalnya secara indah menyebut bahwa fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun rumusan indah tentang fungsi pendidikan ini tidak match dengan kebijakan implementatif di lapangan.
Kebijakan kurikulum yang memarjinalkan pelajaran agama dengan konten pelajaran yang demikian “padat karya” nyata-nyata telah membentuk out put pendidikan berupa manusia yang tak ubah bagai robot dan hanya siap menjadi mesin pemutar industri-industri milik para kapitalis semata atau malah menjadi kacung di perusahaan-perusahaan milik mereka. Sementara konsep pemisahan sekolah agama dengan sekolah umumpun hanya berhasil menciptakan gap yang lebar antara agama dengan pemecahan masalah kehidupan, dan menciptakan ilmu kehidupan yang kering dari nilai-nilai transedental. Belum lagi, biaya pendidikan yang melangit kian menjadikan “pintar dan ahli” sebagai “gelar’ mahal bahkan utopi. Ini semua tentu membuktikan, bahwa apa yang dirumuskan sebagai cita-cita pendidikan yang seolah mulia itu ternyata hanyalah bullshit semata! Dan inilah yang membuktikan, bahwa sekularisme memang biang rusaknya sistem dan apa yang dihasilkn dari pendidikan.
Pertanyaannya adalah, akankah ini dibiarkan? Sampai kapan kita berkubang dalam kebodohan? Sekularisme telah nyata rusak dan menjadi biang kerusakan. Karenanya, mari kita campakkan sistem pendidikan sekuler dan segera kembali kepada sistem pendidikan Islam. Karena hanya sistem pendidikn Islam yang akan mampu membentuk generasi unggul. Yakni generasi terbaik yang akan siap mengembalikan kemuliaan Islam. Dan ini bukan cuma khayal, karena sejarahpun telah membuktikan! (SNA)
Belum ada tanggapan untuk "UN: Menggadai Nilai Moral Dengan “Angka 5,5”"
Posting Komentar