Oleh : Siti Nafidah Anshory(
Catatan ini baru kembali ditemukan. Ditulis sudah cukup lama, yakni jelang Pemilu tahun 2009 dan sempat menjadi bahan diskusi kelas saat kuliah dulu. Meski "jadul", saya pikir isunya masih tetap relevan untuk dibicarakan,terlebih hingga hari ini, perubahan hakiki belum juga berhasil diwujudkan)
PengantarTidak berapa lama lagi, rakyat Indonesia kembali akan menggelar perhelatan akbar bernama Pemilu. Melalui perhelatan ini, mereka akan memilih para wakil rakyat di parlemen dan akan disusul dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Untuk itu, seluruh parpol peserta pemilu seakan berlomba membuat berbagai strategi pemenangan, sekaligus mencari celah koalisi yang diprediksi bisa menjamin kursi kekuasaan ada di tangan.
Hanya saja, sebagian besar kalangan telah memprediksi bahwa hasil pemilu kali ini tidak akan jauh berbeda dengan hasil pemilu-pemilu sebelumnya. Meski pemilu telah berulangkali dilaksanakan (tiga kali di antaranya diikuti banyak partai; tahun 1955,1999 dan 2004), ternyata belum mampu membawa keadaan Indonesia menjadi lebih baik. Bahkan masyarakat cenderung kian apatis. Fakta ini terlihat dari kian menurunnya partisipasi politik masyarakat terhadap proses pemilu. Jika pemilu 1955 jumlah partisipasinya lebih dari 90 %, di awal reformasi, partisipasi itu turun menjadi sekitar 86 %dan Pemilu legislatif 2004 lalu bahkan turun lagi menjadi sekitar 77 %. Fakta ini juga terlihat saat pemilihan kepala daerah digelar, dimana hampir seluruh pilkada dimenangkan oleh golput. Dalam catatan Media Ummat , angka golput pada rentang waktu 2005-2008 mencapai 45-47%. Koordinator nasional JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) Jeirry Sumampow memprediksi besarnya jumlah golput dalam Pilkada akan merembet ke Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, dan pilpres di tahun 2009.(www.mediaummat.com).
Fenomena Golput dan Citra Partai Hari iniFenomena golput (golongan putih) sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari penilaian masyarakat terhadap kinerja pemimpin, para wakil rakyat dan terutama partai politik. Masyarakat berpandangan bahwa memilih atau tidak memilih hasilnya sama saja karena tidak membawa pada perubahan. Terlebih secara kualitas dan kuantitas, kondisi Indonesia tak dipungkiri memang kian memburuk di berbagai bidang kehidupan, mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya. Dengan demikian fenomena golput semakin menguatkan bahwa rakyat tidak terlalu yakin pemilu akan membawa pada perubahan. Apalagi mereka sudah berulang kali dikecewakan oleh orang-orang yang mereka percayai sebagai wakil dan pembawa aspirasi mereka, berikut parpol yang mengusungnya.
Kesimpulan ini bukan tanpa bukti. Survei Indo Barometer yang dilakukan di 33 provinsi selama hampir satu tahun menunjukkan, bahwa mayoritas masyarakat menilai kinerja parpol masih buruk dan tidak memuaskan. Hasil survey menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja parpol hanya sebesar 30,1%, sementara yang tidak puas lebih banyak lagi, yakni 54,6%. Mayoritas publik juga menyatakan bahwa partai politik belum memberikan manfaat nyata untuk rakyat, yaitu 54,1%. Hanya sebesar 31,5% dari publik yang menyatakan bahwa partai politik telah memberikan manfaat nyata untuk rakyat.(www.indobarometer.com)
Buruknya penilaian sebagian masyarakat terhadap kinerja parpol tersebut tentu saja bukan tanpa sebab. Mereka memandang bahwa selama ini budaya politik yang dikembangkan parpol adalah berlomba meraih kekuasaan dengan menjadikan rakyat hanya menjadi pihak yang dimanfaatkan dan bukan menjadi pihak yang diperjuangkan. Ketika rame-rame pemilu atau pilkada digelar, parpol juga rame-rame ’beriklan dan obral janji’ seolah mereka yang paling peduli dengan nasib rakyat, bahkan tak segan turun ke bawah menjambangi rakyat kecil sambil bertingkah bak ’sinterklas’; membagi-bagi sembako, safari majelis ta’lim dan pesantren sambil bagi-bagi karudung, membangun posko berbendera parpol di kawasan-kawasan bencana, berbecek-becek di pasar-pasar tradisional dan lain-lain. Namun begitu pemilu/pilkada selesai, parpol justru meninggalkan konstituennya (rakyat) dan kembali sibuk dengan kepentingan partai ketimbang kepentingan rakyat.
Kesimpulan ini juga terlihat dari survey Indo Barometer mengenai alasan publik yang menyatakan tidak puas terhadap kinerja partai politik. 47,5% diantaranya beralasan karena partai tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, disusul dengan alasan fungsi partai tidak berjalan (misalnya dalam melakukan pengkaderan, pendidikan politik, dsb) 28,5%. Sementara dari responden secara keseluruhan, pandangan mereka terhadap peran parpol yang paling menonjol adalah memperjuangkan kepentingan partai dan pengurus partai itu sendiri 24,2%, disusul memperebutkan kekuasaan di pemerintahan, yaitu 18,3%, pelayanan publik 17,2 %, penyampaian aspirasi masyarakat 12,5 %, pendidikan politik 7,5 %, kaderisasi 2,6 %, tidak tahu 18,3 %. Tampak bahwa dalam pandangan masyarakat, peran partai memang masih belum pro-publik.
Kenyataan ini seolah memperkuat pernyataan Arief Budiman, sosiolog Indonesia yang kini menetap di Australia di dalam bukunya “Krisis Tersembunyi dalam Pembangunan, Birokrasi - Birokrasi Pembangunan” (1988). Dia menulis, “Dari sepuluh kebijakan yang dikeluarkan oleh birokrat/legislatif, maka sembilan diantaranya merupakan kebijakan yang semata-mata diarahkan untuk menguntungkan dirinya sendiri”. Sehingga sangat dimengerti bila rakyat mengalami kekecewaan berat dan fenomena ini terwujud dalam sikap tidak memilih (undecided voter).
Faktanya, masyarakat memang sudah terlalu sering disuguhi praktek-praktek abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) parpol dan kader partai di parlemen yang dilakukan secara telanjang. Parpol diduga sering menyalahgunakan fungsi-fungsi politiknya untuk mendapatkan keuntungan materi, seperti melelang dukungan kepada para pemilik modal yang berniat menjadi penguasa, memeras gubernur atau para petinggi eksekutif yang dikemas dengan bentuk-bentuk dukungan tidak langsung kepada mereka atau bahkan melalui tekanan terhadap petinggi bermasalah dalam penanganan proyek-proyek pembangunan mereka. Sedangkan parlemen, khususnya di sejumlah DPRD, masyarakat juga telah menyaksikan sendiri bagaimana sepak terjang para politisi dapat memainkan banyak pos anggaran APBD untuk mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk memainkan laporan pertanggungjawaban (LPJ) bupati, wali kota, dan gubernur untuk kemudian mendapatkan imbalan materi agar LPJ diloloskan sehingga petinggi eksekutif di daerah dapat melanjutkan roda pemerintahannya.
Selain itu, parlemen sebagai representasi parpol, terbukti tidak mampu menyerap aspirasi rakyat. Bahkan, banyaknya kursi kosong atau politisi tertidur saat sidang-sidang penting di parlemen, menunjukkan bahwa para wakil rakyat memang tidak sungguh-sungguh berniat memperjuangkan kepentingan rakyat. Padahal selama ini rakyat terlanjur ’ditipu’ dengan berbagai slogan dan simbol seakan-akan kader parpol di parlemen adalah penyambung lidah rakyat demi mewujudkan harapan rakyat, yaitu tercapainya kesejahteraan hidup. Namun berbagai ‘pengkhianatan’ telah dilakukan anggota parlemen yang mengatasnamakan wakil rakyat dengan cara mengukuhkan bobroknya sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan penguasa. Terbukti produk hukum yang dilahirkan oleh parlemen kebanyakan tidak memihak kepada rakyat, bahkan bertentangan dengan kehendak rakyat atau pro kapitalis bahkan pro asing. UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU BHP, UU Pornografi, UU KDRT, UU Kespro dan UU lainnya adalah buktinya. Melalui UU Migas misalnya, pemerintah dan kader parpol di parlemen berselingkuh dengan membuat kebijakan yang merugikan rakyat; mengurangi subsidi terhadap BBM. Akibatnya, harga BBM dalam negeri naik dan lagi-lagi rakyat sebagai pemilih sah kekayaan bumi ini yang menjadi korbannya. Berdasarkan UU Kelistrikan, PLN pun secara bertahap di privatisasi (baca: swastanisasi/asingisasi). Dipastikan dengan privatisasi PLN, listrik akan semakin mahal. Harapan atas kesejahteraan hidup-pun hanya ilusi.
Kondisi ini kemudian diperparah dengan pertunjukan perilaku amoral yang dilakukan sebagian oknum kader partai di parlemen. Apa yang terekspose ke permukaan, hanyalah puncak gunung es dari budaya yang sudah kadung dipahami “lumrah” dilakukan sebagian warga gedung parlemen. Begitupun perilaku korup dan menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan, menjadi catatan terbuka yang bisa dibaca siapapun dan kapanpun. Sehingga sangat beralasan jika tingkat kepercayaan masyarakat kian melemah. Mereka kesal dengan rapuhnya kinerja para penguasanya, termasuk para anggota parlemen yang diusung parpol.
Bagaimana Dengan Parpol Islam? Hasil survey di atas memang tidak membedakan antara parpol Islam dengan parpol sekuler. Artinya, setuju atau tidak setuju, hasil survey menunjukkan begitulah pendapat atau pencitraan masyarakat terhadap parpol –termasuk parpol Islam-- saat ini. Terlebih tak bisa ditutupi jika banyak kasus korupsi dan perilaku amoral juga dilakukan oknum kader parpol Islam. Begitupun, tak sedikit kebijakan politik yang nyata-nyata merugikan rakyat justru didukung partai-partai Islam (ingat kasus kenaikan harga BBM yang diamini PKS). Wajar jika masyarakat punya penilaian, bahwa partai Islam tak jauh berbeda dengan partai lainnya, sebagaimana ditunjukkan oleh hasil penelitian Indo Barometer (2008) yang menyebutkan: persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam dengan partai lain mencapai 43,3%, dan persepsi mereka tentang perilaku elit/pengurus dari partai Islam sama dengan partai lain yang bukan dari partai Islam mencapai 34,8%. Selain itu, mayoritas publik (antara 60-70%) juga mengaku kesulitan membedakan diferensiasi 24 partai politik di Indonesia, baik membedakan nama, sikap politik dan kebijakan ekonomi partai.
Dalam konstelasi politik Indonesia, partai politik memang –sengaja atau tidak-- telah terlanjur dipolarisasi ke dalam dua kelompok besar, yakni partai Islam dan partai sekuler (nasionalis dan Kristen). Dalam dunia akademik, biasanya definisi partai Islam itu dibagi menjadi tiga. Pertama, partai yang menganut asas Islam (dan tentu basis massanya adalah Islam) seperti PPP, PKS, dan PBB (sekarang ditambah PKNU dan PMB). Kedua, partai yang tidak menganut asas Islam tetapi berbasis massa Islam seperti PKB dan PAN. Ketiga, definisi yang tidak memisahkan keduanya. Artinya, yang disebut partai Islam mencakup baik yang berasas Islam maupun tidak berasas Islam namun berbasis massa Islam.
Dalam catatan sejarah perpolitikan di Indonesia, peran politik umat Islam yang direpresentasikan oleh gerakan dan parpol-parpol Islam memang cukup mengalami pasang surut. ‘Kegagalan’ diperjuangkannya aspirasi politik umat untuk menjadikan Islam sebagai dasar bernegara melalui pencantuman 7 kata dalam piagam Jakarta tak menyurutkan tekad para politisi berideologi Islam (baca: bukan sekedar Muslim) untuk terus berjuang agar Islam bisa menjadi asas bernegara. Munculnya partai Masyumi yang digagas M. Natsir dianggap sebagai saluran aspirasi umat di tengah pertarungan ideologi yang kencang terasa antara Islam di satu sisi dan sekularis (baik yang berideologi nasionalis-kapitalis maupun nasionalis komunis) di sisi yang lain. Hingga pada pemilu multipartai tahun 1955 (diikuti 172 peserta) partai ini mendapatkan suara cukup signifikan, yakni 20,9%, meski jika dibandingkan perolehan suara oleh parpol sekuler secara kumulatif masih kalah jauh (yakni 61%).
Hanya saja, pada perkembangan berikutnya keberadaan parpol Islam seolah terkebiri oleh kebijakan politik represif yang dikembangkan rezim orde lama dan orde baru. Kebijakan penguburan partai-partai oleh Soekarno yang menerapkan demokrasi terpimpin dan pemaksaan ideologi Nasakom memaksa Masyumi memilih membunuh dirinya sendiri daripada memilih menerima ideologi kiri tersebut sebagai nyawa barunya. Sementara penyeragaman ideologi parpol dengan asas tunggal Pancasila dan kebijakan pembatasan jumlah parpol di masa orde baru memaksa parpol-parpol yang ada melakukan fusi di bawah naungan asas tunggal tadi.
Sebagian kalangan yang memandang kebijakan-kebijakan diktator semacam ini sebagai pengkhianatan ideologi (semisal M. Natsir dan Hamka), memilih bersikap mufarraqah (berlepas diri), sekalipun harus mengambil resiko diasingkan secara politik dan mengalami upaya pembunuhan karakter politik. Sementara yang lain, memilih bersikap kompromistis dengan konstelasi politik yang ada, seraya berharap bisa tetap memelihara ‘jati diri’nya sebagai parpol Islam, sekalipun ‘sementara’ harus menyembunyikan ideologi politik Islamnya di bawah asas tunggal Pancasila. Sejak itulah aspirasi masyarakat dipaksa dipecah dalam 3 faksi besar; merah, kuning dan hijau, yang sejatinya 3 tapi 1, atau 1 tapi 3, dengan settingan, yang selalu harus menjadi pemenang ‘hanya yang berbendera kuning’.
Penyeragaman corak politik ala orde lama dan orde baru ini tentu bukan tanpa biaya. Bahkan bisa dikatakan social cost-nya ternyata sangat tinggi. Pada masa orde baru misalnya, aspirasi politik umat Islam benar-benar terbungkam dan peran politik mereka otomatis terpinggirkan. Tokoh-tokoh politik yang ‘syari’ah minded’ terkena blacklist dan tak sedikit yang ditangkap. Berbagai operasi intelejenpun digelar sebagai pengejawantahan UU Subversi, hingga berbagai kasus politik bermunculan dan mengkondisikan masyarakat pada situasi ‘tak berani’ melawan mainstream politik yang diciptakan penguasa saat itu. Bermunculanlah kasus Imran, Peristiwa Tanjung Priok, Haur Koneng, Peristiwa Lampung, Borobudur, dan lain-lain. Bahkan di kalangan Militer dan pegawai pemerintahan, pengkotakkan hijau dan kuningpun terjadi dan berpengaruh pada terbuka tidaknya jenjang karir bagi mereka. Di tingkat grassroot, proses pembodohan politikpun berlangsung secara massif lewat berbagai bidang, terutama kebijakan pendidikan, dan media massa, sekalipun upaya-upaya itu tak mampu membendung munculnya arus kesadaran identitas kemusliman --dan identitas kekirian di sisi lain-- di kalangan kampus (kaum terpelajar), sebagai dampak tidak langsung revolusi Islam di Iran dan revolusi negara-negara Amerika Selatan. Bahkan saat itu, gerakan-gerakan bawah dan atas tanah berideologi kiri (soskom) dan kanan (islam) bermunculan bak jamur di musim hujan.
Situasi kemudian berubah ketika di akhir kekuasaan rezim orde baru, Soeharto ‘sedikit’ mengubah haluan politiknya dengan membuka pintu bagi kalangan Muslim moderat berkiprah dalam percaturan politik nasional. Bahkan sebagian kalangan melihat kedekatan hubungan dan ‘sikap ramah’ Soeharto dengan kalangan ‘hijau’ (antara lain direpresentasikan oleh Habibi dengan ICMI-nya) ini-lah yang telah membuat AS yang awalnya memback up kekuasaan Soeharto ketar-ketir dan akhirnya mendesain skenario penjatuhan rezim Soeharto dengan menciptakan berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi yang sangat parah yang memicu gelombang demonstrasi besar-besaran dan berakhir dengan jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan yang sedemikian panjang.
Masa yang dinamai orde reformasi ini awalnya memang membawa angin segar. Euphoria atas kebebasan dan isu demokratisasi benar-benar membuat masyarakat begitu menikmati kesempatan mengungkapkan ekspresi politiknya melalui berbagai cara. Salah satunya nampak dari munculnya berbagai partai politik dalam jumlah yang hampir menyamai tahun 50-an. Tercatat 150 parpol berdiri di tahun 1999 dan 48 di antaranya ikut pemilu. Pada tahun 2004 terdapat 24 parpol lolos verifikasi. Dan untuk 2009 berdiri 80 parpol dan 38 di antaranya lolos verifikasi. Ini menandakan begitu besar harapan masyarakat atas perubahan.
Namun harapan tinggal harapan. Banyaknya jumlah partai –termasuk parpol Islam- dan politisi dadakan di panggung politik tak lantas membuat rakyat bertambah sadar atas arah dan jalan perubahan. Lemahnya pondasi perubahan yang di bangun akibat disfungsi peran parpol justru membuat gerakan perubahan berjalan seolah tanpa arah. Barangkali motto yang berlaku bagi rakyat hanya “pokoknya asal berubah”. Hingga kekuatan politik masyarakatpun kian bergantung pada ‘bungkus’ dan ‘iklan politik’ yang mampu dipasang parpol. Tingginya jumlah swing voters yang siap berubah pilihan dari satu partai ke partai lain dan besarnya angka floating mass adalah buktinya. Dan ironisnya, fakta miris ini justru dipahami sebagai peluang bisnis bagi parpol-parpol bermodal besar. Inilah yang membuat dunia politik berubah menjadi high cost area, yang memaksa parpol dan orang yang ingin berkiprah didunia politik harus cermat menghitung angka-angka sebagai input maupun outputnya. Karena itulah, istilah politik dagang sapi, menjual kucing dalam karung, uang lamaran, serangan fajar, money politic dan yang lainnya menjadi istilah yang lekat dalam dunia politik kita.
Di era ini, nasib parpol Islampun tak jauh berbeda. Tanpa berniat menafikan idealisme dan niat ikhlas sebagian pejuang Islam yang menjadikan parpol sebagai alat perjuangan dan mimbar dakwahnya, parpol Islam nampaknya masih terposisi sebagai penggembira, bahkan menjadi alat legitimasi atas proses demokratisasi yang kini masih dianggap sebagai jalan tol menuju perubahan. Seolah-olah, demokratisasi memang sedang berjalan baik (on the track), karena mengakomodir berbagai kepentingan kelompok politik aliran, termasuk diantaranya Islam. Padahal, jika dicermati faktanya, partai politik Islam sesungguhnya sedang diseret oleh sistem demokrasi --yang disebut Saiful Mujani sebagai mesin politik besi -- yang secara alami akan memaksa parpol Islam menerima atau berkompromi dengan nilai-nilai sekularisme. Sehingga menurutnya, yang terjadi sebenarnya bukan proses islamisasi, melainkan sekularisai kekuatan-kekuatan politik Islam.
Ini dibuktikan dengan adanya koalisi-koalisi politik yang dibangun parpol Islam yang cenderung tak lagi mempertimbangkan ideologi partai. “Kepentingan pragmatik” dan “yang penting berkuasa” justru seakan menjadi rumus paten bagi kiprah parpol Islam saat ini, hingga keberadaan ideologi dan asas parpol seolah cuma berfungsi sebagai merek dagang yang kosong dari substansi. Sebagian parpol Islam malah ada yang beralih menjadi parpol terbuka dan seolah minder ‘beriklan’ dengan simbol-simbol yang menunjukkan jati dirinya sebagai parpol Islam. Wajar jika dalam persepsi masyarakatpun, parpol Islam tak ada beda dengan parpol sekuler. Dan akhirnya, dari pemilu ke pemilu pilihan masyarakat masih berkutat di sekitar partai sekuler, sebagaimana temuan LSI pada survey per September 2007 yang menunjukkan dukungan terhadap parpol sekuler diakumulasikan sebesar 52%, parpol Islamis (PPP&PKS) 8% dan parpol berbasis masa Islam (PKB&PAN) hanya 7%.
Revitalisasi Parpol Islam Untuk PerubahanYang seharusnya menjadi pemikiran kita, fakta-fakta tadi (fenomena golput dan masih besarnya dukungan atas parpol sekuler) justru menunjukkan bahwa parpol Islam hingga kini dianggap belum mampu meyakinkan masyarakat bahwa Islam adalah jalan terbaik menuju perubahan. Terlebih, temuan di atas sebenarnya menjadi menarik ketika dihubungkan dengan hasil-hasil survey mengenai preferensi masyarakat terhadap isu syariat Islam atau lebih khusus isu penegakkan syariat Islam. Survei yang dilakukan oleh Roy Morgan Research pada awal 2008, melibatkan 8.000 responden dari seluruh negeri, menemukan bahwa 52 % orang Indonesia mengatakan bahwa syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. Pada survei yang lain yang diadakan oleh aktivis gerakan nasionalis (GMNI) pada 2006, sebanyak 80 % mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian PPIM-UIN Jakarta tahun 2003 menggambarkan 74% masyarakat Indonesia menghendaki penerapan syariah Islam. Bahkan tahun 2008 hasil penelitian SEM-Institute menunjukkan rakyat yang setuju dengan penerapan syariah Islam di Indonesia mencapat 83%. Artinya, hasil survey di atas menunjukkan, bahwa keberadaan partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sesungguhnya sangat ditunggu-tunggu umat Islam.
Anomali ini sesungguhnya bisa dibaca sebagai ‘peringatan’ atas parpol Islam yang ada, bahwa pertama, mereka seharusnya konsisten dengan khiththah sebagai parpol Islam, yang menjadikan Islam bukan semata sebagai ruh, melainkan juga sebagai jalan baru bagi perubahan. Artinya, seharusnya parpol Islam berupaya menghadirkan ajaran Islam sebagai solusi tuntas atas seluruh problema kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan sebagainya, dengan menyodorkan konsep-konsep yang gamblang dan praktis, yang digali dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri, bukan malah menyokong sistem rusak yang ada dan terjebak pragmatisme atau bahkan tak menawarkan konsep apapun. Tidak jelasnya visi-misi parpol, sikap mendua dan minder wardeg yang mereka tunjukkan selama ini, justru membuat umat kian menjauh, bukan cuma dari partainya, tetapi dari Islamnya. Dan ini berbahaya, karena parpol Islam berarti memfasilitasi terjadinya proses sekularisasi struktural di kalangan umat.
Kedua, mereka belum berhasil melakukan penyadaran politik Islam pada umat, hingga umat masih menjadikan Islam dan kehidupan Islam hanya sebagai alternatif pilihan, bukan satu-satunya pilihan. Padahal dalam prinsip Islam, persoalan keterikatan kepada aturan Islam merupakan konsekuensi keimanan dan keterikatan inilah yang sejatinya akan membawa kemaslahatan bagi bangsa secara keseluruhan.
Kondisi ini bisa dipahami, mengingat selama ini energi partai lebih banyak difokuskan pada pembesaran jumlah suara dan kampanye pemenangan. Sementara proses kaderisasi, mendidik masyarakat dengan pemikiran politik Islam dan penanaman Islam sebagai way of life yang seharusnya menjadi aktivitas utama parpol tidak tergarap.
Ketiga, parpol Islam belum berhasil menjadi saluran aspirasi sekaligus model sebagai entitas terbaik yang membawa kebaikan bagi umat. Perilaku politik kader partai yang mencederai Islam, berbagai friksi internal yang kerap terjadi dan konflik antar partai yang dipertontonkan parpol-parpol Islam menjadi alasan tersendiri mengapa umat lebih memilih parpol sekuler atau golput.
Memang, bisa jadi ada yang tidak setuju dengan kesimpulan di atas, bahkan meragukan metodologi yang digunakan dalam survey-survey mengenai preferensi masyarakat terhadap penegakkan syari’at Islam tadi. Namun, kenyataan bahwa parpol Islam sudah kehilangan jati dirinya sebagai parpol Islam dan melepaskan tanggungjawabnya untuk memperjuangkan syariat Islam di tengah-tengah masyarakat adalah hal yang tidak dapat dibantah. Bahkan tak satupun partai Islam yang bersengaja ‘menjual’ syari’at Islam sebagai ‘dagangannya’ hingga umat tertarik dan yakin bahwa Islam adalah jalan kebangkitan hakiki yang harus mereka tempuh, bukan cuma karena‘butuh’ tetapi karena mereka paham bahwa Islam memang ‘wajib’ diperjuangkan sebagai konsekuensi dari iman. Oleh karenanya, sangat wajar jika hingga hari ini, umat justru lebih memilih parpol sekuler yang ‘kemasannya’ memang lebih menarik dan seolah bisa menjadi harapan bagi penyelesaian problem-problem pragmatik kehidupan mereka.
Itulah kenapa, diperlukan semacam upaya revitalisasi parpol Islam dengan –pertama kali—melakukan introspeksi ke dalam untuk melihat kembali apa yang menjadi asas perjuangannya dan bagaimana harus diperjuangkan. Jangan sampai Partai Islam hanya sekedar nama belaka. Posisi abu-abu harus disingkirkan dengan memperjelas platform perjuangannya sebagai pembawa suara Islam dan umat Islam, tanpa harus mengabaikan prinsip-prinsip tasamuh yang juga diajarkan Islam. Parpol Islam juga harus berani tegas menyatakan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah, berani
mendobrak kebuntuan saluran aspirasi Islam, termasuk melakukan koreksi terhadap berbagai kebijakan keliru penguasa, baik karena bertentangan dengan Islam maupun yang merugikan umat Islam.
Lebih jauh dari itu, parpol Islam harus mulai memaksimalkan fungsi-fungsi politisnya yang selama ini terabaikan, dimana idealnya parpol Islam harus mampu menjalankan empat fungsi parpol yang ada. Pertama, sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Kedua, sebagai sarana komunikasi politik. Ketiga, sebagai sarana rekruitmen politik. Dan keempat, sebagai sarana peredam konflik.
Partai politik dalam era modern memang dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka . Namun sesungguhnya fungsi sejati dari parpol adalah mendidik masyarakat. Sedangkan kekuasaan, hanyalah ekses (bukan tujuan) dan alat untuk mewujudkan cita-cita partai yang diadopsi menjadi cita-cita masyarakatnya tadi.
Menurut Ramlan Surbakti , Parpol sejatinya merupakan representation of ideas atau mencerminkan suatu preskripsi tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan dan karena itu hendak diperjuangkan. Ideologi, platform partai atau visi dan misi seperti inilah yang menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai politik yang mengharuskannya berjuang bersama masyarakat untuk mewujudkannya dalam realita. Karena itulah parpol harus memfungsikan dirinya sebagai sarana pendidikan dan komunikasi politik, yang hakekatnya merupakan internalisasi dan peleburan platform, visi dan misi parpol agar menjadi platform, visi dan misi masyarakat. Dalam konteks parpol Islam, tentunya yang menjadi platform, visi dan misinya adalah Islam. Karenanya, parpol Islam seharusnya sudah memiliki berbagai pemikiran Islam ideologis yang jelas, terkait konsep-konsep kemasyarakatan berikut metode penerapannya yang semata diadopsi dari ajaran Islam.
Adapun targetnya tentu tak lepas dari upaya pembesaran tubuh partai melalui kaderisasi sekaligus prmbentukan opini umum yang akan mengarahkan pada percepatan terwujudnya cita-cita partai. Dalam kaitan itu, pembinaan kader-kader partai Islam tidak bisa diremehkan. Partai Islam harus melahirkan kader-kader pejuang Islam, bukan kader karbitan yang didapat di jalanan sebagaimana yang terjadi selama ini. Partai-partai Islam harus selalu mewaspadai penumpang-penumpang gelap yang berusaha mendompleng partai untuk kepentingan uang dan kepentingan pribadi yang menjadikannya sebagai kendaraan politik atau sekedar menjadi batu loncatan dalam meraih kursi kekuasaan.
Sejatinya eksistensi partai Islam, adalah partai perjuangan. Dan partai seperti ini hanya akan besar jika didukung oleh ideologi Islam yang kuat dan kader pejuang Islam yang mumpuni; yakni kader partai yang loyal terhadap ideology partai (Islam) dan partainya. Pembuktian kemenangan partai Islam nantinya, sesungguhnya adalah pembuktian keumatan. Harapannya, partai politik Islam akan eksis menjadi partai harapan, yang membawa bangsa ini pada perubahan hakiki. Dan hal ini hanya mungkin dilakukan oleh partai yang berhasil melakukan pendidikan politik umat, yang menjadikan kekuatan umat sebagai penopang perjuangan dan penopang keberhasilan yang diraihnya.
Yang harus dicamkan, sejarah membuktikan bahwa kekuasaan tanpa dukungan umat/masyarakat tak akan pernah langgeng. Jadi saatnya Parpol Islam menjadikan umat sebagai partner perjuangan sejati, dengan menjadikan mereka yakin dan ikut mengemban ideology dan plattform partainya, bukan sekedar memberi rangkulan basa-basi. Dan yang tak kalah penting, seluruh parpol Islam harus mau bersinergi membangun koalisi solid agar dukungan umat tak terpecah di bawah bendera parpol yang berbeda.
[SNA09]
-----------
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Done Ali Usman, Menakar Signifikansi Parpol Negeri Ini, www.waspada.co.id (online resource), diakses 9 Maret 2009.
Ebenstein, William, et. All. 1994. Isme-Isme Dewasa ini (Today’s Isms, ninth edition). Jakarta: Erlangga. Cet.II.
Isdiyanto, Memfungsikan Partai Politik. www.jalanjalankesimpanglima.com (online resource), diakses tanggal 9 Maret 2009.
Kantaprawira, Rusadi. 2006. Sistem Politik Indonesia, Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Agensindo. Cet. X.
Macridis, Roy C. dan Bernard E Brown (Penyunting). 1996. Perbandingan Politik, Catatan dan Bacaan. Edisi Keenam (Terj.). Jakarta : Penerbit Erlangga.
MR. Kurnia, Merebut Masa Mengambang, www.hizbut-tahrir.or.id (online resource), diakses tanggal 9 Maret 2009.
Muh. Hermawan Ibnu Nurdin, Kiprah dan Peran Politik Masyumi. www.hermawaneriadi.wordpress.com (online resource), diekses tgl 6 Maret 2009.
Ramlan Surbakti, Perkembangan Partai-Partai Politik di Indonesia, www.knaw.nl (online resource), diakses tanggal 6 Maret 2009.
Siti Nafidah. Artikel pribadi. Sekularisasi Politik Dan Mimpi Menyelamatkan Bangsa,17 Oktober 2008.
Tim Indo Barometer. Artikel. Ringkasan Temuan Kepuasan Terhadap Kinerja Parpol, www.indobarometer.com (online resource), diekses tgl 6 Maret 2009.
Tim Indo Barometer. Laporan penelitian tahun 2007. www.indobarometer.com (online resource), diakses tgl 6 Maret 2009.
Tim LSI. Parpol Islam Kian Terpuruk, www.lembagasurveyindonesia.com (online resource), diakses tanggal 6 Maret 2009.
Waspada Online http://www.waspada.co.id (online resource), diakses tgl 6 Maret 2009.
Yusril Ihza Mahendra, Kebijakan Orde Baru, Masyumi Dan Islam, www.yusril.Ihzamahendra.com (online resource) diakses Ttnggal 9 Maret 2009.
www. mediaummat.com (online resource), diekses tgl 6 Maret 2009.
Belum ada tanggapan untuk "ISLAM DAN PARTAI-PARTAI POLITIK DI INDONESIA"
Posting Komentar