Dialog Intelektual Aktivis Kampus (Dialektika)“Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”Gedung IKA UNPAD, Ahad, 23 Oktober 2011
Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Barat Sejak menjelang jam 8 pagi, Ahad 23 oktober 2011, lebih dari 200 peserta dari berbagai kampus di Bandung berdatangan untuk berpartisipasi dalam Dialog Intelektual Aktivis Kampus(Dialektika), sebuah forum yang digelar oleh Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia DPD 1 Jawa Barat.Dialektika kali ini mengambil tema
“Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”. Forum ini digelar sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia. Forum ini pun adalah perwujudan dari keinginan yang besar untuk mengokohkan peran nyata mahasiswa dalam membawa bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik. Bulan Oktober sebagai momen kebangkitan dan pemuda dipilih sebagai momen yang tepat untuk mengusung isu ini.
Peserta hadir dari berbagai kampus: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Ilmu Komputer (UNIKOM), Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Universitas Pasundan (UNPAS), Universitas Islam Bandung (UNISBA), Sekolah Tinggi Farmasi Bandung (STFB), Ma’had Al-Imarat, Politeknik Bandung (POLBAN), Institut Teknologi Telkom (ITT), PIKSI Ganesha, Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Stikes DHB, Universitas BSI Bandung serta Universitas Kebangsaan. Di awal acara peserta disambut dengan pemutaran film tentang kondisi masyarakat Indonesia dan analisis Hizbut Tahrir terhadap kondisi tersebut serta berbagai aktivitas Hizbut Tahrir untuk menyikapinya dengan menjadikan ideologi Islam sebagai solusi. Acara dibuka secara resmi pada jam 8.53 oleh MC dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Selanjutnya sambutan dari ketua pelaksana mengantarkan peserta untuk menguatkan tujuan acara yaitu agar mahasiswa/i menjadi aktor-aktor perubahan dengan bekal kesadaran ideologis serta semangat membara yang tak pernah mati yaitu Islam.
Peserta diajak untuk mengawali diskusi dengan menanggapi film pengantar “Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?” Tanggapan para peserta beragam, namun secara umum mengarah kepada dukungan untuk mengusung revolusi. Gambaran revolusi yang dimaksud adalah Revolusi Islam, sebuah revolusi pemikiran-politis-damai yang terbukti melahirkan sebuah peradaban gemilang.
Pembicara pertama, Dr. Cecep Darmawan., S.Pd., M.Sc (Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI) memulai pembicaraan dengan menyampaikan kondisi pergerakan mahasiswa pasca reformasi yang tidak tentu arah bahkan bisa dikatakan loyo. Dr Cecep menegaskan bahwa kebanyakan mahasiswa saat ini terjebak pada rutinitas yang tidak mendukung pada perannya sebagai
agent of change. Kebanyakan mahasiswa kini terjebak dalam pragmatisme. Selain itu, beliau juga menjelaskan mengenai salah satu sebab melemahnya gerakan mahasiswa, yaitu tidak adanya
common enemy. Jika melihat karakteristik mahasiswa kini pun dikatakan bahwasanya kebanyakan mahasiswa atau sekitar 80% dari populasi mahasiswa tergolong mahasiswa yang apatis. Jika ada mahasiswa yang aktif pun tidak sedikit yang terjebak sebagai mahasiswa yang melakukan pergerakan selayaknya
event organizer, bekerja jika ada imbalan uang dari kegiatan yang dilaksanakan. Tak jarang kegiatan-kegiatan yang diadakan mahasiswa pun miskin akan makna. Akan tetapi, beliau seolah memberi semangat kepada mahasiswa yang idealis yang jumlahnya sangatlah sedikit dengan mengatakan dalam sejarahnya orang-orang idealis yang berjuang melakukan perubahan merupakan kaum minoritas tak berbeda dengan para
founding father Negara ini, hanya segelintir orang saja yang mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Agar pergerakan mahasiswa menjadi aktif maka pergerakan mahasiswa harus memiliki agenda politis. Jika ingin aksi, maka harus menurunkan dari ideologi agar menjadi solusi. Beliau juga menambahkan bahwa mahasiswa perlu menghindari solusi berupa pemikiran-pemikiran abstrak.
Sementara pembicara kedua, Ustadz Agung Wisnu Wardana (DPP hizbut Tahrir Indonesia) memulai dengan pernyataan bahwa kita harus menerima kenyataan Indonesia memang telah menjadi negara gagal karena kebrobrokan terjadi baik di ranah infrastruktur maupun suprastruktur negara. Selanjutnya Ustadz Agung Wisnu Wardhana menjelaskan time line pergerakan mahasiswa yang turun naik, timbul tenggelam. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan tersebut bersifat reaktif dan mahasiswa hanya menjadi pemicu perubahan tapi belum menjadi agent of change. Beliau juga menjelaskan bagaimana para aktivis pergerakan yang berada pada posisi top level pada masa penggulingan Soekarno akhirnya menjadi orang-orang yang memegang kedudukan di pemerintahan begitupun di era reformasi, para aktivis yang berada pada posisi top level menjadi bagian dari rezim baru yang mereka dirikan, tetapi mereka tidak berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik malahan ikut terlibat dalam keburukan yang dulu pernah mereka tuntut (saat mahasiswa) agak diakhiri. Beliau mencontohkan tuntutan mahasiswa pengusung reformasi untuk menghapuskan korupsi, tapi justru ketika mereka masuk ke dalam sistem dan menjadi bagian dari pemerintahan malah ikut melakukan korupsi.
Ustadz Agung yang juga merasakan hiruk pikuk reformasi 98 mengatakan bahwa saat itu terjadi perdebatan yang sengit antara kelompok mahasiswa yang pro penggulingan Soeharto dan mahasiswa yang mengusung ide keharusan perubahan sistemik. Ia menjelaskan bahwa pada akhirnya, para mahasiswa dengan berbagai kepentingan kelompoknya masing-masing pada akhirnya melebur menjadi satu dengan tuntutan keresahan yang sama bahwasanya apapun yang terjadi, Soeharto harus dilengserkan karena opini tersebut sudah cukup mendominasi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, hal yang menarik untuk diambil pelajaran adalah bagaimana pada akhirnya mahasiswa pun terpecah ketika sudah sampai di gedung DPR/MPR. Mereka kembali kepada kepentingan kelompoknya masing-masing. Hal ini memberikan pelajaran bagi kita bahwasanya pergerakan yang reaktif dan pragmatis tidak akan membawa perubahan yang sebenarnya. Ia akan sangat mudah diarahkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik dan memanfaatkan posisi mahasiswa yang dianggap mampu memicu terjadinya perubahan. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa pergerakan mahasiswa harus memiliki visi dan misi yang jelas dan benar. Visi dan misi yang jelas dan benar tersebut adalah Islam. Visi dan misi Islam tersebut akan mampu mengantarkan muslim dan non muslim pada kehidupan berkah dengan jaminan kesejahteraan dengan hukum-hukumnya yang solutif dalam naungan Khilafah.
Enam orang peserta dengan antusias mengajukan pertanyaan juga pernyataan di sesi diskusi. Kedua pembicara memberikan jawaban sekaligus pesan agar mahasiswa bisa mengevaluasi dan mengambil pelajaran dari kelemahan juga kesalahan langkah pergerakan sebelumnya. Pelajaran berharga tersebut adalah bahwa perubahan yang harus dilakukan adalah perubahan total atau revolusi, bukan hanya mengubah personal atau rezim tapi juga mengubah sistemnya secara mendasar dan menyeluruh. Perubahan yang menyeluruh tersebut haruslah dilakukan karena ketika kita menganalisis permasalahan dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwasanya kerusakan yang terjadi bukanlah problem individual yang bisa diselesaikan dengan cara yang reformatif. Kerusakan yang terjadi sudah menjadi fenomena sosial, sehingga yang diperlukan adalah perubahan yang revolutif. Karena ibarat pohon, reformasi hanyalah mencabut daun-daun yang busuk dari pohonnya, sedangkan akarnya yang busuk tetap dibiarkan. Berbeda halnya dengan revolusi, ia mencabut pohon yang rusak tersebut dari akarnya dan menggantinya dengan pohon yang baru.
Sempat disinggung pula mengenai permasalahan antara Islam dan Pancasila. Menyandingkan Pancasila dengan Islam bukanlah membandingkan sesuatu yang setara atau apple to apple karena Pancasila adalah suatu value yang tidak cukup kuat untuk memberikan suatu gambaran yang jelas menggenai sistem pengaturan Negara sehingga pada akhirnya Pancasila tidak jarang hanya dijadikan alat untuk menjegal opini penerapan syariat Islam. Mengapa dikatakan demikian? Ustadz Agung mencontohkan bahwa tidak ada yang mengatakan Soekarno tidak Pancasilais ketika memasukkan ide Nasakom ke dalam Pancasila padahal sila pertama Pancasila dan Komunisme adalah ide yang bertentangan. Begitupun dengan kebijakan di era Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), tidak ada yang mengatakan SBY tidak Pancasilais ketika melakukan kebijakan privatisasi berbagai sumber daya alam Indonesia sehingga menyebabkan kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat hanya dikuasai oleh segelintir orang yang notabene adalah pihak asing. Akan tetapi, ketika ada sekelompok orang yang mengusung ide penerapan syariat Islam yang notabene merupakan solusi bagi permasalah manusia dikatakan sebagai pihak yang mengancam Pancasila. Oleh karena itu, beliau menegaskan untuk kembali mendudukkan definisi apa yang memang layak diperbandingkan dan mana yang tidak. Beliau mengatakan ketika Islam dilawankan dengan Kapitalisme baru merupakan perbandingan yang setara karena sejatinya sistem yang kini sedang diterapkan di Indonesia adalah kebijakan Kapitalisme Liberal. Oleh karena itu, sangat urgen untuk dilakukan suatu perubahan sistemik yaitu dengan mengganti sistem kapitalisme menjadi sistem Islam dan itulah yang sudah seharusnya menjadi landasan bagi pergerakan mahasiswa.
Acara ditutup dengan kesimpulan bahwa mahasiswa memiliki agenda untuk terus memperdalam Islam sekaligus memperjuangkannya agar tegak di tengah-tengah masyarakat.
Panitia DIALEKTIKA“Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”Lajnah Khusus Mahasiswa
Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Barat
Belum ada tanggapan untuk "PRESS RELEASE"
Posting Komentar