Oleh : Siti Nafidah Anshory
PengantarBagi kebanyakan wanita ‘modern’, menikah dan punya anak seolah menjadi sesuatu yang menakutkan. Baru-baru ini, tribunnews.com merilis laporan bahwa mayoritas wanita-wanita Jepang cenderung tidak mau hamil, dan kebanyakan wanita-wanita China lebih memilih hidup melajang. Alasannya, sungguh patut kita renungkan.
Wanita Jepang sebetulnya sejak lama dikenal sebagai ratu keluarga. Siklus mereka, sekalipun ada saat sampai di puncak karir, pada akhirnya akan kembali ke rumah, menjadi isteri dan ibu luar biasa bagi anak-anak mereka. Begitupun dengan wanita-wanita China. Secara tradisi, mereka dikenal khidmat pada keluarga.
Namun kehidupan modern lambat laun mengikis kebanggaan mereka sebagai ratu keluarga. Persaingan dan beban hidup yang terus bertambah berat, membuat mereka berpikir ribuan kali untuk memiliki suami dan anak-anak. Bagaimana tidak? Dihitung secara ekonomi, anak dimata mereka, tak lebih dari beban. Biaya perawatan dan pengasuhan anak, nyatanya memang mahal luar biasa.
Lebih Beruntung Jadi AnjingTak dipungkiri, bahwa Jepang dan China merupakan negara maju, terutama secara ekonomi. Salah satu indicator kemajuan itu adalah tingginya usia harapan hidup yang bisa menembus angka di atas 80 tahun!
Namun ironisnya, ‘prestasi’ itu ternyata tak membuat kehidupan penduduknya bahagia. Bagi sebagian kalangan, umur panjang justru menjadi sumber malapetaka. Betapa tidak? Di negeri-negeri tersebut, kebanyakan orang tua termasuk para ibu harus rela hidup dipanti-panti jompo bersama para wanita lain yang senasib dengan mereka, mengandalkan tunjangan pensiun dari pemerintah yang kian minim karena makin banyak jumlah orang tua yang harus disubsidi sebagaimana mereka. Sementara di luar sana, anak-anak yang selama ini mereka asuh dengan segenap jiwa, justru asyik masyuk menikmati kesuksesan hidup tanpa peduli sedikitpun pada nasib ayah-ibu di masa tua mereka.
Kehidupan sekuler-liberal dan individualistik di kedua negeri tersebut rupanya telah sukses membentuk karakter anak menjadi sosok yang tak mengenal norma. Meski para ibu telah susah payah membesarkan mereka, namun ada kecenderungan, makin sukses kehidupan mereka, justru mereka makin jauh dari keluarga. Alhasil, “menikah” dan “memiliki anak” tak lebih dari mimpi buruk bagi sebagian kaum wanita di sana.
Mereka mulai berpikir, apalah arti punya anak dan menikah, jika pada akhirnya mereka harus hidup menderita di hari tua sebagaimana ayah-ibu mereka? Pilihannya tentu bisa ditebak. Mereka pun memilih karier sebagai jalan hidup dan tak jengah dengan kelajangan. “Mandiri secara finansial dan tak bergantung pada siapapun”, itulah motto hidup mereka. Dan terbukti, baru-baru ini, Channel News Asia melansir hasil survei terbaru yang mengejutkan; 82 persen wanita China menyatakan lebih senang hidup melajang!
Di Jepang, nasib anjing bahkan lebih beruntung dari para orang tua. Maraknya fenomena wanita karir dan lajang ini pun ternyata diikuti oleh tren memelihara anjing yang mereka anggap lebih setia daripada pria. Dampak ekonomisnya, bisnis-bisnis yang berhubungan dengan anjingpun, tumbuh subur menjadi lahan bisnis yang menggiurkan di Jepang sana. Sementara di China, bisnis property berupa rumah khusus wanita lajang menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Miris!
Pemerintah Ketar-KetirBagaimanapun, fakta-fakta ini tak dipungkiri telah membuat pemerintah Jepang ketar-ketir. Grafik statistik kependudukan nyaris menunjukkan gambaran piramida terbalik, dimana proporsi jumlah penduduk usia tua jauh lebih besar dibandingkan dengan proporsi jumlah usia anak dan remaja. Laporan tribunnews tersebut juga menyebut, bahwa sekarang hampir jarang ditemui anak-anak kecil di tempat-tempat umum. Sampai-sampai diberitakan pula, setiap tahun ada saja sekolah TK yang tutup karena tak ada murid, sementara jumlah panti jompo terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi 10 atau 20 tahun ke depan. Dan ini merupakan fenomena yang menakutkan. Karena satu saat, Jepang akan kehilangan generasi penerusnya. Dan sejarah Jepang pun akan putus dengan sendirinya.
Itulah kenapa Pemerintah Jepang terus berupaya mendorong para wanita untuk menikah dan punya anak. Stasiun TV pun didorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga, hingga kabar tentang satu keluarga beranak 10 pun sempat menjadi berita menghebohkan disana. Namun sejauh ini, upaya-upaya yang dilakukan belum menampakkan hasil.
China sendiri mungkin masih merasa lebih aman. Jumlah penduduk yang sangat besar, dipandang masih dimungkinkan memback up kelangsungan generasi. Namun, entah sampai kapan China akan bertahan, jika saat ini kaum wanitanya mulai ogah menikah dan berketurunan? Yang pasti, hingga kini pemerintah masih konsisten menerapkan kebijakan ‘satu keluarga, (wajib) hanya satu anak’; Sebuah kebijakan yang dianggap kontroversial, karena punya lebih dari satu anak, harus siap dikriminalisasi. Atau ketahuan hamil kedua saja, harus siap dipaksa aborsi.
Buah Busuk Kapitalisme Liberalisme Fenomena wanita (memilih) lajang (unwed) dan enggan punya anak senyatanya sudah lekat dalam kehidupan masyarakat kapitalis yang mengagungkan materi dan kebebasan. Dalam masyarakat seperti ini, keberadaan lembaga keluarga dan aturan-aturan agama memang dipandang sebagai penghambat kemajuan dan pengungkung kebebasan kaum wanita untuk mengekspresikan diri sesuka hatinya.
Di luar itu, mereka rupanya tak bisa lepas dari trauma sejarah penindasan yang senyatanya memang terlembaga dalam peradaban gelap Eropa berabad-abad lamanya. Status wanita versi ajaran gereja dan sinagoge yang tak lebih dari setan penggoda membuat kehidupan mereka memang menderita. Ini diperburuk dengan adanya kebijakan politik feodalistik yang secara struktural telah menempatkan kaum wanita Eropa sebagai budak tak berdaya.
Itulah kenapa, saat revolusi berpikir yang dilanjutkan dengan revolusi politik terjadi di Eropa, dimana sekularisme lahir pertamakali sebagai spiritnya, kaum wanitapun merasa mendapat angin kebebasan. Selain menyerukan pemisahan pengaruh agama dalam politik, merekapun ikut menuntut minimalisasi peran agama dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan berkeluarga.
Walhasil, pernikahan pun tak lagi dipandang sakral. Dalam kamus kehidupan mereka, tak boleh lagi ada legitimasi agama dalam membangun hubungan-hubungan di dalam keluarga, karena selama ini, agama dipandang hanya mendiskriminasi kaum wanita. Karenanya, jika laki-laki bisa berkuasa karena memberi nafkah, maka wanita kenapa tidak. Jadilah kehidupan dipenuhi persaingan yang menggoncang struktur keluarga.
Kondisi ini lantas diperburuk dengan merebaknya paham-paham rusak yang meracuni benak-benak para wanita sebagaimana feminisme. Paham yang lahir dari rahim sekularisme ini mengajarkan bahwa kebahagiaan wanita hanya akan diraih saat mereka mampu mensejajarkan dirinya dengan para pria, bisa mandiri secara ekonomi dan tak tergantung pada mereka. Dengan paham ini, kaum wanita selangkah demi selangkah meninggalkan fitrah penciptaannya sebagai arsitek generasi dan berasyik masyuk dengan khayalan kebahagiaan atas nama emansipasi dan kesetaraan.
Lantas ‘agama’ baru inipun tersebar luas ke seantero bumi, termasuk Jepang dan China, bahkan hingga negeri2 kaum muslimin. Hampir semua makhluk bernama wanita terpapar demam ‘emansipasi dan kesetaraan”. Peran sebagai isteri dan ibu pun kian dinilai tak berharga. Sebaliknya status wanita karir menjadi kebanggaan dan mimpi yang dengan serius ditanamkan sejak balita dan terus berusaha diwujudkan saat dewasa.
Tapi apa yang didapat dari semua ini? Bahagiakah mereka? Daniel Crittenden seorang tokoh wanita Amerika dengan karir sukses, dengan jujur memaparkan hasil risetnya dalam sebuah buku berjudul
What Our Mothers Didn’t Tell Us : Why Happiness Eludes The Modern Women (1999). Buku yang merupakan hasil penelitiannya selama 10 tahun ini membongkar fakta tentang kehidupan perempuan modern yang ternyata tak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang menurutnya sekedar mitos itu. Penelitiannya juga menggambarkan ‘kegalauan tersembunyi’ yang dialami kaum perempuan Amerika di saat mereka tua, dibalik berbagai sukses dan ‘kenyamanan’ hidup yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Itulah mengapa Danielle justru balik menyerukan, agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah menghianati kaum mereka sendiri, wanita.
Lebih dari itu, tak bisa dipungkiri jika fenomena ini telah berdampak besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Di negeri-negeri penganut sekulerisme liberalisme yang mengagungkan ide2 feminisme, angka perceraian sangat tinggi. Fenomena
unwed women dan
single parent (perempuan kepala keluarga) merebak dimana-mana. Anak-anakpun tumbuh dalam habitat tak sempurna berupa keluarga. Televisi, internet dan lingkungan yang rusakpun menjadi ibu-ibu kedua mereka. Wajar jika generasi hari ini menjadi generasi tanpa bentuk. Generasi yang lebih akrab dengan narkoba, tawuran, seks bebas, dugem, dan hura-hura dibanding akrab dengan ilmu dan karya, terlebih lagi dengan agama dan semangat perjuangan untuk membelanya.
Dan sekali lagi, mirisnya kaum muslimin sudah terperangkap di lubang yang sama. Mental latah dan terjajah telah membuat mereka dengan mudah “dikacangi” oleh imperialis kapitalis yang mengekspor kerusakan ke negeri-negeri mereka, dengan berbagai bungkus menarik dan tim marketing yang canggih luar biasa. Berbagai konvensi internasional, BPFA dan MDGs-pun diperlakukan tak ubah kitab suci yang menuntun dan menjadi rujukan bagi setiap kebijakan dan aktivitas mereka. Lembaga-lembaga internasional dan LSM kompradorpun menjadi alat jitu meyakinkan kebenaran pilihan2 hidup mereka.
Alhasil, semua kompak masuk lubang biawak bersama-sama. Sementara sang pendosa, yakni kaum imperialis kapitalis, dengan aman mengeruk semua harta kekayaan milik mereka dan menginjak-injak kehormatan mereka hingga nyaris tak bersisa. [SNA]
Belum ada tanggapan untuk "KETIKA ANJING LEBIH BERHARGA DARI KELUARGA"
Posting Komentar