(Sebuah Catatan untuk Menggagas Perubahan)
Oleh : Siti Nafidah Anshory Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Dengan luas sekitar 3.710.061,32 ha tercatat ada 43.021.826 orang yang tinggal di daerah ini dengan komposisi 21.876.572 penduduk laki-laki dan 21.145.254 perempuan yang tersebar di 26 kabupaten/kota (Sensus Penduduk 2010).
Selain potensi SDM yang besar, Jawa Barat juga merupakan propinsi dengan potensi sumberdaya alam (SDA) yang luar biasa. Bentangan lahan pertanian dan perairan yang sedemikian luas menyebabkan wilayah ini pantas disebut sebagai “rumah produksi” bagi produk pertanian dan menjadi sumber pasokan ikan dan biota laut lainnya di Indonesia. Begitupun dengan kekayaan alam yang berupa hutan, mineral dan gas alam, serta potensi pariwisata dan budaya yang melimpah ruah dan beraneka ragam.
Dengan potensi yang sedemikian besar, sejatinya Jawa Barat mampu menjadi wilayah yang makmur sejahtera. Dan kalangan perempuanpun seharusnya bisa ikut merasakannya. Namun realita menunjukkan lain. Meski beberapa indikator kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi makro diklaim terus meningkat, tetap saja tak mampu mengkatrol kesejahteraan rakyat secara mayoritas, termasuk kalangan perempuan.
Nasib perempuan Jawa Barat setidaknya bisa dilihat dari beberapa indikator makro. Salah satunya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Laporan terakhir Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa IPM Jabar tahun 2009 masih berada di kisaran angka 71,64, menempati ranking ke-15 dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Padahal di tahun yang sama, Indonesia masih berada di peringkat 111 dari 182 negara dan di tahun 2011 ini bahkan melorot tajam menjadi ranking ke-124 dari 187 negara.
Sebagaimana diketahui, IPM adalah indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM juga menjelaskan bagaimana penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Karenanya penghitungan IPM selalu memperhatikan capaian apa yang disebut dengan indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli, yang semua perhitungannya tak lepas dari penggunaan asumsi-asumsi, penggunaan nilai rata-rata serta data mentah yang seringkali invalid dan tak mewakili keadaan sebenarnya.
Di bidang pendidikan misalnya, indeks pendidikan dihitung dari berapa angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk 15 tahun ke atas. Di Jawa Barat AMH-nya memang relative tinggi, yakni 96% lebih, namun hingga tahun 2010, angka RLS-nya masih relative rendah, yakni 7,95 tahun. Artinya rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian diantaranya perempuan adalah tidak tamat SLTP atau baru mencapai kelas 1 atau 2 SLTP.
Di bidang kesehatan, indeks kesehatan dihitung dari angka harapan hidup (AKH), angka kematian bayi dan angka kematian ibu (AKB dan AKI). Angka-angka inipun masih belum sesuai harapan. Meski di tahun 2010, AKH penduduk Jabar cukup tinggi, yakni 68,2 tahun, namun angka ini tak serta merta menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakat juga baik. Terlebih banyak fakta yang menunjukkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat Jawa Barat masih bermasalah.
Per Maret 2011, diperoleh data dari sekitar 3,7 juta balita di Jabar, sebanyak 299.700 mengalami gizi kurang dan sekitar 30.000 mengalami gizi buruk. Setengah di antaranya bisa dipastikan adalah bayi perempuan. Sudah bertahun-tahun pula, Jawa Barat selalu tercatat sebagai ranking pertama penyumbang AKI dan AKB terbesar di Indonesia. Data Dinkes Propinsi Jabar 2007 menyebut AKI di Jawa Barat masih sebesar 250 per 100.000 kelahiran dan AKB masih sebesar 40,26 per 1.000 kelahiran hidup. Ini belum termasuk data tentang sebaran penyakit menular semisal TBC, malaria, diare, bahkan AIDs yang di Jawa Barat angkanya cukup tinggi.
Tingkat daya beli masyarakat Jawa Barat pun masih terkatagori rendah. Ini nampak dari nilai indeks daya beli masyarakat yang di tahun 2010 sebesar 62,57 poin dengan nilai Paritas Daya Beli masyarakat Jawa Barat yang pada tahun 2010 sebesar Rp. 630.770. Angka ini meleset dari target pemprov Jabar dengan visi ”Menjadi Provinsi Termaju dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara 2010” yang menetapkan IPM 2010 sebesar 80.
Rendahnya nilai IPM dengan seluruh indikatornya sesungguhnya sejalan dengan masih tingginya proporsi penduduk miskin di Jawa Barat yang kebanyakan di antaranya adalah kaum perempuan. Kondisi ini juga berjalin berkelindan dengan tingginya tingkat pengangguran di daerah yang senyatanya kaya raya ini.
Pada tahun 2010 (data maret 2010), jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 11,27% dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Angka ini dihitung dengan standar garis kemiskinan yang sangat tidak manusiawi, yakni Rp. 220.098 per kapita per bulan. Angka ini, tentu akan jauh lebih tinggi jika dihitung dengan menggunakan standar lain semisal standar World Bank yang sebenarnya juga masih sangat rendah, yakni 2 dollar per hari atau sekitar 60 dollar per bulan. Dengan standar ini, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat setidaknya akan naik menjadi 3 kali lipat atau sekitar 30%. Bahkan jika standarnya dibuat lebih manusiawi lagi, bisa jadi proporsi penduduk miskin menjadi lebih dari separuh penduduk Jawa Barat. Dan separuh di antaranya dipastikan dari kalangan perempuan.
Adapun situasi ketenagakerjaan, dari jumlah angkatan kerja di tahun 2010 sebanyak 18,89 juta jiwa, tingkat partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)-nya hanya mencapai 62,38%. Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja di Jawa Barat mencapai 10,33%. Jika mengingat bahwa jumlah angkatan kerja ‘dengan daya akses ke dunia kerja sangat rendah’ jumlahnya masih jauh lebih besar (karena terkait dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya keahlian dari mayoritas penduduk Jabar, serta terbatasnya ketersediaan lapangan kerja itu sendiri), maka tentu angka ril pengangguran juga akan jauh lebih besar.
Kondisi inilah yang memunculkan masalah tak berkesudahan di Jawa Barat. Kemiskinan yang mendera sebagian besar masyarakat telah memaksa kaum perempuan harus berperan ganda; sebagai ibu dan isteri, sekaligus membantu suami mencari nafkah atau benar-benar menjadi pencari nafkah utama (perempuan kepala keluarga/PEKKA).
Ironisnya, atas kemiskinan yang tercipta secara structural dan bukan alamiah ini kaum perempuan dipaksa oleh sistem secara structural pula untuk ikut serta menyelesaikan masalah kemiskinan melalui apa yang disebut dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan dan program keluarga berencana. Melalui program-program ini, yang dikukuhkan dengan infiltrasi massif pemikiran keadilan dan kesetaraan jender dan penerapan sistem sekuler liberal, kaum perempuan pun didorong dan difasilitasi untuk meraih apa yang disebut kemandirian ekonomi, kebebasan berekspresi dan jaminan atas hak-hak reproduksi. Di luar itu, kaum perempuan Jawa Barat secara mandiri terpaksa menerjunkan diri ke dunia kerja, dengan menjadi buruh pabrik, buruh perkebunan, dan pekerjaan-pekerjaan informal lain yang tak jarang beresiko tinggi.
Survei Sosial Ekonomi Daerah Jabar pada 2009 menunjukkan bahwa perempuan bekerja berjumlah 5,56 juta orang. Adapun terkait PEKKA, data Susenas Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 13.60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Sementara jumlah PEKKA di Jawa Barat ditengarai juga cukup tinggi dan berada di atas rata-rata. 80% di antaranya bekerja di sector informal dan sebagian besar dari mereka ini hidup di bawah garis kemiskinan dan tersingkirkan.
Salah satu pekerjaan yang banyak dilirik para perempuan korban sistem ini adalah menjadi TKI. Menurut Kepala Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi BNP2TKI Benyamin Suprayogo, pada 2011 Jabar menjadi juara satu dari tiga besar provinsi pengirim TKI, mengungguli Jatim dan NTB. Padahal di tahun sebelumnya, Jabar berada di posisi ke empat setelah NTT, Jatim dan NTB. Kurang dari setahun hingga Maret 2011 jumlah TKI asal Jabar yang dikirim ke luar negeri, baik ke Asia maupun Timur Tengah sudah mencapai 152 ribu.
Tentu saja, meski (pemerintah) Jabar diuntungkan dengan pasokan devisa yang dihasilkan para TKI, namun seiring dengan banyaknya jumlah TKI maka permasalahan yang dihadapi oleh para TKI pun semakin besar. Dari 39 ribu laporan TKI bermasalah di tahun 2011, yang terbanyak berkasus adalah TKI asal Jabar. Tak hanya kasus gaji yang tak dibayar oleh majikannya atau dokumen bermasalah, juga ada yang tersandung kasus hukum yang terkena vonis mati, bahkan kekerasan yang berujung kematian.
Selain pekerjaan legal dan halal, kemiskinan juga menjadi alasan bagi sebagian kaum perempuan di Jawa Barat terjebak dan menjadi korban bisnis illegal dan haram sebagaimana perdagangan orang (trafficking) dan menjadi PSK. Beberapa wilayah di Jabar bahkan masuk dalam zona merah kasus perdagangan manusia di Indonesia, seperti Indramayu, Subang, Cianjur, Karawang, Sukabumi, Cirebon, dan Kabupaten/Kota Bandung. Inilah yang menjadikan Jabar sebagai daerah dengan kasus trafficking paling tinggi di Indonesia.
Tentu saja kasus-kasus (kemiskinan) perempuan ini membawa dampak social yang cukup besar di Jawa Barat. Saat perempuan dipaksa menopang ekonomi keluarga, di saat yang sama fungsi dan perannya sebagai ibu dan pengatur rumahtangga menjadi tak sempurna. Pola relasi antar anggota keluarga mulai berubah, bahkan salah kaprah, hingga lembaga keluarga pun mengalami disorientasi dan disfungsi.
Tak sedikit kaum perempuan yang dilecehkan dan menjadi korban kekerasan di jalan-jalan. Tak sedikit pula anak-anak di Jawa Barat yang tumbuh menjadi besar tanpa penyusuan, pengasuhan dan pendidikan yang sempurna. Kehidupan keluarga mulai sarat konflik dan penuh dengan tekanan, dimana para ayah pun mulai kehilangan wibawa dan para isteri pun merasa berkuasa. Inilah yang lantas memicu tingkat perceraian di Jabar hingga sedemikian tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia yakni 33.684 kasus (2010). Mayoritasnya dipicu masalah ekonomi dan diajukan atas inisiatif istri (gugat cerai).
Berbagai kasus dekadensi moral pun sedemikian marak di Jawa Barat. Survey BKKBN 2010 menyebut 47 % remaja putri di Jabar sudah tak perawan. Jabar juga menjadi wilayah dengan kasus HIV/AIDs tertinggi secara nasional. Hingga September 2011, tercatat ada sebanyak 3.925 kasus AIDS dan 2.354 kasus HIV yang 33 %-nya diidap oleh perempuan.
Belum lagi kasus narkoba, gank motor, anak jalanan, pelacur anak-anak dan remaja, yang di Jawa Barat jumlahnya makin meningkat saja dan rata-rata menempati peringkat teratas di Indonesia. Semua kasus ini menambah daftar panjang potret buram perempuan Jabar, bahkan masyarakat Jabar secara keseluruhan yang dalam jangka panjang, tentu akan menimbulkan bahaya lebih besar, karena menyangkut masa depan generasi dan nasib bangsa ke depan.
Kondisi ini seharusnya menjadi focus perhatian pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat jika ingin mengubah keadaan. Jangan sampai, pemerintah hanya focus pada hal-hal artificial semacam pencapaian tujuan pembangunan yakni kesejahteraan yang berpijak pada angka-angka pertumbuhan atau pendapatan semata-mata. Karena faktanya, tak ada yang bisa dibanggakan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang menurut pemprov di tahun 2010 berhasil mencapai 6,0% itu. Mengingat angka 6 % tadi –sekali lagi—sama sekali tak mewakili realitas tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat.
Terlebih siapapun tak bisa memungkiri, bahwa cara berpikir dan bertindak ala kapitalisme --yang sayangnya sudah menjadi mindset para penguasa hari ini-- hanya focus mengukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan pada pertumbuhan dan pendapatan harta yang dihitung dengan angka rata-rata saja. Sementara, berbagai kebijakan ekonomi kapitalistik yang diterapkan pemerintah, telah menjadikan asset ekonomi, baik di level daerah (Jabar) maupun secara nasional menumpuk pada sekelompok orang saja.
Pertumbuhan ekonomi misalnya, hanya dihitung dengan melihat pada aspek produksi kekayaan atau penambahan barang yang dihasilkan suatu wilayah secara agregat. Begitupun dengan indikator pendapatan per kapita yang mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dari perbandingan jumlah harta dan jumlah penduduk semata-mata dengan nilai rata-rata, yang abai terhadap adanya realitas kesenjangan distribusi harta dan deviasi yang begitu lebar antara penduduk berpendapatan paling rendah dengan penduduk berpendapatan paling tinggi sebagaimana ciri khas negara penganut kapitalisme. Dengan mindset kapitalistik ini, adanya 9 orang yang berpendapatan Rp. 100 dan 1 orang berpendapatan Rp.9.900, diartikan sebagai kesejahteraan, karena rata-rata pendapatan mereka adalah Rp. 1000. Begitulah. Wajar jika selain memiskinkan, sistem kapitalisme juga melanggengkan kemiskinan, termasuk kemiskinan perempuan baik di Jawa Barat maupun Indonesia secara keseluruhan. Sehingga dari sisi manapun, sistem ini tak layak dipertahankan.
Hanya saja, selain harus meninggalkan mindset kapitalisme dalam pembangunan ekonomi, pemerintah juga harus memberangus budaya sekuler-liberal yang senyatanya telah menumbuh suburkan kerusakan di tengah masyarakat Jawa Barat. Kemiskinan, seharusnya tak menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk terjerumus dalam bisnis haram.
Begitupun generasi muda tak harus terjebak dalam pergaulan yang merusak akhlaq jika pemerintah tak membiarkan liberalisme-sekulerisme memapar lingkungan mereka dengan penerapan sanksi tegas dan menerapkan kebijakan yang mempersempit ruang gerak bagi budaya bebas di masyarakat, baik melalui control ketat atas media rusak, mengubah paradigma pendidikan yang masih sekularistik, dan memberangus subsistem-subsistem lain yang juga berparadigma sekuler kapitalistik.
Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mulai melirik dan beralih kepada sistem yang telah terbukti selama belasan abad berhasil menjamin kesejahteraan hakiki dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Yakni sistem yang ditawarkan Islam yang menjadi satu-satunya versus bagi kapitalisme-sekulerisme-liberalisme yang telah terbukti rusak, baik dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, social, budaya, sistem sanksi, pergaulan, dll.
Dan inilah arah perubahan yang seharusnya diperjuangkan, termasuk oleh kalangan perempuan. Yakni mengajak masyarakat dan pemerintah, termasuk yang ada di Jawa Barat untuk bersegera keluar dari sistem yang tak menjanjikan apapun selain kerusakan. Karena sepanjang kapitalisme-sekulerisme-liberalisme masih menjadi paradigma pembangunan dan paradigma berpikir para penguasa dan didukung oleh masyarakat, maka kondisi Jawa Barat yang sejahtera, bahkan Indonesia secara keseluruhan hanya akan jadi harapan. Dan kaum perempuan, harus siap bertahan dan siap terus dinihilkan. Masalahnya, hingga kapan? [SN]
----------------
Belum ada tanggapan untuk "MENELISIK POTRET PEREMPUAN JAWA BARAT"
Posting Komentar