GUS DUR TAN MALAKA DAN KOMUNISME
Tak ada habisnya jika bicara soal Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur. Sebab, kiai yang pernah menjadi Presiden RI ini memang memiliki segudang cerita dan pemikiran.
Salah satunya adalah mengenai kenangan masa kecil Gus Dur. Mungkin tak banyak yang tahu jika saat kecil, Gus Dur kerap bertemu dengan Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka . Namun saat itu Gus Dur tak tahu orang yang kerap bertemu dengannya itu adalah Tan Malaka , tokoh penting komunis di Indonesia dan internasional.
Ceritanya, pada 1944 Gus Dur diajak oleh sang ayah, Wahid Hasyim, untuk pindah ke Jakarta. Saat itu Gus Dur baru berusia empat tahun. Mereka tinggal di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Seperti dikutip dari buku 'Biografi Gus Dur' karya Greg Barton, kedatangan Gus Dur dan sang ayah ke Jakarta bukan tanpa alasan. Saat itu, Wahid Hasyim ditunjuk oleh sang ayah, Kiai Hasyim Asyari untuk mewakilinya memimpin Shumubu (kantor urusan agama). Shumubu dibentuk oleh penjajah Jepang sebagai kompensasi atas penahanannya.
Saat itu, Kiai Hasyim dilema karena diminta Jepang memimpin Shumubu. Jika menolak hal itu tentu akan membuat kecurigaan bagi Jepang. Sementara jika diterima, dia tak mau dirinya dan NU dicap mendapat akomodasi dari penjajah.
Akhirnya dengan jeli dia mengusulkan agar anaknya, Wahid Hasyim menjadi kuasanya memimpin Shumubu. Sebab dengan demikian Wahid Hasyim dapat bergerak bebas berkomunikasi dengan para tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta tanpa dicurigai Jepang.
Benar saja. Di Jakarta Wahid Hasyim kerap bertemu dan menjalin komunikasi dengan berbagai aktivis kemerdekaan. Salah satunya adalah dengan Tan Malaka . Hal ini disaksikan langsung oleh mata kepala Gus Dur.
Saat malam tiba, rumah yang didiami Wahid Hasyim dan Gus Dur kerap didatangi oleh seorang tamu bernama Hussein. Pria itu kerap berpakaian petani warna hitam. Setiap Hussein datang, Gus Dur selalu membukakan pintu untuknya.
"Ayah saya sering didatangi Pak Hussein dari Banten. Saya tahunya itu, ada yang ketok-ketok pintu, saya buka pintu. Lalu dia bilang 'bapak ada?', tunggu sebentar ya. Saya ke dalam memberi tahu ayah saya, 'ada Pak Hussein dari Banten', oo ayah saya langsung segera bangun dan bilang pada saya, 'katakan pada ibu bahwa Pak Hussein Banten datang," kata Gus Dur.
Gus Dur yang saat itu masih kecil percaya saja bahwa tamu yang datang menemui ayahnya itu bernama Hussein. Namun, belakangan itu baru mengetahui bahwa Hussein sebenarnya adalah seorang pejuang besar bernama Tan Malaka .
"Lalu beberapa tahun kemudian, ibu saya mengatakan pada saya, 'kamu ingat gak Pak Hussein Banten yang sering datang ke rumah? itu Tan Malaka itu," kata Gus Dur.
Ilyas Hussein merupakan salah satu nama samaran Tan Malaka . Saat kembali ke tanah air pada Juni 1942, Tan Malaka tetap menggunakan nama samarannya itu. Tan Malaka kembali ke Hindia Belanda (saat ini Indonesia) setelah Belanda menyerah kepada Jepang.
Tan Malaka yang saat penjajahan Jepang menjadi tahanan politik dan dilarang menginjakkan kakinya di tanah air, sadar kondisi di Indonesia telah berubah dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang. Artinya, dengan berkuasanya Jepang dia bisa kembali ke tanah air karena status buangan politik otomatis sudah hilang. Meski demikian dia tetap menyembunyikan identitas aslinya karena pihak Jepang telah mengetahui sepak terjangnya semasa penjajahan Belanda.
Seperti yang diceritakan Gus Dur, Hussein alias Tan Malaka berasal dari Banten. Tan Malaka memang pernah tinggal di Bayah, Banten, setelah sebelumnya sempat tinggal di Kalibata, Jakarta. Saat tinggal di Kalibata, Tan Malaka rajin memantau kondisi dunia pergerakan para tokoh nasional saat itu.
Tan Malaka yang sudah sangat lama meninggalkan Indonesia karena dibuang Belanda saat itu tak lagi erlalu memahami kondisi politik dan pergerakan di tanah air. Dia pun mempelajari kondisi politik dan pergerakan saat itu sambil tetap menutupi identitas aslinya. Di tempat itu pula Tan Malaka menghasilkan karyanya yang berjudul 'Madilog.'
Seperti dikutip dari buku 'Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' Karya Masykur Arif Rahman, Tan Malaka pindah ke Banten setelah kegiatannya mulai dicurigai oleh mata-mata Jepang saat itu. Di Bayah, Banten, Tan Malaka bekerja sebagai buruh di lokasi pertambangan romusha.
Dia tertarik bekerja di tempat itu karena bisa langsung berada di tengah-tengah buruh pekerja paksa dan bisa mendidik mereka. Meski berada di Banten, Tan Malaka kerap mondar-mandir Jakarta. Tokoh komunis ini kerap menemui tokoh pergerakan, salah satunya adalah Wahid Hasyim.
Gus Dur menjadi saksi bahwa ayahnya yang notabene seorang nasionalis dan tokoh agama menjalin hubungan persahabatan dengan seorang komunis. Hal ini di kemudian hari diakui Gus Dur sebagai salah satu dasar pemikirannya untuk mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966.
Pada tahun 1999, Gus Dur dipilih menjadi Presiden RI yang ke-4. Di masa kepemimpinannya itu, Gus Dur melontarkan idenya untuk mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966 tersebut. TAP tersebut berisi soal pembubaran PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang.
"Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme," demikian isi TAP MPRS XXV Tahun 1966.
TAP tersebut dikeluarkan setelah tragedi pembunuhan para jenderal revolusi yang biasa disebut Gerakan 30 September/G30S. Rezim Orde Baru menuding PKI sebagai otak pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) itu. Namun, hingga kini peristiwa sebenarnya masih menjadi misteri.
Gus Dur sendiri pernah menyatakan TAP tersebut melanggar hak hukum orang. Selain itu, besar kemungkinan TAP itu telah menghukum orang tidak bersalah secara sewenang-wenang, karenanya harus dicabut.
"TAP tersebut jadi karena semata-mata hawa nafsu seseorang yang takut dinamakan dia PKI. Saya ini lahir dari keluarga bukan PKI, tetapi saya tahu hak orang," demikian kata Gus Dur dalam dialog rutin usai Shalat Jumat di Masjid Al-Munawaroh, Ciganjur, Jakarta, Jumat 31 Maret 2000 lalu.
Namun, keinginan Gus Dur untuk mencabut TAP tersebut urung terjadi. Pasalnya, Gus Dur keburu jatuh dari kursi Presiden pada 2001.
Tan Malaka sendiri pernah menjabat sebagai pimpinan PKI pada 1921. Namun, perbedaan pendapat antara dirinya dengan sejumlah elite PKI seperti Semaun, Muso, Alimin dan Darsono akhirnya membuatnya memilih keluar dari PKI. Salahh satu contoh perbedaan pemikirannya dengan para elite PKI itu adalah soal pemberontakan PKI pada 1926-1927. Tan Malaka saat itu tak setuju dengan pemberontakan yang akhirnya berujung pada kegagalan itu. Meski tak lagi berada di PKI Tan Malaka tetap konsisten berjuang dengan paham komunis yang dianutnya. Sebab, komunisme bagi Tan Malaka adalah jalan hidup dan metode untuk memperbaiki dunia. Meski seorang komunis, Tan Malaka adalah sosok yang percaya akan adanya Tuhan. Sejak kecil dia sudah hapal Alquran. Bahkan saat berpidato di Kongres Komunis Internasional (Kominter) pada 1922, Tan Malaka dengan lantang menyatakan Pan-Islamisme bukanlah musuh komunis. Pan-Islamisme justru sahabat untuk menghancurkan kapitalisme.
"Kalau saya berdiri di depan Tuhan, saya adalah seorang muslim. Bila saya berdiri di depan manusia saya bukan seorang muslim," demikian pidato Tan Malaka di hadapan Lenin saat itu.
Pernyataan itu dapat diartikan bahwa Tan Malaka memisahkan urusan agama dengan urusan sosial duniawi. Untuk akhirat dia adalah seorang muslim. Tapi untuk urusan dunia dia menggunakan komunisme sebagai jalan untuk membebaskan dunia dari keserakahan kaum kapitalis.
sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/gus-dur-tan-malaka-dan-komunisme.html
Belum ada tanggapan untuk "GUS DUR TAN MALAKA DAN KOMUNISME"
Posting Komentar