Oleh : Siti Nafidah Anshory
(Ketua MHTI Jawa Barat)
Pengantar
Tak bisa dipungkiri, bahwa penerapan sistem kapitalisme global telah memproduksi kemiskinan hingga taraf yang luar biasa. Sifatnya yang rakus dan eksploitatif telah mendorong negara-negara pengusungnya melakukan penjajahan dan perampokan sumber daya di dunia ketiga hingga penduduknya kehilangan akses terhadap sumber-sumber ekonomi sebagai modal untuk mensejahterakan dirinya.
DI indonesia sendiri, dampak penjajahan kapitalisme yang alatnya antara lain bernama kebijakan perdagangan bebas, investasi asing dan jebakan utang luar negeri sangatlah nyata. Negeri yang sangat kaya dengan sumberdaya strategis ini ternyata juga termasuk negara yang penduduknya jauh dari sejahtera. Meski pemerintah terus mengklaim bahwa tren kemiskinan terus menurun, namun kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Angka pertumbuhan ekonomi yang digembar-gembor terus naik pun, ternyata hanya bicara angka rata-rata. Kenyataannya, gap sosial makin lebar. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Tak heran jika di negeri yang kaya raya ini, masih banyak orang yang kurang gizi, bahkan sehari-hari terpaksa makan nasi buluk dan hidup bersama di kandang kambing. Sementara di sisi lain ada orang yang punya puluhan rumah dan kendaraan mewah, makan satu porsi jutaan rupiah, dan tiap minggu bisa berlibur ke luar negeri!
Korban Terbanyak, Kaum Perempuan !
Mirisnya, jumlah yang miskin ini mayoritas. Dan mayoritas di antara mereka adalah kaum perempuan. Data PBB misalnya menyebutkan, 1/3 penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan dan 70% di antaranya adalah kaum perempuan. Di Indonesia sendiri, tercatat lebih dari separuh penduduknya juga terkatagori miskin, juga sebagian besarnya adalah kaum perempuan.
Inilah yang menyebabkan kualitas hidup perempuan begitu rendah. Jutaan perempuan masih buta aksara karena sulitnya mengakses pendidikan. Jutaan perempuan pun rentan dengan penyakit yang identik dengan kemiskinan, seperti TBC, gizi buruk, malaria dan disentri. Bahkan angka kematian ibu saat melahirkan pun masih sangat tinggi.
Dampak dari tingginya angka kemiskinan telah memaksa kaum perempuan untuk turut memainkan peran yang sangat berat; menjadi super women yang harus mampu melakukan banyak peran dalam waktu yang bersamaan. Menjadi istri bagi suami, sebagai ibu dari anak-anak, sekaligus mencari nafkah bagi keluarga. Tercatat, Lebih dari 40 juta kaum perempuan Indonesia harus rela mengorbankan kesempatan menikmati hidup bersama suami dan anak-anak mereka dan menceburkan diri dalam dunia kerja yang sangat keras. Jutaan di antaranya tinggal di kawasan-kawasan industri yang kumuh untuk menjadi roda pemutar mesin-mesin pabrik milik para kapitalis dengan upah yang sangat murah. Sebagiannya lagi bekerja di sektor-sektor informal yang tak menjanjikan kemudahan. Jutaan lainnya berbondong-bondong menjadi buruh migran sekedar untuk menjual tenaga sebagai pembantu rumah tangga, bahkan di antaranya menjadi korban sindikat perdagangan perempuan.
Tak sedikit yang karena bekal pendidikan dan skill rendah mereka mendapatkan masalah di tempat-tempat kerja mereka. Puluhan ribu buruh migran perempuan asal Indonesi, termasuk jawa Barat terpaksa harus berhadapan dengan hukum. Sebagian di antaranya antre menunggu vonis dan menunggu detik-detik saat eksekusi dilangsungkan. Sementara itu, ribuan lainnya terlunta-lunta di kolong-kolong jembatan Arab Saudi, atau dikejar-kejar polisi karena dituding sebagai pekerja illegal dan pendatang haram, bahkan diperkosa polisi sebagaimana yang terjadi di malaysia. Yang mengerikan, ratusan di antaranya akhirnya harus mati sia-sia, termasuk yang bunuh diri karena sudah sangat putus asa.
Peran Ibu Terpinggirkan
Tentu saja semua ini membawa dampak sosial yang tidak ringan. Kualitas relasi di dalam keluarga-keluarga mereka kian melemah dan akhirnya mudah terguncang hingga angka perceraian pun terus meningkat. Tercatat ada 212.000 kasus perceraian terjadi tiap tahunnya, dan 80% diantaranya adalah kasus gugat cerai. Demikian pula para ibu tak bisa memberikan waktu dan energi terbaik untuk mengawal tumbuh kembang anak, baik fisik, jiwa apalagi agamanya. Wajar jika hari ini tak sedikit anak dan remaja yang mengalami disorientasi hidup, terjebak dalam pergaulan bebas, narkoba, kriminalitas, kekerasan, aborsi, pelacuran dan lain-lain. Dalam jangka panjang, dipastikan masa depan bangsa ini akan sangat terancam.
Ironisnya kondisi seperti ini seolah disetting sebagai sebuah kewajaran. Pengarusan gagasan kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi perempuan secara massif di kalangan perempuan membuat peran ganda perempuan seolah menjadi sebuah pilihan bahkan sebuah keharusan. Dengan dalih ‘mengangkat harkat dan martabat perempuan’ dan membangun kemandirian finansial perempuan,gagasan KKG dan PEP ini kian merasuk meracuni benak kaum perempuan dan sedikit demi sedikit menumpulkan peran keibuan.
Agenda Melanggengkan Penjajahan
Tentu saja yang paling berkepentingan untuk mempertahankan kondisi ini adalah rezim kapitalisme global yang diusung negara-negara adidaya. Krisis ekonomi yang terus berulang termasuk shut down-nya Amerika mengharuskan ada jaminan buat negara-negara ini untuk terus bisa mempertahankan hegemoninya atas dunia. Dalam konteks penjajahan ekonomi yang memang menjadi strategi andalan mereka, negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia merupakan sasaran empuk untuk menjadi sumber bahan baku, sumber tenaga kerja murah dan sekaligus sebagai pasar potensial bagi produk industri kapitalis mereka. Itulah kenapa negara-negara pengusung kapitalisme terus berusaha mengikat loyalitas pemerintahan dunia ketiga melalui berbagai perjanjian internasional yang mengukuhkan liberalisasi perdagangan dan investasi yang membuka ruang lebar buat kaum perempuan bekerja. Dan di saat yang sama, kaum perempuan yang sudah mandiri secara finansial tadi, didorong untuk membelanjakan upah kerjanya untuk membeli barang-barang konsumsi produk kapitalis yang senyatanya kian membanjiri pasar dalam negeri kita!
Ironis memang. Namun itulah realitas kaum perempuan yang terpenjara oleh sistem kapitalisme global. Sebuah sistem yang berhasil memalingkan kaum perempuan dari tugasnya yang mulia sebagai arsitek dan penjaga generasi dan berhasil mengubah orientasi berpikir mereka dari bersungguh-sungguh mencari keridhaan ilahi menjadi bersungguh-sungguh mencari sebanyak-banyak materi. Tak peduli jika anak-anak mereka tumbuh tanpa didikan yang baik dan tak merasa bersalah jika sikap itu mengancam masa depan generasi.
Saatnya Membangun Kesadaran
Tentu saja kondisi ini tak bisa terus dibiarkan berlangsung. Kaum perempuan harus segera disadarkan mengenai bahaya yang mengancam saat mereka mengabaikan peran sejati mereka sebagai ibu pencetak generasi. Mereka juga harus menyadari, bahwa kebahagiaan hakiki mereka bukan ada pada materi, melainkan ada pada saat mereka bisa memiliki keluarga yang harmonis dan anak-anak yang terdidik dengan baik di tangan-tangan mereka, hingga lahir anak-anak yang cerdas, berjiwa pemimpin dan berkepribadian mulia. Terlebih, anak-anak ini bukan saja akan menjadi asset generasi terbaik di dunia, tetapi juga menjadi asset pahala mereka di akhirat.
Penting juga disadarkan bahwa sepanjang mereka hidup dalam sistem kapitalisme, maka kondisi mereka tak akan berubah menjadi lebih baik. Mengapa? karena tabiat kapitalisme memang sangat destruktif dan merusak sesuai aqidahnya yang rusak, yakni sekularisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan dan begitu mendewakan prinsip kebebasan. Mereka justru akan mendapat kemuliaan hakiki jika hidup dalam sistem yang datang dari Dzat Yang Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Menciptakan manusia dan kehidupan. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem Islam, yang memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan penerapannya secara totalitas akan menjamin kebahagiaan hakiki tak hanya di dunia dan akhirat. Terbukti, sepanjang belasan abad, penerapan aturan Islam dalam institusi negaranya yakni khilafah telah membawa manusia dalam ketinggian peradaban yang tidak pernah bisa disamai oleh peradaban manapun di dunia. Dan sejarah keemasan peradaban Islam ini tercatat dengan tinta emas dan diakui oleh intelektual jujur sepanjang masa. Karena itu, sudah saatnya, para Ibu dan kaum perempuan umumnya mengoptimalkan peran politis mereka, dengan cara mencerdaskan diri dan menyatukan langkah bersama untuk mewujudkan kemuliaan hakiki di bawah naungan syariat Islam dan khilafah. Indonesia dan dunia Insya Allah akan sejahtera dan penuh berkah.[]
------------------------------------
Tinting: Titanium Prices Per ounce - Tinting - Tinting
BalasHapusTinting: titanium engagement rings Titanium Prices Per ounce. A full scale Tinting scale titanium 3d printing of prices per ounce. We also have a special edition is titanium a conductor tinting tinting nano titanium flat iron product on tap. stilletto titanium hammer